Hurtful Truth
Yasmine mengemas barang-barangnya ke dalam sebuah tas yang kiranya cukup untuk menampung semua kebutuhannya. Gadis itu melakukannya dengan terpaksa, mengingat ucapan sang kakak yang jika dipikir banyak benarnya. Bisa bahaya baginya jika berada sendirian di rumah pada malam hari. Manusia berencana, namun Tuhan yang menentukan. Yasmine tetap tidak tahu apa yang akan terjadi nanti meski ia merasa aman-aman saja sejak tadi. Maka gadis itu memilih untuk menurut dan berjaga-jaga.
Setelah semua perlengkapannya siap, Yasmine kemudian memesan ojek online untuk mengantarnya ke rumah eyang. Gadis yang memakai jaket beserta celana panjang hitam itu kemudian turun dari kamarnya dengan membawa ransel berisi berlengkapannya.
Gadis itu berjalan keluar rumah, tak lupa mengunci pintu rumahnya dengan membiarkan lampu depannya menyala. Kemudian memilih menunggu ojek pesanannya di depan rumah.
Setelah sekitar 20 menit perjalanan, Yasmine akhirnya sampai di rumah eyang. Ia berjalan tanpa suara, berusaha tidak mengganggu semua orang yang sedang hadir menikmati waktu kekeluargaan bersama. Yasmine mengintip di balik pintu, masih ragu untuk masuk dan bergabung.
Gadis itu masih berdiri di tempatnya. Sembari bersembunyi di balik pintu, Yasmine mengeluarkan ponsel berniat untuk menghubungi sang kakak yang memintanya menyusul. Namun, belum sempat gadis itu menelepon Azriel, ia malah harus mendengar perkataan yang tak mengenakan.
“Jiel nyuruh Yayas ke sini, Eyang. Soalnya kasian dia di rumah sendirian, bahaya. Jiel takut Yayas kenapa-napa karena nggak ada yang jagain.” Yasmine menguping di balik pintu, ia tahu yang barusan bicara adalah kakaknya.
Yasmine mendengar eyang putri berdecak sebal, “Ngapain sih kamu suruh dia ke sini? Biarin aja anak itu di rumah sendirian. Malah bagus dia nggak ikut. Toh, kita dari tadi di sini semua happy tanpa dia.”
“Nggak bisa gitu dong, Eyang. Gimanapun juga Yayas tetep adeknya Jiel, Jiel nggak mau Yayas kenapa-napa. Pokoknya Jiel suruh Yayas ke sini, anaknya mungkin udah di jalan, kalo nanti Eyang nyuruh dia pulang lagi, Jiel juga pulang,” balas Azriel tegas. Yasmine masih mengintip, ia melihat kakaknya itu mulai emosi dan meninggalkan ruang keluarga.
“Emang dasar anak paling nyusahin, udah perempuan sendiri, nyusahin, nggak tau diuntung. Selalu aja bikin orang lain jadi kurang ajar. Selalu bikin Azriel kurang ajar sama saya, bahkan sama ayahnya sendiri. Azriel jadi berani ngelawan gara-gara dia. Biarin aja aturan dia di rumah, toh aku lebih bahagia kalo ngumpulnya begini, nggak ada dia. Lebih terasa kekeluargaannya,” eyang bermonolog.
Yasmine, yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu kini merasakan matanya berkaca-kaca. Gadis itu menahan nyeri yang familiar pada dadanya yang kian menusuk. Sudah biasa mendengar hal seperti ini, bukankah harusnya ia terlatih? Tidak, kata-kata yang keluar dari mulut eyang seakan memiliki level menyakitkan yang kian bertambah. Membuat Yasmine selalu tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Yasmine memilih berlari menjauh dari rumah eyang. Gadis itu tak ingin bergabung di sana. Sejak awal ia tahu bahwa sendirian di rumah merupakan pilihan yang jauh lebih baik daripada ikut hadir di rumah eyang. Setidaknya walaupun kesepian, tak ada yang menghinanya.
Sembari menangis sesenggukan, Yasmine memilih untuk memberhentikan taksi yang lewat, kemudian kembali pulang ke rumah. Biarlah nanti dirinya memikirkan cara untuk beralasan pada Azriel yang sudah menunggunya di sana.