Bubar
Damar melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kelas yang menjadi ruang kelas paling ramai saat itu. Entah karena penghuninya sangat ramah atau bagaimana, kelas 11 MIPA 2 selalu ramai pendatang dari kelas lain. Termasuk teman-teman Damar.
Damar celingak-celinguk mencari kawanannya. Pria itu tak memerlukan waktu lama untuk menemukan mereka, mengingat mereka semua berkumpul di meja Aghniya dan Dhimas yang memang berada di tengah-tengah kelas.
Kemudian dengan langkah pasti Damar menghampiri teman-temannya, menepuk pundak Haris dan menyempil di antara mereka semua.
“Waduh, bubar, bubar! Ada Damar, udahan yuk udahan!” canda Ojan yang mendapat kekehan Haris.
“Hajar, Dam, hajaaaaar,” Ayesha mengompori.
“Hajar, Daam, tadi katanya Ojan nggak mau temenan sama Damar soalnya Damar nggak jelas. Parah, Dam, hajaaar!” timpal Aghniya.
“Nah, inilah, Sobat, wanita-wanita pembawa kayu bakar,” balas Ojan dengan nada pasrah.
“EH SEMBARANGAN GUE GATAK LO!” balas Aghniya tidak terima. Sementara Ojan hanya tertawa. “Ya, bener laah, penebar fitnatun!” balas Ojan lagi.
“Fitnatun mah yang nyanyi bolo-bolo!” canda Haris.
“Tina Toon. Kurang, Ris, kurang dikit lagi candaan lu. Semangat, ya!” balas Dhimas sambil menepuk-nepuk bahu haris.
“Lo dari mana dah, Dam?” tanya Dhimas.
“Eluu pada yang ke mana! Gue bilang mau turun katanya tadi mau nyusul turun juga, nyamper Dhimas malah mangkal di sini lo berdua?” ujar Damar pada Haris dan Ojan. Sementara yang ditunjuk hanya pamer gigi, terkekeh geli setelah meninggalkan Damar sendirian.
“Gue jadi ketemu Pak Indra, digunting nih rambut gue. Jadi jelek anjir sebel,” balas Damar.
“Hah digunting beneran? Mana, Dam?” tanya Aghniya.
“Ini poni gue jadi nggak rata begini,” balas Damar.
“LAH IYA HAHAHAHA, modelnya jadi kayak mangkok dah, tapi nggak rataaa hahahaha.”
“Iya nih ah sebel, nanti cukur dah,” ujar Damar lagi.
“Eh ini istirahat kapan sih?” tanya Haris. Perutnya mulai keroncongan lantaran belum sarapan. Niatnya tadi adalah mengajak Dhimas, kemudian turun ke kantin bersama Damar. Memanfaatkan jam kosong untuk mengisi perut, karena pasti kantin sepi dan mereka bisa dengan bebas bersantai di sana.
“Bentar lagi juga bunyi belnya,” jawab Ayesha. Benar saja, setelah Ayesha selesai bicara, bel tanda istirahat berbunyi.
“Nah, kan. Apa gue bilang. Ayo, Met, turun nggak?” ucap Ayesha. Gadis itu sudah berdiri sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku rok miliknya.
“Ayo, turun lah. Mau jajan,” balas Aghniya. “Haris mau turun juga? Ojan mau turun juga? Dhimas mau turun juga? Damar mau turun juga?” tanya Aghniya sambil menunjuk satu-satu teman laki-lakinya.
Membuat Damar terkekeh geli, “Harus banget ditanyain satu-satu gitu ya?”
Gadis itu menyengir, lalu mengangguk yakin. “Oh, iya dong. Biar lebih personal gitu.”
“Boong, Dam. Emang anaknya bawel aja berisik,” balas Ayesha yang dibalas lirikan tidak terima oleh Aghniya.
“Turun, turun. Gue turun,” jawab Haris.
“Gue juga Agh, ayo lah bareng aja,” ajak Ojan yang kemudian disetujui oleh Aghniya dan Ayesha.
Akhirnya keenam muda-mudi itu mulai berjalan menuju kantin. Sementara Ayesha, Aghniya, Haris, dan Ojan sudah berjalan lebih dulu dengan semangat, Damar dan Dhimas memilih melangkah pelan. Membiarkan diri mereka tertinggal di belakang.
Dhimas melirik Damar sekilas, “Dam.”
Damar hanya menoleh dan menjawab panggilan Dhimas dengan sebelah alis terangkat.
“Gue udah denger yang lo ceritain ke Haris semalem,” ucap Dhimas lagi.
Damar menunduk, menatap sepatunya yang kini silih berganti mengambil posisi untuk membantunya berpindah tempat. Setelahnya pemuda itu mengangguk.
“Sorry, nggak bermaksud ngomongin lo di belakang. Gue bingung aja dari kemaren.”
“Nanti lo ada waktu? Kita harus omongin ini cepet-cepet. Dari pada nanti kita yang salah paham karena omongan nggak jelas-nya Revan atau siapapun itu,” balas Dhimas.
“Ada. Tapi lo nggak pa-pa ngobrol dulu sama gue? Lo mau ke rumah sakit kan?”
Dhimas menggeleng dengan senyuman kecil di wajahnya, menunjukkan bahwa dirinya tak keberatan. “Santai. Tapi nanti gue balik dulu, ganti baju. Biar sekalian langsung ke rumah sakit kalo udah kelar.”
“Ya udah, gue juga balik dulu kalo gitu. Ketemuan di tempat biasa aja deh,” balas Damar.
“Ya udah. Ayo turun dulu dah, nanti keburu masuk.