Gundah

Damar sudah kembali pulang ke rumahnya. Setelah memberi paket titipan ibu, Damar melepas hoodie hitamnya kemudian memilih berdiam diri di kamar. Pria itu mengambil posisi di meja belajar. Menyandarkan kepalanya pada kursi empuk yang biasa ia gunakan untuk belajar. Seraya memejamkan mata, Damar menghela napasnya.

Berat, hatinya berat belakangan ini. Meski berusaha menghilangkan dan menghindari kenyataan, Damar harus mengakui bahwa dirinya merasa kehilangan. Seseorang secerah matahari yang selalu menemaninya, Damar merasa kehilangan.

Pria itu membuka matanya, kemudian kembali menyalakan ponselnya yang ia geletakkan di meja belajarnya. Kemudian jemarinya mengotak-atik layar sehingga tampil sebuah rekaman yang dikirimkan Salsa waktu itu. Entah apa yang membuatnya begini, entah perasaan ragu atau dirinya yang kurang jelas mendengar, Damar mendengarkan rekaman itu hampir setiap hari.

Baiklah, Damar mengaku kalah. Dirinya kini terpecah belah. Sebagian besar hatinya memang marah, kecewa, dan hancur, hingga ia tak ingin lagi melihat wajah gadis itu di hadapannya. Namun, ada bagian kecil dalam hatinya yang masih enggan mempercayai semua ini. Sebagian kecil dalam dirinya, yang mengatakan Aghniya tidak mungkin berkata seperti itu.

Damar memutar kembari rekaman yang sama. Mendengarkannya dengan seksama.

RIBET! Ambil deh, Saaa, ambil! Terserah lo mau jadian sama Damar kek, mau ngapain kek, gue nggak peduli!

Damar tak mendengarkannya sampai habis kali ini. Pria itu kembali mematikan ponselnya dan menghela napasnya.

Lo seriusan begini nggak sih, Agh?

Damar tak tahu harus bagaimana. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak mengerti siapa yang harus ia percaya. Bagaimanapun juga, Salsa adalah temannya. Mungkin kali ini gadis itu pensiun dari tingkah menyebalkannya dan berusaha menolong Damar dari orang yang salah?

Damar bilang, ia menyesal berteman dengan Aghniya. Ia berbohong, berteman dengan gadis itu justru salah satu yang paling ia syukuri. Namun, amarah dalam hatinya membuatnya berkata demikian.

Sekarang rasanya Damar seperti kehilangan satu batu bata yang selama ini turut menyokong pondasinya. Damar limbung. Aghniya mengisi harinya cukup lama, hingga tanpa sadar kehadiran gadis itu mendominasi. Dalam pertemanannya, keluarganya, bahkan dirinya sendiri.

Damar membuka binder yang biasa ia gunakan untuk menulis ringkasan materi ulangan. Mencari list yang ia buat sendiri, tentunya ketika masih berhubungan baik dengan Aghniya.

Damar membacanya dengan teliti. Menertawakan dirinya sendiri sesudahnya. Bisa-bisanya ia membuat daftar seperti ini. Sepertinya gadis itu memang pandai menyihir.

Pemuda itu memusatkan pandangannya pada nomor terakhir. Tanggal lahir gadis itu yang ia samarkan pada nomor terakhir daftarnya, nomor dua puluh dua. Damar mengelusnya perlahan. Masihkah gadis itu menjadi alasannya untuk tetap hidup?

Damar menggeleng, ia mengambil pensil miliknya yang berada di atas meja. Kemudian mencoreng nomor terakhir yang memuat tanggal lahir Aghniya pada daftarnya. Ia tak ingin lagi memusatkan pikirannya pada gadis itu. Kalau bisa.