Separate
“Aghni, ini pensil warnanya. Makasih banyak, yaa!” ucap Damar pada Aghniya yang kini berada di hadapannya. Keduanya melipir dari pendopo, memilih berbincang di depan ruang seni budaya.
Gadis itu mengangguk riang, “Sama-samaa! Gambar apa tadi?”
“Kembang sepatu,” jawab Damar. Memunculkan tatapan terkejut gadis itu. “Kerenn, kok bisa sih? Emang nggak susah?”
“Susah, tapi bisaa. Lo gambar apa?”
“Kambojaa,” balas Aghniya.
“Itu juga keren,” balas Damar. Sementara gadis itu hanya tertawa.
“Masih sakit perutnya?” tanya Damar.
“Udah mendingan, kok. Tadi ada jam kosong terus gue tidur, jadi udah nggak pa-pa,” jawab Aghniya.
Damar mengangguk-angguk, “Ooh, ya udah kalo gitu. Gue ke sana lagi ya, Agh?”
“Iya, semangaaat!”
Damar mengangguk, “Makasih ya sekali lagi warnanya.”
“Iyaa sama-sama!!” balas Aghniya. Sementara Damar hanya tersenyum gemas, kemudian benar-benar pergi.
Damar tertawa dalam hati, gadis itu rupanya tak mendengarnya dengan jelas. Karena sebelum ia pergi, Damar tak berterima kasih untuk pensil warna yang ia pinjam.
“Ayok sekali lagi yuk latihann. Full yee, dari awal sampe akhir,” ucap Yuna yang disambut dengan keluhan para anggotanya yang sudah lelah.
“Separo, deh, Kakk, separooo,” pinta Nadia.
“Enak aja lu separo, sampe abis sampe abis. Bangun, Nad!” balas Yuna. Meskipun ramah dan asik diajak bercanda, Yuna tetaplah ketua yang tegas dan bisa diandalkan ketika waktunya berperan.
“Ayooo! Makin cepet bangun makin cepet pulang,” ucap Yuna lagi, masih menggembar-gemborkan anggotanya yang masih bermalas-malasan di lantai pendopo.
“Ayo nih jamet dua, buruan!”
“Ya Allahh dikata jamet,” ucap Aghniya. “Tau Kak Yuna, nggak ada yang bagusan apa?” timpal Ayesha.
“Lah lo kan berdua kalo panggil-panggilan mat met mat met, jamet kan?” tanya Yuna sambil tertawa.
“Salah, bukan jamet ye, Met?” tanya Ayesha pada Aghniya. “Iya bukan. Met tuh maksudnya mate.”
“Hah serius?” tanya Yuna.
“Kagak sih, bener jamet tapi tadi alesan biar keren aja,” sahut Aghniya kemudian tertawa bersama Ayesha dan Yuna.
“Ayok, barisss, ah!” titah Yuna lagi. Kemudian para anggotanya mulai berbaris dan mereka berlatih untuk terakhir kali di hari itu.
“Dhimas nggak bener anjay gue tadi kosong padahal, kagak dioper.”
Futsal telah usai, sekarang tiba waktunya evaluasi pemain. Semua anggota futsal itu duduk melingkar di lapangan dengan wajah penuh keringat dan baju yang basah. Mereka bahkan kompak mengipasi dirinya sendiri tanpa perlu janjian.
Dhimas tertawa, “BAHAHAHAHAH, Gue nggak denger elu, Brooo, sorry sorry!“
“Tadi siapa anjir kesandung?” tanya Damar.
“GUAA BRENGSEK, KESANDUNG KAKI KIPER,” Dhimas menjawab penuh gairah.
Sementara yang menjadi kiper tadi hanya tertawa. “Gue mau ngambil bola anjir, kaki lo kenapa ikutan nyangsang di kaki guaa?”
“Wahahaha, udah lah. Berarti besok-besok yang penting liat kanan-kiri sih, jangan maen sendiri,” ucap Damar.
“Iyeee, udeh yuk balik. Udah sore ntar kita keburu diusir,” ucap Dhimas.
“Iya dah, cabut yak!”
“Yoo, tiati, Bre!” balas Dhimas.
“Lo langsung balik, Dhim?” tanya Damar. “Nunggu Aghni dulu, lo?”
“Balik dah, duluan ya!” ucap Damar. “Yooo, tiati.”
Damar berpisah dengan Dhimas yang memilih berjalan mendekati pendopo untuk menghampiri Aghniya. Damar berjalan keluar dengan ranselnya yang disampirkan pada bahu kanannya. Pria itu merogoh isi tasnya guna mencari kunci motor, namun seseorang menghalangi jalannya.
Damar mendongak, rupanya, lagi-lagi Revan. Damar mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa?”
Revan tertawa meremehkan. “Lo beneran suka sama Aghni ya? Gue liat-liat mantep juga cara lo. Ngajak dia jalan, but seriously, Taman Mini?”
“Urusannya sama lo? What's wrong with that place tho, we were having such a good time. Yang mungkin nggak pernah lo punya waktu lo masih sama dia?” sahut Damar.
Revan mendengus, “Oh, jadi bener, lo jalan sama dia?”
“Bener, terus kenapa?”
“Enggak, heran aja. Kok bisa tipe lo yang kayak dia?” ucap Revan.
“Gue juga heran, kok bisa lo sia-siain orang kayak dia?” balas Damar tak mau kalah.
“Lo belom liat aja, Dam, aslinya kayak gimana. Siap-siap, deh. Jangan kaget ya, gue udah ngasih lo warning nih,” ujar Revan. Setelahnya meninggalkan Damar sendirian.
“Lo tunggu depan aja situ, dah. Gue ambil motor,” ucap Dhimas. “Jangan lama-lama!” balas Aghniya.
Setelahnya gadis itu berjalan sendirian, dan menunggu di depan gerbang seraya menendang-nendang kerikil di jalanan dengan sepatu hitamnya. Hingga seseorang menabrak tubuhnya dari belakang dengan cukup keras, membuatnya sedikit limbung.
“Haii, duh, mau jatoh ya? Sorry, ya! Sengaja,” ucap Salsa. Gadis itu juga muncul sendirian kali ini, tanpa gerombolannya yang biasa mengikutinya kemana-mana.
“Demi Allahhhhh, mau ngapain lagi sih loooo?!” ucap Aghniya frustasi. Gadis itu menoleh ke arah gerbang, menghadapkan kehadiran Dhimas supaya bisa segera pergi menjauhi Salsa.
“Apa sih? Gue cuma mau ngajak ngobrol aja kok lo gitu banget?” ucap Salsa.
“Apaan lo ngajak ngobrol? Ngajak ribut iya!”
“Gue bakal terus-terusan ributin lo lah kalo lo masih deket-deket Damar!” sahut Salsa.
“IDIH RIBET BANGET! Ambil deh, Saaa. Ambil Damar ambill, gue capek. Terserah, lo mau jadian sama Damar, kek. Mau ngapain kek, gue nggak peduli! Gue capek berurusan sama lo yang terus-terusan nyuruh gue jauhin dia. Lo deketin aja sendiri sana deh, capek gue. Deketin dia sesuka lo, asal lo jangan ganggu gue lagi!”
Setelahnya Aghniya memilih meninggalkan Salsa dan menyusul Dhimas ke dalam. Salsa? Gadis itu tersenyum miring, kemudian mengeluarkan ponselnya yang sedari tadi tersimpan di dalam saku. Mematikan recorder yang sedari tadi menyala.
Kena lo!