raranotruru

Damar membuang ponselnya ke arah kasur. Kemudian mengusap wajahnya kasar setelah membaca pesan terakhir yang dikirimkan Dhimas. Perasaannya jadi tak karuan, Damar gelisah sendiri.

Ia menjatuhkan dirinya di kasur, menutup wajahnya dengan bantal. Memilih bersembunyi di sana, berteriak tak terdengar. Entah mengapa Damar jadi marah pada dirinya sendiri. Terutama ketika satu kalimat dari Dhimas merasuki pikirannya.

Lo sayang sama dia tapi lebih percaya Salsa aja udah salah, Dam.

Kalimat itu terasa seperti telapak tangan kekar milik Dhimas itu menamparnya secara langsung. Bagaikan lagu kegemarannya, kalimat itu terngiang di kepalanya.

Damar kembali duduk, kembali menyalakan ponselnya dan memilih membaca ulang pesan-pesan Aghniya yang selama ini ia abaikan dengan sengaja.

Gue salah ya?

Damar lagi pengen sendiri?

Take your timee, semoga cepat membaikk

Hello, Mr. Sun!

How was your dayy?

Maaf ganggu yaa

Dam maaf banget ya tapi, gue belom tau salah gue apa

TAPI I'LL FIGURE IT OUT I SWEAAARR!!!!

You're still my friend even if you don't want to consider me as one

Hatinya resmi mencelos membaca semua keceriaan gadis itu yang selalu terpancar melalui pesan-pesan singkatnya, yang selama ini Damar balas dengan satu atau dua kata, atau bahkan kata-kata yang menyakitkan. Belum lagi perlakuannya ketika berjumpa dengan Aghniya di sekolah.

Ingatannya kembali pada kejadian di tangga, saat keduanya pertama kali bertemu kembali setelah Damar menjauhinya. Aghniya menangis diam-diam, karenanya.

Kemudian ketika gadis itu berusaha menyerahkan map berisi absensi ekskul, Damar menolaknya dengan menuduhnya hanya beralasan ingin bertemu dengannya.

Dua kejadian berbeda, namun gadis itu tetap sama. Pada akhirnya Aghniya selalu kembali mendongak, menatapnya lurus tepat pada netra Damar yang selalu menatapnya tajam, setelahnya tersenyum meski matanya berkaca-kaca.

Terakhir, dalam ingatannya terputar kembali memori ketika Damar memperhatikan Aghniya dari jauh di tengah hujan deras yang mengguyur sekolah. Gadis itu menunggu sendirian di dekat pos satpam, tanpa seseorang yang menemani. Damar masih mengingat jelas raut wajah Aghniya yang gelisah menelepon seseorang, meminta untuk dijemput. Rasa bersalah menjadi semakin besar dalam relungnya ketika mengingat Aghniya begitu ketakutan kala petir menyambar.

Seharusnya, setidaknya, jika tidak mengantarnya pulang, Damar tidak meninggalkannya pulang.

Tak ada perasaan lain dalam hati Damar selain penyesalan. Damar merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Senjata makan tuan, ia sendiri yang berkata pada Revan bahwa Aghniya tidak seharusnya disia-siakan. Sekarang perkataannya berbalik menghunus dirinya sendiri.

Rasanya Damar ingin menangis. Kepalanya terasa penuh memikirkan bagaimana semuanya akan berjalan lebih baik jika ia menjelaskan pada Aghniya apa yang terjadi setiap kali gadis itu bertanya.

Damar kembali memberanikan diri membaca pesan dari Aghniya yang tersimpan di ponselnya. Pesan terakhir yang gadis itu kirimkan, adalah ucapan bela sungkawa atas kepergian bapak.

Gimana kabarnya? I'm really sorry for your loss. Damar kalo masih mau nangis gapapa nangis aja, take your time. Tapi jangan lupa bangkit lagi ya dam?

Kayak biasa, kalo damar butuh temen cerita you can always hit me up, i'll be here and i'm all ears

Cheer up damarr!! Here are some cling cling to lift you upp✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨

Damar memejamkan mata. Bahkan setelah ia mengusir gadis itu dari rumahnya, Aghniya tetap tak menyimpan dendam padanya. Gadis itu masih dengan sangat baik mengirimkan ucapan bela sungkawa dan kata-kata penyemangat untuknya. Jaminannya untuk selalu ada tentu tak pernah tertinggal.

Damar menyugar rambutnya frustasi. Berkali-kali dalam hatinya kembali ia sebut nama gadis yang selama ini berusaha ia jauhi, bahkan lupakan.

“Aghni, gue minta maaf..”

Persetan dengan kata tidak tahu diri, Damar mengetikkan pesan untuk Aghniya melalui ponselnya. Kemudian mengirimkannya.

Sekon berikutnya Damar menelungkupkan ponselnya di kasur seraya menunduk gelisah. Memikirkan bagaimana caranya ia harus meminta maaf pada Aghniya. Memikirkan cara untuk kembali meyakinkan Dhimas.

Meski belum yakin sepenuhnya bahwa Salsa berbohong mengenai rekaman itu, Damar merasa sudah tidak sanggup meneruskan amarahnya pada Aghniya. Selama ini Damar tahu, ia sama saja menyakiti dirinya sendiri. Terlebih gadis itu.

Damar menoleh cepat ketika merasakan getaran yang berasal dari ponselnya. Aghniya kah yang membalas pesannya? Secepat itu? Bukankah gadis itu sedang sakit dan dirawat?

Helaan napas kecewa terdengar seketika setelah Damar mengetahui siapa pengirim pesan itu. Bukan Aghniya, namun Salsa yang menagih janjinya untuk menemaninya pergi. Terpaksa, Damar bergegas. Siapa tahu hari ini ia bisa bertanya mengenai rekaman itu. Semoga.

Dhimas melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Berdasarkan informasi yang ia gali lagi dari Aji, kamar tempat sahabatnya dirawat itu terletak di lantai empat kamar nomor 432.

Setelah menemukan kamar dengan nomor yang sesuai, Dhimas mengetuk pintu kemudian bergegas masuk. Di pojok ruangan yang berdekatan dengan jendela, Dhimas menemukan Ayna. Dengan segera pemuda itu mempercepat langkahnya dan menghampiri Ayna.

“Bunay, assalamu'alaikum,” ucapnya seraya mencium tangan Ayna. Ayna tersenyum menyambut Dhimas dengan mengusap kepala pemuda yang lebih tinggi darinya itu.

“Ehh, Dhimas. Wa'alaikumussalam. Duh, repot-repot ke sini,” balas Ayna.

“Aah, waktu Mama sakit juga Aghni sama Om Aji repot-repot jenguk. Gantian lah, lagian nggak repot kok. Dhimas nggak bawa apa-apa, Bun, maaf yaa.”

“Nggak pa-paa. Mau ke sini aja udah terima kasih banget,” balas Ayna. “Itu anaknya baru tidur tapi. Abis minum obat.”

“Ohh, iya nggak pa-pa, Bun. Bunay mau pulang dulu nggak? Nggak pa-pa biar Dhimas gantiin dulu di sini?” tawar Dhimas.

“Enggak, enggak. Bunay nanti pulang kalo udah ada Om Aji aja.”

“Oh iya, Om Aji ke mana emang?” tanya Dhimas seraya celingak-celinguk mencari keberadaan Aji.

“Om Aji lagi balik ke kantor, lupa katanya ada jadwal meeting. Nggak bisa izin, soalnya Om Danny kan lagi nggak di sini, lagi di rumah istrinya,” balas Ayna.

“Oooh iya ya. Ya Bunay siapa tau mau makan dulu gitu? Udah makan belom, Bun?”

“Belom sih.. dari tadi nggak bisa ninggalin Aghni.”

“Ya udah, makan dulu aja. Aghni biar Dhimas yang jagain di sini. Nanti kalo ada apa-apa Dhimas telepon Bunay,” saran Dhimas.

“Bener nggak pa-pa?”

“Iyaa, beneran,” jawab Dhimas.

“Kamu udah makan? Bunay beliin sekalian ya?” tawar Ayna.

Dhimas terkekeh, “Udahh, Dhimas udah makan tadi di sekolah. Bunay aja yang makan.”

“Boong nihh, camilan ya camilan ya? Roti? Bunay beliin pokoknya nanti harus dimakan. Bunay sekalian mau beli buat Om Aji sama Aghni soalnya. Nggak doyan makanan rumah sakit dia,” celoteh Ayna.

“Emang nggak enak, Bun. Dhimas waktu mau makan makanan Mama aja nggak jadi, nggak enak,” ucap Dhimas.

Ayna tertawa. Wanita itu kini merogoh tasnya, memeriksa apakah dompet dan ponselnya ada di sana. Setelahnya kembali menatap Dhimas. “Ini beneran nggak pa-pa Dhimas di sini terus Bunay tinggal?”

“Nggak pa-pa, Bunay. Tenang aja,” balas Dhimas. “Ya udah, sebentar ya Sayang yaa,” ucap Ayna.

“Iyaa, Bunay.”

Ayna baru saja ingin meninggalkan ruangan, namun wanita itu berbalik lantaran mengingat sesuatu. Dhimas mengangkat dagunya sigap menanggapi ucapan Ayna yang akan meluncur.

“Kenapa, Bun? Ada yang ketinggalan?” tanya Dhimas.

“Emm, Bunay mau nanya. Tapi, Dhimas jangan bilang Om Aji ya? Jangan sampe ketauan Om Aji,” ujar Ayna.

Dhimas menautkan alisnya, “Nanya apa, Bun?”

“Emangnya Aghni lagi ada masalah ya sama Damar?” tanya Ayna dengan raut wajah khawatir.

“Hah? Nggak tau deh. Aghni nggak cerita apa-apa sih, Bun. Emangnya kenapa?” Dhimas bertanya balik. Pria itu benar-benar bingung, ia sama sekali tak menyangka Ayna akan bertanya seperti ini. Pasalnya, jika ada masalah apapun, gadis itu tak pernah absen memberitahunya.

“Dari tadi pagi kan demamnya tinggi kan, jadi Aghni tidur terus gitu. Tapi dia sering ngigo gitu, Dhim. Setiap ngigo itu pertanyaannya selalu sama. Damar masih marah ya, Bun? gitu. Bunay kan nggak tau apa-apa, makanya Bunay nanya Dhimas,” jelas Ayna.

Dhimas menatap Ayna semakin bingung. “Nanti Dhimas cari tau deh ya, Bun? Kayaknya Aghni belom sempet cerita.”

Ayna menghela napasnya, “Gitu ya? Ya udah deh. Bunay nggak perlu tau juga sih, cuma penasaran aja. Soalnya dia nanyain itu terus. Tapi ya udah kalo Dhimas nggak tau, yang penting jangan ketauan Om Aji ya?”

“Iya, Bun.”

“Ya udah, Bunay tinggal dulu,” ucap Ayna.

“Iya, Bun. Hati-hati.”

Aghniya mengerjapkan matanya. Gadis itu baru saja membuka matanya dan yang ia rasakan adalah kondisi badannya yang semakin tidak enak. Dirinya semakin lemas, hingga rasanya tak sanggup bangkit dari tempat tidur dan ia hanya ingin tidur seharian. Ia menyipitkan matanya menatap jam dinding di kamarnya, pukul empat pagi. Pantas saja alarmnya belum berbunyi, pantas saja kedua orang tuanya belum membangunkannya.

Gadis itu menarik selimutnya lebih tinggi lantaran merasa sangat dingin. Padahal, AC kamarnya itu berada pada temperatur seperti biasa, di luar pun tidak hujan. Namun, gadis itu meringkuk kedinginan.

Sebisa mungkin, Aghniya mempertahankan kesadarannya, berusaha agar tidak kembali tertidur agar tidak kesiangan untuk salat subuh. Tiba-tiba air matanya menetes. Gadis itu memegang lehernya sendiri, mengecek suhu tubuhnya yang ternyata sangat panas. Pantas saja kepalanya terasa berat sejak awal membuka mata tadi.

Baru saja gadis itu ingin memberi dirinya sendiri keringanan untuk kembali tidur, azan subuh berkumandang. Pada akhirnya Aghniya memutuskan untuk bangkit pelan-pelan. Pemandangan yang ia temukan selanjutnya adalah seluruh isi kamarnya berputar-putar. Kepalanya pusing bukan main. Gadis itu memejamkan matanya, duduk sejenak di atas tempat tidurnya. Berharap penglihatannya tak lagi berputar.

Selang beberapa lama, setelah ia merasa sedikit membaik, Aghniya berjalan dengan langkah tertatih untuk mengambil wudu dan melaksanakan ibadahnya. Tentu saja gadis itu mengambil langkah pelan, berusaha tidak berisik agar tidak menggangu kedua orang tuanya yang masih beristirahat. Ia paham, mereka pasti jauh lebih lelah dari dirinya. Kedua orang tuanya pantas mendapatkan waktu istirahat lebih lama.


Seperti biasa, Ayna bergegas melangkah ke kamar Aghniya guna membangunkannya untuk salat subuh dan bersiap untuk sekolah. Kening wanita itu berkerut lantaran yang ia temukan adalah anak gadisnya tengah terduduk di lantai dengan tubuh yang bersandar pada tempat tidurnya. Bahkan mukenanya belum terlepas.

“Aghni? Kamu udah bangun sayang? Tumben?” ucap Ayna seraya terus berjalan mendekati anaknya. Senyumnya mengembang ketika mendapati rupanya Aghniya tertidur.

Ayna memegang pundak Aghniya dan mengguncangnya perlahan, “Aghni, bangun sayang. Sekolah, yuk?”

Tak ada respon, Aghniya masih tertidur dengan posisinya yang terduduk di lantai. Kemudian Ayna memutuskan untuk menoel pipi Aghniya, caranya membangunkan Aghniya seperti biasa. Sekon berikutnya Ayna membulatkan matanya lebar lantaran merasakan suhu panas dari kulit anaknya.

“Astaghfirullah, Aghni! Bangun dulu sayang! Kok badannya panas giniii?”

Suara pekikan Ayna membuat Aghniya mengerjapkan matanya. Raut wajahnya lesu dengan matanya yang sayu.

“Pusing, Bun..”

“Iya iya, ya Allah. Buka dulu sini mukenanya. Tiduran lagi aja, sebentar Bunay panggil Papa.”

Aghniya hanya pasrah, membiarkan ibunya membantunya membukakan mukenanya dan melipatkannya kembali. Memang itu yang ia butuhkan. Setelahnya Ayna membantunya kembali naik ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Ayna menyelimutinya sebatas leher. Kemudian memegang kening anaknya sekali lagi, memastikan kebenaran suhu panas yang memancar dari kulit anaknya. Rupanya suhu itu masih sama. Aghniya benar-benar sakit.

“Tunggu ya, Bunay panggil Papa,” ujar Ayna. Baru saja wanita itu ingin bergegas memanggil Aji, pria itu sudah muncul dengan sendirinya di depan pintu kamar Aghniya.

“Ay, anduk aku mana?” tanya Aji.

Bukannya menjawab pertanyaannya, Ayna malah memberitahukannya informasi lain. “Mas, badannya Aghni panas banget!” ujar Ayna panik.

“Hah?” Aji ikut panik. Bahkan kantuknya yang sedari tadi masih bersisa itu lenyap seketika. Kemudian Aji bergegas menghampiri Ayna dan turut mengecek kondisi Aghniya.

“Kok bisa sih? Aghni apa yang dirasain, Sayang?” tanya Aji.

“Pusing. Pegel-pegel. Muter semua, Paa, takut jatoh,” jawab Aghniya dengan suara serak yang nyaris hilang.

“Ay, kompres dulu deh. Terus kamu beliin bubur buat sarapan biar bisa minum obat. Nanti aku yang buat surat buat izin ke sekolahnya,” titah Aji. Kemudian Ayna mengangguk, memutuskan untuk menuruti perkataan suaminya.


Hari semakin siang. Sudah pukul sembilan pagi dan Ayna masih mengurusi Aghniya yang terbaring lesu di tempat tidurnya. Selimutnya masih setia menghangatkan tubuhnya yang menggigil pada pagi hari yang penuh sinar matahari.

Ayna masih mengompres Aghniya dengan kain basah dan jeruk nipis, berharap suhu tubuh anaknya itu kembali normal atau setidaknya turun sedikit. Namun, tindakannya itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Panas Aghniya justru semakin tinggi hingga gadis itu sama sekali tidak nyenyak dalam tidurnya padahal sudah meminum obat.

Sesekali gadis itu mengigau dalam tidurnya. Membuat kening Ayna mengkerut sekaligus hatinya mencelos.

“Bun..”

“Iya sayangg, kenapa? Mau apa?” Ayna menjawab Aghniya penuh perhatian meski mata gadis itu terpejam.

“Bunay..”

“Iya sayang, ini Bunay di sini nih, nggak ke mana-mana kok,” jawab Ayna lagi. Wanita itu kini menggenggam tangan Aghniya yang juga terasa panas. Mengelusnya perlahan, memberinya bukti bahwa ia Ayna ada di sampingnya.

Setelahnya tak ada jawaban, Aghniya kembali melanjutkan tidurnya. Igauannya itu berhenti sejenak.

Ayna menghela napasnya, kemudian mengusap-usap kening anaknya dengan penuh kasih sayang. Berharap tindakannya itu bisa membantu Aghniya jatuh ke dalam tidur yang lebih lelap.

Ayna melirik jam dinding di kamar Aghniya. Pukul setengah sepuluh. Bahkan ia belum sempat mengurus dirinya sendiri. Sedari tadi Ayna tak beranjak dari kamar Aghniya. Wanita itu hanya pergi sebentar guna mengambil air kompresan atau menggantinya dengan yang baru, setelahnya kembali menetap di kamar Aghniya guna memastikan anaknya baik-baik saja. Belum sempat mandi, belum sempat makan. Fokus utamanya adalah Aghniya yang bagaimanapun caranya, harus kembali sehat.

Lamunan Ayna terpecah ketika Aghniya kembali memanggilnya. Kini mata gadis itu sedikit terbuka meski masih menyipit menahan sakit yang berasal dari kepalanya.

“Kenapa, Sayang?”

“Papa?”

“Papa kan kerja,” jawab Ayna.

“Aghni mau sekolah.”

“Nanti yaa, sembuh dulu. Emangnya kuat kalo sekolah? Katanya tadi Aghni pusing?” jawab Ayna lagi. Sebisa mungkin wanita itu menahan tangisnya seraya terus menjawab ucapan anaknya yang entah benar pertanyaan atau sekadar igauan.

“Bun, muter..”

“Iyaa, tidur lagi tidur lagi.”

“Bun..”

“Iyaa?”

“Damar masih marah ya?”

“Hm? Bunay nggak tau, Sayang. Nanti Bunay tanyain yaa. Udah Aghni tidur yaa, biar nggak pusing.”

Setelahnya Ayna memutuskan untuk menghubungi Aji. Aghniya harus benar-benar dibawa ke dokter.

Seperti hari-hari kemarin yang semakin kelabu tanpa bapak, Damar memilih duduk menyamping di jendela kamarnya dengan memeluk sebelah kakinya yang tidak ia jadikan penyangga. Sesekali Damar memejamkan matanya, berusaha menikmati suasana meski angin sore yang menyapu wajahnya kala itu membuat kehilangannya akan bapak semakin terasa.

Sekon berganti menit, hingga jam berganti hari, cahayanya belum kembali. Damar masih gemar menyendiri di kamarnya yang kian tak terurus. Masih setia meladeni gumpalan emosi dalam relungnya. Masih setia membaca buku harian bapak yang syukurnya, masih sempat bapak titipkan pada ibu sebelum beliau pamit.

Hari ini Mas Damar masuk SMA. Waktu berjalan cepat sekali rupanya. Semoga menjadi anak baik.

Mas Damar punya teman baru katanya. Namanya Haris dan Jauzan. Semoga berteman semakin erat dan punya banyak teman lagi.

Teman Mas Damar bertambah satu, namanya Dhimas. Semoga Mas Damar tidak pernah kesepian.

Hari ini Mas Damar punya teman baru lagi. Perempuan, tapi nggak mau beri tahu namanya katanya. Kata Mas Damar, pokoknya cantik.

Hari ini berbincang dengan Mas Damar. Lagi jatuh cinta kayaknya, sampai jatuh dari tempat tidur.

Mas Damar hari ini izin belajar bersama. Belajar Fisika katanya. Tumben, padahal bisa belajar sama bapaknya sendiri. Nggak apa lah, biar sesekali mengenal dunia luar. Semoga selalu ingat pulang.

Mas Damar semakin berani akan perasaannya. Hari ini pergi dengan pujaan hatinya, ke Taman Mini. Memang dasar remaja, tak perlu yang mewah asalkan berdua. Cantik katanya, baik pula hatinya. Namanya Aghniya Zhafira. Semoga perasaan Mas Damar terbalas dan bahagia. Sampaikan salam bapak untuknya, Mas.

Hari ini berbincang dengan Mas Damar. Perihal arwana. Ku sampaikan juga pesan dan harapan untuknya. Semoga Mas Damar sehat dan bahagia selalu, dengan atau tanpa aku.

“Mas Damar,” panggil ibu. “Ibu ketuk pintu dari tadi, nggak denger ya?”

Damar mengerjapkan matanya, setelahnya menghela napasnya. Ia menutup buku harian bapak dan meletakkannya kembali di meja belajarnya. Kemudian memilih turun dari jendela kamarnya dan duduk di kasur.

Ibu turut menghela napas, “Makan yuk?”

“Duluan aja, Bu. Damar nanti aja,” balas Damar seraya tersenyum tipis.

“Ibu maunya makan sama Mas Damar. Dari kemaren Ibu makan sendirian terus. Mas Damar lagi jauhin Ibu kah?”

Pemuda itu menggeleng menjawab pertanyaan sang ibu, “Enggak. Damar lagi pengen sendiri aja.”

“Mas Damar sehat kan?”

“Sehat,” balas Damar.

“Hatinya sehat?”

Damar terdiam mendengar pertanyaan ibu. “Emang ibu sehat? Ibu emang udah nggak pa-pa?”

Ibu mengulas senyum manisnya. Kemudian berjalan menghampiri Damar. “Mas, sedih itu boleh. Tapi jangan berlarut-larut begini. Bapak kalo tau juga nggak suka loh,” ucapnya seraya mengusap kepala Damar lembut.

Ibu mengambil tempat di sebelah Damar. Tangan halusnya itu merangkul Damar ke dalam pelukannya. “Mas Damar tau nggak? Setiap hari Bapak kerjanya ngomongin Mas Damar terus. Bapak sayang banget sama Mas Damar. Dari Mas Damar masih di perut Ibu, sampe sekarang udah sebesar ini. Bapak sayang Mas Damar, selalu.”

Netra ibu berkaca-kaca seiring bibirnya memulai cerita, pun netra milik Damar yang mewarisi teduhnya netra bapak. “Dulu Bapak yang paling semangat bikin foto album, katanya biar selalu bisa liat perkembangan Mas Damar. Setiap liat album foto kita, Bapak cuma bilang satu. Mas Damar selalu hebat dari dulu, jagoannya Bapak.”

Damar mulai menangis, tetapi ibu membiarkan. Ibu paham, ada tangis anaknya yang tertunda lantaran harus bersikap kuat demi dirinya tempo hari. Kali ini, biarlah perannya kembali seperti semula. Menjadi seorang anak yang bagaimanapun selalu butuh kembali pada pelukan ibu. Menangis dan merengek seperti yang biasa dilakukan ketika bayi. Kemudian kembali tenang ketika usapan lembut ibu menyapu kulit.

“Dulu, waktu Mas Damar mau lahir, Bapak cuma nyiapin satu nama. Yudhistira Damar, nggak mau yang lain. Tau kenapa?” tanya ibu. Damar menggeleng pelan dengan air mata yang kini membasahi pipinya.

“Kalo dalam bahasa Jawa, Damar itu cahaya, Mas. Cahaya dari lampu lilin. Tapi Mas Damar tau kan, cahaya lilin itu kadang goyah, rawan sekali padam. Makanya, Bapak menggabungkan dengan Yudhistira, yang artinya teguh. Bapak mau punya Yudhistira Damar dalam keluarganya. Bapak mau punya cahaya di keluarganya, dari damar, dari Mas Damar,” ujar ibu.

“Dulu Bapak diejek orang, kenapa namain anaknya Damar. Padahal kalau pengen cahaya, ada Surya yang artinya matahari, atau Chandra yang artinya bulan. Tapi Bapak nggak pernah marah, Bapak percaya diri dengan Yudhistira Damar. Katanya biarpun kecil dan nggak seterang sumber cahaya lain, damar itu yang paling dicari di tengah kegelapan. Harapan Bapak, biarpun kecil, semoga selalu teguh mengusir gelap di tengah keluarganya,” lanjut ibu.

“Tapi, kalo Mas Damar kayak gini-” ucapan ibu terjeda dengan isak tangisnya sendiri. Rupanya ibu pun sama seperti Damar. Belum bisa kuat sepenuhnya tanpa bapak.

“Kalo Mas Damar kayak gini, ibu punya cahaya dari mana, Mas?” tanya ibu. Sekon berikutnya, tangis keduanya pecah. Damar bersembunyi di dalam pelukan ibu, bahunya bergetar hebat mengeluarkan tangis yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Hari ini baik Damar maupun ibu, keduanya tidak lagi memperlihatkan pertahanannya pada dunia. Ibu dan Damar kembali menjadi diri sendiri. Yang masih perlu menangis hebat dan menjadi lemah akibat kehilangan.

Ibu mengusap air matanya sendiri, kemudian meredakan tangisnya. Kedua tangan lembutnya menangkup wajah Damar yang semakin tidak karuan. Kantung hitam melingkari matanya yang juga sembab, pipinya semakin tirus akibat selalu melewati waktu makan, serta sorot matanya yang menatap tak minat pada dunia.

“Bangkit ya, Mas? Mas Damar masih punya Ibu. Ibu masih punya Mas Damar,” ucap ibu. “Tetep jadi damar-nya Ibu, ya Sayang ya?”

Dengan tangis yang sudah ia kendalikan sendiri, Damar mengangguk. Ibu tersenyum tipis, “Ibu tunggu di luar ya, kita makan. Mas Damar dari kemarin nggak makan liat nih, badannya makin kurus. Jelek.”

Damar memaksakan sebuah senyum menjawab ibu. Setelahnya ia mengangguk, membuat ibu membuktikan ucapannya dengan menunggu di luar. Damar memejamkan matanya setelah suara pintu kembali tertutup rapat. Kembali menyelesaikan tangis hingga dirinya benar-benar lega.

Rupanya bapak selalu menginginkan dirinya menjadi cahaya dalam keluarga kecilnya. Tetapi Damar lupa, akan jati dirinya. Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Cahaya yang diharapkan tak pernah redup oleh ibu bapak. Namun pada akhirnya redup, bahkan mati, setelah bapak diharuskan pergi.

Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Selalu menyala menyinari keluarga kecil mereka yang hangat. Selalu menyala mewakili harapan ibu bapak yang sama terangnya.

Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Namun perginya bapak yang menghadiahinya kesedihan mendalam bagai air dingin yang mematikannya dengan sekali guyur.

Namun hari ini, ibu adalah sumbu tempatnya menyala. Damar tersadar ia sudah terlalu larut dalam kesedihan hingga lupa cara untuk bangkit. Damar membuang napasnya, membuang pula semua perasaan berat dalam hatinya. Supaya lapang, dan bisa dengan ikhlas melepas kepergian bapak. Supaya tenang bagi dirinya, ibu, dan bapak.

Damar mengusap wajahnya, menghapus sisa-sisa air mata yang meninggalkan jejak di pipinya. Pemuda itu menatap buku harian bapak sekali lagi. Catatannya terhenti pada ketika keduanya berbincang soal arwana hari itu. Damar tersenyum lembut, kemudian mengambil pulpen miliknya di meja belajar. Hari ini, biarlah menjadi gilirannya menulis cerita pada bapak. Setidaknya hingga dirinya bertemu kembali dengan bapak.

Hari ini, kembali menyala. Untuk Ibu, untuk Bapak, untuk diri sendiri

— Yudhistira Damar Damar-nya Bapak Ibu

Seperti hari-hari kemarin yang semakin kelabu tanpa bapak, Damar memilih duduk menyamping di jendela kamarnya dengan memeluk sebelah kakinya yang tidak ia jadikan penyangga. Sesekali Damar memejamkan matanya, berusaha menikmati suasana meski angin sore yang menyapu wajahnya kala itu membuat kehilangannya akan bapak semakin terasa.

Sekon berganti menit, hingga jam berganti hari, cahayanya belum kembali. Damar masih gemar menyendiri di kamarnya yang kian tak terurus. Masih setia meladeni gumpalan emosi dalam relungnya. Masih setia membaca buku harian bapak yang syukurnya, masih sempat bapak titipkan pada ibu sebelum beliau pamit.

Hari ini Mas Damar masuk SMA. Waktu berjalan cepat sekali rupanya. Semoga menjadi anak baik.

Mas Damar punya teman baru katanya. Namanya Haris dan Jauzan. Semoga berteman semakin erat dan punya banyak teman lagi.

Teman Mas Damar bertambah satu, namanya Dhimas. Semoga Mas Damar tidak pernah kesepian.

Hari ini Mas Damar punya teman baru lagi. Perempuan, tapi nggak mau beri tahu namanya katanya. Kata Mas Damar, pokoknya cantik.

Hari ini berbincang dengan Mas Damar. Lagi jatuh cinta kayaknya, sampai jatuh dari tempat tidur.

Mas Damar hari ini izin belajar bersama. Belajar Fisika katanya. Tumben, padahal bisa belajar sama bapaknya sendiri. Nggak apa lah, biar sesekali mengenal dunia luar. Semoga selalu ingat pulang.

Mas Damar semakin berani akan perasaannya. Hari ini pergi dengan pujaan hatinya, ke Taman Mini. Memang dasar remaja, tak perlu yang mewah asalkan berdua. Cantik katanya, baik pula hatinya. Namanya Aghniya Zhafira. Semoga perasaan Mas Damar terbalas dan bahagia. Sampaikan salam bapak untuknya, Mas.

Hari ini berbincang dengan Mas Damar. Perihal arwana. Ku sampaikan juga pesan dan harapan untuknya. Semoga Mas Damar sehat dan bahagia selalu, dengan atau tanpa aku.

“Mas Damar,” panggil ibu. “Ibu ketuk pintu dari tadi, nggak denger ya?”

Damar mengerjapkan matanya, setelahnya menghela napasnya. Ia menutup buku harian bapak dan meletakkannya kembali di meja belajarnya. Kemudian memilih turun dari jendela kamarnya dan duduk di kasur.

Ibu turut menghela napas, “Makan yuk?”

“Duluan aja, Bu. Damar nanti aja,” balas Damar seraya tersenyum tipis.

“Ibu maunya makan sama Mas Damar. Dari kemaren Ibu makan sendirian terus. Mas Damar lagi jauhin Ibu kah?”

Pemuda itu menggeleng menjawab pertanyaan sang ibu, “Enggak. Damar lagi pengen sendiri aja.”

“Mas Damar sehat kan?”

“Sehat,” balas Damar.

“Hatinya sehat?”

Damar terdiam mendengar pertanyaan ibu. “Emang ibu sehat? Ibu emang udah nggak pa-pa?”

Ibu mengulas senyum manisnya. Kemudian berjalan menghampiri Damar. “Mas, sedih itu boleh. Tapi jangan berlarut-larut begini. Bapak kalo tau juga nggak suka loh,” ucapnya seraya mengusap kepala Damar lembut.

Ibu mengambil tempat di sebelah Damar. Tangan halusnya itu merangkul Damar ke dalam pelukannya. “Mas Damar tau nggak? Setiap hari Bapak kerjanya ngomongin Mas Damar terus. Bapak sayang banget sama Mas Damar. Dari Mas Damar masih di perut Ibu, sampe sekarang udah sebesar ini. Bapak sayang Mas Damar, selalu.”

Netra ibu berkaca-kaca seiring bibirnya memulai cerita, pun netra milik Damar yang mewarisi teduhnya netra bapak. “Dulu Bapak yang paling semangat bikin foto album, katanya biar selalu bisa liat perkembangan Mas Damar. Setiap liat album foto kita, Bapak cuma bilang satu. Mas Damar selalu hebat dari dulu, jagoannya Bapak.”

Damar mulai menangis, tetapi ibu membiarkan. Ibu paham, ada tangis anaknya yang tertunda lantaran harus bersikap kuat demi dirinya tempo hari. Kali ini, biarlah perannya kembali seperti semula. Menjadi seorang anak yang bagaimanapun selalu butuh kembali pada pelukan ibu. Menangis dan merengek seperti yang biasa dilakukan ketika bayi. Kemudian kembali tenang ketika usapan lembut ibu menyapu kulit.

“Dulu, waktu Mas Damar mau lahir, Bapak cuma nyiapin satu nama. Yudhistira Damar, nggak mau yang lain. Tau kenapa?” tanya ibu. Damar menggeleng pelan dengan air mata yang kini membasahi pipinya.

“Kalo dalam bahasa Jawa, Damar itu cahaya, Mas. Cahaya dari lampu lilin. Tapi Mas Damar tau kan, cahaya lilin itu kadang goyah, rawan sekali padam. Makanya, Bapak menggabungkan dengan Yudhistira, yang artinya teguh. Bapak mau punya Yudhistira Damar dalam keluarganya. Bapak mau punya cahaya di keluarganya, dari damar, dari Mas Damar,” ujar ibu.

“Dulu Bapak diejek orang, kenapa namain anaknya Damar. Padahal kalau pengen cahaya, ada Surya yang artinya matahari, atau Chandra yang artinya bulan. Tapi Bapak nggak pernah marah, Bapak percaya diri dengan Yudhistira Damar. Katanya biarpun kecil dan nggak seterang sumber cahaya lain, damar itu yang paling dicari di tengah kegelapan. Harapan Bapak, biarpun kecil, semoga selalu teguh mengusir gelap di tengah keluarganya,” lanjut ibu.

“Tapi, kalo Mas Damar kayak gini-” ucapan ibu terjeda dengan isak tangisnya sendiri. Rupanya ibu pun sama seperti Damar. Belum bisa kuat sepenuhnya tanpa bapak.

“Kalo Mas Damar kayak gini, ibu punya cahaya dari mana, Mas?” tanya ibu. Sekon berikutnya, tangis keduanya pecah. Damar bersembunyi di dalam pelukan ibu, bahunya bergetar hebat mengeluarkan tangis yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Hari ini baik Damar maupun ibu, keduanya tidak lagi memperlihatkan pertahanannya pada dunia. Ibu dan Damar kembali menjadi diri sendiri. Yang masih perlu menangis hebat dan menjadi lemah akibat kehilangan.

Ibu mengusap air matanya sendiri, kemudian meredakan tangisnya. Kedua tangan lembutnya menangkup wajah Damar yang semakin tidak karuan. Kantung hitam melingkari matanya yang juga sembab, pipinya semakin tirus akibat selalu melewati waktu makan, serta sorot matanya yang menatap tak minat pada dunia.

“Bangkit ya, Mas? Mas Damar masih punya Ibu. Ibu masih punya Mas Damar,” ucap ibu. “Tetep jadi damar-nya Ibu, ya Sayang ya?”

Dengan tangis yang sudah ia kendalikan sendiri, Damar mengangguk. Ibu tersenyum tipis, “Ibu tunggu di luar ya, kita makan. Mas Damar dari kemarin nggak makan liat nih, badannya makin kurus. Jelek.”

Damar memaksakan sebuah senyum menjawab ibu. Setelahnya ia mengangguk, membuat ibu membuktikan ucapannya dengan menunggu di luar. Damar memejamkan matanya setelah suara pintu kembali tertutup rapat. Kembali menyelesaikan tangis hingga dirinya benar-benar lega.

Rupanya bapak selalu menginginkan dirinya menjadi cahaya dalam keluarga kecilnya. Tetapi Damar lupa, akan jati dirinya. Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Cahaya yang diharapkan tak pernah redup oleh ibu bapak. Namun pada akhirnya redup, bahkan mati, setelah bapak diharuskan pergi.

Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Selalu menyala menyinari keluarga kecil mereka yang hangat. Selalu menyala mewakili harapan ibu bapak yang sama terangnya.

Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Namun perginya bapak yang menghadiahinya kesedihan mendalam bagai air dingin yang mematikannya dengan sekali guyur.

Namun hari ini, ibu adalah sumbu tempatnya menyala. Damar tersadar ia sudah terlalu larut dalam kesedihan hingga lupa cara untuk bangkit. Damar membuang napasnya, membuang pula semua perasaan berat dalam hatinya. Supaya lapang, dan bisa dengan ikhlas melepas kepergian bapak. Supaya tenang bagi dirinya, ibu, dan bapak.

Damar mengusap wajahnya, menghapus sisa-sisa air mata yang meninggalkan jejak di pipinya. Pemuda itu menatap buku harian bapak sekali lagi. Catatannya terhenti pada ketika keduanya berbincang soal arwana hari itu. Damar tersenyum lembut, kemudian mengambil pulpen miliknya di meja belajar. Hari ini, biarlah menjadi gilirannya menulis cerita pada bapak. Setidaknya hingga dirinya bertemu kembali dengan bapak.

Hari ini, kembali menyala. Untuk Ibu, untuk Bapak.

— Yudhistira Damar Damar-nya Bapak Ibu

Bohong, Aghniya tidak benar-pulang. Ia hanya menjauhi rumah Damar dan memutuskan untuk menunggu di sebuah pos yang terletak tak jauh dari sana. Memerhatikan pemuda itu dari jauh, menangkap semua gerak-gerik Damar. Aghniya hanya berharap Damar tidak sendirian hari itu, semoga pemuda itu masih memiliki seseorang untuk mendengar keluh kesahnya.

Aghniya melipat tangannya di depan dada, memandang sendu pada Damar yang berada beberapa meter di hadapannya. Aghniya menghela napasnya, sedih rasanya menjadi seseorang yang tidak diinginkan kehadirannya oleh orang yang selalu ia nantikan keberadaannya.

Damar memang menyuruhnya pulang, namun gadis itu sama sekali tidak menurutinya. Jika tidak bisa mendoakan dari dekat, paling tidak ia mendoakan dari jauh. Meskipun tak pernah bertemu, Aghniya hanya ingin memberikan penghormatan terakhir bagi bapak, serta empatinya pada keluarga Damar dengan turut datang ke rumah Damar untuk berbela sungkawa. Sebatas itu. Diterima atau tidak, ia tidak peduli.

Semua orang bergegas saat ini bergegas ke masjid untuk melakukan salat maghrib sekaligus salat jenazah. Aghniya tidak mengikuti. Gadis itu masih diam di tempatnya, hingga sebuah suara dari arah samping membuatnya terkejut.

“Bukannya udah diusir? Kok masih di sini?”

Aghniya menoleh, mendapati Revan yang menatapnya dengan senyum meledek. Gadis itu memutar matanya malas. Setelahnya memalingkan wajah, sama sekali tidak berminat untuk berbicara dengan Revan.

“Iss, jutek amat,” ucap Revan. Aghniya masih diam, tak menanggapi.

“Segitunya lo sama Damar? Sampe udah diusir aja masih ngeliatin dari sini?” tanya Revan.

Aghniya berdecak kesal, “Urusannya sama lo apa sih? Suasananya lagi kayak gini loh, lo masih nyari ribut banget?”

Revan terkekeh, “Enggak enggak. Gue nggak mau nyari ribut kok. Gue temenin ya? Nggak baik perempuan magrib-magrib begini sendirian.”

Gadis itu masih diam, memilih menganggap Revan tak ada di sebelahnya. Kemudian memilih duduk di pos. Revan pun menyusul duduk di sebelahnya, membuat Aghniya berdecak.

“Ngapain dahhhh?” ucap Aghniya kesal.

Revan terkekeh, “Enggak, heran aja lo segininya sama Damar?”

“Ya nggak tauu! Ribet banget sih lo lagian IH!”

Revan kembali tergelak, setelahnya pria itu menghela napasnya. “Iya deh, setelah dipikir-pikir lo bukan segininya sama Damar. Tapi lo emang selalu totalitas when it comes to your loved ones.”

Aghniya menoleh pada akhirnya. Sejujurnya ia sedikit terkejut dengan penuturan Revan. “Maksudnya?”

“Gue liat-liat lo lebih banyak diem deh belakangan ini. Gue jarang liat lo keluar kelas, ke kantin aja jarang. Lo jadi lesu gitu tiap hari. Se-suffer itu kah elo, Aghniya?”

“Nggak tau. Lo ngapain sihhh? Ribet dah!” balas Aghniya.

Revan tersenyum semakin lebar, “Enggak, enggak. Gue nyamperin lo bukan buat nyari ribut. Gue— mau minta maaf.”

Penurutan tak terduga dari Revan membuatnya menoleh, Aghniya menatap Revan dengan tatapan bingung. “Minta maaf?”

“Minta maaf kenapa?” tanya Aghniya. “Ya as you should sih, tapi is there any spesific reason?

“Kayaknya bakal panjang, lo mau ikut gue dulu nggak? Nanti gue anterin pulang,” ujar Revan.

“Dih? Apa banget,” ucap Aghniya.

“Serius loh, sumpah, lo boleh stand by pegang HP deh. Jadi kalo gue ngapa-ngapain lo, lo bisa telepon Dhimas langsung,” balas Revan berusaha meyakinkan. Mendengar nama Dhimas sebagai jaminan, pada akhirnya gadis itu mengiyakan.

“Salat dulu tapi baru pergi,” ucap Aghniya. “Iyaaa,” balas Revan.


Kini Aghniya dan Revan sudah berada di salah satu kafe terdekat dari daerah rumah Damar. Keduanya sudah melaksanakan salat magrib di salah satu masjid sekitar sana berkat permintaan Aghniya. Mereka duduk berhadapan dan sesuai perjanjian, Aghniya tak lepas dari ponselnya. Siap menghubungi Dhimas kapan saja.

“Damar lagi marah ya sama lo?”

Aghniya memandang Revan dengan tatapan tersinggung, “Tau dari mana lo?”

“Tau, laahhh!”

“Apaan sih, sok asik lo!”

“Dihhh lo galak banget sih sama gue?” ucap Revan tidak terima.

“Ngapa? Nggak terima?”

“Enggak.”

“Bodo amat.”

Revan terkekeh, rupanya gadis itu masih sama garangnya seperti yang selalu ia hadapi dulu, ketika keduanya merupakan sepasang kekasih.

“Gue tau, Agh, alesan Damar marah sama lo,” ucap Revan. Gadis itu terperangah meski sedikit tidak percaya.

“Sebenernya.. i-itu kerjaan gue sama Salsa. Salsa sih, itu idenya Salsa,” ucap Revan lagi. “Lo tau kan, Salsa juga suka sama Damar, dan dia sebenci itu sama lo. Makanya gue mau minta maaf.”

“Pertama, maaf karena bikin pertemanan lo sama Salsa hancur. Gue tau, gue awal mulanya kalian jadi kayak gini. Nggak seharusnya gue nyakitin kalian berdua dan bikin kalian saling benci kayak gini. Gue bener-bener minta maaf,” Revan masih bicara. Mulai menjelaskan maksudnya. Sementara Aghniya, tatapannya melunak, tak lagi memasang wajah garangnya pada pemuda di hadapannya.

“Kedua, gue minta maaf karena selama ini kata-kata gue selalu kasar ke lo. Maaf udah bikin lo sakit hati sama perbuatan gue di masa lalu sampe sekarang.”

“Tiga, gue minta maaf karena selama ini gue sekongkol sama Salsa buat misahin lo sama Damar,” ujar Revan. “Lo tau Agh? Gue nyesel. Banget. Orang kayak lo nggak seharusnya gue sia-siain. Sebenernya selama ini gue— masih sayang sama lo.”

Aghniya tertawa meremehkan, “Ngarang lo ya?”

Revan menggeleng tanpa ragu, “Enggak. Gue beneran masih sayang sama lo. Tapi, ngeliat lo bahagia banget dengan perasaan lo ke Damar, apalagi Damar yang juga memperlakukan lo dengan baik, sangat baik, bikin gue marah sama diri gue sendiri. Gue kesel, iri, pokoknya gue marah. Rasanya gue nggak terima karena ada orang yang bisa memperlakukan lo jauh lebih baik dari gue.”

“Mungkin lo nggak tau, tapi Damar juga selalu ngebelain lo kalo gue ngejelekin lo. Damar nggak pernah mau percaya kalo gue ngomongin hal-hal jelek tentang lo. Damar pernah nonjok gue, lo tau kan? Itu karena dia nggak terima gue ngatain lo, Agh.”

“Makanya, Salsa came up with this idea. Waktu Salsa nyamperin lo di depan gerbang dan dia nyuruh lo jauhin Damar, dia sebenernya rekam semua omongan lo, Agh. Terus dia edit sedemikian rupa sampe jadinya terdengar kalo lo nggak peduli sama Damar. Dan kesannya Salsa yang maksa lo untuk deketin Damar,” jelas Revan.

Aghniya menatap Revan tidak percaya, gadis itu kini nenutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Matanya kini berkaca-kaca, sejahat itu kah Salsa dan Revan?

“Kok— kok bisa?”

Revan mengangguk, “Gue tau, gue tau lo marah banget sama gue, sama Salsa gue tau. Lo berhak, Agh, tapi please dengerin gue dulu ya? Gue bakal bantu jelasin ke Damar dan—”

“Lo pikir Damar bakal segampang itu percaya sama lo?! Jahat ya lo berdua! Salah gue apa sih sama kalian?!” balas Aghniya menggebu-gebu. “Rekaman itu pasti udah dikirim ke Damar kan makanya dia marah banget sama gue?!”

“Lo tau nggak?! Berkali-kali gue mikirin salah gue apa, salah gue di mana, sampe pala gue mau pecah. Nggak taunya ini ulah lo sama Salsa? Udah gila lo?!”

“Aghni, dengerin gue dulu,” pinta Revan berusaha menenangkan.

“Nggak. Gue mau pulang.”

“Gue anter,” balas Revan.

“Nggak perlu, udah cukup. Gue nggak mau kenal lo lagi, Revan.”

Setelahnya gadis itu berlalu dengan langkah penuh kemarahan. Meninggalkan Revan sendirian merenungi kesalahannya.

“DAAAAM!!!!” panggil Ojan dengan riang kala mendapati Damar melangkah keluar rumah menghampiri mereka. Ojan lantas menarik Damar ke dalam pelukannya lebih dulu. Disusul Dhimas dan Haris yang juga turut melingkarkan tangannya memeluk Damar. Haris yang lebih tinggi menepuk-nepuk kepala Damar.

“Yang tabah ya, Dam. Turut berduka cita,” ucap Haris. Sementara Damar hanya menjawabnya dengan senyuman tipis.

Sorry agak lama ke sininya, nungguin Haris dulu tadi. Mandinya lama banget, ngapain sih lo Ris di kamar mandi? Mandi apa bangun candi?” ucap Dhimas, sengaja memancing tawa Damar.

“Mandi lahh, gue duduk di kursi selama sekolah aje encok gimane mau bangun candi?” jawab Haris.

“Haris mah mandinya luluran egee,” ucap Ojan.

“Kagak egee, Haris mandinya kan pake pasirr guling-guling,” sambung Dhimas.

“LO KENAPA JADI MIKIRIN GUE MANDI SIHHH?” jengkel Haris. Setelahnya keempatnya tertawa bersama. Tawa Ojan menguar paling keras, “Iya juga anjinggg ngapain yak?”

“Gue mandi pake kembang tujuh rupa sih, fyi,” ucap Haris. “Tai, mau melet siapa lo?”

“Ibu kantin, biar gue boleh ngutang,” balas Haris seraya terkekeh. “Yah anjing, lo nyindir gue kan pasti Ris?” tanya Ojan tak terima. Sementara yang lain hanya tertawa mendengar si spesialis ngutang itu menanggapi Haris.

Sedari tadi, Damar hanya menanggapi ucapan keempat temannya itu dengan senyum tipis. Sesekali tawa kecil lolos dari bibirnya lantaran tak lagi bisa menahan gurauan teman-temannya yang sering kali tak masuk akal. Namun, di situ letak lucunya. Damar bersyukur dalam hati karena Dhimas, Haris, dan Ojan sama sekali tidak membahas bapak. Mereka benar-benar hadir untuk menghiburnya dan menemaninya melewati masa sulit seperti hari ini. Dhimas, Haris, dan Ojan, sama sekali tidak menanyakan penyebab kematian bapak, kronologis ceritanya, atau kondisi ibu ketika mengetahui kabar ini. Mereka sama sekali tidak menanyakannya. Dan Damar sangat mensyukurinya, sebab hati dan bibirnya sudah lelah harus menceritakan kisah itu berulang kali pada setiap orang berbeda.

“Dam, sorry, mau dimakamin di mana?” tanya Haris. “Di luar kota apa gimana?” tanya Haris lagi, memperjelas maksud pertanyaannya.

“Di Jakarta kok, nggak di luar kota. Dimakamin di Layur, biar deket sama Kakek gue,” jawab Damar.

“Ohh, kalo gitu kita ikut ya, Dam? Kita bawa motor, kok,” ucap Ojan.

“Ya gue sih nggak masalah, cuma emang lo pada nggak capek? Besok sekolah,” balas Damar.

“Duh, lebih capek nungguin Haris mandi, Dam. Asli dah,” ujar Dhimas.

“Guaaa lagi,” protes Haris. Sementara ketiga temannya hanya terkekeh.

“Ya udah, nanti ikut aja,” ucap Damar. “Makasih ya, Bro.”

“Selaw, eh emak lo di dalem? Boleh ketemu nggak?” tanya Ojan. “Iye mana, Dam emak lo?” Haris ikut bertanya.

“Ibu di dalem, masuk aja. Tadi sih lagi duduk,” balas Damar. Setelahnya Haris dan Ojan masuk guna menemui ibu. Bagaimanapun juga, petantang-petenteng sudah seperti saudara sendiri bagi Damar. Ketiga temannya itu sering mampir ke rumah Damar, sering pula bertamu tiba-tiba tanpa diundang. Namun, ibu dan bapak selalu menyambut mereka dengan hangat. Seperti menyambut anak sendiri ketika pulang ke rumah.

Kemudian ibu akan menyediakan berbagai suguhan seperti teh hangat, roti bakar, mie goreng, nasi goreng, dan sebagainya yang nantinya akan disantap bersama bapak. Kepergian bapak pula adalah kehilangan bagi Dhimas, Haris, dan Ojan. Memiliki anak tunggal laki-laki membuat bapak selalu sumringah dan berseri setiap kali teman-teman anaknya itu bertamu. Bapak selalu menatap mereka berempat dengan tatapan berbinar. Setelahnya beliau akan mengajak mereka semua untuk berkumpul bersama. Bermain catur, karambol, kartu remi, atau untuk sekadar curhat sembari bermain gitar ditemani kopi hangat selayaknya anak muda di tongkrongan. Tak hanya Damar, tapi mereka semua, kehilangan bapak.

Dhimas masih berdiri di tempatnya, menemani Damar yang menoleh ke dalam, melihat Haris dan Ojan berbincang seraya memukul pundak satu sama lain. Damar tersenyum, ia tahu kedua temannya itu berusaha menghibur ibu. Dan itu berhasil, pemuda itu mengetahuinya dari kedua mata ibu yang menyipit serta senyum manisnya yang nampak meski hanya secuil. Biarlah, baginya ibu akan tetap miliki senyum paling manis nomor satu di hidupnya.

“Eh, lo nggak masuk?” tanya Damar pada Dhimas yang rupanya masih berada di sebelahnya.

Pemuda itu menggeleng menjawab pertanyaan Damar, “Sini aja lah gua, nemenin lo.”

Damar terkekeh, “Najis lo.” Dhimas pun ikut tertawa seraya memalingkan wajahnya. Setelahnya keduanya hanya diam. Di bawah naungan langit yang semakin sore.

“Dhim,” panggil Damar. Dhimas menoleh. Menanti Damar melanjutkan kalimatnya.

Any advice to pass this?

Dhimas menghela napasnya sebelum menjawab pertanyaan Damar. Pemuda itu terkekeh, “Gue juga nggak bisa ngelewatinnya, Dam. Susah. Sampe sekarang juga gue kadang suka mikirin bokap gue. How things would've been so much better kalo dia masih ada.”

Damar terdiam. Kata-kata Dhimas mendadak menyadarkannya akan sesuatu. Bahwa setelah ini, banyak yang harus ia hadapi. Dan pastinya, tanpa bapak di sisinya. Tak ada lagi teman mengobrol sehabis isya berjamaah di masjid selama jalan pulang, tak ada lagi yang akan menegurnya jika mengucap salam asal-asalan, tak ada lagi yang memintanya membelikan makanan untuk ikan-ikan kesayangannya, tak ada lagi yang akan memberinya nasihat yang menghangatkan hati setiap malam, tak ada lagi segelas kopi jika sarapan. Tak ada lagi bapak di sisinya. Tak ada lagi bapak di tengah-tengah Damar dan ibu.

“Tapi gue tau satu hal, Dam,” ucap Dhimas. Damar memandang Dhimas dengan sebelah alis terangkat sedikit.

“Gue tau lo bisa ngadepin ini lebih hebat dari gue,” sambung Dhimas.

Setelahnya pria itu menepuk-nepuk bahu Damar. Kemudian menyusul Haris dan Ojan yang sedang bercengkrama dengan ibu. Baru beberapa langkah berjalan, Dhimas kembali berbalik.

“Dam, Aghniya di sana tuh,” ujar Dhimas menunjuk pada satu arah. Setelahnya kembali berlalu.

Damar menoleh pada arah yang ditunjukkan Dhimas sebelumnya. Benar rupanya, gadis itu di sana. Sekon berikutnya, tatapan keduanya bertemu. Kemudian Aghniya menghampirinya dengan langkah ragu-ragu. Sementara Damar terdiam di tempatnya, dengan tatapan yang tak lepas dari Aghniya yang berjalan ke arahnya.

“Hai, hehe,” sapanya seperti biasa. “Turut berduka cita ya, Dam.”

Damar memalingkan wajah sesaat sebelum membalas, “Ngapain ke sini?”

Aghniya tanpa sadar mengangkat alisnya mewakili kebingungannya, “Hah? Y-ya mau ikut doain..”

Damar mendengus, “Nggak perlu.”

“Kenapa?”

“Ya, ngapain lo di sini? Bukannya lo nggak peduli sama gue?” tanya Damar.

“Loh, kalo gue nggak peduli gue nggak di sini, Dam,” balas Aghniya.

Damar terdiam. Gadis itu ada benarnya. Namun, dirinya masih terlalu marah.

“Gue nggak perlu lo di sini,” ujar Damar. Netra Aghniya melebar terkejut mendengar penuturan Damar yang seratus persen berbeda dengan Damar yang biasanya bertutur lembut.

Aghniya menunduk, bahunya semakin merosot menampilkan kecewa. “Gue tau, Dam.” Gadis itu menghela napasnya. “tapi dibutuhin atau enggak gue di sini, gue cuma berusaha ada buat temen gue. Itu aja, kok,” sambungnya.

Damar membuang napas berat, “Pulang.”

“Hah? Pulang?”

“Gue nggak butuh lo di sini,” ucap Damar. “Jadi, mendingan lo pulang.”

Sekali lagi, Aghniya merasakan dirinya tertohok dengan jawaban Damar.

“Lo- ngusir gue, Dam?”

Damar terdiam cukup lama. Sementara Aghniya masih setia memandangi netra pemuda itu yang tampak bengkak bekas menangis seharian.

“Iya,” jawab Damar tanpa ragu.

Kemudian, lagi-lagi Damar meninggalkannya seraya merasakan hatinya yang ikut nyeri akibat ulahnya sendiri.

Pemandangan berikutnya yang Aghniya saksikan adalah Damar yang bercengkrama dengan Salsa dan ibunya. Mungkin Damar benar, ia tidak dibutuhkan di sana. Dan dirinya harus pulang.

“DAAAAM!!!!” panggil Ojan dengan riang kala mendapati Damar melangkah keluar rumah menghampiri mereka. Ojan lantas menarik Damar ke dalam pelukannya lebih dulu. Disusul Dhimas dan Haris yang juga turut melingkarkan tangannya memeluk Damar. Haris yang lebih tinggi menepuk-nepuk kepala Damar.

“Yang tabah ya, Dam. Turut berduka cita,” ucap Haris. Sementara Damar hanya menjawabnya dengan senyuman tipis.

Sorry agak lama ke sininya, nungguin Haris dulu tadi. Mandinya lama banget, ngapain sih lo Ris di kamar mandi? Mandi apa bangun candi?” ucap Dhimas, sengaja memancing tawa Damar.

“Mandi lahh, gue duduk di kursi selama sekolah aje encok gimane mau bangun candi?” jawab Haris.

“Haris mah mandinya luluran egee,” ucap Ojan.

“Kagak egee, Haris mandinya kan pake pasirr guling-guling,” sambung Dhimas.

“LO KENAPA JADI MIKIRIN GUE MANDI SIHHH?” jengkel Haris. Setelahnya keempatnya tertawa bersama. Tawa Ojan menguar paling keras, “Iya juga anjinggg ngapain yak?”

“Gue mandi pake kembang tujuh rupa sih, fyi,” ucap Haris. “Tai, mau melet siapa lo?”

“Ibu kantin, biar gue boleh ngutang,” balas Haris seraya terkekeh. “Yah anjing, lo nyindir gue kan pasti Ris?” tanya Ojan tak terima. Sementara yang lain hanya tertawa mendengar si spesialis ngutang itu menanggapi Haris.

Sedari tadi, Damar hanya menanggapi ucapan keempat temannya itu dengan senyum tipis. Sesekali tawa kecil lolos dari bibirnya lantaran tak lagi bisa menahan gurauan teman-temannya yang sering kali tak masuk akal. Namun, di situ letak lucunya. Damar bersyukur dalam hati karena Dhimas, Haris, dan Ojan sama sekali tidak membahas bapak. Mereka benar-benar hadir untuk menghiburnya dan menemaninya melewati masa sulit seperti hari ini. Dhimas, Haris, dan Ojan, sama sekali tidak menanyakan penyebab kematian bapak, kronologis ceritanya, atau kondisi ibu ketika mengetahui kabar ini. Mereka sama sekali tidak menanyakannya. Dan Damar sangat mensyukurinya, sebab hati dan bibirnya sudah lelah harus menceritakan kisah itu berulang kali pada setiap orang berbeda.

“Dam, sorry, mau dimakamin di mana?” tanya Haris. “Di luar kota apa gimana?” tanya Haris lagi, memperjelas maksud pertanyaannya.

“Di Jakarta kok, nggak di luar kota. Dimakamin di Layur, biar deket sama Kakek gue,” jawab Damar.

“Ohh, kalo gitu kita ikut ya, Dam? Kita bawa motor, kok,” ucap Ojan.

“Ya gue sih nggak masalah, cuma emang lo pada nggak capek? Besok sekolah,” balas Damar.

“Duh, lebih capek nungguin Haris mandi, Dam. Asli dah,” ujar Dhimas.

“Guaaa lagi,” protes Haris. Sementara ketiga temannya hanya terkekeh.

“Ya udah, nanti ikut aja,” ucap Damar. “Makasih ya, Bro.”

“Selaw, eh emak lo di dalem? Boleh ketemu nggak?” tanya Ojan. “Iye mana, Dam emak lo?” Haris ikut bertanya.

“Ibu di dalem, masuk aja. Tadi sih lagi duduk,” balas Damar. Setelahnya Haris dan Ojan masuk guna menemui ibu. Bagaimanapun juga, petantang-petenteng sudah seperti saudara sendiri bagi Damar. Ketiga temannya itu sering mampir ke rumah Damar, sering pula bertamu tiba-tiba tanpa diundang. Namun, ibu dan bapak selalu menyambut mereka dengan hangat. Seperti menyambut anak sendiri ketika pulang ke rumah.

Kemudian ibu akan menyediakan berbagai suguhan seperti teh hangat, roti bakar, mie goreng, nasi goreng, dan sebagainya yang nantinya akan disantap bersama bapak. Kepergian bapak pula adalah kehilangan bagi Dhimas, Haris, dan Ojan. Memiliki anak tunggal laki-laki membuat bapak selalu sumringah dan berseri setiap kali teman-teman anaknya itu bertamu. Bapak selalu menatap mereka berempat dengan tatapan berbinar. Setelahnya beliau akan mengajak mereka semua untuk berkumpul bersama. Bermain catur, karambol, kartu remi, atau untuk sekadar curhat sembari bermain gitar ditemani kopi hangat selayaknya anak muda di tongkrongan. Tak hanya Damar, tapi mereka semua, kehilangan bapak.

Dhimas masih berdiri di tempatnya, menemani Damar yang menoleh ke dalam, melihat Haris dan Ojan berbincang seraya memukul pundak satu sama lain. Damar tersenyum, ia tahu kedua temannya itu berusaha menghibur ibu. Dan itu berhasil, pemuda itu mengetahuinya dari kedua mata ibu yang menyipit serta senyum manisnya yang nampak meski hanya secuil. Biarlah, baginya ibu akan tetap miliki senyum paling manis nomor satu di hidupnya.

“Eh, lo nggak masuk?” tanya Damar pada Dhimas yang rupanya masih berada di sebelahnya.

Pemuda itu menggeleng menjawab pertanyaan Damar, “Sini aja lah gua, nemenin lo.”

Damar terkekeh, “Najis lo.” Dhimas pun ikut tertawa seraya memalingkan wajahnya. Setelahnya keduanya hanya diam. Di bawah naungan langit yang semakin sore.

“Dhim,” panggil Damar. Dhimas menoleh. Menanti Damar melanjutkan kalimatnya.

Any advice to pass this?

Dhimas menghela napasnya sebelum menjawab pertanyaan Damar. Pemuda itu terkekeh, “Gue juga nggak bisa ngelewatinnya, Dam. Susah. Sampe sekarang juga gue kadang suka mikirin bokap gue. How things would've been so much better kalo dia masih ada.”

Damar terdiam. Kata-kata Dhimas mendadak menyadarkannya akan sesuatu. Bahwa setelah ini, banyak yang harus ia hadapi. Dan pastinya, tanpa bapak di sisinya. Tak ada lagi teman mengobrol sehabis isya berjamaah di masjid selama jalan pulang, tak ada lagi yang akan menegurnya jika mengucap salam asal-asalan, tak ada lagi yang memintanya membelikan makanan untuk ikan-ikan kesayangannya, tak ada lagi yang akan memberinya nasihat yang menghangatkan hati setiap malam, tak ada lagi segelas kopi jika sarapan. Tak ada lagi bapak di sisinya. Tak ada lagi bapak di tengah-tengah Damar dan ibu.

“Tapi gue tau satu hal, Dam,” ucap Dhimas. Damar memandang Dhimas dengan sebelah alis terangkat sedikit.

“Gue tau lo bisa ngadepin ini lebih hebat dari gue,” sambung Dhimas.

Setelahnya pria itu menepuk-nepuk bahu Damar. Kemudian menyusul Haris dan Ojan yang sedang bercengkrama dengan ibu. Baru beberapa langkah berjalan, Dhimas kembali berbalik.

“Dam, Aghniya di sana tuh,” ujar Dhimas menunjuk pada satu arah. Setelahnya kembali berlalu.

Damar menoleh pada arah yang ditunjukkan Dhimas sebelumnya. Benar rupanya, gadis itu di sana. Sekon berikutnya, tatapan keduanya bertemu. Kemudian Aghniya menghampirinya dengan langkah ragu-ragu. Sementara Damar terdiam di tempatnya, dengan tatapan yang tak lepas dari Aghniya yang berjalan ke arahnya.

“Hai, hehe,” sapanya seperti biasa. “Turut berduka cita ya, Dam.”

Damar memalingkan wajah sesaat sebelum membalas, “Ngapain ke sini?”

Aghniya tanpa sadar mengangkat alisnya mewakili kebingungannya, “Hah? Y-ya mau ikut doain..”

Damar mendengus, “Nggak perlu.”

“Kenapa?”

“Ya, ngapain lo di sini? Bukannya lo nggak peduli sama gue?” tanya Damar.

“Loh, kalo gue nggak peduli gue nggak di sini, Dam,” balas Aghniya.

Damar terdiam. Gadis itu ada benarnya. Namun, dirinya masih terlalu marah.

“Gue nggak perlu lo di sini,” ujar Damar. Netra Aghniya melebar terkejut mendengar penuturan Damar yang seratus persen berbeda dengan Damar yang biasanya bertutur lembut.

Aghniya menunduk, bahunya semakin merosot menampilkan kecewa. “Gue tau, Dam.” Gadis itu menghela napasnya. “tapi dibutuhin atau enggak gue di sini, gue cuma berusaha ada buat temen gue. Itu aja, kok,” sambungnya.

Damar membuang napas berat, “Pulang.”

“Hah? Pulang?”

“Gue nggak butuh lo di sini,” ucap Damar. “Jadi, mendingan lo pulang.”

Sekali lagi, Aghniya merasakan dirinya tertohok dengan jawaban Damar.

“Oh, oke. Maaf.”

Lagi-lagi, gadis itu hanya bisa meminta maaf. Lagi-lagi, Damar meninggalkannya seraya merasakan hatinya yang ikut nyeri akibat ulahnya sendiri.

Pemandangan berikutnya yang Aghniya saksikan adalah Damar yang bercengkrama dengan Salsa dan ibunya. Mungkin Damar benar, ia tidak dibutuhkan di sana. Dan dirinya harus pulang.

tw // mention of dead body

Damar memandang tubuh bapak yang kini terbaring kaku di hadapannya. Kulit bapak yang biasanya nampak kecoklatan itu kini memucat dengan kuku-kuku yang mulai menguning. Di hadapannya, bapak menutup matanya rapat-rapat. Sementara di pelukannya, ada ibu yang masih enggan memberhentikan tangisnya.

Tak apa, Damar mengerti perasaan ibu. Kehilangan bapak bagi ibu pasti rasanya seperti kehilangan separuh jiwa dan raga. Damar mengerti, dunia ibu pasti jauh lebih hancur dari miliknya. Bapak selalu bilang, ibu hanya punya dua di dunia. Bapak, dan Damar. Namun, hari ini bapak selesai. Artinya ibu nyaris tak punya siapa-siapa.

Damar memeluk ibu dengan erat, sesekali mengelus pelipis ibunya yang bisa Damar rasakan berdenyut sesekali. Pemuda itu tak tega. Ibu sempat hilang kesadaran, kemudian setelah sadar, ibu menodong Damar dengan meminta kepastian bahwa yang dialaminya hanya mimpi. Ibu masih enggan percaya, ibu terus mengutarakan harapan terbesarnya saat ini. Bahwa bapak masih sehat, bapak hanya belum pulang dari sekolah karena masih ada kegiatan yang harus diurus. Meski hati Damar seperti tertusuk saat mendengarnya, tak apa, ia mengerti. Sebab Damar yakin, tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin menerima kenyataan seperti yang diberikan pada keluarganya.

Dengan suara lembut yang bergetar, serta penuturan yang terbata, Damar menangkup wajah ibu dan menjawabnya.

Nggak, Bu. Bapak udah nggak ada.

Tentu saja jawabannya membuat tangis ibu kian pecah. Beruntung ada Wulan yang membantu menenangkannya. Bersama saudara-saudaranya yang lain, ibu dibawa masuk ke kamar. Kemudian kesempatan itu dimanfaatkan Damar untuk menangisi bapak.

Pria itu menangis hingga bersimpuh, sejujurnya lututnya terasa lemas. Damar menangis dalam pelukan Wulan. Persetan dengan semuanya, Damar tak sanggup lagi bertahan. Damar tak sanggup lagi berpura-pura kuat. Cukup di depan ibu ia menahan tangisnya.

Yang membuat tangisnya tak kunjung usai adalah ingatan Damar akan obrolan dengan bapak kala itu. Ketika bapak memberi makan ikan-ikannya di akuarium. Damar merasakan semuanya berputar kembali di kepalanya. Gurauan bapak, senyum manis bapak yang menurun kepadanya, raut wajah bapak yang selalu ramah pada dunia, tatapan teduh bapak yang selalu tertuju pada ibu dan dirinya, suara bapak, hingga pesan-pesan bapak yang tanpa Damar sadari menjadi amanat terakhir bapak untuknya.

Damar merasakan pipinya semakin dibanjiri air mata, suara tangisnya semakin keras terdengar, bersaing dengan suara tangis sanak saudara yang lain yang juga kehilangan bapak dalam hidupnya. Ia teringat akan apa yang menjadi percakapannya dengan bapak sore hari itu.

Bapak nggak tau bisa nemenin Mas Damar sampai hari besar itu atau enggak, kan kita nggak tau ya, sampai kapan diberi kesempatan di dunia.

Jaga Ibu, Mas. Ibu cuma punya kita. Selain bapak, ibu cuma punya Mas Damar.

Bapak pengennya yang penting Mas Damar sehat dan bahagia.

Damar memeluk Wulan semakin erat. Dengan isak tangis, pemuda itu berkali-kali berucap, “Bapak, Mbak, Bapak..”

“Iya, Sayang. Damar kuat ya? Damar harus kuat, kamu adek Mbak paling jagoan, kan?” balas Wulan.

Entahlah, Damar tak tahu jawabannya. Ia merasa dirinya sama sekali bukan seorang jagoan. Kekuatan untuk berdiri saja ia tak punya. Jagoan dari mana? Pikirannya kosong saat itu. Rasanya seperti sedang melamun. Damar masih begitu tak percaya dengan fakta bahwa bapak sudah tiada. Benar kata ibu, bapak masih terasa sangat dekat hingga Damar merasa bapak hanya belum pulang seperti biasa. Namun, Damar seketika menyadarinya kala mendengar suara dari speaker masjid di dekat rumahnya. Seperti tamparan keras baginya ketika mendengar serentetan kalimat yang menyampaikan kabar duka. Innalillahi wa innailaihi rajiun, innalillahi wa innailaihi rajiun, innalillahi wa innailaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, Bapak Edi Wijayanto...

Kalimat selanjutnya tak begitu terdengar, karena lagi-lagi, rungu Damar dipenuhi dengan suara isak tangisnya sendiri. Hari ini, Damar berantakan. Hatinya pecah berantakan, entah menjadi berapa bagian.


Kini semuanya berkumpul untuk mendoakan jenazah bapak. Supaya amal ibadah beliau diterima, supaya bapak ditempatkan ditempat terbaik. Mereka semua melingkar untuk membaca surat Yasin, dipimpin oleh seorang ustad di wilayahnya. Damar menoleh ke arah ibu yang sudah kembali diantarkan ke ruang tamu oleh bude-budenya yang lain, ibu sudah tampak lebih tenang kali ini. Ibu kembali duduk di sebelahnya, menyandarkan kepalanya pada bahu Damar.

“Bapak suruh bangun lagi dong, Mas. Masa Bapak ninggalin kita begini?” ucap ibu lesu.

Damar mengelus pipi ibu dengan tangan kanannya, “Nggak bisa, Bu. Udah ya? Nggak baik kalo kita begini terus, kita doain Bapak aja ya?”

Ibu meneteskan air mata untuk kesekian kali, setelahnya wanita itu mengangguk pasrah.

Setelah beberapa lama, Jenazah bapak sudah dimandikan dan dikafankan. Kini mereka semua tengah bersiap karena sebentar lagi akan membawa jenazah bapak ke masjid untuk disalatkan setelah magrib nanti.

Damar berlutut di hadapan ibu yang duduk di sofa ruang tamu milik keluarganya. “Ibu mau ikut salatin Bapak? Kalo enggak juga nggak pa-pa, kalo ibu lemes, di rumah aja ya?”

Ibu menggeleng, “Nggak pa-pa, Mas. Ibu kuat insya Allah.”

Tentu. Damar tahu itu. Dan dirinya tak mungkin membantah fakta itu. Damar tersenyum tipis kemudian mengangguk.

“Ada teman-teman Mas Damar di luar. Udah dari tadi, coba ditemui dulu, Mas,” ucap ibu. Damar menoleh ke arah pintu, benar saja, Damar melihat kehadiran banyak teman sekolahnya. Dhimas, Haris, Ojan, dan teman sekelasnya yang lain serta teman-temannya dari ekskul futsal turut hadir. Pria itu mengulas senyum tipis, rupanya Tuhan memang adil. Meski kesedihan paling besar menimpanya, setidaknya ia punya banyak orang yang mendukungnya hari ini.

tw // mention of dead body

Damar memandang tubuh bapak yang kini terbaring kaku di hadapannya. Kulit bapak yang biasanya nampak kecoklatan itu kini memucat dengan kuku-kuku yang mulai menguning. Di hadapannya, bapak menutup matanya rapat-rapat. Sementara di pelukannya, ada ibu yang masih enggan memberhentikan tangisnya.

Tak apa, Damar mengerti perasaan ibu. Kehilangan bapak bagi ibu pasti rasanya seperti kehilangan separuh jiwa dan raga. Damar mengerti, dunia ibu pasti jauh lebih hancur dari miliknya. Bapak selalu bilang, ibu hanya punya dua di dunia. Bapak, dan Damar. Namun, hari ini bapak selesai. Artinya ibu nyaris tak punya siapa-siapa.

Damar memeluk ibu dengan erat, sesekali mengelus pelipis ibunya yang bisa Damar rasakan berdenyut sesekali. Pemuda itu tak tega. Ibu sempat hilang kesadaran, kemudian setelah sadar, ibu menodong Damar dengan meminta kepastian bahwa yang dialaminya hanya mimpi. Ibu masih enggan percaya, ibu terus mengutarakan harapan terbesarnya saat ini. Bahwa bapak masih sehat, bapak hanya belum pulang dari sekolah karena masih ada kegiatan yang harus diurus. Meski hati Damar seperti tertusuk saat mendengarnya, tak apa, ia mengerti. Sebab Damar yakin, tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin menerima kenyataan seperti yang diberikan pada keluarganya.

Dengan suara lembut yang bergetar, serta penuturan yang terbata, Damar menangkup wajah ibu dan menjawabnya.

Nggak, Bu. Bapak udah nggak ada.

Tentu saja jawabannya membuat tangis ibu kian pecah. Beruntung ada Wulan yang membantu menenangkannya. Bersama saudara-saudaranya yang lain, ibu dibawa masuk ke kamar. Kemudian kesempatan itu dimanfaatkan Damar untuk menangisi bapak.

Pria itu menangis hingga bersimpuh, sejujurnya lututnya terasa lemas. Damar menangis dalam pelukan Wulan. Persetan dengan semuanya, Damar tak sanggup lagi bertahan. Damar tak sanggup lagi berpura-pura kuat. Cukup di depan ibu ia menahan tangisnya.

Yang membuat tangisnya tak kunjung usai adalah ingatan Damar akan obrolan dengan bapak kala itu. Ketika bapak memberi makan ikan-ikannya di akuarium. Damar merasakan semuanya berputar kembali di kepalanya. Gurauan bapak, senyum manis bapak yang menurun kepadanya, raut wajah bapak yang selalu ramah pada dunia, tatapan teduh bapak yang selalu tertuju pada ibu dan dirinya, suara bapak, hingga pesan-pesan bapak yang tanpa Damar sadari menjadi amanat terakhir bapak untuknya.

Damar merasakan pipinya semakin dibanjiri air mata, suara tangisnya semakin keras terdengar, bersaing dengan suara tangis sanak saudara yang lain yang juga kehilangan bapak dalam hidupnya. Ia teringat akan apa yang menjadi percakapannya dengan bapak sore hari itu.

Bapak nggak tau bisa nemenin Mas Damar sampai hari besar itu atau enggak, kan kita nggak tau ya, sampai kapan diberi kesempatan di dunia.

Jaga Ibu, Mas. Ibu cuma punya kita. Selain bapak, ibu cuma punya Mas Damar.

Bapak pengennya yang penting Mas Damar sehat dan bahagia.

Damar memeluk Wulan semakin erat. Dengan isak tangis, pemuda itu berkali-kali berucap, “Bapak, Mbak, Bapak..”

“Iya, Sayang. Damar kuat ya? Damar harus kuat, kamu adek Mbak paling jagoan, kan?” balas Wulan.

Entahlah, Damar tak tahu jawabannya. Ia merasa dirinya sama sekali bukan seorang jagoan. Kekuatan untuk berdiri saja ia tak punya. Jagoan dari mana? Pikirannya kosong saat itu. Rasanya seperti sedang melamun. Damar masih begitu tak percaya dengan fakta bahwa bapak sudah tiada. Benar kata ibu, bapak masih terasa sangat dekat hingga Damar merasa bapak hanya belum pulang seperti biasa. Namun, Damar seketika menyadarinya kala mendengar suara dari speaker masjid di dekat rumahnya. Seperti tamparan keras baginya ketika mendengar serentetan kalimat yang menyampaikan kabar duka. Innalillahi wa innailaihi rajiun, innalillahi wa innailaihi rajiun, innalillahi wa innailaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, Bapak Edi Wijayanto...”

Kalimat selanjutnya tak begitu terdengar, karena lagi-lagi, rungu Damar dipenuhi dengan suara isak tangisnya sendiri. Hari ini, Damar berantakan. Hatinya pecah berantakan, entah menjadi berapa bagian.


Kini semuanya berkumpul untuk mendoakan jenazah bapak. Supaya amal ibadah beliau diterima, supaya bapak ditempatkan ditempat terbaik. Mereka semua melingkar untuk membaca surat Yasin, dipimpin oleh seorang ustad di wilayahnya. Damar menoleh ke arah ibu yang sudah kembali diantarkan ke ruang tamu oleh bude-budenya yang lain, ibu sudah tampak lebih tenang kali ini. Ibu kembali duduk di sebelahnya, menyandarkan kepalanya pada bahu Damar.

“Bapak suruh bangun lagi dong, Mas. Masa Bapak ninggalin kita begini?” ucap ibu lesu.

Damar mengelus pipi ibu dengan tangan kanannya, “Nggak bisa, Bu. Udah ya? Nggak baik kalo kita begini terus, kita doain Bapak aja ya?”

Ibu meneteskan air mata untuk kesekian kali, setelahnya wanita itu mengangguk pasrah.

Setelah beberapa lama, Jenazah bapak sudah dimandikan dan dikafankan. Kini mereka semua tengah bersiap karena sebentar lagi akan membawa jenazah bapak ke masjid untuk disalatkan setelah magrib nanti.

Damar berlutut di hadapan ibu yang duduk di sofa ruang tamu milik keluarganya. “Ibu mau ikut salatin Bapak? Kalo enggak juga nggak pa-pa, kalo ibu lemes, di rumah aja ya?”

Ibu menggeleng, “Nggak pa-pa, Mas. Ibu kuat insya Allah.”

Tentu. Damar tahu itu. Dan dirinya tak mungkin membantah fakta itu. Damar tersenyum tipis kemudian mengangguk.

“Ada teman-teman Mas Damar di luar. Udah dari tadi, coba ditemui dulu, Mas,” ucap ibu. Damar menoleh ke arah pintu, benar saja, Damar melihat kehadiran banyak teman sekolahnya. Dhimas, Haris, Ojan, dan teman sekelasnya yang lain serta teman-temannya dari ekskul futsal turut hadir. Pria itu mengulas senyum tipis, rupanya Tuhan memang adil. Meski kesedihan paling besar menimpanya, setidaknya ia punya banyak orang yang mendukungnya hari ini.