Her

Sekolah rasanya tampak tak sama tanpa obrolan singkat, sapaan khas ketika berpapasan, atau pesan-pesan sepulang sekolah dari Damar. Meski Aghniya masih memiliki alasan lain untuk menjaga semangatnya, hati yang tak baik tak akan pernah bisa berbohong.

Kini sedang pelajaran olahraga, yang merupakan salah satu pelajaran kesukaan Aghniya karena dirinya bisa menghirup udara segar dan tak perlu mengenakan seragam dengan kerah kaku. Ia bisa melangkah bebas, berlarian, bahkan tertawa sekeras-kerasnya tanpa akan mendapat teguran dari guru.

Dulu, sebelum berteman dengan Damar. Gadis itu akan selalu celingak-celinguk, mengedarkan pandangannya ke seluruh area sekolah. Siapa tahu, seorang Damar yang selalu ia tunggu kehadirannya itu muncul. Entah untuk ke toilet, atau ke ruang guru. Meskipun ia hanya bisa memandangi kepala Damar yang menyembul dari koridor lantai atas, Aghniya mensyukurinya.

Sepertinya, sekarang ia akan melalukan cara yang sama. Hanya memandangi Damar dari jauh. Entah karena apa, Aghniya belum menemukan jawaban atas pertanyaan yang memenuhi benaknya belakangan ini. Apakah Damar marah? Apakah ia berbuat salah? Gadis itu belum menemukan jawabannya.

Hari ini, genap seminggu keduanya hadir di sekolah tanpa bertukar pandang. Setiap kali berpapasan, Damar akan berjalan cepat mendahului Aghniya. Kemudian yang tersisa hanyalah gadis itu yang terdiam di tempatnya berdiri, memandangi punggung Damar yang kian menjauh.

Pelajaran olahraga sudah selesai. Seperti kesepakatan bersama, mereka hanya memakai jam pelajaran kedua dan ketiga, untuk jam pelajaran keempat dipakai untuk beristirahat. Semua orang tentu saja memilih ke kantin. Namun tidak dengan Aghniya. Gadis itu sama sekali tak memiliki semangat untuk berbincang dengan orang lain. Maka, ia memutuskan untuk langsung naik ke kelas.

Aghniya menaiki tangga dengan gontai. Langkahnya asal-asalan, tangan kanannya mengayunkan botol minum yang ia bawa, sementara tangan kirinya mengipasi dirinya sendiri, sesekali menyeka peluh di wajahnya yang memerah kelelahan.

Gadis itu mendongak ketika melihat sepasang sepatu terhenti di hadapannya. Sekon berikutnya, tubuhnya membeku. Di hadapannya kini berdiri seorang Yudhistira Damar yang juga membeku. Yang berbeda hanyalah tatapan keduanya. Sang gadis menatap sendu, sementara prianya menatap nyalang. Setelahnya Damar memutus kontak mata keduanya, dan berlalu.

“Damar!” panggil Aghniya.

“Dam! Dam tunggu dulu!” panggilnya lagi. Namun, pemuda itu tetap berlalu tanpa mempedulikan Aghniya yang memanggilnya berkali-kali.

Pada akhirnya, gadis itu menyerah, tak lagi berusaha menyusul Damar yang meski berjalan pelan, tetap tak tersusul olehnya. Aghniya menatap anak tangga yang kini telah kosong dengan hati yang hampa. Setelahnya ia menyembunyikan kepalanya pada lengannya yang ia gunakan sebagai tumpuan tubuhnya pada teralis tangga. Sekon berikutnya, Aghniya mengusap wajahnya kasar. Banyak air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Beruntung, saat itu sedang waktu belajar. Jadi, tak ada siswa lalu lalang.

Aghniya jadi tak berniat melanjutkan langkahnya ke kelas. Ia juga tak ingin air matanya menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya, terlebih Dhimas. Pemuda itu tak boleh tahu jika sedang ada masalah mengenai Damar. Jadilah gadis itu mendudukkan dirinya pada salah satu anak tangga, membiarkan air matanya menetes satu persatu dengan suara tangis yang berusaha keras ia redam.

Matanya menatap kosong ke sembarang arah, bahkan tanpa diperas, air matanya turun dengan mandiri. Sesekali gadis itu mengusap air matanya seraya menggigit-gigit bibirnya pelan. Berusaha menjaga agar pikirannya tetap terisi dan tidak kosong.

Langkah kaki seseorang membuatnya cepat-cepat menghentikan tangis kecilnya secara paksa. Meski belum semua, barusan sudah cukup untuk menumpahkan sedikit kegundahan hatinya yang ia sembunyikan sejak seminggu yang lalu.

Rupanya masih orang yang sama. Itu Damar, kembali berdiri di hadapannya. Kali ini dengan sebuah proyektor pinjaman di tangan kanannya. Pria itu kembali mematung di tempatnya. Gadis itu sama terkejutnya dengan pertemuan tak sengaja mereka yang sebelumnya. Namun kali ini, Aghniya cepat-cepat menyadarkan dirinya. Kemudian bangkit, tak lupa menepuk-nepuk celana olahraganya guna membersihkan kotoran yang menempel di sana.

Gadis itu tersenyum? Iya, Damar tak salah melihat. Aghniya masih memberinya senyuman manis seperti biasa. Senyuman paling manis kedua setelah ibu yang diam-diam selalu Damar simpan dalam hati. Bahkan sampai hari ini.

“Halo lagi, hehe. Maaf ya, jadi ngalangin jalan. Silakan,” ucap Aghniya, masih ramah seperti biasa.

“Gue duluan, Damar. Dadaah!”

Setelahnya gadis itu pergi mendahului Damar. Dari belakang, Damar masih memperhatikan Aghniya. Sesekali ia menyibak anak rambutnya yang basah bercampur keringat. Sesekali ia memijat pelipisnya.

Aghni sakit?

Setelahnya Damar menghela napasnya. Kalau boleh jujur, Damar merindukan gadis itu. Ketikan kapitalnya, semua topik obrolannya, pesan singkat setiap pulang sekolah, sapaan hangat serta lambaian di sekolah, Damar merindukannya. Namun pria itu tak bisa. Sayangnya, meskipun enggan mempercayai, gadis itu tak lagi terlihat sama di matanya.