Bertemu?
Aghniya tak henti-hentinya menggerakkan kakinya seraya melirik pesan yang dikirimkan Ojan berkali-kali. Gadis itu mendadak berkeringat dingin lantaran sebentar lagi ia akan bertemu dengan Damar. Gadis itu berharap pria itu mau bicara padanya hingga Aghniya mendapat jawaban dari amarah Damar.
Makk, udah gue suruh ke kelas lo yak Damarnya. Gue mau turun sama Dhimas, semangatt yeeee wkwkwkw
Gadis itu menghela napasnya gusar. Setelahnya dengan cepat merogoh isi tasnya, mencari buku catatan yang akan dipinjamkan pada Ojan melalui Damar seraya sesekali menengok ke arah pintu. Takut-takut jika orang yang dinantikannya muncul. Kalau dipikir-pikir, ini seperti de javu. Gadis itu jadi kembali teringat pada Dhimas menitipkan sebuah topi padanya untuk diberikan pada Damar.
Bedanya, dulu mereka belum berteman. Sekarang, ah sudahlah..
Aghniya berjengit ketika suara terdengar dari arah pintu. Suara kayu bertabrakan dengan lantai yang lebih tinggi membuatnya menoleh panik, gadis itu tahu bahwa ada yang datang. Dugaannya benar, Damar melirik ke arahnya dari pintu. Dengan segera gadis itu bangkit dengan membawa buku tulis di tangannya. Kemudian menghampiri Damar.
“Dam,” panggilnya. Pemuda itu menoleh. Tatapannya sama sekali tak terlihat santai. Masih marah rupanya.
“Ini bukunya yang buat Ojan,” sambung Aghniya. Damar mengambil buku itu dari tangan Aghniya.
Baru saja gadis itu ingin mengucapkan kata lagi, Damar segera berbalik dan meninggalkannya. Sehingga dengan terpaksa Aghniya kembali ke kelasnya dengan perasaan kecewa.
Belum usai perjuangannya. Istirahat kedua, Aghniya secara kebetulan diminta membagikan rekapan absensi ekskul pada teman-temannya. Meskipun belum jadi ketua, memang kelas XI yang ditugaskan untuk mengurus absensi, katanya hitung-hitung latihan sebelum benar-benar menjabat nantinya.
Kesempatan ini tentu saja digunakan oleh gadis manis itu untuk menemui Damar. Dan mengajaknya bicara sekali lagi. Siapa tahu kali ini membuahkan hasil.
Beruntung keduanya berpapasan di tangga. Pada tempat yang sama seperti sebelumnya. Gadis itu menghadang Damar agar pemuda itu tak meninggalkannya lagi sebelum dirinya selesai bicara.
“Damar, tunggu! Jangan kabur dulu! Ini rekapan absen futsal dari ruang wakil, katanya disuruh isi, terus dirapiin. Absen pelatihnya juga soalnya dana buat pelatihnya udah mau turun, nih,” ujar Aghniya seraya menyerahkan map file berwarna kuning berisi absensi ekskul futsal ke hadapan Damar.
Damar hanya diam. Tak berniat mengambil map yang gadis itu sodorkan. Sebagai gantinya, Damar malah terkekeh meremehkan.
“Lo nggak berhenti-henti ya, nyari cara buat ketemu gue?” ucap Damar dengan intonasi pelan namun menusuk.
Aghniya mendongak, “H-hah? I-ini beneran dari ruang wakil, kok! Tadi katanya suruh kasih Damar.”
Aghniya masih setia menyodorkan map itu kepada Damar. Berharap agar pemuda itu mengambilnya. Meskipun niatnya yang lain harus diurungkan karena mendengar ucapan pemuda itu yang sudah mengetahui maksudnya bahkan sebelum ia bergerak.
Namun, Damar masih diam. Pria itu kini memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Matanya beradu dengan tatapan sendu mata Aghniya yang mulai berkaca-kaca. Sekon berikutnya, gadis itu lebih dulu memutus kontak mata. Terdengar helaan napas kecewa di sana. Tangannya yang sedari tadi tak gentar menyerahkan map ke arah Damar itu pada akhirnya menyerah.
Memastikan tak ada air mata yang meluncur, gadis itu mendongak dan melihat ke sembarang arah. Membuang muka. Kemudian dengan tenaga dan secuil potongan hati yang belum terbalut kecewa, Aghniya menatap Damar kembali. Tepat pada netra yang dulu selalu menatapnya teduh.
Gadis itu tersenyum, lagi. Seperti biasa. “Nanti gue kasih Dhimas aja, deh. Maaf ya, Damar. Gue duluan. Dadah!” ucapnya. Damar tahu nada cerianya itu dibuat-buat karena ia mendengar sendiri suara Aghniya yang bergetar serta pelupuk matanya yang dipenuhi cairan bening.
Aghniya berlalu pergi, dengan langkah gontai serta wajah lesu yang seketika berubah ceria kala bertemu dengan teman seangkatan yang memanggil namanya.
“Haiii, eh, inii absen ekskul. Tolong direkap ya....”
Gadis itu menahan tangisnya seraya berucap dalam hati. Ia menyerah.
Aghniya menyerah setelah mengetahui Damar begitu tak ingin melihat wajahnya.
Sementara Damar? Pemuda itu menghela napas berat sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Menyesal untuk kesekian kali.