Hujan

Aghniya berteduh di koridor sekolahnya, menatap ke arah lapangan yang kini basah kuyup terkena guyuran hujan deras sepulang sekolah. Gadis itu menelepon papanya guna meminta jemput karena keadaan yang tak memungkinkan jika pulang sendiri.

“Paa?? Halooo? Kedengeran nggakk??”

”...”

“Papa bisa jemput aku nggaak?? Ujan deres bangettt!”

“Paaa?? apaaaa??”

“MACET SAYANGGG! INI JUGA DERES DARI KANTOR PAPA!”

“YAHH TERUS GIMANA DONG?”

“Dhimas nggak adaa? Nggak bisa pulang bareng Dhimas?”

“Dhimas LDKS, Paaaa! Nggak ada di sekolaah.”

Aghniya masih terus berusaha berkomunikasi dengan papanya melalui telepon meski suaranya terdengar kurang jelas, bersaing dengan suara hujan yang turun ke bumi siang itu. Sekolahnya sudah sepi, namun gadis itu masih belum bisa pulang. Sedari tadi ragu apakah ia harus menerobos hujan dan mencari kendaraan umum agar dapat cepat sampai rumah, atau harus menunggu Aji yang belum memberinya kejelasan bisa menjemputnya atau tidak.

Gadis itu celingak-celinguk, barang kali ada seseorang yang dirinya kenal dan bisa menjadi temannya selama menunggu jemputan.

“Ya Allah takut dah.. perkara banget astaghfirullah,” ucap Aghniya bermonolog.

“Halo, Paa? Iyaa?”

“Kamu tunggu sebentar situ ya? Jangan terobos hujan, soalnya deres banget nanti kamu sakit. Tunggu sebentar Papa udah mulai jalan lagi kok.”

“Masih jauh nggak?”

“Lumayan, tapi tunggu deh, jangan ngeyel!”

“Iyaa, ya udah deh.”

Setelahnya telepon terputus. Aghniya kembali memasukannya ke dalam tas. Sebab sejujurnya, Aghniya tak pernah berani memainkan ponsel dikala hujan. Gadis itu takut petir beserta kilat, dan setiap kali bermain ponsel dikala hujan, Aghniya selalu terbayang akan sambaran petir yang dapat mengenai dirinya.

Aghniya merapatkan jaket yang berutungnya, ia kenakan hari ini. Jika tidak, sejak tadi gadis itu akan menggigil kedinginan lantaran udara yang menusuk kulitnya.

Gadis itu masih mengedarkan pandangannya ke seluruh area sekolah. Kosong, tak ada siapapun. “Kok udah sepi sih? Padahal baru jam dua.”

“Oh iya, LDKS ya, yang masuk sedikit. Pantesan aja dari tadi sepi banget. Dhimas keujanan nggak ya?”

Aghniya masih bermonolog. Sesekali gadis itu meniup-niupkan telapak tangannya supaya setidaknya ada sedikit kehangatan yang bisa ia rasakan. “Ih, tau gini gue nggak piket deh. Pulang langsung aja tadi harusnya, beres-beres kelasnya Senin pagi gitu. Sebel.”

Sekon berikutnya gadis itu berjengit lantaran merasakan getaran dari dalam tasnya. Ponselnya kembali berbunyi dan menampilkan panggilan masuk dari Aji. Dengan segera gadis itu mengangkatnya.

“Halo, Pa?”

”....”

“Hah, seriuss?? Banjir di manaaa?”

”...”

“Jadi Papa nggak bisa jemput aku?”

”...”

“Ya udah, Pa nggak pa- WAAAA! OMGGG PAPAAA AKU NGGAK BERANI NELEPON LAMA-LAMA KALO UJAAAANNN!!!”

Gadis itu kini menelepon seraya berjongkok membelakangi lapangan sekolah. Tubuhnya sedikit gemetar dan dirinya tidak berani mengangkat pandangannya lantaran sambaran kilat baru saja muncul, disusul dengan gemuruh petir yang tak mau kalah.

“Pa, aku— aku pulang sendiri aja deh yaaa? Aku terobos ujan sedikit ke depan sekolah doang nih nyari taksi atau apa gitu dehhh!”

“ASTAGHFIRULLAH, EMANG BENERAN NGGAK ADA ORANG DI SANA? TEMEN KAMU NGGAK ADA SAMA SEKALI?”

Aghniya menoleh sekali lagi dengan posisinya yang masih berjongkok, hingga pandangannya terpaku pada seseorang. Damar baru saja melaju menerobos hujan dengan motor dan jaket kesayangannya.

Aghniya terdiam, sedari tadi pria itu ada di sekolah bersamanya?

“Halo? Aghni? Sayang?”

Aghniya menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Aji. “Nggak ada, Pa. Aghni pulang ya, Papa tenang aja pokoknya nanti Aghni sampe rumah. Papa hati-hati, balik lagi aja ke kantor. Makasih udah mau usaha jemput Aghni ya, Pa. Daah!”

Setelahnya gadis itu memutus panggilannya, kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Beruntung, tasnya berbahan anti air, jadi ia tak perlu terlalu khawatir jika menerobos hujan. Aghniya memindahkan tasnya ke depan, berganti menjadi meneluknya di dalam jaketnya sendiri. Setelah bersiap dengan dirinya sendiri, Aghniya berlari menerjang hujan yang justru semakin bertambah deras. Gadis itu menunggu cukup lama di depan sekolah guna mendapatkan kendaraan umum apapun yang bisa ia gunakan untuk pulang tanpa basah kuyup.

Selang beberapa lama, sebuah taksi muncul. Dengan segera gadis itu memberhentikannya dan masuk ke dalam. Pulang.

Sementara tak jauh dari sana, seorang pemuda memperhatikan gadis itu hingga benar-benar menghilang di balik pintu taksi yang tertutup. Damar di sana, bertarung dengan dirinya sendiri bahkan sejak Aghniya asik bertelepon.