K.O
Aghniya mengerjapkan matanya. Gadis itu baru saja membuka matanya dan yang ia rasakan adalah kondisi badannya yang semakin tidak enak. Dirinya semakin lemas, hingga rasanya tak sanggup bangkit dari tempat tidur dan ia hanya ingin tidur seharian. Ia menyipitkan matanya menatap jam dinding di kamarnya, pukul empat pagi. Pantas saja alarmnya belum berbunyi, pantas saja kedua orang tuanya belum membangunkannya.
Gadis itu menarik selimutnya lebih tinggi lantaran merasa sangat dingin. Padahal, AC kamarnya itu berada pada temperatur seperti biasa, di luar pun tidak hujan. Namun, gadis itu meringkuk kedinginan.
Sebisa mungkin, Aghniya mempertahankan kesadarannya, berusaha agar tidak kembali tertidur agar tidak kesiangan untuk salat subuh. Tiba-tiba air matanya menetes. Gadis itu memegang lehernya sendiri, mengecek suhu tubuhnya yang ternyata sangat panas. Pantas saja kepalanya terasa berat sejak awal membuka mata tadi.
Baru saja gadis itu ingin memberi dirinya sendiri keringanan untuk kembali tidur, azan subuh berkumandang. Pada akhirnya Aghniya memutuskan untuk bangkit pelan-pelan. Pemandangan yang ia temukan selanjutnya adalah seluruh isi kamarnya berputar-putar. Kepalanya pusing bukan main. Gadis itu memejamkan matanya, duduk sejenak di atas tempat tidurnya. Berharap penglihatannya tak lagi berputar.
Selang beberapa lama, setelah ia merasa sedikit membaik, Aghniya berjalan dengan langkah tertatih untuk mengambil wudu dan melaksanakan ibadahnya. Tentu saja gadis itu mengambil langkah pelan, berusaha tidak berisik agar tidak menggangu kedua orang tuanya yang masih beristirahat. Ia paham, mereka pasti jauh lebih lelah dari dirinya. Kedua orang tuanya pantas mendapatkan waktu istirahat lebih lama.
Seperti biasa, Ayna bergegas melangkah ke kamar Aghniya guna membangunkannya untuk salat subuh dan bersiap untuk sekolah. Kening wanita itu berkerut lantaran yang ia temukan adalah anak gadisnya tengah terduduk di lantai dengan tubuh yang bersandar pada tempat tidurnya. Bahkan mukenanya belum terlepas.
“Aghni? Kamu udah bangun sayang? Tumben?” ucap Ayna seraya terus berjalan mendekati anaknya. Senyumnya mengembang ketika mendapati rupanya Aghniya tertidur.
Ayna memegang pundak Aghniya dan mengguncangnya perlahan, “Aghni, bangun sayang. Sekolah, yuk?”
Tak ada respon, Aghniya masih tertidur dengan posisinya yang terduduk di lantai. Kemudian Ayna memutuskan untuk menoel pipi Aghniya, caranya membangunkan Aghniya seperti biasa. Sekon berikutnya Ayna membulatkan matanya lebar lantaran merasakan suhu panas dari kulit anaknya.
“Astaghfirullah, Aghni! Bangun dulu sayang! Kok badannya panas giniii?”
Suara pekikan Ayna membuat Aghniya mengerjapkan matanya. Raut wajahnya lesu dengan matanya yang sayu.
“Pusing, Bun..”
“Iya iya, ya Allah. Buka dulu sini mukenanya. Tiduran lagi aja, sebentar Bunay panggil Papa.”
Aghniya hanya pasrah, membiarkan ibunya membantunya membukakan mukenanya dan melipatkannya kembali. Memang itu yang ia butuhkan. Setelahnya Ayna membantunya kembali naik ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Ayna menyelimutinya sebatas leher. Kemudian memegang kening anaknya sekali lagi, memastikan kebenaran suhu panas yang memancar dari kulit anaknya. Rupanya suhu itu masih sama. Aghniya benar-benar sakit.
“Tunggu ya, Bunay panggil Papa,” ujar Ayna. Baru saja wanita itu ingin bergegas memanggil Aji, pria itu sudah muncul dengan sendirinya di depan pintu kamar Aghniya.
“Ay, anduk aku mana?” tanya Aji.
Bukannya menjawab pertanyaannya, Ayna malah memberitahukannya informasi lain. “Mas, badannya Aghni panas banget!” ujar Ayna panik.
“Hah?” Aji ikut panik. Bahkan kantuknya yang sedari tadi masih bersisa itu lenyap seketika. Kemudian Aji bergegas menghampiri Ayna dan turut mengecek kondisi Aghniya.
“Kok bisa sih? Aghni apa yang dirasain, Sayang?” tanya Aji.
“Pusing. Pegel-pegel. Muter semua, Paa, takut jatoh,” jawab Aghniya dengan suara serak yang nyaris hilang.
“Ay, kompres dulu deh. Terus kamu beliin bubur buat sarapan biar bisa minum obat. Nanti aku yang buat surat buat izin ke sekolahnya,” titah Aji. Kemudian Ayna mengangguk, memutuskan untuk menuruti perkataan suaminya.
Hari semakin siang. Sudah pukul sembilan pagi dan Ayna masih mengurusi Aghniya yang terbaring lesu di tempat tidurnya. Selimutnya masih setia menghangatkan tubuhnya yang menggigil pada pagi hari yang penuh sinar matahari.
Ayna masih mengompres Aghniya dengan kain basah dan jeruk nipis, berharap suhu tubuh anaknya itu kembali normal atau setidaknya turun sedikit. Namun, tindakannya itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Panas Aghniya justru semakin tinggi hingga gadis itu sama sekali tidak nyenyak dalam tidurnya padahal sudah meminum obat.
Sesekali gadis itu mengigau dalam tidurnya. Membuat kening Ayna mengkerut sekaligus hatinya mencelos.
“Bun..”
“Iya sayangg, kenapa? Mau apa?” Ayna menjawab Aghniya penuh perhatian meski mata gadis itu terpejam.
“Bunay..”
“Iya sayang, ini Bunay di sini nih, nggak ke mana-mana kok,” jawab Ayna lagi. Wanita itu kini menggenggam tangan Aghniya yang juga terasa panas. Mengelusnya perlahan, memberinya bukti bahwa ia Ayna ada di sampingnya.
Setelahnya tak ada jawaban, Aghniya kembali melanjutkan tidurnya. Igauannya itu berhenti sejenak.
Ayna menghela napasnya, kemudian mengusap-usap kening anaknya dengan penuh kasih sayang. Berharap tindakannya itu bisa membantu Aghniya jatuh ke dalam tidur yang lebih lelap.
Ayna melirik jam dinding di kamar Aghniya. Pukul setengah sepuluh. Bahkan ia belum sempat mengurus dirinya sendiri. Sedari tadi Ayna tak beranjak dari kamar Aghniya. Wanita itu hanya pergi sebentar guna mengambil air kompresan atau menggantinya dengan yang baru, setelahnya kembali menetap di kamar Aghniya guna memastikan anaknya baik-baik saja. Belum sempat mandi, belum sempat makan. Fokus utamanya adalah Aghniya yang bagaimanapun caranya, harus kembali sehat.
Lamunan Ayna terpecah ketika Aghniya kembali memanggilnya. Kini mata gadis itu sedikit terbuka meski masih menyipit menahan sakit yang berasal dari kepalanya.
“Kenapa, Sayang?”
“Papa?”
“Papa kan kerja,” jawab Ayna.
“Aghni mau sekolah.”
“Nanti yaa, sembuh dulu. Emangnya kuat kalo sekolah? Katanya tadi Aghni pusing?” jawab Ayna lagi. Sebisa mungkin wanita itu menahan tangisnya seraya terus menjawab ucapan anaknya yang entah benar pertanyaan atau sekadar igauan.
“Bun, muter..”
“Iyaa, tidur lagi tidur lagi.”
“Bun..”
“Iyaa?”
“Damar masih marah ya?”
“Hm? Bunay nggak tau, Sayang. Nanti Bunay tanyain yaa. Udah Aghni tidur yaa, biar nggak pusing.”
Setelahnya Ayna memutuskan untuk menghubungi Aji. Aghniya harus benar-benar dibawa ke dokter.