Kicked Out
“DAAAAM!!!!” panggil Ojan dengan riang kala mendapati Damar melangkah keluar rumah menghampiri mereka. Ojan lantas menarik Damar ke dalam pelukannya lebih dulu. Disusul Dhimas dan Haris yang juga turut melingkarkan tangannya memeluk Damar. Haris yang lebih tinggi menepuk-nepuk kepala Damar.
“Yang tabah ya, Dam. Turut berduka cita,” ucap Haris. Sementara Damar hanya menjawabnya dengan senyuman tipis.
“Sorry agak lama ke sininya, nungguin Haris dulu tadi. Mandinya lama banget, ngapain sih lo Ris di kamar mandi? Mandi apa bangun candi?” ucap Dhimas, sengaja memancing tawa Damar.
“Mandi lahh, gue duduk di kursi selama sekolah aje encok gimane mau bangun candi?” jawab Haris.
“Haris mah mandinya luluran egee,” ucap Ojan.
“Kagak egee, Haris mandinya kan pake pasirr guling-guling,” sambung Dhimas.
“LO KENAPA JADI MIKIRIN GUE MANDI SIHHH?” jengkel Haris. Setelahnya keempatnya tertawa bersama. Tawa Ojan menguar paling keras, “Iya juga anjinggg ngapain yak?”
“Gue mandi pake kembang tujuh rupa sih, fyi,” ucap Haris. “Tai, mau melet siapa lo?”
“Ibu kantin, biar gue boleh ngutang,” balas Haris seraya terkekeh. “Yah anjing, lo nyindir gue kan pasti Ris?” tanya Ojan tak terima. Sementara yang lain hanya tertawa mendengar si spesialis ngutang itu menanggapi Haris.
Sedari tadi, Damar hanya menanggapi ucapan keempat temannya itu dengan senyum tipis. Sesekali tawa kecil lolos dari bibirnya lantaran tak lagi bisa menahan gurauan teman-temannya yang sering kali tak masuk akal. Namun, di situ letak lucunya. Damar bersyukur dalam hati karena Dhimas, Haris, dan Ojan sama sekali tidak membahas bapak. Mereka benar-benar hadir untuk menghiburnya dan menemaninya melewati masa sulit seperti hari ini. Dhimas, Haris, dan Ojan, sama sekali tidak menanyakan penyebab kematian bapak, kronologis ceritanya, atau kondisi ibu ketika mengetahui kabar ini. Mereka sama sekali tidak menanyakannya. Dan Damar sangat mensyukurinya, sebab hati dan bibirnya sudah lelah harus menceritakan kisah itu berulang kali pada setiap orang berbeda.
“Dam, sorry, mau dimakamin di mana?” tanya Haris. “Di luar kota apa gimana?” tanya Haris lagi, memperjelas maksud pertanyaannya.
“Di Jakarta kok, nggak di luar kota. Dimakamin di Layur, biar deket sama Kakek gue,” jawab Damar.
“Ohh, kalo gitu kita ikut ya, Dam? Kita bawa motor, kok,” ucap Ojan.
“Ya gue sih nggak masalah, cuma emang lo pada nggak capek? Besok sekolah,” balas Damar.
“Duh, lebih capek nungguin Haris mandi, Dam. Asli dah,” ujar Dhimas.
“Guaaa lagi,” protes Haris. Sementara ketiga temannya hanya terkekeh.
“Ya udah, nanti ikut aja,” ucap Damar. “Makasih ya, Bro.”
“Selaw, eh emak lo di dalem? Boleh ketemu nggak?” tanya Ojan. “Iye mana, Dam emak lo?” Haris ikut bertanya.
“Ibu di dalem, masuk aja. Tadi sih lagi duduk,” balas Damar. Setelahnya Haris dan Ojan masuk guna menemui ibu. Bagaimanapun juga, petantang-petenteng sudah seperti saudara sendiri bagi Damar. Ketiga temannya itu sering mampir ke rumah Damar, sering pula bertamu tiba-tiba tanpa diundang. Namun, ibu dan bapak selalu menyambut mereka dengan hangat. Seperti menyambut anak sendiri ketika pulang ke rumah.
Kemudian ibu akan menyediakan berbagai suguhan seperti teh hangat, roti bakar, mie goreng, nasi goreng, dan sebagainya yang nantinya akan disantap bersama bapak. Kepergian bapak pula adalah kehilangan bagi Dhimas, Haris, dan Ojan. Memiliki anak tunggal laki-laki membuat bapak selalu sumringah dan berseri setiap kali teman-teman anaknya itu bertamu. Bapak selalu menatap mereka berempat dengan tatapan berbinar. Setelahnya beliau akan mengajak mereka semua untuk berkumpul bersama. Bermain catur, karambol, kartu remi, atau untuk sekadar curhat sembari bermain gitar ditemani kopi hangat selayaknya anak muda di tongkrongan. Tak hanya Damar, tapi mereka semua, kehilangan bapak.
Dhimas masih berdiri di tempatnya, menemani Damar yang menoleh ke dalam, melihat Haris dan Ojan berbincang seraya memukul pundak satu sama lain. Damar tersenyum, ia tahu kedua temannya itu berusaha menghibur ibu. Dan itu berhasil, pemuda itu mengetahuinya dari kedua mata ibu yang menyipit serta senyum manisnya yang nampak meski hanya secuil. Biarlah, baginya ibu akan tetap miliki senyum paling manis nomor satu di hidupnya.
“Eh, lo nggak masuk?” tanya Damar pada Dhimas yang rupanya masih berada di sebelahnya.
Pemuda itu menggeleng menjawab pertanyaan Damar, “Sini aja lah gua, nemenin lo.”
Damar terkekeh, “Najis lo.” Dhimas pun ikut tertawa seraya memalingkan wajahnya. Setelahnya keduanya hanya diam. Di bawah naungan langit yang semakin sore.
“Dhim,” panggil Damar. Dhimas menoleh. Menanti Damar melanjutkan kalimatnya.
“Any advice to pass this?“
Dhimas menghela napasnya sebelum menjawab pertanyaan Damar. Pemuda itu terkekeh, “Gue juga nggak bisa ngelewatinnya, Dam. Susah. Sampe sekarang juga gue kadang suka mikirin bokap gue. How things would've been so much better kalo dia masih ada.”
Damar terdiam. Kata-kata Dhimas mendadak menyadarkannya akan sesuatu. Bahwa setelah ini, banyak yang harus ia hadapi. Dan pastinya, tanpa bapak di sisinya. Tak ada lagi teman mengobrol sehabis isya berjamaah di masjid selama jalan pulang, tak ada lagi yang akan menegurnya jika mengucap salam asal-asalan, tak ada lagi yang memintanya membelikan makanan untuk ikan-ikan kesayangannya, tak ada lagi yang akan memberinya nasihat yang menghangatkan hati setiap malam, tak ada lagi segelas kopi jika sarapan. Tak ada lagi bapak di sisinya. Tak ada lagi bapak di tengah-tengah Damar dan ibu.
“Tapi gue tau satu hal, Dam,” ucap Dhimas. Damar memandang Dhimas dengan sebelah alis terangkat sedikit.
“Gue tau lo bisa ngadepin ini lebih hebat dari gue,” sambung Dhimas.
Setelahnya pria itu menepuk-nepuk bahu Damar. Kemudian menyusul Haris dan Ojan yang sedang bercengkrama dengan ibu. Baru beberapa langkah berjalan, Dhimas kembali berbalik.
“Dam, Aghniya di sana tuh,” ujar Dhimas menunjuk pada satu arah. Setelahnya kembali berlalu.
Damar menoleh pada arah yang ditunjukkan Dhimas sebelumnya. Benar rupanya, gadis itu di sana. Sekon berikutnya, tatapan keduanya bertemu. Kemudian Aghniya menghampirinya dengan langkah ragu-ragu. Sementara Damar terdiam di tempatnya, dengan tatapan yang tak lepas dari Aghniya yang berjalan ke arahnya.
“Hai, hehe,” sapanya seperti biasa. “Turut berduka cita ya, Dam.”
Damar memalingkan wajah sesaat sebelum membalas, “Ngapain ke sini?”
Aghniya tanpa sadar mengangkat alisnya mewakili kebingungannya, “Hah? Y-ya mau ikut doain..”
Damar mendengus, “Nggak perlu.”
“Kenapa?”
“Ya, ngapain lo di sini? Bukannya lo nggak peduli sama gue?” tanya Damar.
“Loh, kalo gue nggak peduli gue nggak di sini, Dam,” balas Aghniya.
Damar terdiam. Gadis itu ada benarnya. Namun, dirinya masih terlalu marah.
“Gue nggak perlu lo di sini,” ujar Damar. Netra Aghniya melebar terkejut mendengar penuturan Damar yang seratus persen berbeda dengan Damar yang biasanya bertutur lembut.
Aghniya menunduk, bahunya semakin merosot menampilkan kecewa. “Gue tau, Dam.” Gadis itu menghela napasnya. “tapi dibutuhin atau enggak gue di sini, gue cuma berusaha ada buat temen gue. Itu aja, kok,” sambungnya.
Damar membuang napas berat, “Pulang.”
“Hah? Pulang?”
“Gue nggak butuh lo di sini,” ucap Damar. “Jadi, mendingan lo pulang.”
Sekali lagi, Aghniya merasakan dirinya tertohok dengan jawaban Damar.
“Lo- ngusir gue, Dam?”
Damar terdiam cukup lama. Sementara Aghniya masih setia memandangi netra pemuda itu yang tampak bengkak bekas menangis seharian.
“Iya,” jawab Damar tanpa ragu.
Kemudian, lagi-lagi Damar meninggalkannya seraya merasakan hatinya yang ikut nyeri akibat ulahnya sendiri.
Pemandangan berikutnya yang Aghniya saksikan adalah Damar yang bercengkrama dengan Salsa dan ibunya. Mungkin Damar benar, ia tidak dibutuhkan di sana. Dan dirinya harus pulang.