Lights Out

Seperti hari-hari kemarin yang semakin kelabu tanpa bapak, Damar memilih duduk menyamping di jendela kamarnya dengan memeluk sebelah kakinya yang tidak ia jadikan penyangga. Sesekali Damar memejamkan matanya, berusaha menikmati suasana meski angin sore yang menyapu wajahnya kala itu membuat kehilangannya akan bapak semakin terasa.

Sekon berganti menit, hingga jam berganti hari, cahayanya belum kembali. Damar masih gemar menyendiri di kamarnya yang kian tak terurus. Masih setia meladeni gumpalan emosi dalam relungnya. Masih setia membaca buku harian bapak yang syukurnya, masih sempat bapak titipkan pada ibu sebelum beliau pamit.

Hari ini Mas Damar masuk SMA. Waktu berjalan cepat sekali rupanya. Semoga menjadi anak baik.

Mas Damar punya teman baru katanya. Namanya Haris dan Jauzan. Semoga berteman semakin erat dan punya banyak teman lagi.

Teman Mas Damar bertambah satu, namanya Dhimas. Semoga Mas Damar tidak pernah kesepian.

Hari ini Mas Damar punya teman baru lagi. Perempuan, tapi nggak mau beri tahu namanya katanya. Kata Mas Damar, pokoknya cantik.

Hari ini berbincang dengan Mas Damar. Lagi jatuh cinta kayaknya, sampai jatuh dari tempat tidur.

Mas Damar hari ini izin belajar bersama. Belajar Fisika katanya. Tumben, padahal bisa belajar sama bapaknya sendiri. Nggak apa lah, biar sesekali mengenal dunia luar. Semoga selalu ingat pulang.

Mas Damar semakin berani akan perasaannya. Hari ini pergi dengan pujaan hatinya, ke Taman Mini. Memang dasar remaja, tak perlu yang mewah asalkan berdua. Cantik katanya, baik pula hatinya. Namanya Aghniya Zhafira. Semoga perasaan Mas Damar terbalas dan bahagia. Sampaikan salam bapak untuknya, Mas.

Hari ini berbincang dengan Mas Damar. Perihal arwana. Ku sampaikan juga pesan dan harapan untuknya. Semoga Mas Damar sehat dan bahagia selalu, dengan atau tanpa aku.

“Mas Damar,” panggil ibu. “Ibu ketuk pintu dari tadi, nggak denger ya?”

Damar mengerjapkan matanya, setelahnya menghela napasnya. Ia menutup buku harian bapak dan meletakkannya kembali di meja belajarnya. Kemudian memilih turun dari jendela kamarnya dan duduk di kasur.

Ibu turut menghela napas, “Makan yuk?”

“Duluan aja, Bu. Damar nanti aja,” balas Damar seraya tersenyum tipis.

“Ibu maunya makan sama Mas Damar. Dari kemaren Ibu makan sendirian terus. Mas Damar lagi jauhin Ibu kah?”

Pemuda itu menggeleng menjawab pertanyaan sang ibu, “Enggak. Damar lagi pengen sendiri aja.”

“Mas Damar sehat kan?”

“Sehat,” balas Damar.

“Hatinya sehat?”

Damar terdiam mendengar pertanyaan ibu. “Emang ibu sehat? Ibu emang udah nggak pa-pa?”

Ibu mengulas senyum manisnya. Kemudian berjalan menghampiri Damar. “Mas, sedih itu boleh. Tapi jangan berlarut-larut begini. Bapak kalo tau juga nggak suka loh,” ucapnya seraya mengusap kepala Damar lembut.

Ibu mengambil tempat di sebelah Damar. Tangan halusnya itu merangkul Damar ke dalam pelukannya. “Mas Damar tau nggak? Setiap hari Bapak kerjanya ngomongin Mas Damar terus. Bapak sayang banget sama Mas Damar. Dari Mas Damar masih di perut Ibu, sampe sekarang udah sebesar ini. Bapak sayang Mas Damar, selalu.”

Netra ibu berkaca-kaca seiring bibirnya memulai cerita, pun netra milik Damar yang mewarisi teduhnya netra bapak. “Dulu Bapak yang paling semangat bikin foto album, katanya biar selalu bisa liat perkembangan Mas Damar. Setiap liat album foto kita, Bapak cuma bilang satu. Mas Damar selalu hebat dari dulu, jagoannya Bapak.”

Damar mulai menangis, tetapi ibu membiarkan. Ibu paham, ada tangis anaknya yang tertunda lantaran harus bersikap kuat demi dirinya tempo hari. Kali ini, biarlah perannya kembali seperti semula. Menjadi seorang anak yang bagaimanapun selalu butuh kembali pada pelukan ibu. Menangis dan merengek seperti yang biasa dilakukan ketika bayi. Kemudian kembali tenang ketika usapan lembut ibu menyapu kulit.

“Dulu, waktu Mas Damar mau lahir, Bapak cuma nyiapin satu nama. Yudhistira Damar, nggak mau yang lain. Tau kenapa?” tanya ibu. Damar menggeleng pelan dengan air mata yang kini membasahi pipinya.

“Kalo dalam bahasa Jawa, Damar itu cahaya, Mas. Cahaya dari lampu lilin. Tapi Mas Damar tau kan, cahaya lilin itu kadang goyah, rawan sekali padam. Makanya, Bapak menggabungkan dengan Yudhistira, yang artinya teguh. Bapak mau punya Yudhistira Damar dalam keluarganya. Bapak mau punya cahaya di keluarganya, dari damar, dari Mas Damar,” ujar ibu.

“Dulu Bapak diejek orang, kenapa namain anaknya Damar. Padahal kalau pengen cahaya, ada Surya yang artinya matahari, atau Chandra yang artinya bulan. Tapi Bapak nggak pernah marah, Bapak percaya diri dengan Yudhistira Damar. Katanya biarpun kecil dan nggak seterang sumber cahaya lain, damar itu yang paling dicari di tengah kegelapan. Harapan Bapak, biarpun kecil, semoga selalu teguh mengusir gelap di tengah keluarganya,” lanjut ibu.

“Tapi, kalo Mas Damar kayak gini-” ucapan ibu terjeda dengan isak tangisnya sendiri. Rupanya ibu pun sama seperti Damar. Belum bisa kuat sepenuhnya tanpa bapak.

“Kalo Mas Damar kayak gini, ibu punya cahaya dari mana, Mas?” tanya ibu. Sekon berikutnya, tangis keduanya pecah. Damar bersembunyi di dalam pelukan ibu, bahunya bergetar hebat mengeluarkan tangis yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Hari ini baik Damar maupun ibu, keduanya tidak lagi memperlihatkan pertahanannya pada dunia. Ibu dan Damar kembali menjadi diri sendiri. Yang masih perlu menangis hebat dan menjadi lemah akibat kehilangan.

Ibu mengusap air matanya sendiri, kemudian meredakan tangisnya. Kedua tangan lembutnya menangkup wajah Damar yang semakin tidak karuan. Kantung hitam melingkari matanya yang juga sembab, pipinya semakin tirus akibat selalu melewati waktu makan, serta sorot matanya yang menatap tak minat pada dunia.

“Bangkit ya, Mas? Mas Damar masih punya Ibu. Ibu masih punya Mas Damar,” ucap ibu. “Tetep jadi damar-nya Ibu, ya Sayang ya?”

Dengan tangis yang sudah ia kendalikan sendiri, Damar mengangguk. Ibu tersenyum tipis, “Ibu tunggu di luar ya, kita makan. Mas Damar dari kemarin nggak makan liat nih, badannya makin kurus. Jelek.”

Damar memaksakan sebuah senyum menjawab ibu. Setelahnya ia mengangguk, membuat ibu membuktikan ucapannya dengan menunggu di luar. Damar memejamkan matanya setelah suara pintu kembali tertutup rapat. Kembali menyelesaikan tangis hingga dirinya benar-benar lega.

Rupanya bapak selalu menginginkan dirinya menjadi cahaya dalam keluarga kecilnya. Tetapi Damar lupa, akan jati dirinya. Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Cahaya yang diharapkan tak pernah redup oleh ibu bapak. Namun pada akhirnya redup, bahkan mati, setelah bapak diharuskan pergi.

Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Selalu menyala menyinari keluarga kecil mereka yang hangat. Selalu menyala mewakili harapan ibu bapak yang sama terangnya.

Yudhistira Damar adalah cahaya yang teguh. Namun perginya bapak yang menghadiahinya kesedihan mendalam bagai air dingin yang mematikannya dengan sekali guyur.

Namun hari ini, ibu adalah sumbu tempatnya menyala. Damar tersadar ia sudah terlalu larut dalam kesedihan hingga lupa cara untuk bangkit. Damar membuang napasnya, membuang pula semua perasaan berat dalam hatinya. Supaya lapang, dan bisa dengan ikhlas melepas kepergian bapak. Supaya tenang bagi dirinya, ibu, dan bapak.

Damar mengusap wajahnya, menghapus sisa-sisa air mata yang meninggalkan jejak di pipinya. Pemuda itu menatap buku harian bapak sekali lagi. Catatannya terhenti pada ketika keduanya berbincang soal arwana hari itu. Damar tersenyum lembut, kemudian mengambil pulpen miliknya di meja belajar. Hari ini, biarlah menjadi gilirannya menulis cerita pada bapak. Setidaknya hingga dirinya bertemu kembali dengan bapak.

Hari ini, kembali menyala. Untuk Ibu, untuk Bapak.

— Yudhistira Damar Damar-nya Bapak Ibu