raranotruru

Pantulan diri di cermin menyatakan bahwa Damar sudah siap untuk menemui Aghniya hari itu. Rambutnya sudah tersisir rapi—dan ia harap tidak akan berantakan selama di perjalanan, kemeja putih-biru dengan corak garis-garis yang dijadikan luaran membalut kaus putih sederhana di dalamnya pun turut membuat ketampanannya lebih terpancar. Pria itu menghela napasnya, membuat embusannya meninggalkan jejak di cermin. Setelahnya Damar menyugesti dirinya sendiri.

“Bismillah ya Allah, semoga nggak ngaco,” ucapnya bermonolog.

Setelahnya Damar keluar dari kamarnya, ia bertemu ibu yang sedang asyik bersantai di ruang keluarga. Ibu menoleh kala mendengar pintu kamar anaknya terbuka, setelahnya tersenyum dengan mata yang berbinar. “Aduhhh ganteng banget anak Ibu, udah mau jalan?”

Damar tersenyum bangga, “Iyaa. Gini aja nggak pa-pa, Bu?”

Ibu mengangguk pasti, “Iyaa, nggak pa-pa. Udah bagus, ganteng!” Sementara Damar hanya mengangguk paham seraya tersenyum. Setelahnya ia kembali memeriksa penampilannya sekali lagi.

“Udah nemu caranya, Mas?” tanya ibu.

“Udah, Bu. Tenang aja.”

“Pokoknya cara mengutarakan perasaan paling baik tuh dengan cara paling membuat nyaman. Mas Damarnya nyaman, dianya juga nyaman,” balas Ibu.

Damar mengangguk dengan kekehan kecil, “Iya, Bu. I'm doing it in my comfortable way, kok.”

“Oke kalo gitu. Ibu doain aja deh biar lancar. Itu buah naga buat apa, Mas?”

Damar mengangkat buah naga yang terletak di meja, “Oh, ini disuruh Dhimas. Katanya Aghni suka buah naga, tapi katanya kalo Aghni bingung, Damar suruh jawab lagi dikejar naga. Nggak tau deh tuh mau ngapain haha.”

Ibu ikut tertawa, “Emang aneh-aneh ya temenmu, Mas. Tapi seru ya? Pada mau bantu Mas Damar. Alhamdulillah temennya Mas Damar pada baik semua.”

“Iya, Bu. Emang mereka paling baik, deh. Walaupun ada-ada aja tingkahnya,” balas Damar seraya geleng-geleng kepala lantaran mengingat kelakuan teman-teman petantang-petentengnya.

“Ya udah, Bu. Damar berangkat ya?” pamit Damar pada ibu.

“Iya, hati-hati loh, Mas. Jangan lupa pake helm, jangan ngebut. Ibu takut banyak polisi,” ucap ibu kemudian mengusap kepala Damar yang mencium tangannya.

“Iya, Bu. Tenang aja, tenang. Aman aman. Ya udah, Bu. Berangkat ya? Assalamu'alaikum, Damar udah dikejar naga nih.”

Ibu terkekeh, “Wuu kamu juga sama, ada-ada aja. Wa'alaikumussalam!”

Dahh sayangg!

Ibu menoleh ke arah pintu mendengar suara Damar. Setelahnya ibu tersenyum lantaran mengetahui kebiasaan anak satu-satunya yang meniru suaminya setiap kali berpamitan. Kemudian ibu balas berteriak dari dalam.

“Ngawur!”

Di sinilah seorang Yudhistira Damar. Duduk melamun di kasurnya yang empuk setelah teman-temannya pamit sehabis makan malam bersama dirinya dan ibu. Rasa syukur hinggap dalam hati karena hari ini meja makan tak perlu merasa kesepian lantaran seluruh kursinya terisi tanpa celah. Cerita-cerita mengenai aksi di sekolah, pertengkaran kecil berebut telur dadar buatan ibu, hingga diskusi serius mengenai rencana Damar, semua itu menyelimuti meja makan rumahnya hari ini.

Damar mengetuk-ngetukkan jarinya ke pelipisnya sendiri, berharap tindakannya dapat memunculkan ide cemerlang dari otak cerdasnya. Kini terngiang jelas ucapan ibu kala merek berkumpul di meja makan.

“Coba Mas Damar inget-inget, dia sukanya apa?” tanya ibu.

“Sukanya dangdutan, Bu,” jawab Dhimas seraya tertawa. Membuat ibu turut mengeluarkan senyum manisnya.

“Hooh, Bu. Pokoknya kalo di kelas Dhimas kedengeran lagu dangdut itu asalnya dari doinya Damar, Bu,” timpal Haris.

“enggak deng, sukanya basreng, Bu. Tiap hari kerjaannya beli basreng,” ucap Dhimas lagi.

Alis ibu berkerut, “Basreng? Basreng tuh apa sih?”

“Bakso goreng, Bu. Tapi nggak kayak bakso juga sih, kayak kerupuk lah, pedes gitu,” Ojan menjelaskan.

“Nah ini Ojan juga sering beli, Bu. Masa Ojan beli basreng ceban,” ucap Dhimas.

“Haduhh, nanti batuk loh kamu, Mass,” ucap ibu pada Ojan. Sementara yang dijadikan bahan pembicaraan hanya tersenyum dengan mulut yang baru saja menerima suapan nasi goreng.

“Eh udah weh, Aghniya kupingnya panas ntar,” ucap Haris. Lagi-lagi Damar membelalakkan matanya dan lantas memukul Haris karena baru saja nama pujaan hatinya tersebut di sana. Membuat seisi meja tertawa.

“Ooh, namanya Aghniya? Kok nggak cerita sih, Mass?” keluh ibu.

Damar menggaruk tengkuknya yang tak gatal, setelahnya ia tersenyum kecut, “Belummm. Niatnya tuh nanti aja Damar cerita sama ibu. Eh, udah telanjur bocor sama tiga orang ini, ya udah, deh.”

Ibu mengangguk paham, memaklumi Damar dan alasannya tidak memberi tahu ibu mengenai yang sedang ia alami dengan perasaannya. Ibu pun pernah muda, beliau mengerti bercerita mengenai perihal hati pada orang tua memang tak mudah. Setelahnya ibu tersenyum, “Kalo mau gampangnya sih ya, Mas. Mas Damar pikirin dulu dia sukanya apa. Terus, coba pikirin kalo Mas Damar jadi perempuan, kira-kira Mas Damar mau diperlakukan seperti apa. Menurut Ibu yang kayak gitu justru akan lebih berhasil dari pada cara-cara yang terlalu gombal. Terus, jadi dirimu sendiri aja, Mas. Perempuan juga nggak suka laki-laki yang terlalu pencitraan dan banyak omong. Atauu, Mas Damar lebih sukanya mengekspresikan perasaan lewat apa? Itu bisa dipake.”

Dan di sinilah Damar, termenung di kamarnya sendiri memikirkan ucapan ibu. Artinya ia harus memikirkan apa yang Aghniya suka, serta bagaimana ia ingin diperlakukan jika dirinya adalah seorang perempuan. Terngiang pula pesan Mbak Wulan untuk meminta maaf dengan tulus tanpa meminta apapun. Terakhir, kalimat ibu mengenai cara apa yang membuatnya paling nyaman dalam mengutarakan perasaannya menjadi dengungan paling keras.

Damar termenung, setelahnya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, barang kali ada benda yang dapat membangkitkan inspirasinya. Pandangannya terhenti pada sebuah gitar yang tergantung di dinding kamarnya. Gitar yang biasa ia gunakan untuk bersenandung di malam hari bersama bapak, atau sendirian. Gitar yang membantunya mewakili perasaannya melalui senar yang dipetik dan lantunan suaranya sendiri di udara. Kala jatuh dan mencinta, kala patah hatinya, kala menyesal perasaannya, dan mungkin sekarang ketika permintaan maafnya harus disampaikan.

Damar tersenyum sumringah, ia tahu harus melakukan apa. Dengan segera pria yang kini sudah bersweater hitam itu menyambar gitarnya, kemudian mengutak-atik ponselnya guna menelusuri playlist-nya sendiri. Mencari lagu apa yang cocok digunakan untuk permintaan maaf, tetapi dapat sekaligus menyalurkan perasaannya barang sedikit.

Damar mendengar satu persatu kandidat lagu yang ia rasa cocok. Menelaah semua baris lirik yang tercantum di sana hingga pilihannya jatuh pada sebuah lagu yang menurutnya tepat. Setelahnya Damar mengetikkan sesuatu pada mesin pencarian di internet, pemuda itu mencari chords dari lagu yang ia pilih.

Setelahnya, Damar tak henti-hentinya tersenyum. Harapan dalam hatinya kembali penuh. Dengan cara ini, ia berharap dapat mendapatkan kembali maaf dari gadis pujaannya.

Dan di sinilah Damar, berlatih sepanjang malam guna melancarkan rencananya.

Sepulang ekskul di sekolah, teman-teman Damar memutuskan untuk berkunjung ke rumah pemuda itu. Sekaligus berniat bertemu ibu, tentunya. Saat ini keempatnya sedang duduk-duduk santai di ruang tamu keluarga Wijayanto. Mereka duduk lesehan seraya menikmati angin yang berasa dari kipas yang memutar di atas kepala.

Dhimas mengibaskan kausnya yang masih penuh keringat, kakinya ia luruskan seraya menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Ojan. Pemuda itu sama berkeringatnya dengan Dhimas. Sementara Haris memilih merebahkan dirinya di karpet, menjadikan paha kekar milik Dhimas sebagai bantalnya dan Damar menggunakan paha Ojan sebagai bantalnya.

“Dam, ni ruang tamu lo nggak mau dikasih AC apa, Dam? Gerah bat buset!” seru Ojan.

“Listrik mahal,” balas Damar.

“HP lo nggak ada AC-nya, Ris?” tanya Ojan lagi.

“Ngaco lo ah! Mana ada sih HP ada AC?” protes Haris.

“Eh siapa tau ege, Ris. HP jaman dulu aja TV-nya lu kagak tau ya?” ucap Dhimas.

“Oiya ya anjir, antenanya nyelip di HP wakakakak. Korek-korek dulu dikit baru nongol HAHAHAHAH,” balas Haris.

“Bahasa lu korek-korek, emange upil?” tanya Damar seraya terkekeh.

“Mirip lah, bedanya yang ini kagak dipeperin aja,” balas Haris lagi. Ucapannya itu disusul kekehan kecil dari teman-temannya.

“Eh gue liat-liat lo udah nggak sangar lagi, Dam?” ucap Ojan, yang selama ini menjadi sasaran empuk kegarangan seorang Yudhistira Damar.

Dhimas terkekeh, “Udah sadar, Jan, udah bener.”

“Tapi tadi Aghniya beneran masuk nggak sih? Kok gue nggak ketemu ya?” tanya Ojan.

“Masuk anjay, gue ketemu tadi pas ke ruang guru,” jawab Haris.

“Kok lo nyariin Aghni sih, Jan?” tanya Dhimas. “Gue aja nggak nyariin.”

“Elu kan sekelaaas, Panjul!” balas Ojan seraya menepuk jidat Dhimas penuh nafsu.

“Aduh—anjing! Kaget gua bloon!” seru Dhimas pada Ojan.

“Kagak ada Aghniya nggak ada yang nyuruh ngabisin bekel, kalo gue laper siang-siang nggak ada supplier makanan, gue sedih jujur,” ucap Ojan.

“Iya yak, gue juga sepi banget. Biasanya kalo gue riyep-riyep langsung dicubit tapi selama ini gue tidur dengan tenang,” sahut Dhimas menambahkan.

“Elu kesepian nggak, Ris, nggak ada Aghni?” canda Ojan. Lagi pula mereka sudah telanjur bertingkah layaknya sedang melakukan confession perihal betapa sepi hari-hari tanpa seorang Aghniya.

Haris tertawa sebelum menjawab, “Iya anjir. Gue biasanya jalan digodain ini nggak ada yang godain. Nggak seru.”

“Tapi tweet-nya Aghni pas galau ngakak banget anjir nggak jelas,” ucap Haris.

“JHAH, iya anjir mukidi gue ngakak banget,” balas Ojan.

“Terus yang itu, *capek-capek benerin mobil ternyata yang rusak perasaanmu padaku HAHAHAHAH GOBLOK ANJIR AGHNIYA,” sahut Haris.

“Udah yang satu lagi nggak usah ditanya,” potong Dhimas sebelum Ojan berhasil menanyakan Damar. “Nggak jelas,” sambung Dhimas lagi.

Seketika Damar bangkit mendengar perkataan Dhimas, “Kok lo gitu aamat sih?”

Dhimas hanya terkekeh. “Lagian lo aneh banget jadi orang, kagak jelas,” ucapnya.

“Eh iya, lo gimana tuh jadinya? Kapan mau minta maaf? Udah nanya Ayesha?” tanya Haris.

“Udah. Kata Ais, Aghni kalo pulang sekolah pasti ke rumah sakit lagi buat check up. Jadi pasti nggak akan ketemu. Sementara kalo istirahat waktunya bentar banget kan? Kata Ayesha mending gue ke rumahnya aja,” jawab Damar.

“Terus kapan lo ke rumahnya?” tanya Dhimas.

“Sabtu sih rencananya,” balas Damar.

“Udah tau mau ngomong apa lu, Dam?” tanya Ojan. Kali ini Damar terdiam, kemudian menggeleng. Ojan benar, pria itu belum memiliki perencanaan yang matang.

“Terus gimane lu?” tanya Dhimas.

“Nggak tau dah, menurut lo gimana? Maksud gue, iya gue tau sih. Minta maaf aja yang bener gitu intinya, tapi gimana ya? Masa cuma dateng doang terus Aghni, gue minta maaf ya? terus balik?” celoteh Damar.

“Ya nggak gitu, lahh! Ngomong apa kek gitu,” balas Ojan.

“Naah, kasih tau, Jan,” sahut Dhimas.

“Nih, kan dateng nih. Salam dulu dong? Salam alaaekoom, Aghni! gitu. Terus kalo ada orang tuanya lo sungkem dulu, cuci kakinya—”

“Duh jangan dilanjut deh, Jan. Gue tau ke mana arah pembicaraan lo,” ucap Dhimas.

“Ke mana emang?” tanya Ojan.

“Abis cuci kaki pasti lo mau ngomong cuci tangan, cuci muka, bobok, iya kan?” tuduh Dhimas.

Sementara Ojan tertawa meremehkan, “Hahah, padahal gue niat serius loh. Tuh kan, gue selalu membuat lo semua berpikir ke depan padahal gue muter balik anjinggg keren banget emang Jauzan Narendra.”

Baru saja mereka semua akan mengutarakan protes pada Ojan, ibu mengucap salam. Selamat-lah Ojan dari pukulan sayang teman-temannya.

“Eeeh ada taamuu,” ucap ibu. Wanita itu kemudian memasuki rumahnya sendiri seraya menyambut tangan-tangan para pemuda yang berebut menyalaminya. “Udah pada makan belum?”

“Uwaduh pas banget, Bu. Belom, Bu, belom” balas Dhimas membuat ibu tergelak.

“Sama, Bu sama,” balas Ojan.

“Boong, Buu, ini pada perut karung aja semuanya,” sahut Damar menimpali.

“Oooh begitu cara main lo, Dam? Ya udah kagak usah dibantuin, kagak usah dijwab kalo dia nanya harus begimana hari Sabtu,” ucap Haris.

Damar membulatkan matanya, tak menyangka Haris akan membocorkan rencananya di hadapan ibu. Kening ibu mengkerut, “Sabtu? Emang mau ngapain Mas Damar hari Sabtu?”

Damar gelagapan seketika, haruskah ia jujur pada ibunya? Atau haruskah ia mengelak agar rencananya tidak ketahuan? Karena sejujurnya Damar belum siap jika harus membicarakan ini dengan ibu.

“Hah? Enggak, Bu. Damar mau per—”

“Damar mau nembak cewek, Bu!” potong Ojan cepat. “BENER BU!” Dhimas menimpali.

“Eh apaan sih?!” ucap Damar, namun tak ada yang peduli.

“Beneran, Buuu. Ini kita lagi berdiskusi, Bu. Enaknya gimana gitu ehe,” ucap Haris.

“Oalaah, Mas Damar ih. Kenapa nggak nanya Ibu juga? Kan Ibu juga mau bantuin,” ucap Ibu.

“Bu ya Allah enggak dih, siapa yang mau nembak orang Damar cuma mau—”

“Udah, tunggu sini semua ya. Ibu mandi dulu abis itu ibu masakin nasi goreng ya? Nanti kita makan sama-sama sambil ngobrol bantuin Mas Damar,” ucap ibu. Setelahnya ibu pergi meninggalkan Haris, Ojan, dan Dhimas yang tertawa cekikikan dengan Damar yang hanya bisa terperangah di tempatnya.

“Heh! Semprul lo bertiga!” cetus Damar pada tiga temannya yang kini tertawa puas.

“Kak Yunaaaaa,” panggil Aghniya pada Yuna, si ketua saman yang selalu ramah pada anggotanya. Yuna membalas sapaan gadis itu dengan ceria.

“Haii, ihhh udah masuk. Udah sehat kamu?” tanya Yuna. “Kemaren dirawat bukan?”

“Iyaa, Kak. Tapi udah nggak pa-pa. Lagian bosen juga lama-lama di sana. Cuma, aku belom bisa ikut latihan, Kak. Soalnya aku masih harus rawat jalan,” balas Aghniya.

“Ohh, iya nggak pa-pa. Aku ngerti lah, kamu juga masih lemes pasti. Nggak boleh kecapekan dulu, nanti drop lagi bahaya.”

“Aku hari ini izin ya, Kak? Aku mau ke rumah sakit sekarang,” ucap Aghniya lagi.

“Iya iya, izin aja. Kamu ke rumah sakitnya sendiri?” tanya Yuna.

Aghniya menggeleng, “Enggak, ini Papaku lagi jalan ke sini.”

“Oalaah, ya udah. Tunggunya di sini aja nggak pa-pa, duduk sini aja adem,” balas Yuna. Sementara Aghniya hanya mengangguk. Memang benar kata Yuna, lebih baik ia menunggu di ruang Seni Budaya yang dilengkapi pendingin ruangan dibandingkan harus berdiri di bawah matahari sore yang sinarnya menyilaukan mata. Belum lagi kondisi tubuhnya yang masih lemas, bisa-bisa nanti Aghniya pingsan mengingat bawaan tasnya yang berat hari ini.

“Aghniya ih kamu teh ke mana ajaaaa?” tanya Nadia.

“Aku sakit Nadiaa. Abis dirawat akutuu,” balas Aghniya menggunakan nada bicara yang sengaja dibuat mirip dengan nada bicara Nadia.

“Sakit apa, Agh?” tanya Nadia lagi.

“DBD, Nad.”

Omaygat, tetangga aku juga anaknya DBD. Tapi udah lama, masuk rumah sakit tapi dia tuh panas banget badannya sampe kejang-kejang.”

“Astaghfirullah, gue enggak sih, Nad alhamdulilah..” balas Aghniya.

“Tapi lo panas sampe yang panas banget gitu nggak Agh?” tanya Nadia penasaran.

“Iyaa, tapi nggak sampe kejang sih,” jawab Aghniya lagi.

“Lo paling panas berapa kemaren?” tanya Nadia, gadis itu masih setia menginterogasi Aghniya yang baru saja sembuh itu.

“Berapa ya, 39 kayaknya.”

“OH WOWW, pingsan nggak Agh?”

“Enggak sih, ngigo iya, muter gitu loh. Pusing banget.”

“Lo nggak pernah pingsan dong Agh?”

“Enggak sih, belum. Lo pernah?”

“Pernah, waktu itu gue nganterin Mama gue ke pasar kan, itu tuh rame banget. Terus gue pusing tiba-tiba terus tau-tau gelap. Bangun-bangun gue di warung gitu dikerubungin orang. Mama gue udah nangis aja, panik,” cerita Nadia.

Tentu saja ceritanya membuat seisi ruangan tertawa. “Ih, gue kalo jadi emaknya mah gue tinggal. Malu! Malu-maluin banget jadi orang, pingsan di pasar,” ucap Ayesha.

“Ah kamu jangan gitu dong Ayesha. Gue juga nggak tau padahal gue tuh udah makan, tapi emang orangnya BUANYAK banget waktu itu jadi pusing,” balas Nadia.

Ini lah salah satu alasan Aghniya menyukai datang ke sekolah. Gadis itu bisa bertemu dan berbicara banyak dengan teman-temannya. Berbagi kisah yang entah terinspirasi dari mana, kejadian betul atau hanya bayang-bayang akan konspirasi yang memenuhi akal remaja SMA, dialami sendiri atau teman yang lain, dan sebagainya. Benar kata orang, mereka yang bilang merindukan SMA bukan merindukan pelajarannya. Namun yang dirindukan adalah suasana semasa SMA.

Obrolan diam-diam ditengah pelajaran, makanan yang secara gerilya dikonsumsi bersama di kolong meja saat guru menjelaskan, foto-foto aib teman yang tertidur di kelas, umpatan-umpatan kecil yang melayang di udara tiap istirahat, sepatu-sepatu yang berceceran ketika azan Zuhur berkumandang, kantin yang tak pernah sepi, topi dan atribut sekolah tak bertuan yang diperebutkan oleh siswa yang lupa membawa dari rumah, julukan-julukan untuk guru yang telah disepakati bersama, dan banyak hal lainnya. Itulah yang dirindukan.

Meskipun tak cukup lama, Aghniya selalu merindukan untuk kembali hadir di sekolah. Salah satu semangatnya untuk menghadapi dunia berasal dari sana. Bertemu dengan teman yang satu frekuensi, atau seorang yang terkasih, selalu membuatnya berhasil kembali menemukan sumber semangat baru untuk habiskan hari ini.

“Lo dirawat seminggu, Agh?” tanya Nadia. Sementara yang ditanya menggeleng sebelum memberikan jawaban lebih jelas. “Enggak, tiga harinya tuh gue bantuin nikahan Om gue dulu. Sampe Rabu tuh kan, nah balik-balik gue sakit. Jadi gue dirawat cuma sampe hari Minggu kemaren. Gue maksa pulang sih, bete di sana. Makanya ini masih harus rawat jalan soalnya takutnya belom sembuh bener gitu,” jelas Aghniya.

“Eeeh ilehh, bandel pisan. Aturan istirahat dulu Aghniya, di rumah aja gitu jangan sekolah dulu,” balas Nadia.

“Nggak betah di rumah dia, Nad. Kangen doinya,” ucap Ayesha membuat Aghniya membulatkan pupilnya.

“Eh, apaan lo! Kagak Nad boong!”

“Aiissshh, yang itu ya? Yang itu ya?”

“Apa sih enggak ih!”

“Aghniya doinya galak banget ih! Ako dimarahin mulu,” keluh Nadia.

“Apaseeeee emang doi gue yang mana?” tanya Aghniya.

“Ih? Yang itu kan Sha? Yang ketua kelas kita kan?” tanya Nadia pada Ayesha. Kemudian Ayesha mengangguk dan keduanya tertawa bersama.

Aghniya pada akhirnya tersenyum, tak sanggup lagi menyembunyikannya. “Emang dimarahin gimana?”

“Ya Allah gue cuma lupa nulis jurnal sehari aja dimarahinnya ampe besok-besok. Padahal gue udah bilang Iya Damar iya, udahhh hari ini udah ditulis tapi dia masih aja marahin gue kayak???? HE berisik lo Damar! Pengen gue gituin tapi gue tak-”

“EH SENSOR NAMA DONG MON MAAP,” ucap Aghniya panik. Membuat Nadia terperangah seraya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Setelahnya gadis itu cengegesan, “Mian mian, lupaaa akuuu lupaaaa.”

“Emang ni mulutnya ember banget ni,” canda Ayesha. “MAAF IHHH, kelepasan,” balas Nadia.

Aghniya hanya menggelengkan kepalanya. Saat obrolan hendak berlanjut lebih jauh, Aghniya merasakan ponselnya bergetar. Dengan segera ia melirik layar ponselnya, rupanya ada panggilan masuk dari Aji.

Kemudian Aghniya bergegas pamit kepada Yuna dan teman-temannya yang lain lantaran mengetahui Aji sudah di depan sekolahnya. Secepat kilat, gadis itu menyusul papanya untuk kembali mengunjungi rumah sakit.

Seperti guru olahraga kebanyakan, Pak Edo, guru olahraganya itu sering sekali meledek murid-muridnya. Entah dapat gosip dari mana, entah mendengar kabar dari mana, rasanya guru olahraga termasuk yang paling tahu semua hal.

Aghniya kini berada di lapangan meskipun tidak mengikuti kegiatan olahraga. Gadis itu memilih menunggu di pinggir lapangan, menemani Pak Edo dan membantu beliau mengisi nilai.

“Tuh tuh, Dhimas,” ucap Pak Edo.

“Berapa, Pak?” tanya Aghniya.

“85,” jawab beliau.

“Uuuwidihh jago. Pak besok saya juga dongg 85,” ucap Aghniya.

“Ya tergantung lah, elu bener kagak larinya. Kalo lu larinya kagak bener ya masa nilainya 85,” balas Pak Edo.

“Yah, Bapak pelit. Saya tulis sendiri nih Pak nilai saya,” canda Aghniya.

“YEEE JANGAN LAH, jadi orang tuh harus jujurr, Aghniyak.”

“Emang Bapak jujur, Pak?” candanya.

“Beeeuuuuh! Ya boong-boong dikit lah,” balas Pak Edo. Setelahnya Aghniya hanya tertawa dan kembali membantu gurunya mengisi nilai.

“Lu sakit ape si? Lemes bener muke lu, pucet,” ucap Pak Edo.

“DBD, Pak.”

“Ya Allah ya Rabbi, makanye lo kemane-mane pake Sari Puspa,” balas Pak Edo.

“Yeu ilaaah, mau tidur kali ah pake Sari Puspa.”

“Boong kali luu, sakit hati lu ya?” tanya Pak Edo membuat Aghniya kembali tertawa.

“JAKHH, sakit haati. Kagak dih orang emang beneran DBD. Bapak kalo nggak percaya baca neeeh surat dari dokter saya neeeh,” balas Aghniya.

“Ah boong itu mah, penyakit utamanya pasti sakit hati kan? Galau lu ya galau. Ama sapa si? Sape doi lu tuh tau Bapakk,” ucap Pak Edo.

“Ini ye, Amar ye?” tanya Pak Edo lagi.

“Dih siapa Amar? Nggak ada tau Pakk murid Bapak yang namanya Amar kelas 11,” balas Aghniya. Dalam hatinya ketar-ketir sementara bibirnya berkedut menahan tawa.

“Amar kaan? Yang kelas IPA 1 tuh siapee tuh namanye?”

“APA IH ENGGAK IH PAK EDO MAAAAH!”

“Oh iniiii, Yudhistira Yudhistira siape tuh nama panggilannya tuh?”

“Bapak ya Allahhh astaghfirullahhhhh, kata siapa lagi?”

“Yeuuu emang gue kagak pernah liat lu jalan berdua kalo mau pulang? Hahahaha. Pernah pulang bareng kan lu sekali?” tanya Pak Edo. Pria paruh baya yang masih bugar itu bicara seraya tersenyum mengejek.

“Tuh tuh orangnya lewat tuh, EH YUDHISTIRA! DICARIIN AGHNIYA!” ucap Pak Edo memanggil Damar yang kebetulan lewat di koridor, sepertinya pemuda itu kembali mendapat tugas meminjam proyektor. Langkah Damar terhenti dan menoleh ke arah Pak Edo yang memanggilnya di tepi lapangan.

“BOONGGGGGG!!!”

“BAPAK UDAH AH SAYA NGGAK MAU BANTUIN LAGI SAYA KE KELAS AJA! Dadah Bapakk, assalamu'alaikum!”

Senin pagi, Aghniya sudah kembali ke sekolah. Jumat kemarin gadis itu memaksa untuk pulang karena merasa kondisi tubuhnya sudah sangat baik. Aghniya enggan menetap di sana lebih lama lagi sebab gadis itu merasa bosan, satu-satunya teman baiknya di sana adalah seorang suster yang ia beri julukan Suster Gingsul. Suster yang sangat ramah dan selalu berbagi keceriaan yang sama dengannya, belum lagi gigi gingsulnya yang membuat senyumnya lebih manis berkali-kali lipat.

Pada akhirnya, setelah permohonan bertubi-tubi dan bantuan kompromi Aji pada sang dokter, Aghniya berhasil pulang ke rumah pada hari Minggu. Dengan catatan, gadis itu tetap harus melakukan rawat jalan untuk memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sembuh.

“Beneran nggak mau dianter sampe kelas?” tanya Aji pada Aghniya yang hendak turun dari mobil. Gadis itu tersenyum seraya menggeleng, “Nggak usah, Papa. Bisa sendiri, kok.”

“Ya udah, hati-hati yaa. Jangan kebanyakan aktivitas dulu, takutnya kecapekan. Olahraganya izin dulu aja, nanti sore jangan lupa kita ke rumah sakit lagi. Nanti Papa jemput,” celoteh Aji panjang lebar.

“Iyaaa. Udah ah, salimmm! Dadah, Papaa! Cemingit kerjanya i love you seribu logam plus daki kerokannya,” ucap Aghniya membuat Aji tersenyum kemudian mendelik. “Idih, jorok banget daki kerokan. Udah sana, sekolah yang bener. Kalo nggak kuat nggak usah dipaksain ya, telepon Papa aja.”

“Iya Papajieeee!”

Pada akhirnya Aghniya berjalan menuju gerbang sekolahnya sendirian. Sesampainya di sana Aghniya tanpa sengaja berpapasan dengan seseorang yang menjatuhkan sebuah kertas yang terlipat rapi khas surat resmi dari sekolah. Gadis itu membantu memungut surat itu untuk diserahkan kepada pemiliknya. Namun, ketika ia mendongak, rupanya Salsa yang berdiri di hadapannya.

Keduanya hanya diam dan saling menatap. Aghniya mengerutkan alisnya lantaran Salsa berjalan ke arah berlawanan dengan siswa-siswa yang lain. “Mau ke mana, Sa?” tanya Aghniya.

“Pulang,” jawab Salsa ketus.

“Kok?”

Salsa membuang napasnya kasar, setelahnya menyugar rambut kecoklatannya yang sering kali kena tegur kesiswaan. “Gue diskors. Puas lo?”

I'm- sorry to hear that. Gue nggak tau. Hati-hati pulangnya kalo gitu. Dijemput?”

Salsa tertawa meremehkan, raut wajahnya kian menunjukkan kekesalan pada lawan bicaranya. “Nggak usah gitu deh. Gue tau lo nggak suka sama gue, kenapa sih lo masih sok baik sama gue?”

Aghniya membelakakkan matanya sedikit. Terkejut akan intonasi bicara Salsa yang meninggi tiba-tiba. Setelahnya gadis itu mendengus seraya tertawa kecil, “Baik sama orang lain itu kewajiban, Sa. Nggak perlu ditanya kenapa.”

Jawaban mulus dari bibir Aghniya membuat Salsa tertegun kaku. Ada perasaan malu yang menyusup dalam sanubarinya. Salsa menundukkan wajahnya. Aghniya selalu bilang bahwa ia tidak merasa memiliki masalah dengan Salsa. Gadis itu akan dengan senang hati kembali menyambut Salsa sebagai temannya, sebagaimana hubungan yang mereka miliki dulu. Namun, rasanya Salsa tetap tak ingin berteman kembali dengan Aghniya. Kali ini bukan karena tak suka, namun ia terlalu malu akan ulahnya sendiri.

“Gue duluan, Sa,” ucap Aghniya. Setelahnya gadis itu melangkah masuk. Meninggalkan Salsa yang masih menahan amarah dalam hatinya.


“Woi, Aghni!” panggil seseorang membuat Aghniya menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Sudut bibirnya terangkat mendapati lelaki dengan badan jangkung dengan ranselnya yang disampirkan asal di sebelah bahunya.

“Revaaaaannn!!!” balas Aghniya seraya melambaikan tangan kanannya yang juga memegang tas bekal itu.

“Kok udah masuk? Emang udah sembuh beneran?” tanya Revan ketika keduanya sudah sejajar.

“Udah lah, Rev. Males banget di sanaa, bete. Lagian emang udah boleh pulang sih, cuma tetep harus balik lagi ke sana, periksa lagi,” jawab Aghniya. Keduanya kini berjalan beriringan menuju kelas.

“Ohh, rawat jalan ya?” tanya Revan. Gadis itu hanya mengangguk menjawab pertanyaan pemuda di sebelahnya. Sementara Revan hanya ber-oh-ria.

Revan masih melirik Aghniya di sebelahnya, gadis itu sesekali menghela napas seraya membetulkan posisi ransel yang membebani bahunya. Buku-buku pelajaran hari Senin yang sangat tebal itu sepertinya membuat Aghniya yang baru saja sembuh kesulitan. Maklum, pasti tenaganya belum sepenuhnya kembali. Bahkan gadis itu sudah membawa tas tambahan guna mengurangi beban ranselnya, namun masih saja terasa berat.

“Sini tas lo,” ucap Revan tiba-tiba, membuat Aghniya menoleh ke arahnya.

“Hah?”

“Sini tas lo, gue aja yang bawain. Berat kan?” ujar Revan.

“Ih, nggak usah. Makasihh.”

“Udah sini, dari pada nanti pingsan gue juga yang repot. Dari pada gue gotong lo, mending gue bawain tas lo dari sekarang, Aghni,” balas Revan. Kemudian pria itu mengambil alih ransel Aghniya dan menyampirkannya ke bahu kirinya yang menganggur. Membiarkan Aghniya hanya membawa tas tambahannya bersama dengan tas bekal miliknya.

“Ayok, gue anterin ke kelas,” ucap Revan.

“Ya Allah, jadi nggak enak. Makasih ya, Rev,” balas Aghniya.

Revan terkekeh, “Santai.”

“Eh, tadi gue ketemu Salsa. Katanya dia diskors ya, Van? Lo tau kenapa?”

“Oohh, ituu.. Jumat kemaren Salsa ketauan malak adek kelas di tangga. Ketauannya pas pulang sekolah, langsung sama wakasek, jadi langsung kena sanksi deh,” balas Revan.

Aghniya mendongak menatap Revan dengan tatapan terkejut, “Malak? Buat apaaaa? Emang dia nggak dikasih uang jajan sama Mamanya apa gimana, Rev?”

“Gue juga nggak tau. Tapi belakangan ini emang Salsa sering malakin adek kelas. Cuma baru ketauannya Jumat kemarin itu,” jawab Revan.

“Mamanya masih kayak dulu ya, Rev?” tanya Aghniya khawatir.

“Masih, Agh. Terakhir yang gue tau Salsa dikunciin di kamar mandi karena dapet Fisika 80,” balas Revan.

Aghniya membulatkan matanya, “80?! Itu udah alhamdulilah nggak sihhh?!”

Revan terkekeh, “Not for her mom. Tau sendiri kan, ambisinya Mamanya Salsa dari dulu gimana? Kalo nggak nomor satu nggak usah pulang gitu ibaratnya.”

Aghniya mengerucutkan bibirnya khawatir, “Iya sih..”

“Tapi untung kemaren Salsa ranking satu ya, jadi nggak dimarahin sama Mamanya kan?” tanya Aghniya.

“Nggak satu paralel, Bro. Masih kurang, lah.”

“Ihhhh ribet banget Mamanya ya Allahhhh,” gerutu Aghniya frustasi.

“Karena Mamanya guru. Jadi gitu deh...”

“Padahal orang tuanya Damar nggak begitu..” ucap Aghniya pelan. “Kenapa Agh?” tanya Revan yang tidak mendengar perkataan Aghniya dengan jelas.

Gadis itu menggeleng cepat seraya tersenyum, “Enggakk.”

Kayaknya di dunia tuh emang akan selalu ada yang kurang beruntung dari yang lain ya? Padahal situasinya mirip..

Btw, Van, Salsa diskors sendirian? Temen-temennya? Nggak mungkin kan dia malak sendirian? Masa yang lain nggak kena?” tanya Aghniya.

“Ya itu lah, definisi hati-hati memilih teman. Kemaren pas Salsa ketauan, temen-temennya malah berbalik nyerang dia juga. Mereka bilang mereka nggak ikutan dan malah bilang kalo mereka yang ngegep Salsa gitu.”

“HAH SERIUS?? Lah, tapi kan ada adek kelas yang dipalaak, masa mereka ngaku-ngaku dia diem ajaa?” balas Aghniya tidak terima.

“Namanya adek kelas, pasti nggak berani lah. Dia juga pasti tau kalo dia ngelawan, abis Pak Asep pergi justru dia yang abis.”

“Aaaa, iyaa sihh. Yaaah kasian Salsaa, kenapa sih temen-temennya begitu?”

“Gue nggak mau sembarangan ngomong sih, tapi gimana ya.. gue kan juga pernah rusuhin hidup orang lain, sekarang gue dapet balesannya. Salsa mungkin juga sama?”

Mendengar itu, Aghniya lantas terdiam. Tak lagi banyak pertanyaan dari bibirnya.

“Udah nggak usah dipikirin, doain aja Salsa biar nggak kenapa-napa di rumahnya. Semoga kalo dimarahin Mamanya cuma sebatas dikunciin di kamar aja atau hukuman ringan, nggak sampe dipukul,” ucap Revan. “Ayok buruan ke kelas, bentar lagi bel.”

Setelahnya Aghniya memilih menyusul Revan yang berjalan lebih dulu. “Tungguin kali!”

“Kelamaan jalannya, langkahnya cimit-cimit amat sih?”

Tanpa keduanya sadari, jauh di belakang sana seorang pemuda terdiam kaku. Memandangi interaksi tak terduga keduanya di pagi hari dengan tatapan sendu dan helaan napas berat dengan hati yang juga berat.

Pemuda itu membuang muka seiring sebuah tawa kecil meluncur dari bibirnya. Damar, menertawai dirinya sendiri.

“Ngapain lagi lu?” tanya Aghniya pada Dhimas yang baru saja datang menjenguknya untuk kedua kali. Dhimas tertawa seraya berdecih, “Songong lu ya, tidak tau diri sekali. Orang mah dijenguk bilang makasih.”

“Lo nggak bawain gue makanan ngapain bilang makasih,” balas Aghniya.

“Ohhh udah mendingan nih ya, Bun? Resenya mulai keluar,” ucap Dhimas pada Ayna. Sementara Ayna hanya tertawa melihat interaksi keduanya. “Alhamdulillah, Dhim. Panasnya turun, tadi baru makan banyak dia.”

“Hoaaa, iya iya. Kentara kentara, kalo agak mendingan dikit pasti rese, nyebelin, bawe-”

“Pergi nggak lo?! Gue timpuk mangkok nih,” potong Aghniya. Sementara Dhimas hanya tertawa. “Jan gitu dong, Brodi. Tos dulu kita, damaai damai.”

“WIH, banyak banget ya bingkisan lu ya. Buah bejibun tuh. Nah, kan, ngapain gue bawain lo makanan, nanti yang ada mubazir,” ucap Dhimas.

“Tadi Revan ke sini, Dhim. Udah lama deh Bunay nggak ketemu sama dia. Tau-tau udah mau pindah aja dia ya?” ucap Ayna.

“Iyaa, mau pindah dia Bun,” balas Dhimas. “Tadi Dhimas ada urusan dulu sih jadi telat ke sininya.”

“Ohh gituu, pantesan. Tadi Ayesha sama Vio juga ke sini. Rame ya, alhamdulilah banyak yang nyariin Aghni,” ucap Ayna. “Yang satu lagi nyariin nggak ya?”

Aghniya mendelik mendengar ucapan ibunya, “Siapa dih?”

Ayna tersenyum meledek, “Ah, pura-pura nggak tau. Yang itu tuu.”

“Apaan sih, Bunaaaay?”

Ayna tertawa, “Udah ah. Dhim, Bunay tinggal sebentar ya? Bunay belom salat Asar.”

“Oh, iya, Bun. Tinggal aja nggak pa-pa,” balas Dhimas.

“Bunaaay aaaaakkk tidaaaaaaaakk, jangan tinggalkan aku bersama orang ini nanti aku dianiayaaaa disiksa ditendang dibuang-”

“Lebaaaay bet najis! Gue lempar lo ke jendela!” ancam Dhimas main-main. Ayna hanya geleng-geleng kepala, setelahnya wanita itu pergi meninggalkan kedua remaja itu.

“Belajar apa Dhim di sekolah?” tanya Aghniya.

“Biasa lah, lanjut-lanjut materi doang. Abis itu latihan,” balas Dhimas. “Udeh, lo nggak usah mikirin itu dulu. Nanti yang ada makin stress. Nanti kalo lo udah masuk gue bantuin nyicil tugasnya.”

“Tapi kayaknya gue masuknya masih lama deh,” ucap Aghniya sedikit kecewa.

“Ya kalo lo-nya bener mah kagak. Darah lo masih susah diambil nggak?”

“Masih tadi. Padahal gue udah minum air putih yang banyak,” balas Aghniya. “Gue tuh bukan nggak mau minum banyak-banyak, Dhim. Pipisnya males, ribet.”

“Heee alesan aje kerjaan lu,” balas Dhimas.

“Eh gue tadi jatoh dari kursi tau,” ucap Dhimas.

“Hah? Kok bisa? Ihh bodoh deh lo,” balas Aghniya.

“Gue ngantuk banget anyinggg. Terus gue tukeran tempat duduk deh pokoknya, gue di belakang. Nah gue tuh goyang-goyangin bangku gitu, awalnya nggak kenapa-napa nih. Gue tuh goyang-goyangin bangku soalnya gue pikir bangkunya deket sama tembok belakang. Nggak taunya jauh banget brengsek!”

“Mana lagi pelajarannya Pak Asep, MANA ADA SI INDRA. Masuk-masuk die ngapain coba ye gue GEDDDEG banget ama tu orang satu. Gue uncang-uncang, tiba-tiba GEDEBAK gitu jatoh. Jengkang gua,” cerita Dhimas menggebu-gebu.

“Terus udah gitu si Ojan, pas istirahat abis salat kakinya jeblos comberan deket masjid tau nggak lo?!” ucap Dhimas. Sementara Aghniya hanya mengangguk dan tertawa tanpa suara mendengarkan cerita Dhimas yang belum habis.

“Itu kan biasanya ditutup kann, nah tadi tuh dibukaa nggak tau kenapa. Si Ojan tuh jalan sambil ngobrol sama Haris sama gue gitu kan, emang posisi dia paling deket sama comberannya itu. Jalan nih ye kan, lagi sok sok berteori dia iye Dhim, menurut gue tuh ini semua konspirasi tiba-tiba kakinye jeblos anjir ngakak,” tutur Dhimas.

“Terus dia jatoh nggak?” tanya Aghniya di sela tawanya.

“JATOH, gue pikir kan pendek yaa, maksudnya cetek gitu. Nggak taunya lumayan jugaa, se-tulang kering kkkkkk,” ucap Dhimas yang sudah tak lagi bisa menahan tawanya. “Kotor dah tuh celananya sebelah. Tapi pas ditanya sama guru-guru, kata Ojan Yah ibu, ini tuh namanya fahsyun.”

Aghniya masih tertawa menanggapi Dhimas. Bahkan matanya sampai mengeluarkan air mata dan perutnya terasa sakit akibat tertawa. “Ah, jadi kangen Ojan.”

“Selaw ajaa, bentar lagi ketemu. Bentar lagi lo sekolah. Bentar lagi lo sembuh buh buh buh! Mau gue sembur nggak biar manjur mantranya?”

Gadis itu mendelik, “Eww! Disembur lo bukannya manjur malah makin k.o guaa!”

Dhimas hanya tertawa menanggapi ucapan Aghniya. Setelahnya hening menyelimuti, keduanya beristirahat sejenak setelah mengumbar terlalu banyak tawa.

“Eh,” panggil Dhimas. Aghniya menoleh menatap Dhimas yang masih berseragam sekolah di sebelahnya.

“Apaan?”

“Kok lo nggak cerita.. kalo Damar marah sama lo?” tanya Dhimas.

Aghniya melebarkan pupilnya sedikit, “Kok lo tau? Ayesha cerita ya?”

Dhimas menggeleng, “lo ngigo.. lo ngomong sendiri Damar marah sama lo tau.”

“Demi apa lo?”

“Sumpah, kalo nggak percaya tanya aja Bunay,” balas Dhimas.

“Demi apa sih, Dhimm? Omejiiii. Eh tapi lo jangan marah sama Dam-”

“Enggak, gue nggak marah sama dia. Gue cuma ngomong aja sama dia tadi,” balas Dhimas.

“Hah lo ngomong apa?”

“Ya gue tanya lah. Kenapa gitu,” jawab Dhimas lagi.

“Terus dia bilang apa?”

“Kepo lo, tanya sendiri sana,” balas Dhimas. Membuat Aghniya tertunduk lesu. “Yah.. udah gue tanya tau dari lama, tapi dianya nggak mau jawab. Bahkan dia bilang dia nyesel temenan sama gue.”

“Masa? Damar bilang gitu?” tanya Dhimas. Aghniya mengangguk.

“Makanya udah lah, gue kayaknya nggak mau berusaha deket sama dia lagi. Dianya juga kayak nggak mau ketemu sama gue gitu. Tapi Revan udah ngasih tau gue sih alesannya apa. Tapi gue nggak mau ngurusin ah, capek. Terserah dia aja deh.”

Dhimas mengerucutkan bibirnya guna meledek temannya yang sedang bersandar pada ranjang rumah sakit, “Lo nyerah nih ceritanya?”

Gadis itu memalingkan wajah seraya tertawa kecil, namun Dhimas tahu, Aghniya hanya menyamarkan nyeri di hatinya. “Ya mau gimana? Kemaren-kemaren kan udah nyoba,” ucap Aghniya.

Sudut bibir Dhimas terangkat seiring helaan napas terdengar dari pemuda itu. “Yaa, mungkin kali ini Damar yang mau nyoba?”

Perkataan Dhimas berhasil membuat gadis itu termenung di tempatnya. Aghniya melipat tangannya di dada, merapatkan sweater ungu mudanya ke tubuhnya agar lebih hangat.

“Lagian kenapa sih lo nggak cerita sama gue? Kalo lo cerita kan nggak jadi beban pikiran sendiri,” ucap Dhimas membuat Aghniya kembali melihat ke arahnya.

“Gue—”

“Lo nggak mau gue berantem sama Damar?”

“Iyaa.. lagian lo juga sibuk ngurusin LDKS, Dhim. Masa lo lagi pusing gue tambahin pake beban gue? Nggak asik.”

“Agh, gue nggak akan berantem sama Damar, kalo lo yang minta.”

Lagi-lagi, perkataan Dhimas membuat Aghniya tertegun. Sekon berikutnya tangisan gadis itu pecah. Selama ini gadis itu ingin bercerita tanpa henti, bertanya perihal kebingungannya akan Damar pada Dhimas. Namun selama ini Aghniya menahannya akibat memikirkan risiko dari curahan hatinya terhadap hubungan dua pemuda itu.

“Yeee malah nangis,” ucap Dhimas. “Ya udah deh, nangis aja dulu. Udah lama ditahan ye? Hahahaha.”

“Abis ini, no more secrets, okay?

“Ngapain lagi lu?” tanya Aghniya pada Dhimas yang baru saja datang menjenguknya untuk kedua kali. Dhimas tertawa seraya berdecih, “Songong lu ya, tidak tau diri sekali. Orang mah dijenguk bilang makasih.”

“Lo nggak bawain gue makanan ngapain bilang makasih,” balas Aghniya.

“Ohhh udah mendingan nih ya, Bun? Resenya mulai keluar,” ucap Dhimas pada Ayna. Sementara Ayna hanya tertawa melihat interaksi keduanya. “Alhamdulillah, Dhim. Panasnya turun, tadi baru makan banyak dia.”

“Hoaaa, iya iya. Kentara kentara, kalo agak mendingan dikit pasti rese, nyebelin, bawe-”

“Pergi nggak lo?! Gue timpuk mangkok nih,” potong Aghniya. Sementara Dhimas hanya tertawa. “Jan gitu dong, Brodi. Tos dulu kita, damaai damai.”

“WIH, banyak banget ya bingkisan lu ya. Buah bejibun tuh. Nah, kan, ngapain gue bawain lo makanan, nanti yang ada mubazir,” ucap Dhimas.

“Tadi Revan ke sini, Dhim. Udah lama deh Bunay nggak ketemu sama dia. Tau-tau udah mau pindah aja dia ya?” ucap Ayna.

“Iyaa, mau pindah dia Bun,” balas Dhimas. “Tadi Dhimas ada urusan dulu sih jadi telat ke sininya.”

“Ohh gituu, pantesan. Tadi Ayesha sama Vio juga ke sini. Rame ya, alhamdulilah banyak yang nyariin Aghni,” ucap Ayna. “Yang satu lagi nyariin nggak ya?”

Aghniya mendelik mendengar ucapan ibunya, “Siapa dih?”

Ayna tersenyum meledek, “Ah, pura-pura nggak tau. Yang itu tuu.”

“Apaan sih, Bunaaaay?”

Ayna tertawa, “Udah ah. Dhim, Bunay tinggal sebentar ya? Bunay belom salat Asar.”

“Oh, iya, Bun. Tinggal aja nggak pa-pa,” balas Dhimas.

“Bunaaay aaaaakkk tidaaaaaaaakk, jangan tinggalkan aku bersama orang ini nanti aku dianiayaaaa disiksa ditendang dibuang-”

“Lebaaaay bet najis! Gue lempar lo ke jendela!” ancam Dhimas main-main. Ayna hanya geleng-geleng kepala, setelahnya wanita itu pergi meninggalkan kedua remaja itu.

“Belajar apa Dhim di sekolah?” tanya Aghniya.

“Biasa lah, lanjut-lanjut materi doang. Abis itu latihan,” balas Dhimas. “Udeh, lo nggak usah mikirin itu dulu. Nanti yang ada makin stress. Nanti kalo lo udah masuk gue bantuin nyicil tugasnya.”

“Tapi kayaknya gue masuknya masih lama deh,” ucap Aghniya sedikit kecewa.

“Ya kalo lo-nya bener mah kagak. Darah lo masih susah diambil nggak?”

“Masih tadi. Padahal gue udah minum air putih yang banyak,” balas Aghniya. “Gue tuh bukan nggak mau minum banyak-banyak, Dhim. Pipisnya males, ribet.”

“Heee alesan aje kerjaan lu,” balas Dhimas.

“Eh gue tadi jatoh dari kursi tau,” ucap Dhimas.

“Hah? Kok bisa? Ihh bodoh deh lo,” balas Aghniya.

“Gue ngantuk banget anyinggg. Terus gue tukeran tempat duduk deh pokoknya, gue di belakang. Nah gue tuh goyang-goyangin bangku gitu, awalnya nggak kenapa-napa nih. Gue tuh goyang-goyangin bangku soalnya gue pikir bangkunya deket sama tembok belakang. Nggak taunya jauh banget brengsek!”

“Mana lagi pelajarannya Pak Asep, MANA ADA SI INDRA. Masuk-masuk die ngapain coba ye gue GEDDDEG banget ama tu orang satu. Gue uncang-uncang, tiba-tiba GEDEBAK gitu jatoh. Jengkang gua,” cerita Dhimas menggebu-gebu.

“Terus udah gitu si Ojan, pas istirahat abis salat kakinya jeblos comberan deket masjid tau nggak lo?!” ucap Dhimas. Sementara Aghniya hanya mengangguk dan tertawa tanpa suara mendengarkan cerita Dhimas yang belum habis.

“Itu kan biasanya ditutup kann, nah tadi tuh dibukaa nggak tau kenapa. Si Ojan tuh jalan sambil ngobrol sama Haris sama gue gitu kan, emang posisi dia paling deket sama comberannya itu. Jalan nih ye kan, lagi sok sok berteori dia iye Dhim, menurut gue tuh ini semua konspirasi tiba-tiba kakinye jeblos anjir ngakak,” tutur Dhimas.

“Terus dia jatoh nggak?” tanya Aghniya di sela tawanya.

“JATOH, gue pikir kan pendek yaa, maksudnya cetek gitu. Nggak taunya lumayan jugaa, se-tulang kering kkkkkk,” ucap Dhimas yang sudah tak lagi bisa menahan tawanya. “Kotor dah tuh celananya sebelah. Tapi pas ditanya sama guru-guru, kata Ojan Yah ibu, ini tuh namanya fahsyun.”

Aghniya masih tertawa menanggapi Dhimas. Bahkan matanya sampai mengeluarkan air mata dan perutnya terasa sakit akibat tertawa. “Ah, jadi kangen Ojan.”

“Selaw ajaa, bentar lagi ketemu. Bentar lagi lo sekolah. Bentar lagi lo sembuh buh buh buh! Mau gue sembur nggak biar manjur mantranya?”

Gadis itu mendelik, “Eww! Disembur lo bukannya manjur malah makin k.o guaa!”

Dhimas hanya tertawa menanggapi ucapan Aghniya. Setelahnya hening menyelimuti, keduanya beristirahat sejenak setelah mengumbar terlalu banyak tawa.

“Eh,” panggil Dhimas. Aghniya menoleh menatap Dhimas yang masih berseragam sekolah di sebelahnya.

“Apaan?”

“Kok lo nggak cerita.. kalo Damar marah sama lo?” tanya Dhimas.

Aghniya melebarkan pupilnya sedikit, “Kok lo tau? Ayesha cerita ya?”

Dhimas menggeleng, “lo ngigo.. lo ngomong sendiri Damar marah sama lo tau.”

“Demi apa lo?”

“Sumpah, kalo nggak percaya tanya aja Bunay,” balas Dhimas.

“Demi apa sih, Dhimm? Omejiiii. Eh tapi lo jangan marah sama Dam-”

“Enggak, gue nggak marah sama dia. Gue cuma ngomong aja sama dia tadi,” balas Dhimas.

“Hah lo ngomong apa?”

“Ya gue tanya lah. Kenapa gitu,” jawab Dhimas lagi.

“Terus dia bilang apa?”

“Kepo lo, tanya sendiri sana,” balas Dhimas. Membuat Aghniya tertunduk lesu. “Yah.. udah gue tanya tau dari lama, tapi dianya nggak mau jawab. Bahkan dia bilang dia nyesel temenan sama gue.”

“Masa? Damar bilang gitu?” tanya Dhimas. Aghniya mengangguk.

“Makanya udah lah, gue kayaknya nggak mau berusaha deket sama dia lagi. Dianya juga kayak nggak mau ketemu sama gue gitu. Tapi Revan udah ngasih tau gue sih alesannya apa. Tapi gue nggak mau ngurusin ah, capek. Terserah dia aja deh.”

Dhimas mengerucutkan bibirnya guna meledek temannya yang sedang bersandar pada ranjang rumah sakit, “Lo nyerah nih ceritanya?”

Gadis itu memalingkan wajah seraya tertawa kecil, namun Dhimas tahu, Aghniya hanya menyamarkan nyeri di hatinya. “Ya mau gimana? Kemaren-kemaren kan udah nyoba,” ucap Aghniya.

Sudut bibir Dhimas terangkat seiring helaan napas terdengar dari pemuda itu. “Yaa, mungkin kali ini Damar yang mau nyoba?”

Keesokan harinya, Damar dan Dhimas bertemu. Keduanya memilih mengobrol sepulang sekolah di salah satu bangku yang menganggur, memilih mengobrol dengan gelagat santai dengan topik obrolan yang serius.

Damar menautkan jemarinya sendiri, memilih membungkukkan badan dengan siku yang bertumpu pada lututnya. Berbeda dengan Dhimas yang memilih bersandar pada kursi yang ia duduki seraya mengipasi dirinya sendiri dengan lengan panjang sweater yang ia bawa.

“Dhim,” panggil Damar. Sementara yang dipanggil melirik ke arah suara. “Paan?”

“Lo ngajak gue ke sini doang abis itu diem, ngomong kek,” balas Damar.

“Diem lo!” balas Dhimas. Damar menutup wajahnya frustasi

“Nggak, gini deh, Dhim. Gue tau gue salah, salah banget. Lo mau maki-maki gue, mau hajar gue sekalian, gue terima, Dhim. Maksud gue lo ngomong gitu, jangan diem aja kayak gini,” ucap Damar.

Dhimas menggeleng seraya tertawa meremehkan, “Gue nggak abis pikir aja gitu. Kenapa lo begitu, aneh tau nggak?”

Damar lagi-lagi menghela napasnya. Semua orang yang ia temui pasti menanyakan alasannya. Wajar. Pasalnya, Damar sudah terlalu lelah menjawab pertanyaan yang sama dan kemudian berakhir disalahkan lagi dan lagi. Pemuda itu jengah, Damar tahu dirinya salah. Rasanya ia ingin memohon pada orang lain untuk tidak terus memperjelas kesalahannya yang sudah ia sadari itu. Saat ini, Damar hanya perlu solusi, jawaban dari kegelisahannya. Bagaimana caranya meminta maaf, dan syukur-syukur ia bisa memperbaiki hubungannya dengan Aghniya.

“Iya, Dhim. Gue tau. Gue tau. Makanya gue pengen ketemu Aghniya, gue mau minta maaf sama dia,” balas Damar.

“Ngapain minta maaf?”

“Ya karena gue salah, Dhimm!” jawab Damar. Pria itu memilih menundukkan kepalanya dalam-dalam. Membuat Dhimas yang berada di sebelahnya dapat menangkap kefrustasian seorang Damar.

“Gue tau gue salah.. gue bodoh banget karena lebih milih percaya Salsa yang waktu itu bawa 'bukti' yang beneran nggak ketauan boongnya. Gue juga bingung, Dhim. Gue terlalu mentingin emosi gue sampe nggak bisa mikir bener lagi. Gue bikin Aghniya sakit hati, gue juga ingkar janji sama lo,” ucap Damar lagi. “tapi kalo lo mau nyalahin gue doang, kayaknya gue mending cabut aja deh, Dhim. Gue udah dapet itu dari semua orang soalnya. Mereka nyalahin gue terus berharap gue perbaikin semuanya yang gue nggak tau caranya gimana,” sambung Damar.

“Gue butuh solusi, Dhim. Seenggaknya gimana caranya gue bisa minta maaf sama Aghni. Udah itu aja,” ujar Damar lagi.

Setelahnya Dhimas terkekeh, kemudian meninju pelan bahu Damar di sebelahnya. “Addeeeeh, dongooo dongo.”

Damar terperangah, Dhimas nggak marah?

“Lo— nggak marah, Dhim?” tanya Damar.

“Marah lah. Marah banget gue sama lo. Gue juga jadi merasa bersalah sama Aghni soalnya. Gue kurang peka sampe nggak sadar kalo dia lagi nyimpen sesuatu,” balas Dhimas. Kemudian keduanya memilih diam.

“Aghni sakit,” ucap Dhimas kembali memulai obrolan. Sementara Damar menghela napas kemudian mengangguk.

“Dirawat, dan kayaknya bakal lama nggak masuk sekolah,” ucap Dhimas. “Gue tau lo pengen buru-buru ketemu dia, pengen ngomong sama dia. Tapi gue rasa lo jangan temuin Aghni dulu sampe dia beneran sembuh. Soalnya kalo lo ngajak ngomong dia sekarang juga pasti dia nggak bakal nyambung.”

“Aghni- sakitnya parah?” tanya Damar khawatir.

“DBD, yaa lumayan lah. Panasnya dari kemaren masih naik turun, Aghni-nya juga masih tidur terus. Kemaren diambil darah aja nggak bisa, kentel banget darahnya,” jawab Dhimas.

“Kok bisa kena DBD sih? Dari mana?”

“Pulang dari rumah lo dia naik ojol, terus ojolnya bannya bocor jadi harus mampir ke tambel ban dulu. Lumayan lama dia di sana, dia cerita sama gue dinyamukin. Kayaknya sih dari situ, ya namanya jalanan. Pasti ada aja lah penyakit,” jelas Dhimas.

Damar tertegun, oh so it's his fault too? Andai dirinya tidak menyuruh Aghniya pulang dari rumahnya saat itu, mungkin gadis itu masih sehat dan bisa hadir di sekolah seperti biasa. Lagi-lagi, Damar merasakan hatinya terisi dengan perasaan bersalah yang kian membesar serta penyesalan yang kian mendominasi hati kecilnya.

“Belom lagi dia juga kan banyak pikiran, kecapekan juga abis bantuin omnya nikahan. Pasti K.O lah, tapi gue pikir awalnya dia tipes kayak biasa. Nggak taunya DBD,” lanjut Dhimas.

“Gue nggak bermaksud bikin lo makin merasa bersalah, tapi- Aghni beneran nanyain lo, Dam,” ucap Dhimas seraya tersenyum tipis. “Kemaren gue ke sana, jenguk dia. Pas gue dateng kebetulan Aghni lagi tidur. Terus bener apa yang dibilang Bunay. Dia nanyain lo.”

Dhimas terkekeh sendiri mengingat bagaimana Aghniya mengigau saat ia menjenguknya kemarin. Gadis itu benar-benar meracau tidak jelas dalam tidurnya. Awalnya Dhimas tertawa terbahak-bahak lantaran racauan gadis itu yang tidak jelas. Namun, pada akhirnya ia tertegun sendiri mendengar pertanyaan Aghniya dalam tidurnya.

Bunay.. mau pegangan..

Papa.. ini kenapa muter semua sih..

Bun.. mau basreng jablai super

Bun... Damar masih marah ya? Aghni.. kangen

“Gue nggak ngelarang lo ketemu Aghni, kok, Dam. Nggak pa-pa kalo lo mau ketemu dia, mau minta maaf sama dia, tapi nanti. Tunggu dia sembuh,” ucap Dhimas.

“Gue pikir lo bakal nonjok gue,” ujar Damar seraya terkekeh.

“Tadinya. Tapi setelah dipikir-pikir, nggak usah lah. balas Dhimas. “Aghni nggak cerita sama gue biar kita nggak berantem. Kalo kita berantem-berantem juga sia-sia dong dia selama ini diem-diem?”

Damar tersenyum tipis seraya mengangguk menanggapi ucapan sahabatnya. “Tapi- lo seriusan nggak ngelarang gue ketemu dia? Gue pikir lo bakal minta gue jauhin Aghni,” ucap Damar.

“Gue kan bilang, jangan ketemu Aghni dulu kalo dia belom sembuh. Itu kan ngelarang juga,” canda Dhimas.

“Bukan, maksud gue-”

“Iye iye paham,” potong Dhimas. Pemuda itu terkekeh sebelum melanjutkan ucapannya, “Kalo soal itu, tadinya sih iya. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya nggak deh. Dia juga pengen ketemu lo kayaknya, ngobrol lagi kayak dulu. Gue nggak mau jadi seseorang yang ngalangin bahagianya dia. Tapi, kalo nanti ternyata dia nggak mau maafin lo, gue nggak bisa bantu apa-apa ya, Dam. Soalnya gue juga nggak mau jadi orang yang bikin Aghni stay sama hal-hal yang bikin dia sedih.”

Damar menatap Dhimas yang selalu serius setiap kali membahas perihal Aghniya. Pemuda itu tak pernah main-main ketika mengatakan bahwa Aghniya adalah keluarganya. Dan ia akan melindungi gadis itu sebisanya.

Ketulusan Dhimas yang selalu hadir dalam setiap ucapan dan tatapannya pada gadis itu, membuat Damar malu sendiri. Benar kata Dhimas, ucapannya tak bisa dipercaya. Hari ini Damar sadar bahwa ia telah melupakan dua pesan bapak. Untuk selalu bertanggung jawab, dan mengikuti kata hatinya.

“Gue duluan ye, mau ke Aghni lagi,” pamit Dhimas. Setelahnya pria itu meninggalkan Damar sendirian.

Pria berbalut jaket hijau tua kesayangannya itu berdecak risih tiap kali Salsa mengamit lengannya. Sudah berkali-kali ia peringatkan Salsa untuk tidak sembarangan mengaitkan lengannya padanya, namun gadis itu tetap abai.

Keduanya kini tengah duduk seraya menanti pesanan di sebuah restoran sederhana pilihan Salsa, tentunya. Damar menatap ke sembarang arah dengan pandangan tak minat. Sementara Salsa asik dengan cermin kecilnya, sibuk memperbaiki penampilan.

Hari ini, Damar terpaksa menemani Salsa pergi ke toko buku. Telanjur janji. Bapak bilang, laki-laki harus bisa tanggung jawab akan ucapannya. Jadi, di sini-lah Damar.

“Kenapa sih, Dam? Kok kayaknya bete banget gitu?” tanya Salsa setelah merasa penampilannya sudah kembali paripurna.

“Nggak pa-pa,” jawab Damar singkat.

“Beneran? Lo sakit ya? Kalo nggak enak badan udah yuk kita pulang aja nggak pa-pa,” balas Salsa.

“Nggak, Sa. Gue nggak pa-pa,” ujar Damar agak kesal.

Salsa merengut, “Oke.”

Kemudian yang tersisa di sana adalah keheningan keduanya. Hingga Damar kembali membuka suara.

“Sa, gue mau nanya deh,” ujarnya. Salsa mengangkat alisnya. Seraya tersenyum, perempuan itu mengizinkan Damar melanjutkan kalimatnya.

“Lo kenapa waktu itu tiba-tiba ngirim rekaman itu ke gue?” tanya Damar.

Mata Salsa melebar sedikit. Gadis itu agaknya sedikit panik dengan pertanyaan tiba-tiba dari Damar. “Ya kan gue udah bilang, sebelum lo makin suka sama dia, mending gue kasih tau dia yang sebenernya tuh kayak gimana, Dam,” jawab Salsa lancar berbohong.

“Iyaa, maksud gue, kenapa lo tiba-tiba rekam dia gitu? Emang dia selama ini selalu ngomongin yang nggak-nggak soal gue?” tanya Damar. “Nggak, gini deh. Coba lo ceritain dari awal, kronologisnya gimana. Apa yang bikin lo tuh pengen banget nunjukin ke gue Aghniya tuh kayak gitu?”

“Y-yaa, oke, gini. Gue- lo tau kan, gue suka sama lo, Dam,” ucap Salsa.

Damar mengangkat sebelah alisnya, masih menatap Salsa dengan tatapan datarnya. “Okay, terus?”

“Aghni juga suka sama gue?” tanya Damar.

Nooo, she hates you, selama ini dia baik sama lo cuma karena g-gue yang minta dia deketin lo.”

“Kenapa lo minta dia deketin gue? Kan kita udah kenal, kalo lo suka sama gue kenapa nggak lo deketin gue?” tanya Damar. Entah mengapa rasanya Damar ingin terus menginterogasi Salsa hingga gadis itu mengaku sendiri bahwa rekamannya palsu. Memang suara Aghniya, namun pasti gadis itu sudah menyulapnya sedemikian rupa hingga menyebabkan Damar termakan salah paham. Dan Damar hanya perlu Salsa mengakuinya, maka selesai.

“Kok lo jadi interogasi gue gini sih, Dam? Lo nggak percaya sama gue? Kan lo denger sendiri rekamannya rekaman Aghniya,” ucap Salsa defensif.

“Ya enggak, soalnya aneh aja. Tiba-tiba lo ngirimin gue gituan tanpa konteks apa-apa. Awalnya gue percaya, tapi setelah dipikir-pikir nggak masuk akal juga. Emang lo deket banget sama Aghni sampe bisa minta dia deketin gue untuk mewakili lo?” tanya Damar.

Salsa menghela napasnya, “Aghni dulu temen gue, Dam.”

“Sekarang?”

“Duhh, nggak tau deh! Lo bikin bete aja. Gue ke toilet dulu. Nitip nih HP,” gerutu Salsa. Ia bahkan sedikit membanting ponselnya hingga membentur meja. Beruntung bagian belakang ponselnya itu terlindungi oleh soft case. Setelahnya pergi meninggalkan Damar.

Damar terkekeh. Ia tahu Salsa hanya menghindari dirinya yang terus melontarkan pertanyaan hingga membuat gadis itu tersudut sendiri.

Layar ponsel Salsa yang menyala tiba-tiba menarik atensi Damar. Pria itu tak sengaja membaca notifikasi yang muncul di layar depan ponsel milik Salsa.

Revan Minta maaf sama Aghni, Sa

Revan Mau sampe kapan boong soal vn yang lo cut sedemikian rupa biar terdengar kalo aghni tuh nggak suka damar?

Revan They deserve each other

Revan Let them be. Kita yang harus mundur, sa. Mereka punya rasa satu sama lain dan kita nggak seharusnya ngerusak itu.

Damar mengerjapkan matanya, setelahnya membuang napasnya kasar. Dugaannya memang benar, Salsa memanipulasi rekaman itu. Damar sudah memikirkan ini sebelumnya, namun entah mengapa emosinya masih memuncak ketika mengetahui kebenarannya yang kini sudah terkonfirmasi.

Salsa kembali dari toilet dengan raut wajah yang terlihat lebih santai. Namun ekspresinya berubah seketika menjadi kebingungan kala mendapati Damar duduk di tempatnya seraya menatap tajam ke arah Salsa dengan ponsel milik gadis itu.

“Duduk,” titah Damar.

“Hm? Ha-HP gue?”

“Duduk,” titah Damar lagi. Salsa tak punya pilihan lain. Melihat raut wajah Damar, Salsa tahu pemuda itu sedang marah.

“Kenapa, Dam?” tanya Salsa.

“Ini apa?” Damar balik bertanya seraya menunjukkan ponsel Salsa yang menampilkan notifikasi dari Revan di layar. Salsa terperangah, kelabakan. Ia tak bisa mengelak lagi sekarang, Damar sudah mengetahui semuanya.

“Dam—”

“Bener kan, Sa, rekaman itu akal-akalan lo doang? Aghniya nggak beneran kayak gitu?” tanya Damar.

“Denger—”

“Gue nggak mau denger pembelaan lo, Sa. Jawab gue iya atau enggak?” tanya Damar lagi. Nyali Salsa kian menciut seiring menajamnya tatapan Damar. Dengan ragu-ragu dan penuh ketakutan, Salsa mengangguk kaku.

Damar memalingkan wajahnya, menyugar rambutnya frustasi. Setelahnya ia menyerahkan ponsel Salsa kembali pada pemiliknya.

“Gue balik, Sa. Abis ini jangan samperin gue lagi, gue nggak mau kenal lo lagi. Nggak peduli mama lo bertemen sama ibu gue,” ucap Damar. Setelahnya ia bergegas, meninggalkan Salsa sendirian.