Senin pagi, Aghniya sudah kembali ke sekolah. Jumat kemarin gadis itu memaksa untuk pulang karena merasa kondisi tubuhnya sudah sangat baik. Aghniya enggan menetap di sana lebih lama lagi sebab gadis itu merasa bosan, satu-satunya teman baiknya di sana adalah seorang suster yang ia beri julukan Suster Gingsul. Suster yang sangat ramah dan selalu berbagi keceriaan yang sama dengannya, belum lagi gigi gingsulnya yang membuat senyumnya lebih manis berkali-kali lipat.
Pada akhirnya, setelah permohonan bertubi-tubi dan bantuan kompromi Aji pada sang dokter, Aghniya berhasil pulang ke rumah pada hari Minggu. Dengan catatan, gadis itu tetap harus melakukan rawat jalan untuk memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sembuh.
“Beneran nggak mau dianter sampe kelas?” tanya Aji pada Aghniya yang hendak turun dari mobil. Gadis itu tersenyum seraya menggeleng, “Nggak usah, Papa. Bisa sendiri, kok.”
“Ya udah, hati-hati yaa. Jangan kebanyakan aktivitas dulu, takutnya kecapekan. Olahraganya izin dulu aja, nanti sore jangan lupa kita ke rumah sakit lagi. Nanti Papa jemput,” celoteh Aji panjang lebar.
“Iyaaa. Udah ah, salimmm! Dadah, Papaa! Cemingit kerjanya i love you seribu logam plus daki kerokannya,” ucap Aghniya membuat Aji tersenyum kemudian mendelik. “Idih, jorok banget daki kerokan. Udah sana, sekolah yang bener. Kalo nggak kuat nggak usah dipaksain ya, telepon Papa aja.”
“Iya Papajieeee!”
Pada akhirnya Aghniya berjalan menuju gerbang sekolahnya sendirian. Sesampainya di sana Aghniya tanpa sengaja berpapasan dengan seseorang yang menjatuhkan sebuah kertas yang terlipat rapi khas surat resmi dari sekolah. Gadis itu membantu memungut surat itu untuk diserahkan kepada pemiliknya. Namun, ketika ia mendongak, rupanya Salsa yang berdiri di hadapannya.
Keduanya hanya diam dan saling menatap. Aghniya mengerutkan alisnya lantaran Salsa berjalan ke arah berlawanan dengan siswa-siswa yang lain. “Mau ke mana, Sa?” tanya Aghniya.
“Pulang,” jawab Salsa ketus.
“Kok?”
Salsa membuang napasnya kasar, setelahnya menyugar rambut kecoklatannya yang sering kali kena tegur kesiswaan. “Gue diskors. Puas lo?”
“I'm- sorry to hear that. Gue nggak tau. Hati-hati pulangnya kalo gitu. Dijemput?”
Salsa tertawa meremehkan, raut wajahnya kian menunjukkan kekesalan pada lawan bicaranya. “Nggak usah gitu deh. Gue tau lo nggak suka sama gue, kenapa sih lo masih sok baik sama gue?”
Aghniya membelakakkan matanya sedikit. Terkejut akan intonasi bicara Salsa yang meninggi tiba-tiba. Setelahnya gadis itu mendengus seraya tertawa kecil, “Baik sama orang lain itu kewajiban, Sa. Nggak perlu ditanya kenapa.”
Jawaban mulus dari bibir Aghniya membuat Salsa tertegun kaku. Ada perasaan malu yang menyusup dalam sanubarinya. Salsa menundukkan wajahnya. Aghniya selalu bilang bahwa ia tidak merasa memiliki masalah dengan Salsa. Gadis itu akan dengan senang hati kembali menyambut Salsa sebagai temannya, sebagaimana hubungan yang mereka miliki dulu. Namun, rasanya Salsa tetap tak ingin berteman kembali dengan Aghniya. Kali ini bukan karena tak suka, namun ia terlalu malu akan ulahnya sendiri.
“Gue duluan, Sa,” ucap Aghniya. Setelahnya gadis itu melangkah masuk. Meninggalkan Salsa yang masih menahan amarah dalam hatinya.
“Woi, Aghni!” panggil seseorang membuat Aghniya menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Sudut bibirnya terangkat mendapati lelaki dengan badan jangkung dengan ranselnya yang disampirkan asal di sebelah bahunya.
“Revaaaaannn!!!” balas Aghniya seraya melambaikan tangan kanannya yang juga memegang tas bekal itu.
“Kok udah masuk? Emang udah sembuh beneran?” tanya Revan ketika keduanya sudah sejajar.
“Udah lah, Rev. Males banget di sanaa, bete. Lagian emang udah boleh pulang sih, cuma tetep harus balik lagi ke sana, periksa lagi,” jawab Aghniya. Keduanya kini berjalan beriringan menuju kelas.
“Ohh, rawat jalan ya?” tanya Revan. Gadis itu hanya mengangguk menjawab pertanyaan pemuda di sebelahnya. Sementara Revan hanya ber-oh-ria.
Revan masih melirik Aghniya di sebelahnya, gadis itu sesekali menghela napas seraya membetulkan posisi ransel yang membebani bahunya. Buku-buku pelajaran hari Senin yang sangat tebal itu sepertinya membuat Aghniya yang baru saja sembuh kesulitan. Maklum, pasti tenaganya belum sepenuhnya kembali. Bahkan gadis itu sudah membawa tas tambahan guna mengurangi beban ranselnya, namun masih saja terasa berat.
“Sini tas lo,” ucap Revan tiba-tiba, membuat Aghniya menoleh ke arahnya.
“Hah?”
“Sini tas lo, gue aja yang bawain. Berat kan?” ujar Revan.
“Ih, nggak usah. Makasihh.”
“Udah sini, dari pada nanti pingsan gue juga yang repot. Dari pada gue gotong lo, mending gue bawain tas lo dari sekarang, Aghni,” balas Revan. Kemudian pria itu mengambil alih ransel Aghniya dan menyampirkannya ke bahu kirinya yang menganggur. Membiarkan Aghniya hanya membawa tas tambahannya bersama dengan tas bekal miliknya.
“Ayok, gue anterin ke kelas,” ucap Revan.
“Ya Allah, jadi nggak enak. Makasih ya, Rev,” balas Aghniya.
Revan terkekeh, “Santai.”
“Eh, tadi gue ketemu Salsa. Katanya dia diskors ya, Van? Lo tau kenapa?”
“Oohh, ituu.. Jumat kemaren Salsa ketauan malak adek kelas di tangga. Ketauannya pas pulang sekolah, langsung sama wakasek, jadi langsung kena sanksi deh,” balas Revan.
Aghniya mendongak menatap Revan dengan tatapan terkejut, “Malak? Buat apaaaa? Emang dia nggak dikasih uang jajan sama Mamanya apa gimana, Rev?”
“Gue juga nggak tau. Tapi belakangan ini emang Salsa sering malakin adek kelas. Cuma baru ketauannya Jumat kemarin itu,” jawab Revan.
“Mamanya masih kayak dulu ya, Rev?” tanya Aghniya khawatir.
“Masih, Agh. Terakhir yang gue tau Salsa dikunciin di kamar mandi karena dapet Fisika 80,” balas Revan.
Aghniya membulatkan matanya, “80?! Itu udah alhamdulilah nggak sihhh?!”
Revan terkekeh, “Not for her mom. Tau sendiri kan, ambisinya Mamanya Salsa dari dulu gimana? Kalo nggak nomor satu nggak usah pulang gitu ibaratnya.”
Aghniya mengerucutkan bibirnya khawatir, “Iya sih..”
“Tapi untung kemaren Salsa ranking satu ya, jadi nggak dimarahin sama Mamanya kan?” tanya Aghniya.
“Nggak satu paralel, Bro. Masih kurang, lah.”
“Ihhhh ribet banget Mamanya ya Allahhhh,” gerutu Aghniya frustasi.
“Karena Mamanya guru. Jadi gitu deh...”
“Padahal orang tuanya Damar nggak begitu..” ucap Aghniya pelan. “Kenapa Agh?” tanya Revan yang tidak mendengar perkataan Aghniya dengan jelas.
Gadis itu menggeleng cepat seraya tersenyum, “Enggakk.”
Kayaknya di dunia tuh emang akan selalu ada yang kurang beruntung dari yang lain ya? Padahal situasinya mirip..
“Btw, Van, Salsa diskors sendirian? Temen-temennya? Nggak mungkin kan dia malak sendirian? Masa yang lain nggak kena?” tanya Aghniya.
“Ya itu lah, definisi hati-hati memilih teman. Kemaren pas Salsa ketauan, temen-temennya malah berbalik nyerang dia juga. Mereka bilang mereka nggak ikutan dan malah bilang kalo mereka yang ngegep Salsa gitu.”
“HAH SERIUS?? Lah, tapi kan ada adek kelas yang dipalaak, masa mereka ngaku-ngaku dia diem ajaa?” balas Aghniya tidak terima.
“Namanya adek kelas, pasti nggak berani lah. Dia juga pasti tau kalo dia ngelawan, abis Pak Asep pergi justru dia yang abis.”
“Aaaa, iyaa sihh. Yaaah kasian Salsaa, kenapa sih temen-temennya begitu?”
“Gue nggak mau sembarangan ngomong sih, tapi gimana ya.. gue kan juga pernah rusuhin hidup orang lain, sekarang gue dapet balesannya. Salsa mungkin juga sama?”
Mendengar itu, Aghniya lantas terdiam. Tak lagi banyak pertanyaan dari bibirnya.
“Udah nggak usah dipikirin, doain aja Salsa biar nggak kenapa-napa di rumahnya. Semoga kalo dimarahin Mamanya cuma sebatas dikunciin di kamar aja atau hukuman ringan, nggak sampe dipukul,” ucap Revan. “Ayok buruan ke kelas, bentar lagi bel.”
Setelahnya Aghniya memilih menyusul Revan yang berjalan lebih dulu. “Tungguin kali!”
“Kelamaan jalannya, langkahnya cimit-cimit amat sih?”
Tanpa keduanya sadari, jauh di belakang sana seorang pemuda terdiam kaku. Memandangi interaksi tak terduga keduanya di pagi hari dengan tatapan sendu dan helaan napas berat dengan hati yang juga berat.
Pemuda itu membuang muka seiring sebuah tawa kecil meluncur dari bibirnya. Damar, menertawai dirinya sendiri.