Rumah Sakit
Dhimas melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Berdasarkan informasi yang ia gali lagi dari Aji, kamar tempat sahabatnya dirawat itu terletak di lantai empat kamar nomor 432.
Setelah menemukan kamar dengan nomor yang sesuai, Dhimas mengetuk pintu kemudian bergegas masuk. Di pojok ruangan yang berdekatan dengan jendela, Dhimas menemukan Ayna. Dengan segera pemuda itu mempercepat langkahnya dan menghampiri Ayna.
“Bunay, assalamu'alaikum,” ucapnya seraya mencium tangan Ayna. Ayna tersenyum menyambut Dhimas dengan mengusap kepala pemuda yang lebih tinggi darinya itu.
“Ehh, Dhimas. Wa'alaikumussalam. Duh, repot-repot ke sini,” balas Ayna.
“Aah, waktu Mama sakit juga Aghni sama Om Aji repot-repot jenguk. Gantian lah, lagian nggak repot kok. Dhimas nggak bawa apa-apa, Bun, maaf yaa.”
“Nggak pa-paa. Mau ke sini aja udah terima kasih banget,” balas Ayna. “Itu anaknya baru tidur tapi. Abis minum obat.”
“Ohh, iya nggak pa-pa, Bun. Bunay mau pulang dulu nggak? Nggak pa-pa biar Dhimas gantiin dulu di sini?” tawar Dhimas.
“Enggak, enggak. Bunay nanti pulang kalo udah ada Om Aji aja.”
“Oh iya, Om Aji ke mana emang?” tanya Dhimas seraya celingak-celinguk mencari keberadaan Aji.
“Om Aji lagi balik ke kantor, lupa katanya ada jadwal meeting. Nggak bisa izin, soalnya Om Danny kan lagi nggak di sini, lagi di rumah istrinya,” balas Ayna.
“Oooh iya ya. Ya Bunay siapa tau mau makan dulu gitu? Udah makan belom, Bun?”
“Belom sih.. dari tadi nggak bisa ninggalin Aghni.”
“Ya udah, makan dulu aja. Aghni biar Dhimas yang jagain di sini. Nanti kalo ada apa-apa Dhimas telepon Bunay,” saran Dhimas.
“Bener nggak pa-pa?”
“Iyaa, beneran,” jawab Dhimas.
“Kamu udah makan? Bunay beliin sekalian ya?” tawar Ayna.
Dhimas terkekeh, “Udahh, Dhimas udah makan tadi di sekolah. Bunay aja yang makan.”
“Boong nihh, camilan ya camilan ya? Roti? Bunay beliin pokoknya nanti harus dimakan. Bunay sekalian mau beli buat Om Aji sama Aghni soalnya. Nggak doyan makanan rumah sakit dia,” celoteh Ayna.
“Emang nggak enak, Bun. Dhimas waktu mau makan makanan Mama aja nggak jadi, nggak enak,” ucap Dhimas.
Ayna tertawa. Wanita itu kini merogoh tasnya, memeriksa apakah dompet dan ponselnya ada di sana. Setelahnya kembali menatap Dhimas. “Ini beneran nggak pa-pa Dhimas di sini terus Bunay tinggal?”
“Nggak pa-pa, Bunay. Tenang aja,” balas Dhimas. “Ya udah, sebentar ya Sayang yaa,” ucap Ayna.
“Iyaa, Bunay.”
Ayna baru saja ingin meninggalkan ruangan, namun wanita itu berbalik lantaran mengingat sesuatu. Dhimas mengangkat dagunya sigap menanggapi ucapan Ayna yang akan meluncur.
“Kenapa, Bun? Ada yang ketinggalan?” tanya Dhimas.
“Emm, Bunay mau nanya. Tapi, Dhimas jangan bilang Om Aji ya? Jangan sampe ketauan Om Aji,” ujar Ayna.
Dhimas menautkan alisnya, “Nanya apa, Bun?”
“Emangnya Aghni lagi ada masalah ya sama Damar?” tanya Ayna dengan raut wajah khawatir.
“Hah? Nggak tau deh. Aghni nggak cerita apa-apa sih, Bun. Emangnya kenapa?” Dhimas bertanya balik. Pria itu benar-benar bingung, ia sama sekali tak menyangka Ayna akan bertanya seperti ini. Pasalnya, jika ada masalah apapun, gadis itu tak pernah absen memberitahunya.
“Dari tadi pagi kan demamnya tinggi kan, jadi Aghni tidur terus gitu. Tapi dia sering ngigo gitu, Dhim. Setiap ngigo itu pertanyaannya selalu sama. Damar masih marah ya, Bun? gitu. Bunay kan nggak tau apa-apa, makanya Bunay nanya Dhimas,” jelas Ayna.
Dhimas menatap Ayna semakin bingung. “Nanti Dhimas cari tau deh ya, Bun? Kayaknya Aghni belom sempet cerita.”
Ayna menghela napasnya, “Gitu ya? Ya udah deh. Bunay nggak perlu tau juga sih, cuma penasaran aja. Soalnya dia nanyain itu terus. Tapi ya udah kalo Dhimas nggak tau, yang penting jangan ketauan Om Aji ya?”
“Iya, Bun.”
“Ya udah, Bunay tinggal dulu,” ucap Ayna.
“Iya, Bun. Hati-hati.”