Old Friend

Bohong, Aghniya tidak benar-pulang. Ia hanya menjauhi rumah Damar dan memutuskan untuk menunggu di sebuah pos yang terletak tak jauh dari sana. Memerhatikan pemuda itu dari jauh, menangkap semua gerak-gerik Damar. Aghniya hanya berharap Damar tidak sendirian hari itu, semoga pemuda itu masih memiliki seseorang untuk mendengar keluh kesahnya.

Aghniya melipat tangannya di depan dada, memandang sendu pada Damar yang berada beberapa meter di hadapannya. Aghniya menghela napasnya, sedih rasanya menjadi seseorang yang tidak diinginkan kehadirannya oleh orang yang selalu ia nantikan keberadaannya.

Damar memang menyuruhnya pulang, namun gadis itu sama sekali tidak menurutinya. Jika tidak bisa mendoakan dari dekat, paling tidak ia mendoakan dari jauh. Meskipun tak pernah bertemu, Aghniya hanya ingin memberikan penghormatan terakhir bagi bapak, serta empatinya pada keluarga Damar dengan turut datang ke rumah Damar untuk berbela sungkawa. Sebatas itu. Diterima atau tidak, ia tidak peduli.

Semua orang bergegas saat ini bergegas ke masjid untuk melakukan salat maghrib sekaligus salat jenazah. Aghniya tidak mengikuti. Gadis itu masih diam di tempatnya, hingga sebuah suara dari arah samping membuatnya terkejut.

“Bukannya udah diusir? Kok masih di sini?”

Aghniya menoleh, mendapati Revan yang menatapnya dengan senyum meledek. Gadis itu memutar matanya malas. Setelahnya memalingkan wajah, sama sekali tidak berminat untuk berbicara dengan Revan.

“Iss, jutek amat,” ucap Revan. Aghniya masih diam, tak menanggapi.

“Segitunya lo sama Damar? Sampe udah diusir aja masih ngeliatin dari sini?” tanya Revan.

Aghniya berdecak kesal, “Urusannya sama lo apa sih? Suasananya lagi kayak gini loh, lo masih nyari ribut banget?”

Revan terkekeh, “Enggak enggak. Gue nggak mau nyari ribut kok. Gue temenin ya? Nggak baik perempuan magrib-magrib begini sendirian.”

Gadis itu masih diam, memilih menganggap Revan tak ada di sebelahnya. Kemudian memilih duduk di pos. Revan pun menyusul duduk di sebelahnya, membuat Aghniya berdecak.

“Ngapain dahhhh?” ucap Aghniya kesal.

Revan terkekeh, “Enggak, heran aja lo segininya sama Damar?”

“Ya nggak tauu! Ribet banget sih lo lagian IH!”

Revan kembali tergelak, setelahnya pria itu menghela napasnya. “Iya deh, setelah dipikir-pikir lo bukan segininya sama Damar. Tapi lo emang selalu totalitas when it comes to your loved ones.”

Aghniya menoleh pada akhirnya. Sejujurnya ia sedikit terkejut dengan penuturan Revan. “Maksudnya?”

“Gue liat-liat lo lebih banyak diem deh belakangan ini. Gue jarang liat lo keluar kelas, ke kantin aja jarang. Lo jadi lesu gitu tiap hari. Se-suffer itu kah elo, Aghniya?”

“Nggak tau. Lo ngapain sihhh? Ribet dah!” balas Aghniya.

Revan tersenyum semakin lebar, “Enggak, enggak. Gue nyamperin lo bukan buat nyari ribut. Gue— mau minta maaf.”

Penurutan tak terduga dari Revan membuatnya menoleh, Aghniya menatap Revan dengan tatapan bingung. “Minta maaf?”

“Minta maaf kenapa?” tanya Aghniya. “Ya as you should sih, tapi is there any spesific reason?

“Kayaknya bakal panjang, lo mau ikut gue dulu nggak? Nanti gue anterin pulang,” ujar Revan.

“Dih? Apa banget,” ucap Aghniya.

“Serius loh, sumpah, lo boleh stand by pegang HP deh. Jadi kalo gue ngapa-ngapain lo, lo bisa telepon Dhimas langsung,” balas Revan berusaha meyakinkan. Mendengar nama Dhimas sebagai jaminan, pada akhirnya gadis itu mengiyakan.

“Salat dulu tapi baru pergi,” ucap Aghniya. “Iyaaa,” balas Revan.


Kini Aghniya dan Revan sudah berada di salah satu kafe terdekat dari daerah rumah Damar. Keduanya sudah melaksanakan salat magrib di salah satu masjid sekitar sana berkat permintaan Aghniya. Mereka duduk berhadapan dan sesuai perjanjian, Aghniya tak lepas dari ponselnya. Siap menghubungi Dhimas kapan saja.

“Damar lagi marah ya sama lo?”

Aghniya memandang Revan dengan tatapan tersinggung, “Tau dari mana lo?”

“Tau, laahhh!”

“Apaan sih, sok asik lo!”

“Dihhh lo galak banget sih sama gue?” ucap Revan tidak terima.

“Ngapa? Nggak terima?”

“Enggak.”

“Bodo amat.”

Revan terkekeh, rupanya gadis itu masih sama garangnya seperti yang selalu ia hadapi dulu, ketika keduanya merupakan sepasang kekasih.

“Gue tau, Agh, alesan Damar marah sama lo,” ucap Revan. Gadis itu terperangah meski sedikit tidak percaya.

“Sebenernya.. i-itu kerjaan gue sama Salsa. Salsa sih, itu idenya Salsa,” ucap Revan lagi. “Lo tau kan, Salsa juga suka sama Damar, dan dia sebenci itu sama lo. Makanya gue mau minta maaf.”

“Pertama, maaf karena bikin pertemanan lo sama Salsa hancur. Gue tau, gue awal mulanya kalian jadi kayak gini. Nggak seharusnya gue nyakitin kalian berdua dan bikin kalian saling benci kayak gini. Gue bener-bener minta maaf,” Revan masih bicara. Mulai menjelaskan maksudnya. Sementara Aghniya, tatapannya melunak, tak lagi memasang wajah garangnya pada pemuda di hadapannya.

“Kedua, gue minta maaf karena selama ini kata-kata gue selalu kasar ke lo. Maaf udah bikin lo sakit hati sama perbuatan gue di masa lalu sampe sekarang.”

“Tiga, gue minta maaf karena selama ini gue sekongkol sama Salsa buat misahin lo sama Damar,” ujar Revan. “Lo tau Agh? Gue nyesel. Banget. Orang kayak lo nggak seharusnya gue sia-siain. Sebenernya selama ini gue— masih sayang sama lo.”

Aghniya tertawa meremehkan, “Ngarang lo ya?”

Revan menggeleng tanpa ragu, “Enggak. Gue beneran masih sayang sama lo. Tapi, ngeliat lo bahagia banget dengan perasaan lo ke Damar, apalagi Damar yang juga memperlakukan lo dengan baik, sangat baik, bikin gue marah sama diri gue sendiri. Gue kesel, iri, pokoknya gue marah. Rasanya gue nggak terima karena ada orang yang bisa memperlakukan lo jauh lebih baik dari gue.”

“Mungkin lo nggak tau, tapi Damar juga selalu ngebelain lo kalo gue ngejelekin lo. Damar nggak pernah mau percaya kalo gue ngomongin hal-hal jelek tentang lo. Damar pernah nonjok gue, lo tau kan? Itu karena dia nggak terima gue ngatain lo, Agh.”

“Makanya, Salsa came up with this idea. Waktu Salsa nyamperin lo di depan gerbang dan dia nyuruh lo jauhin Damar, dia sebenernya rekam semua omongan lo, Agh. Terus dia edit sedemikian rupa sampe jadinya terdengar kalo lo nggak peduli sama Damar. Dan kesannya Salsa yang maksa lo untuk deketin Damar,” jelas Revan.

Aghniya menatap Revan tidak percaya, gadis itu kini nenutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Matanya kini berkaca-kaca, sejahat itu kah Salsa dan Revan?

“Kok— kok bisa?”

Revan mengangguk, “Gue tau, gue tau lo marah banget sama gue, sama Salsa gue tau. Lo berhak, Agh, tapi please dengerin gue dulu ya? Gue bakal bantu jelasin ke Damar dan—”

“Lo pikir Damar bakal segampang itu percaya sama lo?! Jahat ya lo berdua! Salah gue apa sih sama kalian?!” balas Aghniya menggebu-gebu. “Rekaman itu pasti udah dikirim ke Damar kan makanya dia marah banget sama gue?!”

“Lo tau nggak?! Berkali-kali gue mikirin salah gue apa, salah gue di mana, sampe pala gue mau pecah. Nggak taunya ini ulah lo sama Salsa? Udah gila lo?!”

“Aghni, dengerin gue dulu,” pinta Revan berusaha menenangkan.

“Nggak. Gue mau pulang.”

“Gue anter,” balas Revan.

“Nggak perlu, udah cukup. Gue nggak mau kenal lo lagi, Revan.”

Setelahnya gadis itu berlalu dengan langkah penuh kemarahan. Meninggalkan Revan sendirian merenungi kesalahannya.