Sorrow
tw // mention of dead body
Damar memandang tubuh bapak yang kini terbaring kaku di hadapannya. Kulit bapak yang biasanya nampak kecoklatan itu kini memucat dengan kuku-kuku yang mulai menguning. Di hadapannya, bapak menutup matanya rapat-rapat. Sementara di pelukannya, ada ibu yang masih enggan memberhentikan tangisnya.
Tak apa, Damar mengerti perasaan ibu. Kehilangan bapak bagi ibu pasti rasanya seperti kehilangan separuh jiwa dan raga. Damar mengerti, dunia ibu pasti jauh lebih hancur dari miliknya. Bapak selalu bilang, ibu hanya punya dua di dunia. Bapak, dan Damar. Namun, hari ini bapak selesai. Artinya ibu nyaris tak punya siapa-siapa.
Damar memeluk ibu dengan erat, sesekali mengelus pelipis ibunya yang bisa Damar rasakan berdenyut sesekali. Pemuda itu tak tega. Ibu sempat hilang kesadaran, kemudian setelah sadar, ibu menodong Damar dengan meminta kepastian bahwa yang dialaminya hanya mimpi. Ibu masih enggan percaya, ibu terus mengutarakan harapan terbesarnya saat ini. Bahwa bapak masih sehat, bapak hanya belum pulang dari sekolah karena masih ada kegiatan yang harus diurus. Meski hati Damar seperti tertusuk saat mendengarnya, tak apa, ia mengerti. Sebab Damar yakin, tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin menerima kenyataan seperti yang diberikan pada keluarganya.
Dengan suara lembut yang bergetar, serta penuturan yang terbata, Damar menangkup wajah ibu dan menjawabnya.
Nggak, Bu. Bapak udah nggak ada.
Tentu saja jawabannya membuat tangis ibu kian pecah. Beruntung ada Wulan yang membantu menenangkannya. Bersama saudara-saudaranya yang lain, ibu dibawa masuk ke kamar. Kemudian kesempatan itu dimanfaatkan Damar untuk menangisi bapak.
Pria itu menangis hingga bersimpuh, sejujurnya lututnya terasa lemas. Damar menangis dalam pelukan Wulan. Persetan dengan semuanya, Damar tak sanggup lagi bertahan. Damar tak sanggup lagi berpura-pura kuat. Cukup di depan ibu ia menahan tangisnya.
Yang membuat tangisnya tak kunjung usai adalah ingatan Damar akan obrolan dengan bapak kala itu. Ketika bapak memberi makan ikan-ikannya di akuarium. Damar merasakan semuanya berputar kembali di kepalanya. Gurauan bapak, senyum manis bapak yang menurun kepadanya, raut wajah bapak yang selalu ramah pada dunia, tatapan teduh bapak yang selalu tertuju pada ibu dan dirinya, suara bapak, hingga pesan-pesan bapak yang tanpa Damar sadari menjadi amanat terakhir bapak untuknya.
Damar merasakan pipinya semakin dibanjiri air mata, suara tangisnya semakin keras terdengar, bersaing dengan suara tangis sanak saudara yang lain yang juga kehilangan bapak dalam hidupnya. Ia teringat akan apa yang menjadi percakapannya dengan bapak sore hari itu.
Bapak nggak tau bisa nemenin Mas Damar sampai hari besar itu atau enggak, kan kita nggak tau ya, sampai kapan diberi kesempatan di dunia.
Jaga Ibu, Mas. Ibu cuma punya kita. Selain bapak, ibu cuma punya Mas Damar.
Bapak pengennya yang penting Mas Damar sehat dan bahagia.
Damar memeluk Wulan semakin erat. Dengan isak tangis, pemuda itu berkali-kali berucap, “Bapak, Mbak, Bapak..”
“Iya, Sayang. Damar kuat ya? Damar harus kuat, kamu adek Mbak paling jagoan, kan?” balas Wulan.
Entahlah, Damar tak tahu jawabannya. Ia merasa dirinya sama sekali bukan seorang jagoan. Kekuatan untuk berdiri saja ia tak punya. Jagoan dari mana? Pikirannya kosong saat itu. Rasanya seperti sedang melamun. Damar masih begitu tak percaya dengan fakta bahwa bapak sudah tiada. Benar kata ibu, bapak masih terasa sangat dekat hingga Damar merasa bapak hanya belum pulang seperti biasa. Namun, Damar seketika menyadarinya kala mendengar suara dari speaker masjid di dekat rumahnya. Seperti tamparan keras baginya ketika mendengar serentetan kalimat yang menyampaikan kabar duka. Innalillahi wa innailaihi rajiun, innalillahi wa innailaihi rajiun, innalillahi wa innailaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, Bapak Edi Wijayanto...
Kalimat selanjutnya tak begitu terdengar, karena lagi-lagi, rungu Damar dipenuhi dengan suara isak tangisnya sendiri. Hari ini, Damar berantakan. Hatinya pecah berantakan, entah menjadi berapa bagian.
Kini semuanya berkumpul untuk mendoakan jenazah bapak. Supaya amal ibadah beliau diterima, supaya bapak ditempatkan ditempat terbaik. Mereka semua melingkar untuk membaca surat Yasin, dipimpin oleh seorang ustad di wilayahnya. Damar menoleh ke arah ibu yang sudah kembali diantarkan ke ruang tamu oleh bude-budenya yang lain, ibu sudah tampak lebih tenang kali ini. Ibu kembali duduk di sebelahnya, menyandarkan kepalanya pada bahu Damar.
“Bapak suruh bangun lagi dong, Mas. Masa Bapak ninggalin kita begini?” ucap ibu lesu.
Damar mengelus pipi ibu dengan tangan kanannya, “Nggak bisa, Bu. Udah ya? Nggak baik kalo kita begini terus, kita doain Bapak aja ya?”
Ibu meneteskan air mata untuk kesekian kali, setelahnya wanita itu mengangguk pasrah.
Setelah beberapa lama, Jenazah bapak sudah dimandikan dan dikafankan. Kini mereka semua tengah bersiap karena sebentar lagi akan membawa jenazah bapak ke masjid untuk disalatkan setelah magrib nanti.
Damar berlutut di hadapan ibu yang duduk di sofa ruang tamu milik keluarganya. “Ibu mau ikut salatin Bapak? Kalo enggak juga nggak pa-pa, kalo ibu lemes, di rumah aja ya?”
Ibu menggeleng, “Nggak pa-pa, Mas. Ibu kuat insya Allah.”
Tentu. Damar tahu itu. Dan dirinya tak mungkin membantah fakta itu. Damar tersenyum tipis kemudian mengangguk.
“Ada teman-teman Mas Damar di luar. Udah dari tadi, coba ditemui dulu, Mas,” ucap ibu. Damar menoleh ke arah pintu, benar saja, Damar melihat kehadiran banyak teman sekolahnya. Dhimas, Haris, Ojan, dan teman sekelasnya yang lain serta teman-temannya dari ekskul futsal turut hadir. Pria itu mengulas senyum tipis, rupanya Tuhan memang adil. Meski kesedihan paling besar menimpanya, setidaknya ia punya banyak orang yang mendukungnya hari ini.