Sendiri

Azriel kini sudah berada di kamar sang adik, matanya menajam seraya memantau pergerakan Yasmine yang dengan santai berguling di kasurnya sendiri seakan mengabaikan presensi kakaknya yang sudah menatap serius.

“Adek,” panggil Azriel. Yasmine hanya berdehem sebagai sahutan dari panggilan kakaknya. Azriel mulai jengah, sudah sekitar tiga puluh menit dirinya berada di sana tanpa mendapat perhatian Yasmine.

“Yas, Mamas mau ngomong loh, dicuekin gini? Kenapa sih?” tanya Azriel frustasi. Mendengar nada bicara Azriel, barulah Yasmine bangkit dan duduk menghadap pemuda yang sudah jengah itu.

“Yasmine kenapa? Dari Mas Jiel sembuh, Yayas tuh kayak menghindar gitu deh. Ke mana-mana nggak mau dianterin, nggak mau berangkat bareng, nggak mau pulang bareng. Yayas kenapa? Mas Jiel khawatir tau,” ucap Azriel, masih berusaha bicara lembut pada adik satu-satunya itu. Benar, jika sampai terjadi sesuatu terhadap Yasmine, Azriel adalah orang pertama yang tak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Yasmine menghela napasnya, “Mas, Mas Jiel tuh..”

“Apa?”

Gadis itu menunduk sebelum melanjutkan bicaranya, menghindari tatapan Azriel. “Mas Jiel tuh harus ikut acara yang pergi 3 bulan itu, kan?”

“Yasmine tau dari mana?”

“Aku liat di mading sekolah,” jawab Yasmine cepat. “Aku liat ada namanya Mas Jiel.”

Azriel menatap lurus ke dalam netra Yasmine yang kini sudah berkaca-kaca. Ia menemukan jawabannya. “Terus maksudnya Yayas mau membiasakan diri tanpa Mamas gitu?”

“Ya iya.. selama ini Yayas apa-apa sama Mamas. Dimarahin Ayah, larinya ke Mamas, kalo nggak ada yang jemput, kalo nggak ada yang nganterin, kalo nggak ada temen, semuanya aman karena ada Mamas,” jawab Yasmine.

“Mamas bisa kok nggak ikut, nanti Mamas izin—”

“Nggak usah, Mas. Yayas juga tau kok, Yayas nggak boleh terus-terusan bergantung sama Mamas. Yayas juga harus bisa apa-apa sendiri, udah gede juga. Yayas tauu, Mamas suka kan kegiatan kayak gitu? Yayas nggak mau jadi penghalangnya Mas Jiel juga, Mas..”

Penurutan Yasmine lantas membuat Azriel terperangah. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Entah sudah berapa lama hidupnya ia dedikasikan untuk menjaga dan melindungi adiknya. Banyak sekali mimpi, keinginan, dan waktu yang harus ia relakan demi mengutamakan kepentingan Yasmine sebagai adiknya. Namun, Azriel tak pernah marah. Ia tahu hidup Yasmine bahkan sudah pahit semenjak gadis itu lahir, mengingat betapa bencinya sang ayah terhadap adiknya hingga membuat gadis itu tak pernah merasakan perlindungan dan dekapan hangat dari seorang ayah. Hingga ketika suatu hari, Azriel tahu bahwa perannya bukan hanya sebagai seorang kakak, namun lebih besar dari itu.

Azriel tersenyum tipis seraya meraih tangan Yasmine dan menggenggamnya, “Yasmine nggak pernah jadi penghalangnya Mamas.”

“Bohong,” ucap Yasmine. “Yayas pernah nggak sengaja denger Mas Jiel ngobrol sama temen-temen Mamas waktu mereka main ke sini. Mas Jiel mau kuliah di luar kota, kan? Tapi nggak bisa karena Mamas harus jagain Yasmine?”

Azriel kembali terdiam. Satu lagi fakta keluar dari mulut Yasmine membuat Azriel tak dapat mengelak. Benar, dirinya memang berencana melanjutkan studi di luar kota. Meraih kampus impiannya di Yogyakarta. Namun, setelah melewati malam-malam panjang tanpa tidur yang ia habiskan untuk berpikir lebih jauh, rasanya Azriel harus merelakan mimpinya. Alasannya satu, Yasmine.

Azriel merasa tak bisa meninggalkan adiknya begitu saja di rumah. Ia tak tahu akan sehancur apa Yasmine jika harus bertahan di rumah sendirian tanpanya. Ia tahu, ayahnya akan semakin menganggap Yasmine tidak ada tanpa kehadiran Azriel di sisinya.

“Yas, jagain Yasmine itu kewajibannya Mamas, dan Mamas nggak pernah keberatan. Yasmine nggak pernah jadi penghalang Mas Jiel.”

“Tapi Yasmine ngerasanya gitu, Mas. Yayas udah terlalu sering nyusahin Mas Jiel. Kayak kata Ayah, Yayas bikin Mamas jadi anak kurang ajar karena sering ngelawan, Yayas juga yang bikin Mamas nggak disukain keluarga kita yang lain, Yayas tuh beban, Mas,” ucap Yasmine dengan kepala tertunduk. Azriel yakin, gadis itu pasti sudah berkaca-kaca.

“Nggak pa-pa, Mas. Mamas ikut aja. Yayas bisa sendiri,” ucap Yasmine lagi.

Azriel mengembuskan napas pasrah, bagaimanapun juga, Yasmine adalah anak ayah yang miliki keras kepala yang sama.

Please, Mas, it's okay. You can go, i'll be okay,” ucap Yasmine berusaha meyakinkan Azriel.

“Gimanapun juga aku harus belajar, Mas. Aku nggak bisa bergantung sama Mas Ji terus, aku nggak mau,” ucap Yasmine lagi.

“Izinin aku belajar sendiri ya, Mas?”