Zafran di Tengah Keluarga

Zafran dalam keluarganya ibarat life of the party. Menjadi anak bungsu nggak menjadikan Zafran anak yang paling dimanja. Kedua orang tuanya memperlakukan semua anaknya sama. Bapaknya Zafran kerjanya tuh staf DPRD, jadi tenaga ahli salah satu dewan. Sementara ibunya pedagang kecil yang buka kios di salah satu pasar. That makes keluarga Zafran berkecukupan dan sama sekali nggak kekurangan.

Gue pernah ikut Zafran ke rumahnya untuk ngambil bahan kerja kelompok yang ketinggalan. Waktu itu, kita janjian kerja kelompok di rumah salah satu temen dan sepakat menuju ke sana saling bonceng. Zafran milih untuk bonceng gue, tapi dia bilang mau pulang dulu untuk ngambil bahan yang ketinggalan. Akhirnya, mau nggak mau gue tau diri. Sebagai yang ditumpangi gue nurut aja.

Zafran tinggal di rumah sama orang tuanya, kedua kakaknya, dan neneknya. Waktu ke rumahnya itu, kami disambut sama neneknya yang lagi duduk di teras. Zafran lebih dulu salim sama neneknya dan gue pun melakukan hal yang sama. Kemudian Zafran mempersilakan gue duduk di sebelah neneknya dan berlanjut dia ngeledekin neneknya.

“Ngapain sih nongkrong mulu di luar? Nungguin kakek-kakek yang suka godain Mbah yaa?!” ucap Zafran dengan telunjuk yang diarahkan ke wajah sang nenek, bergurau.

“Paan sih lu, Mbah mah emang tiap hari di luar. Nyari angin,” balas neneknya. Zafran tak lagi membalas perkataan beliau, sebagai gantinya Zafran kembali meledek sang nenek dengan menoel-noel dagu neneknya yang berakhir menerima pukulan dari sang nenek. Zafran, seperti biasa cuma ketawa-tawa aja.

Gue yang melihat itu di depan mata gue hari itu cukup kaget sih. Gue speechless, ternyata anak laki-laki seumuran gue yang sikapnya sehangat ini sama keluarganya. Setelah itu Zafran masuk, ninggalin gue yang kemudian diajak ngobrol sama neneknya.

“Temen sekelasnya Jai?”

“Hah? Ohh, iya Mbah,” jawab gue setelah sadar kalo Zafran di rumah ternyata panggilannya adalah Jai.

“Oohh, mau main apa gimana?” tanya neneknya Zafran. Sumpah, neneknya ini ramah banget, suaranya alus banget. Gue jadi berasa ngomong sama nenek sendiri.

“Mau kerja kelompok, Mbah, tapi Zafran pulang dulu soalnya ada bahan yang ketinggalan,” jawab gue. “Ohhh, kirain mau main. Terus ini mau jalan lagi?”

“Iyaaa, mau ke rumah temen lagi,” balas gue. “Ohh iya deh, nanti kapan-kapan main sini lagi yaa!”

Gue cuma senyum dan nggak lama Zafran balik lagi. Ngeledek neneknya lagi. “Berangkat lagi ya, Mbah. Bae-bae di rumah, kalo dikasih permen sama orang jangan mau!”

Beon lo ah, emange gue anak kecil?” balas neneknya Zafran. Gue sama Zafran cuma ketawa terus kita pamitan.

Pas mau berangkat, di gerbang kita papasan sama kakak sulungnya Zafran yang baru pulang beli bakso. Zafran yang tadinya jalan santai auto kepo. “Ih apaan tuh, Mbak? Bakso ye? Mau dongggg kok nggak beliin sih?”

“Mana aku tau kamu udah pulang?!”

“Mau dongggg,” balas Zafran. “Tapi ntar aja deh malem, aku mau pergi lagi.”

“Mau ke mana?” tanya kakaknya Zafran. “Jalan-jalan lahh emangnya Mbak, nggak pernah bergaul?” canda Zafran.

Sang kakak berlagak tersinggung, “Dih? Awas lu ya! Kagak usah lu minta-minta beliin bakso lagi sama gua!”

Yang selanjutnya terjadi adalah Zafran yang mendadak clingy. “IYA IYA BERCANDA DOANG IH! Damai damai,” ucap Zafran seraya memeluk dan memberi kecupan-kecupan ringan pada pucuk kepala sang kakak. Sementara kakaknya berteriak geli seraya meminta ampun.

“Beliin bakso yak ntar malem?”

“Iya iya bawel!”

“Nah, gitu dong! Dadaahh!” ucap Zafran. Kemudian gue juga pamit sama kakaknya untuk lanjut jalan lagi. Dari jauh gue denger kakaknya teriak, Pager tutup lagi, Dekk!

“Yaaaa!” balas Zafran santai.

Hari itu gue tau kalo Zafran di rumah, adalah Dedek Jai. Yang meskipun tetep cari ribut, tapi tetep kesayangan semuanya. Zafran bilang, satu-satunya yang nggak suka dia adalah abangnya. Which is, anak tengah di keluarganya. Itu pun sebatas karena Zafran sering jadiin dia samsak aja. Bukan benci beneran.

Zafran cerita kalo di rumah, sama abangnya dia suka tiba-tiba main reog-reogan. Alias, abangnya gendong Zafran di punggungnya terus mereka joget-joget. Kadang juga dia main smack down sama abangnya. Abangnya yang dipiting, bukan Zafran.

Jujur, kadang gue iri ngeliat betapa hangatnya keluarga Zafran. Betapa orang tuanya berhasil mendidik anak-anaknya untuk menjadi sebuah keluarga yang paham betul kalau sama saudara harus saling jaga dan saling menyayangi. Gue tau Zafran sayang kakak-kakaknya. Dia suka bilang kangen Mbak dan Masnya kalo mereka lagi ada acara sekolah yang mengharuskan nginep, dan ketika ketemu lagi, mereka bakalan saling berpelukan kayak nggak ketemu lamaa banget padahal cuma sehari semalam.

Pada lain kesempatan gue juga sempet ngobrol sama Mbaknya Zafran. Dia bilang Zafran adalah adiknya yang paling peduli kalo liat dia nangis. Waktu nggak keterima SBM, Zafran liat dia nangis dan langsung lapor ke neneknya. Berakhir mereka semua nenangin mbaknya Zafran dan meluk dia. Zafran yang kalo di kelas nggak pernah tau ada temennya yang sakit, jadi sensitif banget kalo soal kakak perempuannya. Kalo kata mbaknya, “Nyedot ingus dikit ditanyain 'Mbak nangis?'”

Sejauh ini, Zafran adalah anak bungsu yang baik untuk keluarganya.

Meskipun begitu, Zafran juga bisa menjadi sosok kakak yang baik. Suatu hari gue diminta jadi tutor belajar bareng untuk ujian akhir semester untuk Zafran dan temen-temennya. Iya, Zafran yang minta, otomatis tempatnya juga di rumah Zafran. Seakan nggak cukup memikat gue pake sikap hangatnya ke keluarganya, Zafran memikat gue pake sikap momongnya ke anak-anak kecil di sekitar rumahnya.

Gue, waktu itu jadi orang yang pertama dateng. Apa yang gue temuin di teras rumahnya Zafran? Zafran yang lagi ngorek-ngorek tanah sama anak kecil laki-laki yang perkiraan gue berumur dua tahun. Mereka sahut-sahutan nyanyi Semut-Semut Kecil.

“Semuut-Semuut kecil, saya mau?” Zafran menjeda nyanyiannya, memberi umpan ke bocah itu untuk ngelanjutin.

“Tannyaa!”

“Apakah kamu?”

“Di dalam tanah!”

“Tidak kegela?”

“Paaaaaan!”

Zafran baru sadar gue ada di depan rumahnya ketika gue ketawa denger dia sahut-sahutan nyanyian sama bocah.

“Wehh, udah nyampe aja lu, Im! Masuk-masuk,” ucap Zafran. Gue akhirnya masuk dan duduk di kursi teras rumahnya Zafran.

“Bentar, ya, Im,” balas Zafran. Gue cuma ngangguk dan nyuruh dia santai karena emang belom ada yang dateng juga selain gue.

Zafran nepuk-nepuk celananya, ngebersihin sisa tanah yang nempel di sana bekas dia lesehan di jalanan. Terus dia bilang sama bocah yang masih ngorek-ngorek tanah itu, “Biw, udahan dulu mainnya ya? MaJai mau belajar dulu.”

Anak kecil itu ngambek dan nolak udahan. Terus Zafran nunjuk-nunjuk gue, “Majai mau belajar dulu tuh temen Majai udah dateng. Besok lagi mainnya okey?”

“Aaa tapi gendong,” balas bocah itu. Kata Zafran, namanya Nabil tapi dipanggilnya Abiw. Ah, Zafran juga bilang kalo Majai itu adalah panggilan dirinya. Aslinya Mas Jai, cuma karena anak kecil itu waktu itu belom lancar ngomong, jadi Majai dan kebiasaan manggil begitu sampe sekarang.

“Haaaaaa? Gueeendong?” canda Zafran. Membuat Abiw nggak jadi ngambek dan malah ketawa. “Iya, ayo gendong tapi cuci tangan dulu Abiwnya.” Setelah itu, akhirnya Zafran gendong Abiw dengan mudah. Betul, bukan Zafran kalo cuma gendong biasa. Zafran gendong Abiw ala-ala Superman dan diterbangin sampe rumahnya. Setelah situasi aman, baru Zafran nyamperin gue dan ngajak gue ngobrol sambil nungguin temen-temen yang lain. Hari itu Zafran cerita dia suka dapet makanan gratisan dari para orang tua yang anaknya pernah kena momong Zafran.

Hari itu gue tau, Zafran mencintai dan dicintai seisi rumah. Entah rumahnya atau rumah tetangganya yang anak kecilnya berteman baik dengan Zafran. Meskipun anak bungsu, Zafran tak hanya tau caranya menjadi adik yang baik, tetapi ia juga paham caranya menjadi seorang kakak yang baik. Rasanya, Zafran adalah anak bungsu yang bisa menjadi tempat pulang semua orang.