Hubungan Jarak Jauh
Malam ini, Gia bersemangat melebihi biasanya. Senyumnya merekah semenjak selesai salat Isya lantaran ada sebuah janji yang ia buat dengan seseorang yang menjalani hubungan jarak jauh dengannya. Papa. Hari ini, papanya itu berjanji menghubunginya setelah sekian lama. Maklum, Gia paham papanya itu sibuk hingga melampaui batas kemampuan dirinya sendiri. Boro-boro ingat mengabari Gia, untuk makan saja kadang lupa.
“Halo? Assalamualaikum, Paa!”
“Iya, Gi. Gimana sekolahnya?”
Lesu, Gia yang tadinya bersemangat berubah lesu mendengar jawaban sang papa yang juga lesu.
“Baaik, seru sekolah Gia. Papa lesu banget kenapa? Belum makan yaa?” tanya Gia, merendahkan intonasi suaranya agar menyesuaikan lawan bicaranya di seberang sana.
Terdengar kekehan dari balik gawai canggih milik Gia, “Iya nih, Papa belum sempet makan. Kamu udah?”
Sebuah napas lega lolos dari bibir Gia, ia bersyukur karena rupanya papanya itu bukan tidak ingin bicara dengannya, melainkan hanya terlalu lelah.
“Udah, dong. Papa kenapa belum makann? Makan dulu deh, sambil teleponan nih sama Gia.”
“Iya, nanti aja. Papa masih sambil ngerjain kerjaan nih. Masih di depan laptop.”
“Oh iya? Ini Gia ganggu nggak Pa? Kalo misalnya ganggu nggak pa-pa, nanti-nanti lagi aja teleponannya,” ucap Gia. Meskipun dalam hatinya ia mendesah kecewa, namun ia tetap berusaha mendoktrin dirinya untuk bersikap dewasa dan mengerti posisi papanya.
“Enggak, Sayang. Nggak pa-pa, Papa juga kangen sama Gia. Pengen denger suara anaknya Papa ini lho.”
“Yeeee, lebay!” balas Gia. Setelahnya keduanya tertawa bersama.
“Om Agung nganterin sekolahnya gimana? Suka telat nggak?”
“IHHH itu dia, Paaa! Gia berkali-kali nyarrris telat gara-gara Om Agung kalo pagi siap-siapnya lama banget. Kadang dia di kamar mandi juga lama banget, sebel deh.”
Mendengar kikikan papa, Gia tersenyum meski papanya tak dapat melihat, sengaja tidak memilih metode panggilan video karena nantinya yang ada, Gia hanya menangis tanpa bisa mengucapkan apapun lantaran melihat wajah lelah papanya.
“Emang begitu, Gi. Dia mah banguninnya dari jam empat baru nanti kelarnya tepat waktu, hahaha.”
Gia hanya ikut tertawa, “Papa pegel banget ya? Coba kalo di rumah, nanti Gia injek-injek betisnya.”
Gia bicara seraya tersenyum, ingatannya kembali kepada semasa kecil. Setiap kali papanya pulang dari kantor, Gia adalah orang pertama yang menyambutnya di depan pintu. Sebab ketika sudah mendekati waktu papa pulang, Gia kecil akan duduk manis di depan jendela seraya bertopang dagu, menanti papa pulang dengan entah makanan apa yang dibawakannya hari itu. Kemudian sesekali ketika papa pegal, papa akan minta Gia untuk memijat betisnya dengan cara diinjak-injak. Cara memijat khas orang Asia.
Terdengar lagi sebuah tawa ringan dari papa di seberang telepon, “Nggak perlu. Ini denger suara Gia juga nanti nggak capek lagi, kok. Kadang obat capek tuh cuma melepas rindu sama yang disayang aja, kok.”
Gia mendelik diam-diam, “Papa bergaul sama siapa di sana? Kok jadi gombal?”
“Ih, emang bener, kok! Setiap denger suara Gia, capeknya Papa ilang. Apa lagi kalo denger Gia ketawa.”
“Oke kalo gitu Gia ketawa, ahahahahahahaha, udah ilang belum, Pa?”
“Kalo begitu malah jadi serem, Gi. Kayak genderuwo!”
“Loh kok genderuwo?! Emangnya Gia serem?”
“Bercandaaaa. Gia di sekolah temen barunya udah berapa?”
“Sepuluh,” jawab Gia asal.
“Wuih banyak banget, Gi?”
“Hehe, boong, boong. Berapa ya? Coba Gia itung dulu. Ada temen sebangku Gia namanya Zahra, ketua kelas Gia namanya Alwan, siapa lagi ya? Udah sih, yang sering main sama Gia baru itu. Tapi Gia juga lumayan sering ngobrol sama kakak kelas, seru deh, Pa. Di sini kakak kelasnya baik-baik banget. Ada yang namanya Kak Aghni, itu tetangganya Zahra, ada Kak Dhimas, ada Kak Ojan, ada Kak Damar, ada Kak—eh, udah deng, abis,” cerita Gia cukup mendetail. Sebenarnya salah satu tujuan Gia jarang menelepon papa adalah mengumpulkan dulu sebanyak-banyaknya cerita untuk diutarakan pada papa. Alasan yang lain adalah karena gadis itu tak ingin membebani papa dengan kewajiban meneleponnya, Gia tak ingin mengganggu kerja papa.
“Siapa yang terakhir? Kok nggak jadi disebut namanya?”
“Hm? Siapa? Enggak, nggak ada. Udah abis mentok sampe situ doang kok,” elaknya.
“Boong sama orang tua dosanya double loh, Gi.”
Gia mengerucutkan bibir sebelum membalas perkataan papanya, “Papa mah gitu.. mainnya bawa-bawa jabatan..”
“Hayoo kenapa tadi nama kakak kelasnya nggak jadi disebut? Jahatkah dia?”
“Enggak.. dia baik, baik banget. Waktu Gia hampir telat, kakak itu yang nolongin. Dia keliatannya jutek, tapi kalo udah ngobrol enggak, kok. Dia kakaknya adek kelas Gia waktu SMP, Pa,” balas Gia.
“Namanya siapa?”
Gia terdiam cukup lama sebelum menyebutkan nama seseorang yang berusaha ia rahasiakan itu. Namun, pada akhirnya Gia hanyalah anak yang tidak pernah bisa merahasiakan apapun dari kedua orang tuanya. Pada akhirnya, Gia menjawab, “Kak Haris.”
“Gia suka?”
“Hm? Apa sih, Pa? Enggak lahh!”
“Boong sama orang tua tuh dosanya double, Anggia~”
“Kenapa Papa mikirnya gitu?”
“Ya, perasaan yang lain cuma disebutin namanya aja, yang ini kok sampe diceritain gitu ya? Ini Gia ceritanya lagi ngajuin proposal ke Papa biar direstuin apa gimana? Hahahaha.”
Gia memejamkan matanya seraya merutuki dirinya sendiri dalam hati. Lihat, kan? Pada akhirnya Gia tak bisa menyembunyikan apapun dari kedua orang tuanya. Papanya yang jauh saja bahkan tetap bisa menebak isi hatinya.
“Kalo suka nggak apa-apa, Gi. Jangan takut buat ngerasain hal-hal kayak gitu. Apa lagi umur-umur Gia sekarang. Emang lagi masanya yang kayak gitu-gituan berkembang. Hidup itu cuma sekali, kalo Gia terus-terusan takut, nanti Gia belajar dari mana?”
“Papa nggak akan ngelarang Gia buat nyoba sesuatu yang baru, kok. Selama memang masih hal-hal yang baik dan wajar. Gia boleh kok jalan-jalan sama temen-temen Gia, Gia boleh kok kalo mau nyobain ikut lomba antar provinsi, Gia boleh nyoba apapun yang Gia mau coba. Catatannya ya itu tadi, selama masih hal-hal baik dan wajar.”
“Gia boleh nyoba apapun yang Gia mau coba. Termasuk jatuh cinta. Itu juga fase hidup, Gi. Jangan dilewatin. Jangan diabaikan.”
Sedari tadi Gia hanya menyimak. Kedua matanya kini sudah berkaca-kaca, bibirnya bergetar sesekali menahan tangis sekuat-kuatnya. Entah karena rindu nasehat papa, atau terlampau bahagia karena mendapat validasi dan izin atas perasaannya.
Gia diam-diam menghirup napasnya, berusaha mengendalikan diri agar tidak menangis sebelum sambungan telepon terputus. “K-kenapa, Pa? Kenapa jangan dilewatin atau diabaikan?”
Papa pun terdiam diseberang sana. Gia hanya mendengar helaan napas panjang dari teleponnya. Tak apa, Gia selalu sabar menunggu. Mungkin papa sedang memikirkan jawaban terbaiknya.
Selang beberapa detik, akhirnya papa kembali bicara.
“Loh, Papa nggak akan punya Gia kalo Papa nggak jatuh cinta sama Mama, Gi.”
Jawaban papa berhasil membungkam Gia. Gadis itu hanya bisa menunduk dengan ponsel yang masih menempel di telinga kanannya, lagi-lagi meneteskan air matanya dalam diam. Dan setelah berhasil membuat Gia menangis, papa hanya terkekeh. Setelahnya berpamitan untuk menutup telepon lantaran tumpukan perkamen di mejanya sudah menanti untuk kembali dijadikan pusat perhatian.
“Gi, kapan-kapan sambung lagi ya? Papa mau lanjut kerja dulu. Gia jangan malem-malem tidurnya yaa, besok sekolah!”
Gia lagi-lagi menghela napas sebelum menjawab, “Iya, Pa. Papa jangan lupa makan!”
“Iya, abis ini Papa masak telor dadar terus makan pake nasi. Udah dulu ya, Sayangg. Sampai ketemu!”
“Sampe ketemu, Paa!”
Sebuah suara menandakan telepon berakhir, namun Gia masih dengan setia menempelkan ponselnya pada telinga. Berharap dapat mendengar suara papa lebih lama.
“I miss you, Pa, Gia kangen. Gia selalu kangen Papa, Gia selalu pengen Papa ada di rumah setiap hari,” ucapnya. Seperti biasa, hanya ia ucapkan setelah sambungan telepon terputus. Gia tidak pernah berani mengutarakannya langsung pada papa. Alasannya, ia selalu takut hal itu akan membebani papa dan akan membuatnya selalu berpikiran untuk pulang dan menjadi tidak fokus akan pekerjaannya. Karenanya, Gia memilih untuk menyembunyikannya. Gia memilih untuk menyembunyikan perasaannya.
Seperti kata orang, hubungan jarak jauh memang sulit untuk ditempuh. Sebab akan selalu ada hal-hal yang tak tersampaikan. Entah tidak sempat, terlupa, atau memang sengaja untuk dirahasiakan.
Sama seperti kebanyakan orang, Gia pun hanya bisa melantunkan doa-doa setiap hari. Supaya papa selamat dan selalu sehat, serta dimudahkan dalam apapun yang beliau tempuh. Sama seperti kebanyakan orang, Gia hanya bisa menunggu hari-harinya cepat berlalu dan hari ketika ia dapat berjumpa kembali dengan orang yang ia rindukan itu segera tiba meskipun entah kapan.
Hubungan jarak jauh memang sulit ditempuh. Entah bersama teman, kekasih, atau orang tua sendiri.