Jalan-Jalan
“Maaaaaaaa?” panggil Haris ketika sudah sampai di butik milik ibunya. Pemuda itu berjalan santai seraya menyapa para pegawai dengan senyumnya. Meskipun cuek, Haris masih tau sopan santun.
“Eh Mas Haris, lama nggak keliatan,” ucap salah satu pegawai di sana. Haris tersenyum ramah, “Iya, Mbak. Kemaren-kemaren aku lagi ngurusin MOS jadi nggak bisa ke sini. Pulang sekolah rapat terus.”
Sang pegawai hanya membulatkan bibir. “Mama mana, Mbak?” tanya Haris.
“Itu lagi ada yang fitting, Mas. Tunggu di ruangan Mama aja. Ada Mbak Hanum sama Dek Haura, kok,” jawabnya.
“Oh, ya udah. Makasih ya, Mbak!”
Setelahnya ia bergegas menuju ruangan mamanya yang jelas sudah ia hapal di luar kepala. Sesampainya di sana, pemuda itu mengetuk pintu dan membukanya. Haris mengintip sebelum membuka pintu lebih lebar, membuat kedua mata adik-adiknya itu mengarah padanya. Setelah menyadari Haris yang datang, keduanya langsung buru-buru menghampirinya dan memeluknya. Satu memeluk perutnya, satu lagi memeluk kakinya.
“KAKAAKK!!”
“Ssttttt! Berisik. Nanti ganggu yang lain,” sahut Haris dengan kedua tangannya balas memeluk Hanum dan Haura.
“Lagi pada ngapain?” tanya Haris. “Lagi ngomongin Kakak,” sahut Hanum.
“Emang iya, Ra?” tanya Haris. Setelah Haura menggeleng sambil tertawa, Haris mencibir Hanum yang tidak menyangka Haura tidak mendukungnya. “Ngomongin gue mah kerjaan lu, Num. Haura mah baik.”
“Ish nyebelin,” kesal Hanum.
Tak lama ketiganya menoleh lantaran pintu kembali terbuka. Menampilkan sang mama yang baru saja selesai mengurus pekerjaannya. Di lehernya masih terkalung alat pengukur yang biasa dilingkarkan di tubuh pelanggannya. “Halooo anak-anak Mamaaaa! Udah kumpul semua nih?”
“Udahh,” balas Hanum.
“Halo, Kakkk! Udah dari tadi kamu sampe?” tanya mama. Haris menggeleng, “Enggak, kok. Baru aja.”
“Laper nggak?”
Haris tak menjawab, pria itu melirik adiknya satu-persatu yang sama-sama mengangguk. Barulah ia ikut mengangguk, “Lumayan sih.”
“Jalan-jalan, yuk? Sekalian mam.”
“AYOK! YES AKHIRNYA AKU IKUT YA ALLAH,” sahut Hanum heboh. Mamanya hanya tertawa, memang Hanum yang paling sering absen ketika diajak pergi. Setelahnya mereka bersiap-siap dan bergegas.
“LARI-LARI KUNCIIN HANUM KUNCIIN!” ujar Haris. “IH KAKAK IHHHHH!!!!”
Keluarga kecil itu duduk di sebuah meja berisikan empat orang. Masing-masing dari mereka sibuk dengan piringnya. Haris memilih untuk duduk di sebelah Haura seraya mengawasi gadis kecil itu selama mengeksekusi makanannya. Sebisa mungkin Haris membuat gadis itu tak menyentuh pisau sama sekali. Sesekali juga ia membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di sudut bibir atau pipi Haura.
“Kak, kentangnya nggak di makan?” tanya Hanum. Haris yang sedang mengelap pipi Haura dengan selembar tissue itu mendelik, “Dimakan, lah. Enak aja lu! Udah punya sendiri juga.”
“Kurang, punyaku dikit,” balas Hanum seraya mengerucutkam bibir. “Itu namanya derita loe,” balas Haris.
Sementara ibunya hanya tertawa pelan, kemudian melerai pertikaian ringan anak-anaknya. “Nih, nih, makan punya Mama!” ujarnya.
“Beneran, Ma?” tanya Hanum. Wajahnya sumringah menatap kentang goreng di piring sang mama. Tangannya siap di udara dengan sebuah garpu, layaknya cakar elang yang bersiap mengambil mangsa. “Iyaa abisin, jangan gangguin Kakak.”
“YES!”
“Parah lu, Num. Makanya kalo makan bismillah. Kagak ada kenyangnya makanannya diambil setan semua,” ejek Haris. “Dih? Hanum baca doa kok tadi,” balas Hanum.
“Mang iya? Kakak nggak denger,” balas Haris.
“Lah, emangnya aku berdoa ke Kak Haris? Yang harus denger doaku ya Tuhanku.”
“Idiss sedep banget dah ah, Mamah Hanum. Berasa Qultum Ramadhan ya, Ma? Sambil makan dengerin ceramah,” canda Haris.
“Kakak ngomong lagi aku colok nih pake garpu!” ancam Hanum.
“Berani?”
“Enggak.”