Istirahat
Selama istirahat, Gia duduk sendirian di kantin. Mengeksekusi makanan yang ada di piring di depannya. Gadis itu memilih tempat yang sama seperti biasa, tempat yang berhadapan langsung dengan masjid sekolah bagian laki-laki. Ada alasannya Gia duduk sendirian hari ini, yaitu karena Zahra sedang berada di masjid.
Gia memilih menunduk dan fokus pada makanannya, sesekali memainkan ponselnya guna mengabaikan orang-orang yang lalu lalang, apa lagi kakak kelas yang saling bergerombol dan meramaikan suasana kantin. Dalam hatinya Gia hanya berharap agar Zahra cepat selesai dengan urusannya. Sebab Gia mulai risih, sedari tadi ada saja kakak kelas laki-laki yang menduduki tempat di sebelahnya dan kerap mengganggunya.
Gia sudah selesai makan, beruntung masih memiliki napsu makan setelah sekian banyak orang mengganggu waktunya. Kini gadis itu memilih memainkan ponselnya, yang beruntungnya, ia bawa. Sambil menyesap es jeruk yang ia beli untuk melengkapi makan pagi menjelang siangnya.
Lagi-lagi, untuk kesekian kali Gia merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Gadis itu memutar matanya malas kemudian sedikit bergeser menjauh.
Tiba-tiba, dari arah kanannya, seseorang itu menyodorkan dua bungkus beng beng hingga membuat bungkusan kedua biskuit berbalut cokelat itu menyentuh kulitnya. Gia lantas berjengit, kemudian menoleh. Di sebelahnya, ia mendapati Haris yang menatapnya datar seraya mengangkat sebelah alisnya.
Setelah sadar siapa yang berada di hadapannya saat ini, Gia mengerjapkan matanya berkali-kali, gelagapan.
“Kak Haris, kirain siapa,” ucap Gia. Kemudian membenahi posisi duduknya, soalnya salah tingkah. Maklum, melihat Haris dari jauh saja Gia tidak pernah terlatih, apalagi dari jarak dekat begini.
Haris terkekeh pelan, “Kok sampe geser gitu?”
Gia menggeleng, “Enggak, nggak pa-pa.”
“Ada yang gangguin ya?” tanya Haris.
“Enggak,” jawab Gia bohong.
Lagi-lagi Haris terkekeh, “Tinggal jawab iya aja susah banget. Saya liat kok tadi dari situ.”
Jawaban Haris cukup membuat Gia terperangah. Gadis itu kemudian turut menoleh pada arah yang ditunjuk Haris. Setelahnya ia hanya tersenyum canggung lantaran kebohongannya ketahuan.
“Nih, beng beng,” ucap Haris. Menyodorkan kembali dua biskuit cokelat itu pada gadis di hadapannya.
“Kan udah bilang nggak usah?”
“Kan udah janjian,” balas Haris. “Nih, dua. Soalnya nyampe sekolah jam enam lewat sepuluh.”
Gia tak dapat lagi menahan senyumnya, gadis itu akhirnya membiarkan seulas garis lengkung yang menawan itu menghiasi wajahnya. “Makasih, Kak Haris. Tapi satu aja,” ucapnya.
“Dua, lah! Udah dibeliin juga.”
“Nggak mau, nanti sakit gigi,” canda Gia. Mengutip perkataan Haris kala itu. Gia tertawa, namun Haris tetap menatapnya datar. Membuatnya mau tak mau menghentikan tawanya secara paksa.
“Kok nggak ketawa sih, Kak? Saya takut jadinya..”
Barulah Haris tertawa pelan, “Bercanda.”
“Ini dua-duanya buat kamu,” ujar Haris lagi. Gia kembali menggeleng, “Satu aja, Kak.”
“Terus satu lagi kemanain?” tanya Haris.
“Buat Kak Haris.”
“Ya udah kalo gitu, saya makan ya?”
“Iya, makan aja. Saya juga mau makan,” balas Gia. Kemudian gadis itu mulai berusaha untuk membuka bungkusan beng beng di tangannya. Atas, bawah, sisi kanan, sisi kiri, keempatnya tidak bersahabat dengan tangan mungil tak bertenaga milik Gia. Membuat gadis itu menghela napasnya dan kembali meletakkan biskuit itu dan menyerah. Sepertinya ia tak akan memakannya saat ini juga.
Di sebelahnya, terdengar suara kikikan. Dan ketika Gia menoleh, Haris sudah menutup mulutnya dengan lengannya seraya tertawa geli.
“Nih nih, tuker,” ucap Haris.
Gia mengerucutkan bibir seraya menatap Haris bingung, namun tangannya tetap mengambil beng beng yang diberikan Haris. Bungkusannya sudah terbuka dan sudah siap untuk di makan. “Kok diketawain..?”
“Payah nih, buka ginian aja nggak bisa.”
“Orang susah.”
“Enggak, nih bisa sama saya,” balas Haris. Benar saja, ia membuka bungkusan beng beng dengan mudah, bahkan hanya dengan sekali percobaan tanpa usaha.
“Enggak, itu beng bengnya curang.”
“Curang gimana?”
“Beng bengnya pilih kasih.”
“Mana bisa?”
“Bisa ih, udah ah, Kak. Stop. Malu,” ucap Gia. Haris tak membalas, ia sibuk mengunyah beng beng seraya tertawa.
“Kakak kok nggak sama temen-temen Kakak?” tanya Gia, mulai mengunyah gigitan pertama beng beng miliknya. Atau, milik Haris yang ditukar menjadi miliknya.
“Nggak ah, nggak jelas juga lagi pada debatin kereta malam,” jawab Haris.
“Debatin kereta malam gimana, Kak?”
“Kamu tau lagu kereta malam, nggak?” tanya Haris.
“Lagu dangdut kan?”
“Iya, nah itu kan keretanya berangkat katanya. Yang berangkat palanya duluan atau buntutnya duluan?”
“Hah seriusan, Kak debatin gituan?” tanya Gia tak percaya. Pasalnya, circle Haris bisa dibilang circle susah ditembus di sekolah. Isinya adalah anak-anak famous. Damar, Dhimas, Haris, Ojan. Keempatnya bukan orang-orang yang biasa diabaikan di sekolah. Meski kelihatannya senang main-main, prestasi keempatnya pun tidak diragukan. Dua unggul dalam akademik, yaitu Haris dan Damar. Dua lagi unggul dalam non-akademik, Jauzan dan Dhimas.
Gia pikir, orang-orang sehebat mereka hanya membicarakan hal serius. Namun, rupanya.. sama sekali tidak.
Haris mengangguk menjawab pertanyaan Gia. “Nggak jelas tau, Gi. Kemaren di grup baru pada ngomongin ibu jari suaminya siapa. Apakah dia hamil di luar nikah apa enggak, gitu.”
Ucapan-ucapan Haris dengan mudah membuat Gia tergelak hingga rahangnya sakit karena tertawa sambil mengunyah. Sesekali Gia menyeka air matanya yang keluar, lagi-lagi akibat terlalu geli tertawa. Haris hanya tersenyum kecil menatap Gia yang tertawa tanpa suara.
“Gia ketawa apa nangis sih, Gi? Ketawa sama nangis nggak ada bedanya,” ucap Haris. Gia masih tertawa, kemudian menghela napasnya. “Ketawa, Kak. Tapi nguakak banget ya Allah.”
Haris hanya terkekeh membalas Gia. “Kamu kok sendirian?”
“Iya, Zahra lagi setoran apalan Agama di masjid. Waktu itu dia belom apal-apal.”
“Oohh, udah mau bel belom kelar-kelar juga dia?” tanya Haris. “Tauuu, lama banget Jara kalo ngapa-ngapain.”
“Ya udah, saya mau naik ya?”
“Iya, Kak. Makasihh beng bengnya.”
“Sama-sama, nih satu lagi. Simpen aja buat di rumah, abis itu gosok gigi biar nggak sakit gigi,” ucap Haris, memberi Gia satu bungkus beng beng lagi yang selama ini ia simpan di saku sebagai cadangan. Kemudian berlalu pergi.
“Lah? Dari tadi Kak Haris punya tiga?”
“Banyak, sekerdus.”