tw // mention of death

Kepulangan dan Rahasia (2)

“Jiel?” ucapnya. Ayah membalikkan badan, membiarkan tubuhnya membelakangi Yasmine dan menghadap Azriel sepenuhnya. Didapatinya sang anak sulung dengan seragam pramukanya lengkap dengan atribut dan ransel penuh perlengkapan. Nampak seperti baru pulang dari medang perang. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang mengharukan sebab sang putra kembali ke pelukan keluarga setelah pergi sekian lama. Namun, rencana hanyalah rencana.

“Ayah masih dendam sama Yasmine? Iya?” tanya Azriel. Perlahan ia melangkahkan kakinya yang masih dibalut sepatu hitam itu mendekat ke arah sang ayah. Tatapannya sama sekali tak goyah, tetap melemparkan tatapan membunuhnya. Azriel tak lagi peduli dengan gelar ayah atau anak. Hari ini, setelah sekian lama menahan segalanya, Azriel memutuskan untuk memandang ayah sebagai sesama lelaki. Yang jika sudah berani-berani melukai adik perempuannya, akan Azriel lawan.

“Jawab Jiel!” gertaknya. Sang ayah bungkam. Pria paruh baya itu kini menunduk, menghindari tatapan Azriel yang tajamnya serasa menusuk relungnya yang sudah lama diselimuti dendam dan kebencian.

Tatapan Azriel beralih pada Yasmine yang berada di pelukan bunda. Seketika matanya membelalak lebar ketika melihat lebam di pipi sang adik. “Ayah nampar Yasmine?!” tanya Azriel. Tak ada jawaban.

“AYAH CARI RIBUT SAMA JIEL?” Pemuda dengan tubuh kekar dan tenaga berkali-kali lipat dari ayahnya itu kini mencengkeram kerah baju ayah. Membuat Yasmine semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher bunda, tak ingin menyaksikan pertikaian antara ayah dan kakaknya. “Berapa kali Jiel bilang jangan pernah berani-berani kasar sama Yasmine atau Ayah berhadapan sama Jiel?!”

“Dari dulu, Yah. Dari dulu Ayah selalu mandang Yasmine pake tatapan kebencian. Ayah nggak pernah suka Yasmine di sini. Ayah nggak pernah mau nganggep Yasmine sebagai keluarga. Ayah nggak pernah sayang sama Yasmine sebagai anak Ayah sendiri! Kenapa?” Azriel berucap penuh emosi dan penekanan. Dosanya membentak orang tua, biarlah menjadi urusannya.

“Karena masalah yang selama ini berusaha nggak kita bahas? Iya?!” tanya Azriel lagi.

Seketika Yasmine terperanjat bingung, Masalah apa?

“Ayah nggak pernah terima Yasmine ada di rumah ini, di dunia ini, karena Ayah berharap bukan dia yang lahir, IYA KAN?!” Azriel masih tak gencar untuk mengeluarkan gertakan-gertakannya.

“M-maksudnya, Mas?” Yasmine pada akhirnya berani menyuarakan kebingungannya.

Azriel menghela napasnya. Mengatur emosinya sebelum menatap wajah Yasmine yang kini penuh jejak air mata. Ia tak ingin melayangkan tatapan marahnya sedikit pun pada Yasmine. Sudah cukup dari seluruh dunia, Yasmine tak perlu lagi menerima tatapan itu darinya.

Azriel meraih kedua pundak Yasmine yang kini terbebas dari pelukan bunda. Setelahnya menelan ludah guna mengeluarkan suara lebih lembut. “Yas, maaf Mamas sama Bunda ngerahasiain ini dari kamu. Maaf kita nyimpen rahasia ini bertahun-tahun. Hari ini, Mamas rasa kamu perlu tau yang sebenernya. Kenapa Ayah bisa benci sama kamu, kenapa Ayah bisa bersikap kayak gini sama kamu.”

Sementara bunda luruh dalam air mata, ayah memilih menjauh. Entah mengapa, pria itu merasa tidak siap jika Yasmine mengetahui semuanya. Rahasia yang selama ini ia kubur dalam-dalam di keluarganya. Rahasia yang selama ini menjadi luka paling berat yang tak kunjung sembuh bagi ayah. Rahasia mengenai seseorang yang selama ini belum bisa ayah lepas dan relakan.

“Dulu, Yas. Dulu, Mas Jiel sendirian di rumah ini. Mas Jiel anak satu-satunya. Sampe ketika Bunda ngabarin kalo Mas Jiel akan punya adik. Nggak cuma satu, tapi dua sekaligus..”

Yasmine mendongak. Gadis itu terperangah, namun masih tak mengerti arah pembicaraan Azriel.

“Kamu kembar, Yas. Kembaranmu laki-laki. Kalian sepasang. Dulu, kami semua seneng banget dan semangat banget buat nyambut kalian. Tapi, ketika waktunya Bunda ngelahirin kalian, ternyata Bunda agak kesulitan untuk melahirkan secara normal. Kamu, sama kembaran kamu tertahan cukup lama di perut Bunda sampe akhirnya ganti tindakan. Operasi.”

“Yang keluar duluan itu kamu. Alhamdulillah, kamu masih hidup, Yas. Tapi kembaran kamu, badannya udah biru dan pas keluar pun nggak ada suara tangisannya. Dia langsung dapet tindakan dari dokter, tapi Tuhan lebih sayang dia, Yas. Yazid, kembaran kamu, meninggal setelah berhasil dilahirkan. Semenjak itu Ayah benci sama kamu. Ayah merasa seharusnya Yazid yang diselamatkan lebih dulu, karena dia laki-laki.”

Azriel menyudahi ceritanya. Wajahnya kini turut dipenuhi air mata yang tak terbendung lagi. Di hadapannya, Yasmine sudah menangis tersedu-sedu. Itukah mengapa dirinya selalu merasa kesepian bahkan di tengah keramaian? Itukah mengapa dirinya selalu merasa ada bagian dari dirinya yang hilang? Seharusnya ia memiliki seorang teman, saudara, separuh jiwanya yang bisa menemaninya menghadapi dunia yang begitu keras membentuknya.

Yasmine menutup mulutnya menggunakan tangannya sendiri, seakan begitu banyak informasi untuknya hari ini. Kembar? Meninggal setelah dilahirkan? Itu kah mengapa ayah selalu berkata bahwa seharusnya bukan dirinya yang berada di tengah-tengah keluarga ini?

Gadis itu melihat ke arah bunda, meminta kepastian dan kebenaran akan ucapan Azriel. Berharap bahwa ini semua hanyalah kebohongan. Meskipun Yasmine selalu ingin tahu alasan mengapa sang ayah membencinya, bukan ini yang ia maksud. Sang bunda mengangguk dalam tangisnya, secara isyarat membenarkan bahwa apa yang diceritakan Azriel adalah kenyataan yang selama ini dirahasiakan.

Seketika tubuh Yasmine limbung, kakinya melemas dan membuatnya terjatuh. Beruntung Azriel dengan sigap memeluknya. Seperti hari-hari sebelumnya, Yasmine hanya bisa menangis. Namun kali ini, adalah tangisannya yang paling deras.