Closer to God (2)

Aroma obat-obatan menyeruak ke dalam indera penciuman seorang pemuda yang kini menggoyang-goyangkan kakinya gelisah di depan sebuah kamar yang tertutup rapat. Azriel, lelaki itu kini menunggu dokter selesai menangani Yasmine yang langsung dilarikan ke rumah sakit akibat tertabrak mobil.

Sudah tiga puluh menit, namun tak kunjung selesai. Azriel berkali-kali mengusap air matanya yang terus memberontak keluar, seandainya ia bisa memutar balik waktu dan secepat kilat menyelamatkan adiknya.

Lihatlah, pada akhirnya dirinya bukan kakak yang patut dibanggakan. Pada akhirnya ia pun tidak sehebat yang dibicarakan orang-orang. Pada akhirnya ia pun bukan seseorang yang 'becus' dan sempurna dalam segala hal.

Pemuda itu menoleh kala mendapati suara tapak kaki di lorong rumah sakit yang sunyi. Dilihatnya sang ibu dan ayahnya yang tergopoh-gopoh menghampirinya. Seketika tatapannya berubah menjadi tajam, ada seseorang yang kehadirannya tidak ia sukai di sini.

Azriel bangkit dan lantas menghantam wajah ayahnya penuh emosi. Membuat pria yang jauh lebih tua darinya itu terhuyung dan kehilangan keseimbangan.

“Puas Ayah sekarang? Ini yang Ayah mau?”

Ayah menggertakkan rahangnya, menahan sakit akibat pukulan Azriel yang meninggalkan bekas kebiruan di wajahnya. “Mas..”

“Jangan panggil Azriel pake sebutan itu kalo Ayah masih nggak mau ubah sikap Ayah ke Yasmine. Ini udah keterlaluan, Ayah! Yasmine itu adeknya Jiel! Anak Ayah juga! Perlakukan dia sebagaimana seorang Ayah memperlakukan anaknya, apa lagi dia perempuan!” ucap Azriel. Ayah masih diam, menunggu anak sulungnya selesai bicara.

Baru saja Azriel ingin melanjutkan marahnya, Ayah mengeluarkan suaranya. Tidak seperti biasanya yang bulat dan lantang, kali ini suara ayah yang memasuki telinganya adalah suara ayah yang paling lembut.

“Ayah minta maaf..”

Baik Azriel dan bunda, keduanya tertegun. Pemuda itu menatap mata sang ayah, mencari-cari kebohongan yang rupanya tak ia temukan. Kali ini, hari ini, ayah benar-benar tulus mengucap kata maaf pada keluarganya. Tak ada kesombongan di sana.

“Ayah—Ayah minta maaf.. betul kata Bunda, Ayah memang nggak becus jadi seorang Ayah,” ujarnya. Setitik air mata mulai lolos dari pertahanan, sedikit demi sedikit, ayah kembali menangis.

“Bertahun-tahun Ayah dibutakan oleh ambisi keluarga kita yang selalu berakhir memandang rendah perempuan. Padahal seharusnya Ayah perlakukan kalian sama rata.”

“Mas Jiel, Ayah minta maaf. Atas semua perseteruan yang pernah terjadi di antara kita. Harusnya Ayah ngikut jejak Mas Jiel untuk selalu lindungi Yasmine. Maaf, Mas. Ayah terlambat menyadarinya..”

Ucapan Ayah membuat Azriel bungkam. Pemuda itu hampir saja meloloskan tangisannya kalau tidak menjaga harga dirinya di depan sang ayah. “Mas Jiel pernah bilang, keluarga kita itu perlu perubahan. Mas Jiel mau kan, bantu Ayah untuk wujudin perubahan itu?” pinta sang ayah.

Azriel terkekeh, bersamaan dengan air mata yang menghinggapi pipinya. Setelahnya ia menghambur ke dalam pelukan sang ayah. “Jiel juga minta maaf, Ayah. Jiel selalu kurang ajar sama Ayah..”

Ayah membalas pelukan Azriel, melingkarkan tangannya pada punggung besar nan kokoh milik anak sulungnya yang selalu hebat. “Nggak apa-apa, Mas. Berani melawan yang salah itu bagus. Ayah bangga sama Mas Jiel, selalu.”

“Ayah nyesel, Mas.. sekarang Yasmine udah tumbuh besar. Cantik, anggun, pinter. Tapi semua itu Ayah abaikan. Ayah juga nggak memberikan masa kecil yang baik buat Yayas. Ayah nggak pernah ada buat Yayas sejak dia kecil, apa Yayas mau maafin Ayah?”

Azriel melepas pelukannya dengan ayah dan menatapnya sembari tersenyum. “Pasti, Yah. Dengan catatan, gantikan semua waktu yang Ayah lewati sejak Yasmine kecil. Semampu Ayah. Kita jaga Yasmine sama-sama. She's our princess and we must protect her at all cost.

Ayah mengangguk setuju. Sekon berikutnya keduanya kembali berpelukan. Saling menyalurkan kehangatan dan kasih sayang setelah sekian kali berseteru. Pun, bunda yang hadir di tengah keduanya bersyukur setengah mati. Doa-doanya yang selama ini ia langitkan diam-diam akhirnya terjawab sudah.

Sesaat kemudian terdengar panggilan ibadah sore hari. Azan berkumandang untuk waktu Asar. Baik Azriel, bunda, dan ayah, ketiganya bergegas menuju musala rumah sakit yang sederhana guna memanjatkan doa untuk kesembuhan si adik bungsu.

Diam-diam dalam hatinya, ayah tak lupa memohon ampunan dan kesempatan kedua.

Ya Allah, selamatkanlah putriku. Jangan biarkan ia pergi lebih dulu sebelum aku sempat menggantikan hari-hari beratnya dengan kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan. Jangan biarkan ia pergi lebih dulu sebelum aku sempat mengisi kekosongan figur seorang ayah dalam hidupnya.