Knight
Sepatu bersol karet empuk itu berdecit kala empunya menelusuri lorong rumah sakit mencari Azriel, seseorang yang memintanya hadir untuk menemui ayahnya. Satria celingak-celinguk, hingga netranya menangkap gerakan seseorang memanggilnya dari arah kanan. Dengan segera ia menghampirinya.
“Bang, Om,” sapanya sopan. Satria menyalami tangan ayah Azriel dan Yasmine setelahnya menempati kursi besi tepat di sebelah pria yang paling tua itu.
“Bunda lo nggak ikut, Bang?” tanya Satria.
“Ada, tapi lagi pulang dulu. Ada yang ketinggalan soalnya tadi buru-buru ke sini,” balas Azriel.
Satria mengangguk sebelum mengajukan lebih banyak pertanyaan. Pemuda itu sebisa mungkin menutupi rasa cemasnya akan Yasmine agar tidak terlalu nampak dan turut membebani keluarga gadis itu. “Yasmine gimana, Bang?”
Azriel tertawa, matanya yang sudah bengkak akibat tangis itu menyipit. “Kagak ketahan juga akhirnya itu pertanyaan?” ejek Azriel. Membuat Satria tak mampu lagi menahan senyum meski kekhawatiran menyelimutinya.
“Yasmine nggak apa-apa, Satria.” Jawaban itu bukan berasal dari Azriel, melainkan ayah gadis itu sendiri yang menjawabnya. Membuat Satria sedikit terkejut. “Semoga..” lanjutnya.
Ah, saat ini rupanya harapan mereka bertiga sama. Semoga gadis yang terbaring lemah di dalam kamar itu mampu membuka matanya. Kalau tidak hari ini, setidaknya esok, dua hari lagi, atau kapanpun itu. Yang penting mereka tidak kehilangannya.
Satria pun kini menatap ke arah Yasmine dari balik jendela transparan, perasaannya mendadak campur aduk. Kalau sendirian, mungkin ia sudah menangis. “Yas.. gue udah pulang nih, katanya mau ketemu?”
Lamunannya tak berlangsung lama. Sebab ayah dari gadis yang ia pandangi itu kembali membuka suara.
“Satria temen sekolahnya Yayas?” tanya ayah.
“Gebetan,” Azriel menyerobot, bahkan sebelum Satria sempat membuka mulutnya.
Ayah nampak terkejut, kedua bahunya terangkat sedikit. Pada saat yang sama, bola matanya melebar, “Lho iya?! Adek yang suka? Atau Satria yang suka?”
“Dua-duanya demen, Yah. Tapi cupu aja,” ucap Azriel blak-blakan.
Sementara yang sedang menjadi topik obrolan itu mati kutu. Satria menelan ludahnya, Ini gimana sih? Kok gue jadi bahan omongan gini? Dipanggil ke sini mau dilabrak apa gimana...
Sejauh yang Satria tahu—dari cerita Yasmine dan Azriel—ayah mereka merupakan seseorang dengan watak keras. Itu lah yang membuat Satria merasakan hawa dingin yang bukan berasal dari AC rumah sakit melainkan dari rasa takutnya sendiri. Pria itu sedari tadi duduk dengan posisi kaku, sama sekali tidak nyaman. Bahunya tegang, berharap agak tak disuruh menjauhi Yasmine yang sepertinya, sebentar lagi akan menjadi seorang putri yang begitu dijaga oleh sang ayah dan juga kakaknya.
Nampaknya sudah cukup lama ia melamun (lagi), sebab tak satupun obrolan Azriel dan ayahnya yang masuk ke telinganya. Sekon berikutnya ia dikagetkan oleh tepukan bahu yang keras berasal dari tangan kekar Azriel. Membuat Satria meringis dan mengusapnya cepat. Semoga bahunya tidak patah, pikirnya.
“Satria yang nolongin Yasmine waktu digangguin cowok-cowok tongkrongan, Satria yang nemenin Yasmine waktu malem-malem pulang dari rumah Eyang, Satria yang ngajak Yasmine jalan-jalan biar nggak ngerasa sendirian di rumah, Satria yang nganterin Yasmine sekolah waktu Jiel sakit,” Azriel kini memberi tatapan meyakinkan pada sang ayah. Melalui sorot matanya, Azriel mengisyaratkan bahwa ia berkata sejujur-jujurnya. Tanpa ada maksud membela atau memperbagus image Satria di mata sang ayah. “Satria yang bantuin jaga Yasmine disaat Jiel nggak bisa, disaat kita nggak bisa,” tutupnya. Tak lupa memberi penekanan pada kata 'kita'.
Satria menatap Azriel tertegun, pemuda itu tak pernah mengira bahwa selama ini rupanya Azriel berada di pihaknya. Satria mengerjapkan matanya ketika matanya bersirobok dengan milik ayah. Ia kembali menegakkan postur tubuhnya yang sedari tadi agak bungkuk.
“Siapa namanya tadi?” tanya ayah. Lagi-lagi, Azriel tak memberi kesempatan untuk Satria menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya. Kakak Yasmine itu kembali menyerobot. “Satria, tapi Yasmine manggilnya Daffa.”
Jawaban Azriel tak membuat ayah puas, justru pria paruh baya itu berdecak. “Ayah nggak nanya Mas Jiel lhoooo!”
Sementara yang ditegur hanya tertawa tanpa merasa bersalah. Setelahnya kembali menunjuk Satria dengan kedua tangannya, mempersilakan sang ayah untuk kembali melanjutkan wawancaranya kepada sang 'calon mantu'.
Ayah kembali melihat Satria, seakan menelaah segala sesuatu yang ada padanya. Mulai dari helaian rambutnya, kedua matanya, tulang wajahnya, hingga ujung kakinya yang terbalut sepatu kets putih yang kumal.
Satria berdecak dalam hati, merutuki kebodohannya sendiri. Jelas-jelas Azriel sudah bilang bahwa ia harus bertemu ayah Yasmine, sepatu putih yang kini kekuningan kah yang harus menjadi pilihannya? Kalau bisa, pemuda itu pasti sudah memukul kepalanya berkali-kali seraya mengutuk dirinya sendiri. Kalau bisa, Satria bahkan ingin kabur dan mengganti sepatunya dengan yang lebih bagus. Namun pada akhirnya, yang membuatnya berdamai dengan pilihan sepatunya adalah alasan bahwa ia cukup panik untuk segera menuju ke rumah sakit setelah mendapat kabar dari Azriel.
Tatapan ayah kembali pada netra Satria yang dilindungi bulu mata yang lentik. Setelahnya kembali membuka suara. “Satria,” ucapnya seakan menimbang-nimbang sebuah keputusan.
“Iya, Om. Saya,” balas Satria, yang pada akhirnya punya kesempatan untuk bicara.
Ayah mengangguk. Kemudian seraya mengulas sebuah lekukan tipis di wajahnya, ayah membalas pemuda di hadapannya. “Terima kasih ya sudah jagain Yasmine. Saya minta maaf kamu harus liat dia nangis berkali-kali. Saya minta maaf karena jadi sering merepotkan kamu.”
Satria meloloskan sebuah kekehan canggung, bersamaan dengan sebuah gelengan, Satria membalas ayah. “Enggak, Om. Enggak sama sekali. Saya nggak pernah merasa direpotin Yasmine, kok.”
Tak ada balasan yang Satria terima, hanya sebuah senyuman dan tepukan ringan di bahunya. Tak apa, Satria paham. Itu pun sudah cukup untuknya, Satria menganggap itu sebagai ucapan terima kasih secara tidak langsung dari ayah.
Setelahnya ayah kembali menghadapkan tubuhnya ke arah anak sulungnya yang hanya menyimak ketika ia bicara pada Satria. “Ayah pulang dulu ya, Mas. Nyusul Bunda. Nanti balik lagi. Kalo ada apa-apa kabarin Ayah,” ucap ayah. Azriel hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan patuh.
Ayah berdiri, membuat kedua pemuda di sebelahnya ikut berdiri sebagai bentuk hormat pada yang lebih tua. Setelahnya Azriel menyalami tangan ayahnya, disusul Satria yang turut memberi salam serta ucapan hati-hati di jalan.
Satria ingin melepas tangan ayah dengan segera, namun tanpa ia sangka, ayah justru menahan tangannya. Membuat Satria terkejut, begitu pun Azriel. Mau tak mau, Satria kembali menatap matanya.
“Terima kasih sudah menjadi ksatria untuk putri saya, Satria.”