tw // accident
Closer to God
Setelah lama menangis, rupanya beban sesak di dadanya tak kunjung pergi. Kenyataan bahwa ia memiliki saudara kembar yang lebih dulu pergi meninggalkannya dari dunia membuat kepalanya serasa ingin pecah. Rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin. Mengapa dunia begitu kejam terhadapnya? Mengapa tak bisa sedikit saja ia menyicip kebahagiaan yang selama ini ia dambakan?
Secepat kilat ia memilih untuk berlari ke luar rumah. Mengabaikan teriakkan Azriel dan bunda yang memanggilnya berkali-kali. Dengan marah, Azriel kembali mengancam ayah.
“Kalo sampe terjadi apa-apa sama adik saya, liat aja akibatnya.”
Ucapan Azriel diselesaikan dengan penuh penekanan. Diucapkan dengan intonasi datar, namun menohok. Membuat sang ayah diam-diam merasa ketakutan. Pun bunda, kini turut melepaskan perlawanan yang selama ini tertahan pada suaminya.
“Bukan Yasmine yang nggak becus jadi anak kamu, bukan Yasmine. Tapi kamu! Kamu yang nggak becus jadi ayah, Mas!” maki bunda, sebelum meninggalkan ayah yang pada akhirnya bersimpuh di lantai. Meluruhkan tangisnya seiring dadanya semakin sesak akan sesal yang kian menyeruak.
Yasmine berlari ke sembarang arah, ia tak memikirkan arah tujuannya. Gadis itu hanya ingin membuat hati dan pikirannya menemukan jalan keluar dari segala yang membuatnya kalut. Ia berhenti di tepi jalan, bertumpu pada lututnya. Sesaat ia menengadah, memandang langit yang membentang luas menaunginya. Mendung, sebentar lagi mewakili tangisannya.
“Harusnya aku nggak sendirian.. harusnya ada orang yang bisa nemenin dan bantu aku ngelewatin ini, bahkan mungkin kalo dia ada, aku nggak perlu lewatin ini semua..”
“Kenapa harus dia yang pergi duluan?! KENAPA BUKAN AKUU?!”
“Yayas!” panggil Azriel ketika ia menemukan sang adik. Tanpa menunda, Azriel menghampiri Yasmine dan segera merengkuhnya. Namun alih-alih balas memeluk, Yasmine menepis tangan Azriel.
Sang kakak nampak kebingungan, tidak pernah sebelumnya Yasmine menatapnya seperti ini. Kali ini ia layangkan tatapan penuh amarah pada Azriel yang selama ini melindunginya. “Lepas! Yayas nggak mau ketemu Mamas!”
“Yas, denger dulu..” pinta Azriel. “Tenang dulu, pulang dulu ya? Kita ngobrol sama-sama bareng Ayah sama Bunda.”
“ENGGAK! Ayah udah bilang Yayas bukan anaknya Ayah! Yayas nggak mau pulang. Emang udah seharusnya aku pergi dari rumah itu, Mas! Dari dulu juga aku nggak pernah dianggep. Buat apa aku di sana?! Buat apa aku tetep di sana? Di lingkungan yang nggak pernah ngeliat aku sekalipun walaupun aku udah susah payah menuhin ekspektasi mereka!”
Yasmine membalas perkataan lembut Azriel dengan lantang. Marah. Ia marah. Bertahun-tahun berusaha menjadi seorang anak perempuan yang bisa terlihat sempurna di mata keluarga, bertahun-tahun berusaha menyamaratakan kedudukannya dengan para laki-laki di keluarganya, tetap sia-sia. Hanya karena sebuah kesalahan yang tidak bisa ia cegah, atau kendalikan.
Fakta bahwa seluruh keluarganya, termasuk ayahnya sendiri membencinya hanya karena ia lahir lebih dulu dan membuat saudara kembarnya tidak memiliki kesempatan untuk hidup membuatnya kalut. Bimbang, antara haruskah ia bersedih karena kehilangan separuh jiwanya, atau haruskah ia membenci saudara kembarnya yang memilih pergi dan membuatnya harus melalui semua ini.
“Mamas tuh nggak ngerti rasanya! Mas Jiel nggak ngerti karena apapun yang Mas Jiel lakuin itu selalu bener! Kalo Mas Jiel kalah, itu tetep bikin Ayah bangga, tapi aku?! Aku menang aja Ayah nggak pernah bangga sama aku, Mas! Aku capek!”
Azriel terdiam. Benar. Ia tak pernah mengerti rasanya menjadi seorang Yasmine yang tak kasat mata di tengah-tengah keluarga. Yang Azriel tahu, hanyalah perasaan senang, tenang, dan menang. Sebab seluruh keluarganya menyayanginya, eyang putri yang selalu bicara agak ketus pada orang lain dan terkenal galak itu bahkan tak pernah memarahinya. Azriel hanya tahu rasanya menang, sebab setiap kalah pun, akan selalu ia terima usapan lembut di kepala dengan penuh sayang. Azriel, ia beruntung karena dikelilingi orang-orang yang mengatakan padanya bahwa tak apa menjadi tidak sempurna. Sementara Yasmine, gadis itu hanya dikelilingi orang-orang yang selalu mengatakan padanya bahwa ia tak sempurna, dan tidak akan pernah menjadi sempurna.
“Semua orang maklum kalo Mas Jiel buat salah, katanya kita manusia. Tapi mereka nggak pernah maklum sama kesalahanku, Mas. Bahkan ketika aku nggak salah, semuanya dilimpahin ke aku. Aku capek, Mas..”
Azriel masih diam. Bingung harus bagaimana ia membalas keluh kesah adiknya yang selama ini tertahan. Pada akhirnya ia hanya mendengarkan. Mencermati setiap tutur kata yang keluar dari adik satu-satunya. Pilu, hanya itu yang Azriel rasakan saat itu.
“Lepas, Mas. Aku nggak mau pulang,” ucap Yasmine pada akhirnya.
“Terus Yayas mau ke mana? Hari ini Mas Jiel pulang, katanya mau ketemu? Kok Mamas pulang Yayas-nya pergi?” tanya Azriel.
“Dari dulu harusnya Yayas pergi, Mas. Ayah yang bilang sendiri, nggak seharusnya Yayas di sini. Bukan Yasmine yang seharusnya jadi anak Ayah dan adiknya Mas Jiel. Tapi Yazid. Biar dia bisa banggain keluarga juga sama kayak Mas Jiel.”
“Enggak, Yas. Kamu tetep adek Mamas. Kamu ngomong apa sih? Mamas tetep bangga sama kamu!”
“Nggak! Mas Jiel pasti boong biar Yasmine ngerasa tenang aja, kan?! Lepas! Yayas nggak mau balik lagi ke rumah!”
Dengan sekali hentakan menggunakan tenaga entah dari mana, genggaman tangan Azriel terlepas. Secepat kilat Yasmine berlari menjauh. Namun, pandangannya yang kabur sehabis menangis itu membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas. Yasmine mengabaikan keharusan untuk berhati-hati, gadis itu tidak sadar bahwa ia berlari menuju jalan besar.
Hari ini sepertinya memang tak berpihak padanya.
YAYAS AWAS!
Kejadian itu terjadi secepat kilat, Yasmine hanya mengingat kepalanya pusing dan pandangannya yang tiba-tiba semakin kabur dan gelap. Seiring telinganya menangkap suara Azriel yang mengguncang tubuhnya seraya memanggilnya histeris.