Ruang Sendiri

Dalam kesendiriannya, Yasmine mendudukkan dirinya di ruang tengah. Di atas sofa empuk yang selalu menjadi kebanggaan ayah ketika ada tamu, Yasmine membiarkan pandangannya menyapu hingga ke sudut-sudut ruangan. Raganya berada di sana, namun pikiran dan jiwanya melanglang buana. Gadis itu menerka, apakah ada tempat yang nyaman untuknya bernaung, tanpa ada seorang pun yang memandangnya rendah?

Apakah ada tempat untuknya di mana ia dapat menjadi dirinya sendiri tanpa perlu berusaha memenuhi ekspektasi seorang pun? Tanpa perlu berusaha menyakiti diri dalam balutan alibi 'menjadi lebih baik' hanya untuk memenuhi kriteria yang sebenarnya hingga kapanpun tak akan bisa ia capai. Sebab mereka menilai sesukanya. Dan dengan sengaja membuatnya kalah dalam segala aspek.

Yasmine menghela napasnya. Masih melamun di tempatnya menyandarkan punggungnya yang selama ini memikul beban tak kasat mata yang ditimpakan oleh ayah dan seluruh keluarga besarnya kecuali kakaknya sendiri dan bunda.

Hari itu, sendirian di dalam sebuah bangunan yang bertahun-tahun ia sebut rumah meski nyatanya tak pernah terasa seperti tempat untuk pulang. Yasmine merasakan sedikit perasaan lega menyeruak ke dalam relungnya. Pada akhirnya, ia memiliki ruang sendiri.

Gadis itu kini bangkit dan berjalan menuju dinding ruang tamu yang dipajangi foto-foto keluarga. Sebuah tawa kecil lolos dari bibir ranumnya, setiap foto yang menyertakan ayah dan bunda, pasti hanya menyertakan seorang Azriel di tengah-tengah keduanya. Azriel memegang piala, piagam, dikalungkan selendang penghargaan dengan kedua orang tuanya tersenyum bangga bersama kakaknya itu. Sementara foto dirinya di rumah ini hanya diizinkan dipajang di kamarnya sendiri. Figura yang membingkai wajah tersenyum Yasmine setiap kali memegang sebuah simbol prestasi hasil jerih payahnya selalu terlungkup pada akhirnya. Bahkan seringkali menjadi sasaran marah ayah, yang membuatnya dipecahkan begitu saja.

“Kenapa ya, walaupun ada Mas Jiel aku tetep ngerasa sendirian? Selalu ngerasa kayak aku seharusnya punya teman, punya seseorang yang deket banget sama aku di dunia ini. Lagian, pasti ada sesuatu yang bikin Ayah benci sama aku sampe sebegininya, kan?”

Kini tangannya beralih pada sebuah figura kecil yang membingkai foto kedua orang tuanya di atas meja. Dipandanginya tubuh gagah ayah bersanding dengan bunda yang mengulas senyum yang selalu meneduhkan. “Ayah nggak bisa bilang aja ya apa yang bikin Ayah nggak suka sama Yayas? Karena Eyang Putri yang ngasih tekanan sebegitu besar ke Ayah?” Yasmine bermonolog.

“Ayah mengharapkan seseorang yang lain kah yang hadir di rumah ini untuk jadi keluarganya Ayah? Makanya dari dulu baju-bajunya Yasmine waktu bayi, kaus kaki Yasmine, aksesoris, tempat tidur, sepatu, semuanya motif dan warnanya kayak laki-laki?” Yasmine berbicara seraya memandangi foto sang ayah. Sebuah harapan yang dirinya pun tidak yakin akan terwujud. Berbicara empat mata dengan sang ayah tanpa adanya tatapan membunuh dari sang ayah, serta dengan tutur yang lembut pula mendapat nasihat menghangatkan dari ayah, adalah sesuatu yang ingin ia rasakan sejak lama. Namun tak pernah berani ia utarakan. Biarlah keinginannya itu tersimpan dalam hati kecilnya.

“Yasmine sama aja kok, Yah, kayak yang lain. Yasmine bisa kok, jadi kebanggaannya Ayah. Yasmine juga bisa wujudin itu, Ayah. Satu-satunya alesan yang membuat Yayas nggak bisa wujudin itu adalah karena Ayah nggak pernah liat ke arah Yayas... Bisa nggak, sekali aja, Ayah nggak cuma fokus ke Mas Jiel?”

Yasmine mengembuskan napas panjang. Kembali meletakkan figura yang ia pegang dan memilih menyudahi bicaranya sebelum angan-angannya semakin tinggi dan air matanya tak lagi terbendung. Selama beberapa hari ke depan, ia akan menjadi satu-satunya orang yang mengisi rumah. Namun alih-alih merasa kesepian, Yasmine bersyukur dalam hatinya. Setidaknya ia bisa menikmati waktu untuk menjadi dirinya sendiri. Setidaknya ada waktu baginya untuk menikmati ruang sendiri.