Kabar
Anggia memutuskan untuk menunggu Zahra di depan gerbang sekolah sebab gadis itu bilang ingin mengambil kotak makannya yang tertinggal di kolong meja. Gia menyerah untuk kembali ke kelas sebab ia merasa tenaganya sudah terkuras habis. Gadis itu memilih untuk berdiri di bawah salah satu pohon rindang yang hasilkan udara cukup sejuh sore itu. Gia menunggu seraya memainkan pasir jalanan yang berkumpul di sana. Sesekali kakinya menendang-nendang kerikil untuk membunuh bosan. Sesekali pula gadis itu tersenyum ketika orang yang ia kenali tak sengaja lewat di hadapannya.
Kini tatapannya ia sapukan pada pemandangan di sekitarnya. Sedikit terputar di ingatannya kejadian di mana Haris menghantam Gio dengan tinjunya. Di sini-lah tempatnya, di tempat yang ia pijaki saat ini. Terekam jelas di ingatannya bagaimana kala itu Gia tak henti-hentinya terkejut. Gadis itu sudah cukup terkejut melihat Gio menjadi korban kekerasan, kemudian lebih terkejut lagi ketika mengetahui Haris-lah pelakunya.
Gia tak tahu masalahnya. Yang gadis itu tahu, berurusan dengan Gio hanya akan membahayakan diri sendiri. Karenanya ketakutannya berubah menjadi kekhawatiran, dan sekarang rasanya Haris mewujudkan apa yang Gia khawatirkan.
Omong-omong soal Haris, Gia tak melihatnya hari ini. Di gerbang pagi tadi pun tak ada sosok tinggi yang biasanya menyapa Gia secara rahasia melalui gerakan alis dan senyum tipisnya. Seakan kode rahasia milik berdua yang hanya Haris dan Gia pahami. Di kantin pun Gia tak melihat Haris meski teman-teman pemuda itu berkumpul di tempat yang sama seperti biasanya. Hingga pulang sekolah pun Gia tak menemukannya.
Kalau boleh jujur, Gia penasaran. Hatinya gelisah sejak tadi. Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya perihal. Di mana Haris? Apakah pemuda itu baik-baik saja? Apakah sekolah sudah menetapkan keputusan untuknya? Apakah.. pemuda itu sudah dikeluarkan dari sekolah?
Gia sangat ingin mencari tahu lebih lanjut. Namun niatnya terhenti ketika suara Haris kembali menggema di telinganya. “Bisa nggak sih kamu nggak usah ikut campur?! Biar apa sih, Gi? Biar dicap pahlawan? Biar dikira perhatian? Iya?! Kamu pikir kamu siapa sih gi? Temen saya? Pacar saya? Kamu tuh bukan siapa-siapa, Gia! Nggak usah sok peduli! Mau saya diskors, kek, dikeluarin, kek, itu bukan urusan kamu!”
Bukan urusan kamu!
Rasanya Gia harus mematri lebih dalam lagi kalimat itu di dalam benaknya. Memang benar yang pemuda itu katakan. Sebesar apapun pedulinya, Gia tidak berhak untuk ikut campur. Kini kepalanya tertunduk, tendangan-tendangan kecilnya terhadap pasir jalanan pun menjadi tak bertenaga sebab sang empunya sudah tak berminat.
“Semoga Kak Haris nggak jadi dikeluarin deh..”
“Gi?” panggil seseorang. Terkejut, Gia terlonjak. Rupanya di hadapannya berdiri seorang Jauzan Narendra. Dengan cengiran khasnya, Ojan kembali bersuara. “Ngapain sendirian di sini?”
Gia menghela napas lega sebab yang mengajaknya bicara bukanlah orang yang dapat membahayakan dirinya. Setelahnya ia membalas, “Eh, Kakak. Maaf ya, kaget. Aku nunggu Jara, dia lagi balik ke kelas soalnya ada yang ketinggalan.”
Ojan terkekeh, “Oohh, kirain ngapain. Abis kayak bengong sendirian gitu sih? Gue ngeri lo dicopet makanya gue tegor.”
Gia ikut tertawa mendengar perkataan Ojan yang memang selalu di luar perkiraan, “Hehehe. Nggak bengong kok, Kak. Cuma—lagi mikir aja.”
Senyuman Ojan semakin melebar, kali ini adalah senyuman mengejek. “Mikirin Haris?”
“Hah?”
“Hah?” balas Ojan iseng.
“Apa sih, Kak? Enggak, kok!”
Kemudian Ojan hanya terkekeh membalas perkataan Gia. Setelahnya gadis itu kembali bicara. “Kakak—tumben sendirian? Biasanya sama Kak Haris?”
“TUH KAN! Mikirin Haris kan luuu?” balas Ojan membuat Gia panik. Gadis itu menggeleng cepat, “ENGGAK IHH CUMA NANYA!”
“Beneran juga nggak pa-pa, Gi. Kebaca kokkk kebacaaa,” sahut Ojan dengan nada mengejek. Setelahnya Gia hanya memalingkan wajah. Menyembunyikan semburat merah jambu yang menghiasi pipi tembamnya kala itu.
Di sebelahnya Ojan menghela napas, pemuda itu memutuskan untuk berhenti mengejek Gia.
“Haris diskors, Gi,” ucapnya tiba-tiba. Gia yang tadinya sibuk menahan malu kini sontak kembali menoleh.
Raut wajahnya jelas memancarkan keterkejutan, “Hah? Diskors, Kak? Berapa lama?”
“Seminggu. Mulai dari hari ini, tadi dia pulang.”
“Ya ampun, Kak Haris..”
“Tapi itu juga udah untung banget, Gi. Dia nggak jadi dikeluarin dari sekolah. Cuma ancaman dikeluarkan itu tetep ada. Maksudnya kalo sampe ini keulang lagi, Haris auto dikeluarin. Gitu katanya tadi,” ucap Ojan lagi.
Gia kini tak tahu harus berkata apa. Pikirannya kini berkecamuk. Rasanya banyak sekali yang ingin ia utarakan pada Ojan, banyak sekali yang ingin ia tanyakan, namun entah harus memulainya dari mana.
“Kemaren lo dimarahin Haris, ya?” tanya Ojan. Sederet kalimat yang keluar dari mulut pemuda itu lagi-lagi berhasil membuat Gia terkejut. Setelahnya gadis itu menggeleng, “Enggak, kok, Kak.”
“Masa? Haris sendiri yang bilang, kok,” ucap Ojan. Setelahnya Gia hanya diam, tak tahu harus membalas apa. “Maafin Haris ya, Gia. Dia tuh emang kalo marah kayak kesurupan gituuu, kita semua juga nggak berani deketin kalo emosinya udah meletup-letup seperti popcorn begitu.”
Gia menggeleng seraya tersenyum tipis, “Nggak kok, Kak. Salahku juga. Emang harusnya aku nggak ikut campur, apalagi sok pahlawan gitu.”
“Tapi iya dah, kenapa sih lo kayak setakut itu Haris bermasalah sama Gio?”
Gia kini menghela napasnya. Pikirannya menerawang mengingat masa lalu ketika dirinya masih di Sekolah Dasar. Kemudian gadis itu mulai bercerita.
“Dulu kakak kelasku juga pernah kena masalah sama Gio, Kak. Masalahnya mirip kayak Kak Haris. Kakak kelasku tuh lagi lewat aja, terus Gio ngatain mamanya kakak kelasku yang memang kondisi kakinya udah nggak sempurna lagi karena baru aja kecelakaan. Terus kakak kelasku marah, kakak kelasku kelas 6 waktu itu. Aku sama Gio kelas 4. Terus kakak kelasku itu akhirnya ya sama, ngehajar Gio abis-abisan. Malah lebih parah, kepalanya Gio sampe bocor karena dijedotin ke tembok,” cerita Gia. Gadis itu kemudian bergidik mengingat betapa ngerinya situasi saat itu.
“Itu parah banget sih, Kak. Aku aja merinding kalo inget-inget lagi. Gio tuh emang udah parah dari dulu, bayangin aja deh, Kak. Anak SD tapi udah berani ngatain orang tua kayak gitu dan bikin keributan sebesar itu. Akhirnya kakak kelasku dikeluarin dari sekolah karena Gio bilangnya dia cuma lagi diem aja terus tiba-tiba ditonjok. Ya, jelas aja semua orang percaya sama dia, mukanya emang innocent, selain itu juga karena kakak kelasku nggak punya kuasa untuk ngelawan sih, Kak. Aku pernah ngobrol sama dia, katanya kasusnya nggak dibawa ke ranah hukum aja udah syukur,” lanjut Gia.
“Papinya Gio tuh polisi, Kak. Jadi yang punya power bukan cuma dia aja gitu. Keluarganya emang gede banget sih power-nya. Makanya kemarin Kak Haris kena masalah sama Gio tuh, jujur aku takut banget. Gio tuh bisa ngelakuin apapun yang dia mau, Kak. Apalagi dia anak tunggal, jadi dimanja banget sama Mami Papi-nya.”
Ojan cukup terkejut mendengar penuturan Gia. Masuk akal kalau gadis itu terlihat begitu panik kala mengetahui Haris membuat Gio babak belur. Sebab Gio dan keluarganya benar-benar bisa menghancurkan hidup orang lain hanya dalam sekali jentikan jari. Dan Ojan paham, gadis di hadapannya ini begitu peduli pada sahabatnya hingga tak ingin masa depan pemuda itu hancur di tangan Gio.
“Kak Haris tuh.. udah banyak banget nolongin aku deh, Kak. Makanya kemaren aku nyamperin dia dan mau tau kejadiannya kayak gimana. Siapa tau aku bisa bantu bilang ke Maminya Gio. Maminya Gio tuh sebenernya baik banget, Kak. Cuma beliau emang nggak pernah tau kelakuan anaknya di sekolah kayak apa, karena ya itu, Gio jago banget nutupin semuanya. Jadi yang beliau tau, ya anaknya adalah anak baik-baik yang nggak pernah buat masalah di manapun. Selalu rajin, pinter, dan lain-lain. Padahal fakta di lapangannya nggak gitu,” ucap Gia lagi. “Tapi siapa yang mau ngasih tau begitu ke maminya Gio ya kan, Kak? Mana ada yang berani. Lagian nggak bakal dipercaya juga kalo bukan Gio-nya yang bilang sendiri.”
Ojan mengangguk, “Dia tuh kurang perhatian apa gimana deh, Gi?”
Gia terkekeh, “Kayaknya kebalik, Kak. Gio terlalu banyak nerima perhatian, orang tuanya selalu ngatur dia dan nyusun jadwal Gio setiap hari. Sekolah, les ini, les itu, pemotretan, dan lain-lain. Mungkin sikap-sikap Gio yang kayak gini tuh bentuk pemberontakan dia kali ya, Kak? Ya, walaupun nggak bisa dibenarkan juga, sih. Tapi yang aku liat selama aku temenan sama dia, dari dulu Gio emang selalu pengen main sama temen-temennya. Gio selalu pengen kayak anak-anak seumuran dia yang lain yang bisa main futsal sampe Magrib tanpa harus dipanggil sama Mami dan diingetin untuk les piano dan lain-lain. Gio yang biasa dikelilingin keluarganya yang strict itu mungkin ngerasa akhirnya dia bisa semena-mena di luar, makanya kayak gitu.”
Gadis itu kemudian menggeleng, mengibaskan tangannya di depan wajahnya. Mengabaikan Ojan yang masih terdiam mendengar cerita Gia tentang Gio. “Duh, kok jadi ngomongin Gio sih?”
“Ehm, tapi Kak Haris nggak apa-apa kan, Kak?” Gia kembali berucap
Ojan tersentak dari lamunannya ketika suara Gia kembali terdengar. Sejujurnya ingin menjawab bahwa pemuda itu baik-baik saja. Namun secercah ide jahil di kepalanya membuatnya mengurungkan niatnya. “Kalo itu nggak tau sih, Haris susah dihubungin gitu. Coba chat aja, Gi. Siapa tau kalo lo yang chat dibales,” jawab Ojan.
Gia lantas menggeleng lesu. Kemudian seraya tersenyum tipis gadis itu menjawab, “Enggak deh, Kak. Takut ganggu.”
Setelahnya Zahra pun kembali dan memanggil Gia dari kejauhan. Gadis itu melambai membalas panggilan Zahra. Kemudian dengan sopan ia berpamitan kepada Ojan yang masih kebingungan akan jawaban Gia.
“Kak, duluan ya!” pamit Gia. Kemudian gadis itu berlalu pergi.