Anger
tw // body shaming
Sore itu Haris sengaja duduk-duduk di depan gedung sekolah. Tak melakukan apa-apa, tak berniat apa-apa, pemuda itu hanya ingin duduk dan membiarkan pikirannya melanglang buana seraya raganya menikmati embusan angin yang bertiup halus menyapu wajahnya.
Haris sendirian kala itu, tadinya Dhimas dan Ojan menemaninya, namun Ojan diminta menghadap guru Bahasa Indonesia sebab tugasnya kurang dan Dhimas melipir entah ke mana.
Samar-samar, Haris mendengar kanan-kirinya dipenuhi percakapan orang-orang. Rasanya pemuda itu tinggal memilih saja ingin fokus pada suara yang mana jika ingin menguping salah satu dari mereka. Hingga tanpa sengaja, telinganya menangkap sebuah suara paling dominan.
Awalnya Haris cuek, sebab itu hanya suara dari segerombolan lelaki yang Haris tebak satu angkatan di bawahnya. Haris tak ingin tahu, karena dirinya pun lelaki. Sedikit banyaknya Haris tau apa yang biasanya menjadi topik obrolan dalam sebuah tongkrongan. Setidaknya hingga sebuah nama yang melekat di benaknya terucap di tengah-tengah perkumpulan.
Haris menoleh cepat ketika mendengar nama Gia disebut. Matanya menyipit, berusaha memperjelas penglihatannya akan para anggota gerombolan yang membicarakan gadis yang ia kenali itu. Detik itu, darahnya seakan dipanaskan hingga naik ke ubun-ubun sebab yang ia lihat rupanya adalah seseorang yang selama ini diam-diam ia targetkan sebagai musuhnya. Di sana, tepat di depan matanya, orang-orang yang membicarakan Gia adalah Gio dan teman-temannya.
Namun Haris masih berusaha menahan emosinya dalam diam. Pemuda itu mengepalkan tangannya, berkali-kali menyugesti dirinya sendiri agar tetap berpikir panjang untuk tidak semena-mena melayangkan sebuah tinju ke pelipis Gio yang dengan asyik tertawa seraya menjelek-jelekkan Anggia di depan matanya.
Haris memutuskan untuk mempertajam telinganya, diam-diam ia berharap bahwa dirinya salah dengar. Hatinya berdoa supaya nama yang ia dengar barusan bukanlah Anggia. Namun harapannya hangus ketika mendengar Gio kembali bicara.
“Tapi lo semalem jadi ke rumahnya, Gi?” tanya seorang teman Gio yang Haris tak tahu—atau lebih tepatnya tidak peduli—siapa namanya.
Pertanyaan itu membuat Gio mengangguk, kemudian memasang wajah kesal. “Iya, tapi gue diusir gitu aja karena katanya kedatangan gue nggak ada di jadwal dia. Belagu banget, kan?”
Seketika, teman-temannya itu menertawai Gio. “Lagian lo ngapain sih, kayaknya getol banget deketin dia? Lo naksir beneran?”
“Ya, enggak. Gue deketin Gia iseng aja sih, tapi emang ada rencana gue pacarin. Cuma nggak lama-lama, sebulan dua bulan aja abis itu gue tinggal,” balas Gio.
“Maksudnya lo mau mainin dia gitu?”
Gio mengangguk-angguk yakin, “Ya iyalah! Emang ada yang mau beneran sama cewek kayak Gia gitu? Cewek kayak dia mah terlalu polos buat diajak pacaran, emang cocoknya jadi bahan iseng doang.”
Salah seorang lain mengangguk, “Bener, sih! Tapi gue liat-liat Gia lumayan, kok.”
Gio menggeleng seraya mengernyit, “Enggak ah. Mukanya standar, biasa aja. Nggak cantik-cantik banget. Terus—sorry nih ya, badannya juga nggak enak diliat. Nggak ada lekukannya. Cewek apaan dah rata banget? Triplek?”
“Ya badannya udah lebih bagus sih dibanding dia waktu SD dulu, tapi tetep aja nggak enak diliat. Kayak nggak niat jadi cewek dah jadinya, ceking banget gitu kayak orang penyakitan,” ucap Gio lagi.
Teman-temannya tertawa seakan hal itu adalah sesuatu yang lucu. “Parah lu, Gi! Emang waktu SD Gia gimana, dah?”
Gio membiarkan tawanya menyembur sebelum membalas, “PPFT! Lebih parah lagi, kayak babi aer. Gemuk banget!” Setelahnya Gio bahkan menggembungkan pipinya sebagai representasi betapa gemuknya Gia dulu.
Cukup sudah. Haris tak lagi mampu menahan amarahnya sendiri, Haris tak lagi mampu mengurung amarahnya di dalam akal sehatnya. Hari itu, Haris membiarkannya lepas begitu saja. Sebab hatinya ikut teriris, kepalanya bahkan terasa panas akibat amarah yang kian mendidih dan siap untuk meledak sejak awal jika empunya tak menahan diri.
Secepat kilat Haris bangkit untuk menghampiri Gio. Kedatangannya tentu saja menginterupsi obrolan komplotan pemuda itu. Tanpa basa-basi, Haris menarik kerah kemeja Gio penuh amarah dan melayangkan satu pukulan keras tepat pada tulang pipi Gio.
Gio tersungkur di jalanan, sementara teman-temannya yang lain sibuk melarikan diri agar tidak turut menjadi sasaran pukulan Haris. Membuat Gio panik sekaligus merasakan sakit yang menjalar di wajahnya.
Belum selesai dengan amarahnya, Haris kembali menarik kerah Gio kasar. Memaksanya untuk kembali berdiri. “Ngomong apa lo barusan?” tanyanya penuh emosi. Suaranya lebih dalam dari biasanya, wajahnya memerah dan penuh keringat, tak lupa tatapannya yang dingin dan menusuk itu tak sedikitpun lepas dari Gio.
Pemuda yang lebih muda itu hanya diam, nyalinya ciut menatap Haris yang jauh lebih tinggi darinya. Haris kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan intonasi yang lebih kasar. “Ngomong apa lo barusan?!”
Tak ada jawaban dari Gio, membuat Haris tak lagi dapat bersabar. “Bangsat!” umpat Haris.
BUGH!
Satu lagi pukulan menghantam wajah mulus yang selalu Gio agung-agungkan. Kali ini tepat mengenai sudut bibirnya, membuat Gio harus merasakan rasa logam yang khas di dalam mulutnya. Ia tak melawan, lebih tepatnya tak berani melawan. Gio tahu dirinya bisa lebih hancur dari ini jika berusaha melawan Haris. Gio tahu melawan Haris hanya akan membuat emosi kakak kelasnya itu semakin membesar dan justru akan mencelakakan dirinya sendiri.
“Lo bilang apa soal Gia?” tanya Haris, kali ini lebih jelas dari dua pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya.
Alih-alih langsung memberikan jawaban, Gio memanfaatkan waktu untuk meringis. Di hadapannya nampak Haris dengan kemejanya yang basah akan peluh, dadanya naik turun dengan napas terengah-engah yang disebabkan oleh emosi dan tenaganya yang hampir habis.
“Lo mukulin gue cuma karena Gia, Bang? Gue—” Gio menghela napas sebelum melanjutkan bicaranya sebab rasa sakit yang ia rasakan setiap kali membuka mulutnya. “Apapun yang lo denger, intinya yang gue omongin itu fakta.”
Marah. Haris semakin marah melihat bahwa Gio sama sekali tidak jengah. Jangan tanya semendidih apa kepalanya sekarang, Haris bahkan dapat merasakan darahnya berdesir hebat mengalir menuju kedua tangannya. Seakan memberinya kekuatan penuh untuk kembali merusak wajah Gio dengan pukulan-pukulannya.
Haris masih menatap Gio dengan tatapan yang sama sekali tak menunjukkan keramahan. Tatapannya begitu tajam hingga rasanya dapat membunuh siapapun yang bersirobok dengan netra kelam milik Haris kala itu.
“Cari cewek lain aja, Bang. Pacaran sama Gia mah nggak bakal puas. Itu cewek kalo dipeluk juga nggak bakal ada rasanya,” balas Gio.
“Bajingan!” umpat Haris, cengkeraman tangannya di kerah Gio semakin mengencang. Membuat Gio semakin tercekik. Setelahnya Haris kembali termakan emosi, pria itu meninju Gio untuk yang ketiga kalinya. Kali ini yang paling parah, pukulan Haris mengenai batang hidung Gio hingga menyebabkan darah segar mengalir dari sana.
Persetan dengan segalanya, Haris benar-benar termakan emosi hingga melupakan dirinya dan segala konsekuensi yang akan menimpanya. Gio kini kembali tersungkur. Secepat kilat Haris menindih perut Gio dengan lututnya, mencegahnya untuk bangun.
Setelahnya diangkatnya kepalan tangannya tinggi-tinggi, bersiap untuk melayangkan pukulan mematikan yang mewakili semua amarahnya.
Namun, belum sempat tangannya bergerak lebih jauh, sebuah suara membuatnya tersentak.
“ASTAGA, KAK HARIS! UDAH, KAK!”
Haris menoleh, di hadapannya, Gia muncul dengan raut wajah penuh ketakutan dan kekhawatiran. Gadis itu berlari tergopoh-gopoh ke arahnya dan Gio. Detik itu, baru-lah kesadarannya kembali. Kemudian pandangannya kembali terarah pada Gio yang kini memiliki wajah penuh luka. Pupil Haris melebar, setelahnya sontak ia menjauhi Gio yang tak henti-hentinya meringis memegangi hidungnya yang terus mengeluarkan darah.
Tak lama, Dhimas dan Ojan turut meneriaki namanya. Kedua temannya itu sama terkejutnya dengan Gia, tak ada yang menyangka Haris bisa kelepasan hingga melakukan hal sejauh ini. “RIS, ANJING LO NGAPAIN?!” ujar Ojan panik. “LO MUKULIN GIO?” tanyanya lagi.
Haris hanya diam. Kepalanya menunduk dalam-dalam seraya sesekali netranya memandangi Gia yang dengan hati-hati membantu Gio berdiri. Ah, andai gadis itu tahu betapa pantasnya Gio mendapatkan semua luka di wajahnya, bahkan lebih dari itu.
Di sebelahnya Ojan pun turut kesal, “Jawab, anjing!”
Ragu, Haris merasakan seluruh tubuhnya kaku. Terlebih ketika menjumpai mata Gia yang penuh air mata itu kini tertuju kepadanya. Detik itu, Haris tersadar bahwa satu dari sekian banyak konsekuensi yang akan ia dapatkan adalah Gia akan menjauhinya.
Haris kembali menunduk, memutus kontak mata dengan milik Gia yang sedari tadi menunggu jawaban. Setelahnya ia mengangguk.
Tak ada yang ia lakukan, Haris hanya memejamkan matanya seiring helaan napas kecewa terdengar dari Dhimas dan Ojan. Setelahnya Dhimas memukul bahu Haris keras, “Lo mau bikin mati anak orang?! Pake otak lo, Ris! Nggak seharusnya lo kayak gini, tau nggak?”
Baru saja emosinya mereda, namun Haris kembali naik darah ketika mendengar perkataan Dhimas, ditepisnya tangan Dhimas sebelum kembali membalas perkataannya. “Lo nggak tau permasalahannya! Si Bangsat ini yang harusnya pake otak!” ujarnya seraya menunjuk Gio. Membuat tubuhnya otomatis ditahan oleh Dhimas dan Ojan, takut-takut Haris akan menghantam Gio sekali lagi.
Haris sudah tak peduli lagi dengan kondisi Gio saat ini. Yang kini memenuhi benaknya adalah tak ada seorang pun yang boleh membicarakan Gia sebagaimana Gio membicarakan gadis itu dengan mulut kotornya. Haris menatap Gio yang kini mengalungkan sebelah tangannya di leher Gia, amarahnya semakin membara melihat bagaimana Gio berpura-pura lemas dan meletakkan kepalanya di bahu Gia.
“Eh, lo denger ya! Sekali lagi gue denger omongan kayak tadi dari lo, gue pastiin nggak akan ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulut sampah lo itu!” tegas Haris. Setelahnya pria itu memilih untuk pergi.
Sekon berikutnya, Dhimas dan Ojan beranjak dari tempatnya. Kedua temannya itu memilih untuk menolong Gio, menggantikan Gia untuk membopongnya ke UKS.