Sampai Di Sini

“Kak Haris tunggu!”

Gia berlari tergesa-gesa mengejar Haris dengan langkah lebarnya yang menggebu-gebu sembari terus memanggil nama pemuda itu. Haris nampak tak peduli, sebab sejujurnya saat ini ia tak ingin diganggu oleh siapapun.

Gia mempercepat langkahnya, bibirnya pun tak henti-hentinya memanggil nama Haris meski sama sekali tidak digubris oleh sang pemilik nama. “Kak!” panggilnya. Entah keberanian dari mana, sebelah tangannya berusaha meraih tangan kiri Haris yang berayun mengikuti irama langkahnya.

Pemuda itu akhirnya menoleh cepat. Sekon berikutnya Haris dengan mudah menarik tangannya dari genggaman Gia. Tentu saja, tenaganya itu jauh berkali-kali lipat dengan milik gadis itu.

“Apa sih?!” Haris berbicara dengan tatapan nyalang yang berhasil membuat nyali Gia menciut. Gia diam-diam menelan ludahnya sendiri di hadapan pemuda itu sebelum melanjutkan bicaranya. Meskipun Haris yang pertama kali ia temui waktu itu adalah Haris yang dingin dengan cara bicara menusuk, Gia mengakui bahwa tak pernah ia lihat Haris segarang ini sebelumnya.

“K-kakak kenapa mukulin Gio kayak gitu?” tanya Gia dengan napas terengah-engah. Menyamai langkah Haris membuatnya kehabisan banyak tenaga.

Haris menyugar rambutnya frustrasi, setelahnya ia berdecak sebal. “Bukan urusan kamu,” jawabnya ketus. Setelahnya Haris berniat pergi, namun Gia kembali menahannya sebelum Haris sempat melangkah lebih jauh.

“Kak, aku kenal Gio udah lama. Dan setelah Kakak buat dia luka-luka kayak gitu, pasti dia akan bikin Kakak kena masalah, Kak,” ucap Gia lagi. Kali ini nada bicaranya terdengar panik.

“Terus? Urusan kamu?” balas Haris.

Gia tak menjawab, gadis itu menghela napasnya dengan matanya yang kian berkaca-kaca. Meskipun Gio yang dipenuhi luka, namun bukan pemuda itu yang membuat Gia khawatir. Dalam hatinya, gadis itu sangat mengkhawatirkan Haris. Berurusan dengan Gio sama saja membahayakan diri sendiri. Pemuda itu bagaikan guci antik yang mudah pecah, dijaga begitu ketat oleh keluarganya seakan tak seorang pun boleh menyentuhnya. Melihat kondisi Gio dengan lebam dan darah pada wajahnya akibat ulah Haris, jelas keluarganya tak akan tinggal diam. Dan Gia tahu, kali ini Haris-lah yang akan dirugikan.

“Aku tau Kak Haris bukan orang yang gampang marah-marah kayak gini. Kakak juga pernah bilang kalo kita harus mikir panjang. Ini yang Kakak bilang mikir panjang? Gio tuh sama kayak Kak Gina, Kak. Even worse! Gio bisa bikin Kakak dikeluarin dari sekolah ini kalo dia mau. Makanya aku tanya, sebenernya ada masalah apa sampe Kakak mukulin Gio kayak gitu?” tanya Gia lagi.

“Saya nggak bisa kasih tau kamu. Nggak semua hal di dunia ini perlu kamu tau, Gia,” balas Haris lugas.

“Tapi yang ini perlu! Kakak bisa dikeluarin dari sekolah, Kak!”

Haris lagi-lagi berdecak, ia sudah kesal bukan kepalang. “Bisa nggak sih kamu nggak usah ikut campur?! Biar apa sih, Gi? Biar dicap pahlawan? Biar dikira perhatian? Iya?! Kamu pikir kamu siapa sih gi? Temen saya? Pacar saya? Kamu tuh bukan siapa-siapa, Gia! Nggak usah sok peduli! Mau saya diskors, kek, dikeluarin, kek, itu bukan urusan kamu!”

Haris menghela napasnya lelah. Jika sudah emosi begini, jalan satu-satunya bagi Haris adalah menyendiri. Kelemahan Haris adalah harus berbicara dengan orang lain ketika sedang dikuasai amarah, itulah sebabnya Ojan dan Dhimas memilih untuk menolong Gio dan membiarkan Haris berlalu.

“Denger ya, Gia. Kamu nggak tau masalahnya apa, dan tanpa kamu kasih tau pun, saya tau konsekuensinya. Bisa nggak sih, Gi, kamu nggak usah nambah-nambahin masalah? Hidup saya tuh jadi makin ribet semenjak ketemu kamu tau nggak?!” ucap Haris lagi.

Gia menunduk dalam, menahan air matanya yang sejak tadi memberontak turun. Gadis itu menghirup napas dalam sebagai sumber kekuatan baru, lalu mendongak ketika cukup berani. Kemudian dengan suara bergetar Gia menjawab, “Kalo niat saya nolong Kakak jadi sebuah kesalahan, saya minta maaf, Kak. Saya nggak niat ikut campur, rasanya juga tadi saya pengen lari sekenceng-kencengnya. Saya juga takut liat orang berantem, pukul-pukulan—”

“—T-tapi saya lebih takut liat Kak Haris kenapa-napa,” lanjutnya.

Di hadapannya, Haris kembali menatap wajahnya. Gia bisa menangkap bahwa ada sedikit keterkejutan di sana, di bola mata Haris yang kini melunak tatapannya. Pemuda itu tak bicara apapun, maka Gia memilih untuk melanjutkan ucapannya. “Maaf kalo tindakan saya malah jadi nambah-nambahin masalah, Kak. Maaf juga kalo ternyata selama ini saya cuma bikin hidup Kakak tambah susah.”

Detik berikutnya, keduanya sama-sama bungkam. Baik Haris maupun Gia sama-sama menunduk, sama-sama menyesali sekaligus menyayangkan apa yang baru saja terjadi. Dalam hatinya Haris membenarkan ucapan Gia, seharusnya ia berpikir lebih jauh sebelum bertindak sebagaimana yang pernah ia ucapkan pada gadis itu. Namun perasaan untuk Gia dalam hatinya yang begitu besar membuatnya seakan-akan siap mengambil risiko apapun asal gadis itu tidak terluka fisik maupun hatinya.

Di sisi lain Gia pun membenarkan ucapan Haris. Mungkin seharusnya ia tak perlu ikut campur, mungkin sebaiknya Gia pura-pura tidak melihat pertengkaran Haris dan Gio di depan sekolah tadi, mungkin seharusnya Gia langsung pulang dan tidak menghampiri Haris dengan pikiran dapat mengajaknya bicara. Namun, seperti yang gadis itu katakan, rupanya kekhawatirannya terhadap Haris lebih besar hingga membuat gadis itu melawan ketakutannya.

Biasanya Gia bukanlah orang yang mudah menyerah pada sebuah perdebatan. Namun untuk hari ini, Gia memilih untuk menyerah. Sebab Haris sudah membicarakan fakta yang sama sekali tak bisa ia sanggah. Bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Haris, dan Gia tidak seharusnya ikut campur.

Gia meneguk ludahnya sendiri, kepalanya masih setia tertunduk seakan tak lagi miliki tenaga untuk mendongak menatap Haris. Kedua bahunya merosot dan air matanya sudah lolos turun membasahi pipinya, entah sejak kapan.

Dengan suara bergetar, Gia kembali membuka suara. “Sekali lagi saya minta maaf, Kak. Kak Haris tenang aja, saya pastiin setelah ini saya nggak akan ganggu Kakak lagi. Permisi, Kak.”

Setelahnya Gia pergi. Meninggalkannya dari tempat itu, sekaligus meninggalkan Haris dengan apa yang sedang keduanya bangun secara tidak sadar.

Sementara itu Haris terpaku di tempatnya, benaknya terus mengeluarkan suara agar ia berteriak memanggil Gia agar gadis itu menghentikan langkahnya.

Panggil, Ris!

Kejar Gia!

Panggil, Ris!

Namun suaranya tercekat, seakan terdapat batu besar yang menjadi penghalang bagi suara lantangnya. Pada akhirnya, Haris memilih pasrah seiring tubuh mungil Gia menghilang dari jangkauan matanya.

Lagi-lagi Haris menghela napasnya, setelahnya pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi. Haris mengumpat seraya menendang batu-batu kecil di jalanan. Memilih melampiaskan amarahnya pada kerikil-kerikil yang tak bersalah itu.

Setelah ini entah apa yang akan terjadi. Yang jelas, esok dan seterusnya akan menjadi hari yang tak lagi mudah ia jalani seperti biasanya.

Dan satu hal lagi, mungkin apa yang selama ini sedang berusaha ia bangun bersama Gia itu harus terhenti. Sampai di sini.