Keputusan
Di sini-lah Haris, duduk di antara berpasang-pasang mata yang berpusat kepadanya. Termasuk di antaranya Mama dan Kak Vio, sang ketua OSIS yang menatapnya tajam, menuntut penjelasan akan apa yang terjadi kemarin sehingga menuntunnya pada situasi hari ini di ruang BK.
Haris bersikap santai meski di dalam sana jantungnya bersiap untuk meledak. “Coba deh, kita utamain korban-nya dulu aja. Saya bagian ngelurus-lurusin aja,” ujar Haris.
Setelahnya Gio berusaha membuka suara, pria itu meringis guna memperjelas fakta bahwa dirinya terluka. Haris memutar matanya malas melihat tingkah Gio yang dibuat-buat itu.
“Saya juga nggak tau, Bu. Saya cuma lagi ngobrol aja sama temen-temen saya di depan sekolah. Tiba-tiba Kak Haris mukulin saya gitu,” adu Gio.
Haris mengangguk-angguk dengan senyuman tipis di wajahnya. Senyuman khas seseorang yang mengetahui lawan bicaranya berbohong tepat di depan matanya. Memang sudah diprediksi olehnya Gio pasti akan bersikap seolah dirinya tak bersalah.
“Benar begitu, Haris?” tanya Bu Maria, guru BK yang mengajar kelas X di sekolahnya.
Dengan tenang, Haris menjawab, “Iya, secara teknis bener begitu, Bu. Tapi mohon maaf sebelumnya, saya juga nggak bisa jelasin detail kenapa saya akhirnya tersulut emosi. Yang jelas, itu ada sangkut pautnya sama apa yang menjadi topik pembicaraan Gio dan teman-temannya kemarin.”
Di hadapan Haris, Mama Gio tersinggung. “Maksud kamu anak saya ngomongin hal yang nggak-nggak? Denger ya, kalo kamu salah ya ngaku aja! Apa susahnya sih jujur? Jelas-jelas kamu mukulin anak saya sampe kayak gini kondisinya. Sudah jelas di sini kamu berandalnya! Kamu pasti kakak kelas yang suka senioritas ke adik-adik kelas kamu, kan?”
Mati-matian Haris menahan kekesalannya agar tidak meledak di sana. Sebelah tangannya sengaja ia tautkan dengan milik Mama agar dapat selalu kembali membuat dirinya tenang. Baru saja Haris ingin membalas, Vio lebih dulu buka suara. “Maaf sebelumnya, Ibu. Saya Vio, kebetulan saya ketua OSIS yang saat ini menjabat dan Haris adalah salah satu anggota saya. Saya kenal baik dengan Haris, dan sejauh saya kenal dengan dia saya pun tau Haris sama sekali tidak seperti yang Ibu katakan barusan.”
“Haris ini memang tegas dan terkenal galak, saya yakin banyak guru, adik kelas, serta temannya yang lain menyetujui itu. Tapi saya lebih yakin lagi kalau mereka juga tidak akan menyetujui apa yang Ibu katakan barusan,” lanjut Vio.
“Saya izin menambahkan, sebagai guru BK yang memang mengajar di kelas XI, saya setuju dengan Vio. Haris sama sekali tidak seperti yang Ibu katakan. Kami, para guru justru mengenal Haris sebagai anak yang berprestasi dan teladan. Haris tidak pernah melanggar peraturan dan selama di sekolah pun baik-baik saja. Haris pokoknya nggak pernah macam-macam,” timpal Bu Juju. Dalam hatinya Haris bersyukur masih ada yang membelanya.
“Justru sebaliknya, saya sering mendengar desas-desus bahwa Gio yang kerap kali melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan di sekolah,” lanjut Bu Juju lagi. “Saya sempat membicarakan ini juga dengan Vio ya, waktu itu?” ucapnya meminta konfirmasi dari Vio yang kemudian dibalas anggukan oleh pemuda itu.
“Ya, kami sering mendengar bahwa Gio ini jarang mengerjakan tugas, bahkan seringkali meminta teman-temannya untuk mengerjakan tugasnya. Banyak guru juga mengeluh bahwa Gio ini sering tidak hadir di kelas, ketika hadir pun tidak jarang anak Ibu ini tertidur di kelas,” ucap Bu Juju lagi.
“Sebelumnya mohon maaf Ibu, bukannya kami di sini bertindak tidak adil. Mungkin Ibu melihat kami semua di sini lebih condong membela Haris, tapi memang apa yang dibicarakan oleh Bu Juju dan Vio barusan tadi itu memang fakta. Kami sebagai guru tentu saja melihat track record murid-murid kami setiap kali ada yang terkena masalah. Dan untuk kasus ini, justru malah Gio yang lebih banyak riwayat pelanggarannya dibandingkan Haris,” ucap Bu Maria.
“Tuh kan, Mi, aku bilang juga apa? Mereka nggak akan percaya sama aku. Kak Haris itu udah punya power di sekolah ini,” ucap Gio seraya memegangi tulang pipinya yang lebam. Membuat ibunya itu otomatis mengelus wajahnya perlahan dengan raut wajah kasihan.
“Saya nggak ngerti ya dengan sekolah ini. Katanya sekolah bagus tapi begini cara menangani masalah terhadap siswanya? Memihak orang yang jelas-jelas berandalan dan tukang bully? Jangan main-main ya, saya bisa bawa ini ke ranah hukum!” Mama Gio mulai berbicara. “Kamu nyogok ya di sekolah ini? Biar semua orang belain kamu, kan?”
“Maaf, tujuan kita di sini untuk mencari penyelesaian dari masalah ini dengan cara damai. Jadi, tolong jangan asal bicara,” Mama yang mulai terpancing akhirnya turut bersuara. Sejak tadi, sama seperti Haris, Mama pun menahan emosinya yang sudah bergejolak di dalam dada.
“Ini udah nggak bisa diselesaikan secara damai. Saya nggak mau masalah ini diselesaikan secara damai. Saya nggak terima. Anak saya ini korban, sudah jelas korban. Lihat wajahnya, penuh lebam dan luka-luka begini. Lalu Ibu masih bisa memikirkan cara damai?”
“Ya tentu! Anak-anak kita ini sudah bukan anak SD lagi, sudah berseragam putih abu-abu. Sudah seharusnya memiliki pikiran dewasa sehingga saya rasa nggak perlu lagi ya merengek ke ibunya kalau ada masalah di sekolah? Kalau Ibu menuntut tanggung jawab, ya tentu saya akan tanggung jawab. Saya pun mengakui tindakan Haris, anak saya itu salah. Makanya saya bersedia hadir di sini sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai orang tua. Saya bersedia kok menanggung biaya pengobatan anak Ibu sampai pulih,” sahut Mama panjang lebar. Sementara Haris memilih diam, pria itu tak ingin memperkeruh suasana di tengah-tengah atmosfer yang sudah dipenuhi amarah ini.
“Mohon maaf, Ibu-Ibu, mohon tenang ya! Betul kata Ibunya Haris, kita sama-sama hadir di sini tentu untuk mencari jalan keluar dan penyelesaian. Termasuk sanksi bagi Haris jika memang terbukti Haris yang salah. Namun, karena Haris sendiri menolak untuk menceritakan detail kejadiannya seperti apa, maka kita pun belum bisa untuk menyimpulkan siapa yang salah dan benar. Gio pun di sini hanya menceritakan sedikit saja kejadiannya. Jadi, sama saja, kita belum bisa mengambil kesimpulan dari kejadian ini. Apalagi memutuskan sanksi.”
“Loh, nggak bisa gitu dong, Ibu! Pokoknya saya mau penindas kayak dia ini dapat sanksi yang seberat-beratnya dari sekolah ini, supaya dia jera!” ucap Mama Gio lantang. Membuat berpasang-pasang telinga yang berkerubung di luar ruang BK itu menjauh karena terkejut.
Setelahnya Bu Juju mengangguk, “Iya, Bu. Kami pastikan akan begitu. Namun kami tegaskan di sini, JIKA Haris benar-benar terbukti bersalah. Karena seperti yang tadi dikatakan sebelumnya, kita belum tahu kronologis kejadiannya seperti apa. Jadi, kami pun belum bisa menyimpulkan apa-apa serta belum bisa memberi sanksi untuk siapapun.”
“Begini saja, mungkin Haris dan Mamanya bisa keluar. Kita tunda dulu pembicaraan ini. Gio dan Ibu silakan untuk tetap berada di sini, mungkin kalau tidak ada Haris itu akan lebih memudahkan Gio untuk menceritakan kejadiannya. Sekalian kita berdiskusi untuk menentukan sanksi seperti apa yang menurut Ibu setimpal untuk Haris,” saran Bu Juju. Kemudian dengan sangat terpaksa Haris dan Mama keluar ruangan. Membiarkan Gio membicarakan entah apa yang ada di pikirannya.
Di luar, Haris sempat terkejut bukan main sebab banyak orang yang menghalangi jalan keluarnya dari ruang BK. Namun mereka otomatis menyingkir ketika pintu dibuka. Dengan segera Haris menuntun Mama melipir ke tempat di mana mereka bisa berbicara berdua. Mengabaikan bisikan-bisikan penasaran yang kerap menerka-nerka apa yang akan terjadi pada Haris dan Gio ke depannya.