Disappointment

Kini Haris berdiri di hadapan sang ibu setelah keduanya melipir dari banyak pasang mata yang menanti kabar untuk disebarluaskan di depan ruang BK. Haris menatap mamanya, tak ada yang bisa ia simpulkan dari raut wajah Mama yang cukup sulit diartikan saat itu.

Haris menunduk dalam, menatap kakinya yang terbalut sepatu hitam. Kemudian dengan suara pelan, pemuda itu berucap. “Maaf ya, Ma.”

Mama yang sedari tadi melihat ke sembarang arah kini memusatkan pandangannya pada Haris yang lebih tinggi darinya. Tak ada jawaban dari sang ibu, maka lantas Haris melanjutkan bicaranya.

“Maaf bikin Mama malu sampe harus dipanggil sekolah dua kali kayak gini,” ucap Haris.

Mama menghela napasnya, kemudian menggeleng seraya tersenyum tipis. Kedua tangannya terulur menangkup wajah Haris. “It's okay, Kak. Namanya juga hidup, pasti ada fase yang bikin pengen kita lupain. I got mine already, maybe it's your turn to get yours.”

Haris balas tersenyum tipis, dalam hati ia bersyukur memiliki Mama yang begitu pengertian. Namun senyumannya luntur seiring Mama menarik kembali tangannya. “Sebenernya Haris pengen ngasih tau Mama kejadian sebenernya kayak apa, tapi—”

“Nggak apa-apa, Mama tau kok Kakak nggak akan mulai duluan kalo nggak ada yang bikin kamu tersulut. I trust you, Kak,” potong Mama cepat. “Mama udah cukup lega karena kamu nggak jadi dikeluarin.”

Haris hanya mengangguk kaku membalas ucapan Mama. Setelahnya Mama kembali bicara, “Ambil dulu gih, tasnya! Mama tunggu sini.”

Setelahnya Haris beranjak pergi. Pemuda itu melangkah lesu menuju kelasnya sendiri guna mengambil tas untuk menjalankan skorsnya yang pertama kali.

Haris memutuskan untuk menegakkan kepalanya, menatap lurus, dan memasang wajah garangnya guna mengabaikan bisikan-bisikan mengenai dirinya yang kini memenuhi pendengarannya. Persetan orang lain berkata apa, toh mereka pun tak benar-benar tahu yang sebenarnya.

Pemuda itu berniat mempercepat langkahnya ketika melewati ruang BK, namun sebuah suara membuat Haris mengurungkan niatnya. Pemuda itu menoleh dan menemukan Vio yang baru saja keluar dari ruangan. “Kenapa, Kak?” tanyanya.

“Lo mau ke kelas?” tanya Vio. Seketika Haris mengangguk menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu. “Bareng, sekalian gue mau ngomong sama lo.”

Diam-diam Haris meneguk ludahnya kasar. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan bahwa uratnya menegang, takut akan kena semprot oleh kakak kelas yang juga merupakan ketua OSIS-nya itu. “Kenapa, Kak?”

Sembari berjalan, Vio memulai pembicaraan. “Lo kenapa sih bisa kena masalah kayak gini?”

Haris kembali menunduk, lagi-lagi hatinya diselimuti rasa bersalah. Setelah Mama, kini ia pun membuat Vio kecewa. Rasanya hatinya yang semula memberontak mengatakan bahwa dirinya tak pantas menerima hukuman ini pun mulai luluh. Haris benar-benar mengecewakan semua orang hari ini.

“Maaf ya, Kak. Gue jadi bikin lo malu, bikin nama OSIS jelek juga. Nggak bakal gue ulangin kok, sumpah!” balas Haris.

Vio menghela napasnya, kemudian menghentikan langkahnya. “Kali ini nggak apa, tapi lain kali dipikirin lagi konsekuensi yang akan lo terima ya, Ris? Gimanapun juga lo anak OSIS. Suka nggak suka, mau nggak mau, kelakuan lo jadi cerminan sekolah. Kemaren gue ditegur Bapak, katanya kalo kelakuan anak OSIS-nya aja begini, sekolah mau dipandang gimana? Lo tau nggak? Pak Asep lebih esktrem lagi, minta lo dikeluarin dari OSIS.”

Sontak Haris menatap Vio terkejut, dadanya bagai ditimpa batu besar kala itu. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa dampaknya akan sebesar ini. Tak ada satu kata pun yang bisa ia keluarkan, Haris hanya bisa menghela napasnya lagi dan lagi. Kemudian berharap agar tak ada lagi orang-orang yang ia kecewakan.

“Jangan gini lagi ya, Ris? Jangan bikin malu OSIS, jangan bikin malu sekolah, jangan bikin malu diri lo sendiri! Lo termasuk orang yang gue dan pembina OSIS kita percaya buat nerusin OSIS setelah gue nanti, jangan bikin kepercayaan itu ilang,” ucap Vio. Setelahnya pemuda itu menepuk-nepuk pundak Haris pelan. “Udah, sana gih ambil tas lo. Selamat liburan! Nikmatin aja dulu waktu istirahat lo,” ujarnya, kemudian Vio berlalu mendahului Haris yang masih terpaku di tempatnya.