raranotruru

Sudah sore dan sekolah sudah sepi ketika Gia menunggu Agung untuk menjemputnya. Mulai dari ditemani Zahra, hingga Alwan selesai rapat OSIS, hingga kini ia tinggal sendirian, om satu-satunya itu belum juga datang. Macet, alasannya. Tapi memang benar, Gia tahu Agung tak berbohong mengingat betapa jauh dan padat jalanan dari kantornya ke sekolah Gia. Syukur Agung masih mau menjemputnya.

Gadis itu terus menggerakkan kakinya menendang pasir jalanan guna mengusir pegal. Sudah lebih dari setengah jam ia berdiri di sana. Segala kegiatan untuk mengusir bosan pun rasanya sudah Gia lakukan. Namun Agung tak kunjung datang.

“Cewek,” panggil seseorang.

Gia sontak menoleh ke sumber suara. Dan entah karena melamun atau memang dirinya yang tidak menyadari, Gia kini sudah hampir dikepung oleh anak-anak tongkrongan. Gia tebak mereka masih satu angkatan. Namun menyadari wajah-wajah yang tidak familiar, Gia tahu mereka adalah anak-anak jurusan IPS. Kemungkinan—satu komplotan dengan Gio.

Gadis itu otomatis menjauhkan dirinya dari gerombolan lelaki yang mengganggunya. Berusaha tidak peduli walaupun hatinya mulai takut. “Kenalan dongg,” ucap lelaki yang tidak Gia kenali itu.

“Tau, judes banget sih? Masa mau kenalan aja nggak boleh?”

“Apa sih?!” balas Gia galak. Lebih tepatnya berusaha untuk terlihat galak.

“Wahaha, ternyata bener kata Gio. Jual mahal,” ucap salah seorang lain yang memiliki rambut kemerahan. Rupanya benar dugaan Gia, mereka satu komplotan dengan Gio.

Gia kemudian hanya menunduk dan berusaha memalingkan wajahnya seraya terus merapalkan doa dalam hatinya agar Agung cepat datang. Sementara para lelaki itu masih saja menertawakan dan mengganggunya. Bahkan ada yang dengan berani mencolek lengannya, tentu saja Gia langsung menepisnya.

Gia masih membuang wajahnya ke sembarang arah, hingga detik berikutnya tawa mereka otomatis terhenti. Bahkan dengan kompak para lelaki itu menundukkan kepalanya hormat seakan melihat seseorang yang sangat disegani. “Bang,” sapa lelaki berambut kemerahan tadi.

Bang? batin Gia bingung. Maka gadis itu menoleh, mencari tahu siapa yang berdiri di sebelahnya. Rupanya, seseorang yang selama ini ia nantikan.

Haris, berdiri di sebelahnya dengan ransel yang disampirkan asal di sebelah bahunya. Kakak kelasnya hanya diam, sama sekali tak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Haris hanya datang dan menatap nyalang ke arah para lelaki yang berani-beraninya mengganggu Gia. “Emang masih jaman ya ngajak kenalan pake cara nggak sopan kayak gitu?” Suara bariton Haris mulai terdengar. Pelan, tapi tetap menyiratkan ketegasan di dalamnya.

“Nggak, Bang. Tadi cuma bercanda aja, kok..”

“Bercanda tuh nggak bikin orang lain terganggu,” balas Haris. Di dekatnya, Gia hanya menunduk canggung.

“Ngapain sih lo gangguin dia? Mau gue patahin juga tulang idungnya biar seragaman kayak Gio?” tanya Haris dengan nada mengancam. Para lelaki itu serempak menggeleng. “Nggak, Bang. Maap ya, Bang. Kita nggak tau kalo dia cewek lo, nggak bakal kita gangguin lagi kok!”

Haris dan Gia otomatis bertukar pandang, keduanya sama-sama terkejut mendengar balasan salah satu teman Gio itu. Haris berdeham guna mengusir canggung, “Kalo sampe gue tau lo semua masih berulah, urusannya sama gue!”

“Iya, Bang, enggak kok.. Pamit ya, Bang! Permisi!”

Setelahnya para lelaki itu berlari menjauh. Meninggalkan Haris dan Gia berduaan di tempat yang sama. Membuat keduanya sama-sama terdiam kaku.

Haris menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sejujurnya ia ingin langsung pergi, takut-takut Gia merasa terganggu dengan keberadaannya seperti waktu lalu. Namun sebagai seorang lelaki tentunya Haris pun tak tega meninggalkannya sendirian. “Kamu—kalo belom dijemput nunggunya di dalem aja. Di pos satpam situ sama Babeh, biar nggak digangguin anak tongkrongan lagi,” ucap Haris lembut.

Itu saja. Haris benar-benar tak mengharapkan sesuatu yang lain dari pertemuannya dengan Gia sore ini. Pria itu bahkan berniat untuk langsung berjalan menuju parkiran setelah menyelesaikan kalimatnya. Namun suara Gia membuat Haris mengurungkan langkahnya.

“Kak Haris,” panggilnya. Haris tak menjawab, pemuda itu hanya membalikkan badannya seraya mengangkat sebelah alisnya.

“Boleh.. ngomong sebentar nggak?” tanya Gia.

Meski tak bersuara, Gia tahu Haris terkejut di hadapannya. Tebakannya didukung oleh fakta bahwa pemuda itu terdiam cukup lama hingga akhirnya kembali bersuara. “Bukan nggak mau, sih. Tapi saya buru-buru, mau jemput Hanum,” ucapnya.

“Oh..” Gia mendesah kecewa. “Ya udah, nggak pa-pa kok, Kak. Lain kali aja.”

Haris kemudian hanya mengangguk pelan seraya membenarkan posisi strap ranselnya yang merosot dari bahu kanannya. Sesaat kemudian kembali canggung seiring keduanya lagi-lagi diam. Sampai lagi-lagi Haris yang memecah keheningan.

“Ayo, saya anterin ke Babeh. Di sini udah makin sepi, bahaya. Kalo kenapa-napa nggak ada yang tau,” ucap Haris. Maka Gia hanya bisa mengiyakan dan membuntuti langkah Haris menuju pos satpam.


“Beh, titip temen saya ya? Dari tadi sendirian belom dijemput,” ucap Haris, terlihat sangat akrab dengan seorang satpam yang paling lama bekerja di sekolah.

“Iyeehhh, santai aje! Lu mau ke mane emang?” tanya Babeh. “Mau jemput adek saya lagi kerja kelompok, takut kesorean,” jawab Haris.

“Ohh, ya udeh. Aman, aman. Duduk aje, Neng,” ucap Babeh lagi. Setelah memastikan Gia dalam penjagaan aman, setidaknya seseorang yang bisa Haris percaya, barulah pria itu berpamitan. “Balik ya, Beh!” pamitnya seraya menyalami tangan Babeh dengan sopan. “Duluan, Gi,” ucapnya sebelum benar-benar berlari secepat kilat ke parkiran untuk mengambil motornya.

Tak bisa ditepis bahwa Haris lagi-lagi berhasil membuat seorang Anggia Kalila tertegun dengan sikapnya. Seseorang yang terlihat begitu angkuh rupanya tanpa sungkan mencium tangan satpam sekolah yang bahkan sering tak dianggap.

Tiati, Ris!” ucap Babeh ketika Haris membunyikan klakson motornya kala melewati pos satpam sebelum akhirnya menghilang setelah melintasi gerbang. Membuat Gia tersadar dari lamunannya.

“Neng pacarnya Haris?” tanya Babeh. Gia sontak menoleh, “Hah? B-bukan, Beh. Kenal aja.”

Babeh mengangguk-angguk meski raut wajahnya masih menampilkan curiga. “Perhatian banget tu orang, tapi emang dia baek banget sih orangnya. Nggak mandang gitu biar sama orang kayak kita. Sopan bener anaknya,” ucap Babeh, berhasil memancing rasa penasaran dalam diri Gia.

“Kak Haris sering ngobrol sama Babeh ya?”

“Wuih, sering. Kalo lagi pada kegiatan gitu, OSIS apa ekskul atau kalo lagi pada kerja kelompok di sekolah, suka pada nongkrong di sini. Sama temen-temennya juga tuh, si Damar, Dhimas, sama Ojan. Main kartu remi, main catur. Nanti yang kalah beliin makanan gitu,” ujar Babeh. “Itu anak-anak berempat kalo udah pada lulus, sedih deh Babeh, beneran.”

Gia tersenyum tipis, “Kenapa, Beh?”

“Hampir sepuluh tahun Babeh kerja di sini, Neng, baru mereka berempat doang yang bener-bener nganggep sama orang kayak kita—maksudnya kayak Babeh gini. Satpam, OB, gitu. Padahal pan pada anak orang kaya ya, tapi pada sopan bener. Nggak sombong, orang baik beneran. Si Haris mah keliatannya doang aja sangar, songong, aslinya mah kagak begitu,” ucap Babeh. “Kalo temen-temennya yang lain emang pada ramah mukanya. Haris doang, tapi aslinya mah sama aja dia juga.”

Gia terkekeh mendengar cerita Babeh. Sebagian hatinya turut menghangat. Andai Babeh tahu, tak hanya beliau yang akan sedih jika suatu hari nanti Haris sudah lulus dari sekolah ini. Sebab yang beliau ajak bicara pun akan merasakan hal yang sama.

“Kalo lagi pada nongkrong di sini, suka pada beli makan. Nasi padang, warteg, itu kita-kita juga dibeliin, Neng. Terus makan bareng, ngeriung tuh di lapangan situ,” ujar Babeh seraya menunjuk lapangan voli yang paling dekat dengan pos satpam. “Salut Babeh mah sama orang tuanya itu anak berempat. Pada sukses ngedidik anak. Pinter-pinter, tau etika, tau sopan santun.”

“Coba anak-anak sini yang lain, kebanyakan pada songong-songong. Ya—emang sih pada orang berada semua. Tapi pada belagu banget, Neng, bener dah! Kadang mobilnya udah diparkirin aja masih suka pada marah-marah, mana nggak ada bilang makasihnya,” keluh Babeh. “Percuma Neng, sekolah tinggi-tinggi tapi nggak punya adab. Nggak bakal lancar juga hidupnya nanti. Karena banyak orang jadi pada sebel, bukan pada ngedoain.”

“Coba tuh si Ojan, biar kata bangor juga tapi hidupnya lempeng-lempeng ajah! Orang yang banyak bikin seneng orang lain, pasti banyak didoain. Si Haris juga kan kemaren diskors, ujungnya banyak yang belain. Duh, pokoknya mah kalo jadi orang baik nggak usah khawatir. Tuhan yang kasih jalan,” ucap Babeh.

Gia hanya bisa menganggukkan kepalanya seraya mendengar nasehat sekaligus cerita Babeh mengenai Haris dan teman-temannya. Seakan Tuhan berencana membuka mata Gia lebih lebar perihal Haris, dari sudut pandang yang lain. Rupanya penilaiannya tidak salah, Haris memang benar-benar seseorang yang baik.

Sejujurnya sejak awal, Gia tahu itu. Meski raut wajah yang pertama kali Haris tampilkan ketika memasuki kelasnya saat masa orientasi adalah raut wajah yang paling garang, namun entah mengapa hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik permukaan yang begitu tebal dan kokoh. Dan benar saja, Gia menemukan sesuatu itu seiring berjalannya waktu. Itulah sebabnya, mengapa dengan mudah gadis itu menyukai Haris. Itulah sebabnya, mengapa Gia selalu bertahan dan enggan berpaling meskipun Haris sempat melontarkan kalimat pedas terhadapnya. Gia selalu yakin, ada sudut pandang lain yang harus ia telusuri perihal Haris. Dan hari ini, ia menemukan jawabannya.

“Neng kenal Haris dari mana? Dulu satu SMP?”

“Enggak, Beh. Waktu MOS kemarin Kak Haris yang megang kelas saya, terus ternyata kebetulan adeknya Kak Haris itu satu SMP sama saya. Lumayan deket juga, jadi kenal, hehehe,” jawab Gia.

“Ohh, pantesan. Baru liat aja Babeh Haris deket sama anak cewek,” balas Babeh lagi. Setelahnya Gia hanya tersenyum canggung. Entah apa yang terjadi pada dunia hari ini hingga semuanya seakan mendukung hubungannya dengan Haris.

“Tapi bener deh, kalo Haris sama temen-temennya udah lulus Babeh sedih banget beneran,” ucap Babeh lagi. Membuat Gia tertawa pada akhirnya. “Masih satu tahun lagi, Beh, masih lama kok!”

“Nggak bakal berasa, Neng. Tapi tiap Babeh bilang begitu sama mereka, malah gua disuruh ikutan lulus juga sama Haris. Emang dasar bocah!”

Gia lagi-lagi tertawa. Sebelum akhirnya ia kembali terdiam dan menyadari sesuatu. Benar juga, ia terlupa bahwa Haris akan lulus lebih dulu. Meskipun masih satu tahun lagi, benar kata Babeh, satu tahun tidak akan terasa.

Rasanya Gia harus benar-benar berterima kasih pada Babeh hari ini. Karena telah menyadarkannya agar tidak lagi menyia-nyiakan waktu.

“Papa!” panggil Haris pada seorang pria dengan kulit putih dan tatanan rambut yang sama dengan miliknya. Yang membedakan hanyalah belahan rambut keduanya. Satu belah kanan, satu lagi belah kiri.

Haris menarik kursi di hadapan sang ayah. Menyeka sedikit keringat jagung yang membasahi pelipisnya. “Maaf terlambat, tadi ada urusan mendadak,” ucapnya.

Setelahnya, hening mengisi. Haris sibuk membenahi posisi duduknya hingga mendapatkan posisi nyaman, sementara di hadapannya, Papa sama sekali tak melepaskan pandangannya dari wajah sang anak sulung. Tanpa Haris tahu, dalam benak sang ayah muncul banyak pertanyaan. Sudah berapa lama ia meninggalkan jagoan kecilnya? Hingga tubuh mungilnya kini berubah menjadi postur tinggi menjulang. Sudah tahun berapa ini? Hingga anak sulungnya kini sudah memiliki suara bariton yang membuatnya semakin gagah.

“Kak?” panggil Papa. Haris mendongak, kala itu ia menyadari bahwa Papa begitu terpana melihatnya. Netra yang yang terlihat sama dengan miliknya itu berkilat, Haris tahu bahwa Papa sedang menahan air matanya.

“Ya?”

“Haura... Memang bilang kalau Papa mirip sama kamu, tapi Papa nggak nyangka kalau semirip ini,” balasnya. Haris tersenyum tipis—nyaris tidak terlihat. Diam-diam ia membenarkan ucapan Papa dalam hati. Sejujurnya saat ini pun ia merasa seperti sedang berkaca. Cukup aneh rasanya melihat duplikat dirinya di depan mata.

“Apa kabar, Kak?”

“Baik.”

Papa mengangguk pelan. Canggung. “Kamu mau pesen makan dulu, Kak?”

Haris menggeleng, “Ngobrol dulu aja, Pa. Haris udah makan.”

Papa lagi-lagi hanya bisa mengangguk mendengar balasan Haris yang selalu tegas dan seakan menutup diri. Namun ia tak bisa menyalahkan Haris, sebab dirinya tahu betul bahwa anak sulungnya sama sepertinya. Tidak suka basa-basi.

“Papa kenapa terus-terusan nunggu Haris? Katanya udah mau pindah? Ngapain dibatalin gitu?” tanyanya bertubi-tubi.

Haris mendapati Papa menggendikkan bahu. Sekon berikutnya sang ayah menjawab, “Karena kamu pantas ditunggu.”

“Kalo Haris tetep nggak mau nemuin Papa, Papa nggak jadi pindah? Pasti tetep pindah juga, kan?” tanya Haris ketus.

Hening. Cukup lama sebelum Papa berhasil menjawab pertanyaan Haris. Membuat pemuda itu memalingkan wajahnya, sedikit kecewa. Sekon berikutnya, Papa menghela napas sebelum akhirnya kembali membuka suara.

“Hanum kemarin bilang kalo Kak Haris masih butuh waktu,” ucap Papa. “Maka Papa tunggu. Bahkan kalo itu artinya sampe tahun depan, Papa akan tunggu. Lagipula rasanya nggak pantes Papa protes karena dibuat nunggu terlalu lama. Papa hutang waktu sama kamu, maka ketika kamu minta waktu, pasti Papa kasih.”

Haris mendongak, menatap Papa tepat di matanya. Tak bisa dipungkiri bahwa jawaban sang ayah berhasil membuatnya tertegun untuk benerapa detik. Namun segera ia kendalikan. “Papa ketemu mau pamitan maksudnya?”

Pria di hadapan Haris itu menggeleng, “Papa memanfaatkan kesempatan terakhir untuk ketemu lagi sama anak-anak Papa.”

“Oh,” sahut Haris seraya tertawa sarkas. “Masih nganggep?”

Papa meneguk ludahnya. Bertemu dengan Hanum dan Haura terasa jauh lebih mudah dibanding hari ini. “Papa minta maaf baru nemuin kalian sekarang. Tapi satu hal yang harus kamu tau, selamanya Papa akan anggap kalian anak-anak Papa,” ucapnya. “Selama ini bukan Papa nggak peduli, Kak. Papa takut dan nggak tau harus mulai dari mana. Papa takut kalian nggak nerima Papa lagi. Apalagi Haura...”

Lagi-lagi Haris tertawa getir, “Papa tau nggak dulu Hanum selalu tidur di depan jendela?”

Ucapan Haris berhasil membuat Papa menatapnya terkejut. “Nggak ada yang benci Papa. Justru dari dulu Haris sama Hanum selalu nunggu Papa. Kita nggak pernah kecewa karena Papa pergi, Haris sama Hanum kecewa karena Papa nggak pernah pulang lagi.”

“Maaf, Papa emang pengecut,” ucapnya seraya tertunduk.

“Sama, Haris juga.”

Ucapannya berhasil membuat Papa kembali menatap ke arahnya. “Haris juga nggak tau gimana mulainya lagi,” lanjut Haris. “Dulu Haris marah karena Papa pergi. Rasanya kosong, kayak ada yang janggal. Sekarang Papa balik lagi, Haris marah lagi. Karena rasanya juga janggal. Haris udah terbiasa tanpa Papa, nggak tau gimana mulainya lagi kalo sekarang ada Papa lagi.”

Papa mengangguk pelan, “Kalo gitu kita cari caranya sama-sama ya, Kak? Kayak dulu waktu kita sama-sama cari cara jagain Hanum.”

Ah, Haris rasanya ingin menangis sekarang. Benar apa yang diucapkan teman-temannya, gumpalan itu memang hanya bisa disembuhkan jika ia menemukan sumbernya. Haris pun tak berbohong kala ia mengatakan bahwa semuanya terasa seperti rumah lama yang ia tinggali sesaat setelah ia memutuskan untuk bertemu Papa. Serasa puing-puing rumahnya yang dulu hancur itu kini tersusun kembali dari awal. Sebagaimana ia dan Papa sekarang membangun pondasi dari awal.

“Terus setelah caranya ketemu, Papa pergi lagi?”

“Kali ini enggak. Papa janji. Gimanapun caranya, meskipun jauh, Papa nggak akan ninggalin kalian lagi,” jawab Papa.

“Terus gimana?” tanya Haris.

“Kita kenalan lagi ya, Kak? Kemarin Papa udah kenalan sama Hanum dan Haura, sama kamu belum,” balasnya. Haris menahan senyumnya, tak bisa dipungkiri bahwa hatinya menghangat kala itu. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk, toh ia pun sudah bertekad akan berdamai dengan masa lalu. Hidup harus terus berjalan, dan inilah caranya.

“Oke,” Haris membalas seadanya. Membuat sebuah sumringah terbit di wajah Papa. Kini giliran Haris untuk tertegun, sudah berapa lama ini? Hingga wajah Papa yang dulu selalu ia puja sebagai wajah paling tampan di dunia kini memiliki sedikit kerutan di ujung mata. Seberapa sulitkah pekerjaannya? Hingga begitu banyak kerutan yang tercetak jelas di dahi Papa. Mungkin memang benar, Haris harus berkenalan lagi dengan sosok Papa yang sekarang. Seseorang yang sama, namun terasa baru baginya.

“Apa kabar jagoan Papa?” Papa bertanya dengan suara lembut. Seperti waktu dulu, ketika menemui Haris di depan pintu saat malam sepulangnya kerja. Sesaat sebelum Haris kecil dengan antusias merebut sepatu kerja Papa dan memaksakan kedua kaki kecilnya untuk muat ke dalam sana. Membuatnya tak jarang tersandung hingga membentur lantai, tak heran jika luka paling banyak ia dapatkan ketika kecil adalah pada dahinya.

“Baik, pusing sekolah aja sedikit. Tapi masih bisa ketawa kok. Haris punya temen ada tiga, semuanya ngawur!” ucapnya ceria. Tak ada lagi seluruh pertahanan yang ia pasang pada awal pertemuan. Suasana kini mulai mencair di antara kedua lelaki itu. Haris bercerita dengan antusias namun tetap dalam balutan ketenangan sikapnya, sebagaimana yang ia lakukan dulu ketika masih kecil. Ketika Mama dan Papa menanyakan bagaimana harinya berjalan di sekolah.

“Rekor, Pa, Haris pernah diskors!” ucapnya bangga.

“Serius, Kak? Kok bisa?”

“Ada lah, urusan lelaki,” ucapnya. Enggan membahas lebih lanjut perihal kejadian itu. Kali ini bukan karena Gio, sebab dirinya baru saja berdamai dengan pemuda itu. Kali ini, lebih tepatnya, Haris tak ingin membahas perihal Gia.

“Terus Mama marah nggak?”

“Nggak, Mama ngerti masalahnya kok. Gitu deh, Pa, pokoknya. Ribet, biasa lah, masalah siapa yang punya power. Makanya Haris diskors,” balas Haris. “Tapi udah damai kok, tenang aja.”

“Syukur kalo begitu... Mulai sekarang kalo butuh apa-apa yang bersangkutan sama kayak gitu-gituan, jangan sungkan-sungkan hubungi Papa. Ya?”

“Pasti,” jawabnya. Tentu, jangan lupakan bahwa seorang Haris bukan berasal dari keluarga sembarangan. Biar bagaimanapun juga ia adalah anak dari seorang perancang busana ternama dan seorang direktur SDM salah satu perusahaan perminyakan milik negara. Power bukanlah sesuatu yang tidak ia miliki. Ia bisa saja dengan mudah berlaku lebih sombong dari seorang Giovanno Sadewa, namun Haris tetaplah Haris. Bodo amat adalah nama tengahnya.

“Kapten gimana kabarnya?” Kini Haris balik bertanya. Sebagaimana Papa menggunakan panggilan kesayangannya, Haris menggunakan panggilan yang biasa ia gunakan untuk memanggil sang ayah dulu.

Papa sedikit tercengang, namun pada akhirnya tawanya lepas juga. “Selalu baik. Sangat baik hari ini karena udah ketemu Kak Haris.”

Haris mengulas sebuah senyuman manis yang selama ini tak pernah ia tampilkan. Setelahnya ia berucap dengan tulus, “Makasih udah mau nunggu Haris, Pa. Maaf Haris jadi bikin plan Papa berantakan, Haris terlalu kurang ajar jadi anak.”

Dibalasnya ucapannya itu dengan sebuah gelengan cepat, “Nggak, Kak. Papa ngerti kalo kamu butuh waktu, that's all. Kamu nggak kurang ajar, kok. Papa yang mau nunggu kamu, Papa yang terima kasih karena kamu mau ketemu Papa.”

Tak ada jawaban, Haris hanya tersenyum canggung. Selama ini Haris selalu bertanya pada dirinya sendiri, perihal alasan yang membuatnya enggan bertemu dengan Papa. Apakah karena ia terlalu benci sebab Papa meninggalkannya? Atau apakah kebenciannya justru hadir karena Papa kembali datang setelah ia berhasil membentuk dirinya menjadi seorang yang tangguh?

Jawabannya—bukan keduanya. Sebab Haris sama sekali tidak pernah membenci Papa. Malahan, pemuda itu merindukan sang ayah. Yang membuatnya enggan bertemu kembali adalah ketakutannya yang begitu dalam. Haris takut, ketika bertemu dengan Papa, beliau akan menjadi seorang yang lain. Haris takut akan menemukan kebahagiaan lebih besar yang sengaja Papa pamerkan kepadanya setelah beliau memiliki keluarga barunya. Haris tak pernah membenci, ia hanya cemburu. Pada kehidupan baru yang ayahnya miliki.

Namun semua sirna, setelah ia menemui Papa dan mendapati bahwa beliau masih sosok Papa yang sama. Yang selalu menganggapnya jagoan—paling hebat dan paling berani seantero ruang tamu. Yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan 'Kak Haris'.

Ah, andai Papa tak pergi hari itu, maka ia akan melihat betapa sang anak sulung tumbuh sesuai dengan julukan yang beliau berikan. Jagoan kecilnya tak hanya menjadi paling hebat seantero ruang tamu sekarang, melainkan seantero penjuru sekolah. Pesona dan kharismanya menyebar ke segala arah, di manapun kakinya berpijak. Membuatnya disegani dan begitu dihormati.

'Kak Haris' kecil milik Papa pun kini benar-benar tumbuh menjadi seorang kakak yang begitu mengayomi dan bijaksana. Seakan kedua tangannya dapat berikan naungan paling nyaman untuk adik-adiknya.

Andai saja kala itu Papa tak meninggalkan rumah. Maka ia akan tahu bahwa Haris-nya, tumbuh sebagaimana doa-doa yang ia langitkan.

“Kak,” seru Papa pelan. “Sebelum Papa pindah, ada sesuatu yang kamu pengen? Untuk Papa beliin mungkin?”

Mendengar pertanyaan Papa, Haris mendadak berpikir keras. “Kemarin Haura minta teddy bear raksasa, udah Papa beliin,” ucap Papa. “Hanum cerita laptop-nya rusak dan jadi sering pinjem punya kamu, udah Papa beliin yang baru.”

“Kamu, Kak?” tanyanya. “Mau apa? Bilang aja.”

Haris terdiam sesaat. Setelahnya, sebuah ide muncul di benaknya. “Tolong ambilin rapot bayangan Haris dan Hanum di sekolah, boleh?”

Alih-alih langsung menjawab, Papa justru menatap Haris bingung. “Nanti Mama gimana?”

“Mama lagi sibuk banget sampe beberapa bulan ke depan. Soalnya mau launching koleksi baru, Haris prediksi Mama nggak akan bisa dateng. Makanya Haris minta Papa yang ambilin. Itu juga kalo Papa bisa,” ucapnya.

“Bisa, Papa pasti bisa. Kasih tau aja kapan, Papa pasti dateng,” sahut Papa. Maka Haris tersenyum puas di tempatnya.

Setelahnya Papa menyerahkan sebuah tas belanja dengan logo centang yang Haris kenali sebagai merk produk olahraga yang sangat ia gemari. Meski bingung, Haris tetap menerima dan mengintip isinya. Terdapat sekotak sepatu yang entah bagaimana model dan ukurannya. “Karena Papa takut kamu nggak mau nemuin Papa, jadi Papa antisipasi beliin kamu hadiah.”

Dengan senyuman tipis, Haris menatap Papa seraya menahan tawanya. “Sepatu Haris udah banyak, Pa.”

Papa turut terkekeh, “Iya ya? I don't know, satu hal yang ada di otak Papa saat mikirin kamu tuh cuma sepatu. Inget dulu kamu selalu coba-coba make sepatu Papa setiap pulang kerja. Biarpun kegedean tapi tetep aja dipake jalan ke manapun. Mau jatoh, mau kesandung, mau siapapun nyuruh kamu copot, kamu nggak pernah dengerin.”

Keduanya sama-sama menertawakan memori yang sama. Hingga raut wajah Papa berubah sendu. “You've been trying so hard to put yourself in my shoes, Kak. Dari kecil sampai sekarang, selalu begitu. Walaupun terlalu besar, sering bikin kamu kesandung, sering bikin kamu jatuh, kamu tetep nggak nyerah. Papa cuma mau bilang satu, kamu mengisi peran Papa lebih baik dari Papa sendiri. And i'm super proud of you.

Haris tertegun untuk kesekian kali. Netranya berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ia kendalikan agar tidak menangis. “Papa minta maaf, for the person you have to become when i left. Sudah, cukup sudah kamu mengisi peran Papa. Now it's time to put yourself in your own shoes. I'll put myself in mine. Untuk kalian semua, termasuk kamu,” ucap Papa. “Jadi anak sulung Papa, jangan berdiri sendirian. Jadikan Papa sandaran kamu. Boleh, Kak. Udah cukup kamu menanggung semuanya sendirian, semua yang terlalu berat di hidup ini, biar jadi tugas Papa. Kamu, nikmati masa remaja kamu.”

Gagal, gagal sudah upayanya untuk menahan air matanya. Tepat setelah Papa memintanya menjadikan dirinya sandaran bagi Haris, anak sulungnya itu langsung mengamini tanpa adanya sedikit penolakan. Hari itu, Haris membiarkan air matanya jatuh setelah tersimpan untuk sekian lama. Jagoan yang sama, yang menangis di hadapan Papa ketika kakinya terantuk ujung sepatu hingga membuat dahinya terluka. Jagoan yang sama, yang pada akhirnya berhenti menangis dan menjadi lebih kuat setelah menerima uluran tangan Papa.

I hope the shoe fits.

Haris mengangguk pelan setelah mengusap air matanya. Pemuda itu menghela napasnya lega, “Makasih, Pa.”

Promise me to have fun, will ya?” ucap Papa.

And so do you?

Papa mengangguk yakin, maka Haris pun menyetujui janji dengan Papa. Untuk selalu bersenang-senang dengan hidupnya. Menjadi remaja yang rasanya sama sekali tak memiliki beban hidup. Hari itu, seakan seluruh beban di pundaknya diangkat seluruhnya. Haris tak pernah merasa lebih bahagia dan lega dari hari ini.

“Boleh Haris minta satu lagi?”

“Apa, Kak?”

“Jam tangan Papa.”

Otomatis Papa melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. “Ini? Ini udah lama, nggak mau Papa beliin yang baru aja? Atau yang lain deh, yang lebih bagus, nanti Papa bawain dari rumah.”

Haris menggeleng dengan sudut bibir terangkat, “Ini aja.”

Tak punya pilihan lain, Papa pun melepas arloji miliknya. Setelahnya memberikannya pada Haris dengan sukarela. Sejujurnya Permintaan Haris sangatlah sederhana, namun rasanya begitu penuh teka-teki. Berbeda dengan kedua adiknya yang langsung tahu apa yang mereka butuhkan, Haris terlihat seperti menembak asal semua permintaannya. Namun, lagi-lagi Papa tidak protes. Sebab keduanya sama. Sebagaimana Papa yang memiliki filosofinya sendiri di balik sepatu pemberiannya kepada Haris, pemuda itu memiliki filosofinya sendiri akan jam tangan yang ia minta dari Papa.

“Papa bilang, Papa hutang waktu sama Haris. Selama jam tangan ini masih berdetik, semuanya Haris anggap lunas,” ucapnya. “Let's just live in the moment and move forward, Capt.

Papa tersenyum tipis, menampilkan seringai yang sama dengan yang Haris tampilkan pada wajahnya. Dalam hati keduanya merasakan kehangatan yang sama. Haura tidak salah ketika mengatakan bahwa keduanya benar-benar mirip. Fisiknya, tingkah lakunya, isi kepalanya.

Mana mungkin Haris bisa membenci Papa? Mana mungkin Haris bisa membenci belahan jiwanya? Semua itu hanya muncul karena manipulasi keadaan. Semua itu hanya muncul karena kekesalannya sebab dipaksa dewasa sebelum waktunya. Semua itu—rasanya hanya seperti amarah dan kesedihan sesaat ketika dirinya tersandung saat memakai sepatu Papa yang kebesaran.

Haris tak pernah membenci Papa. Tak akan pernah bisa. Sebab Haris dan Papa adalah dua yang tak bisa dipisahkan. Keduanya, adalah wujud nyata dari perumpamaan buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Atau lebih tepatnya—

Like father, like son.

“Papa!” panggil Haris pada seorang pria dengan kulit putih dan tatanan rambut yang sama dengan miliknya. Yang membedakan hanyalah belahan rambut keduanya. Satu belah kanan, satu lagi belah kiri.

Haris menarik kursi di hadapan sang ayah. Menyeka sedikit keringat jagung yang membasahi pelipisnya. “Maaf terlambat, tadi ada urusan mendadak,” ucapnya.

Setelahnya, hening mengisi. Haris sibuk membenahi posisi duduknya hingga mendapatkan posisi nyaman, sementara di hadapannya, Papa sama sekali tak melepaskan pandangannya dari wajah sang anak sulung. Tanpa Haris tahu, dalam benak sang ayah muncul banyak pertanyaan. Sudah berapa lama ia meninggalkan jagoan kecilnya? Hingga tubuh mungilnya kini berubah menjadi postur tinggi menjulang. Sudah tahun berapa ini? Hingga anak sulungnya kini sudah memiliki suara bariton yang membuatnya semakin gagah.

“Kak?” panggil Papa. Haris mendongak, kala itu ia menyadari bahwa Papa begitu terpana melihatnya. Netra yang yang terlihat sama dengan miliknya itu berkilat, Haris tahu bahwa Papa sedang menahan air matanya.

“Ya?”

“Haura... Memang bilang kalau Papa mirip sama kamu, tapi Papa nggak nyangka kalau semirip ini,” balasnya. Haris tersenyum tipis—nyaris tidak terlihat. Diam-diam ia membenarkan ucapan Papa dalam hati. Sejujurnya saat ini pun ia merasa seperti sedang berkaca. Cukup aneh rasanya melihat duplikat dirinya di depan mata.

“Apa kabar, Kak?”

“Baik.”

Papa mengangguk pelan. Canggung. “Kamu mau pesen makan dulu, Kak?”

Haris menggeleng, “Ngobrol dulu aja, Pa. Haris udah makan.”

Papa lagi-lagi hanya bisa mengangguk mendengar balasan Haris yang selalu tegas dan seakan menutup diri. Namun ia tak bisa menyalahkan Haris, sebab dirinya tahu betul bahwa anak sulungnya sama sepertinya. Tidak suka basa-basi.

“Papa kenapa terus-terusan nunggu Haris? Katanya udah mau pindah? Ngapain dibatalin gitu?” tanyanya bertubi-tubi.

Haris mendapati Papa menggendikkan bahu. Sekon berikutnya sang ayah menjawab, “Karena kamu pantas ditunggu.”

“Kalo Haris tetep nggak mau nemuin Papa, Papa nggak jadi pindah? Pasti tetep pindah juga, kan?” tanya Haris ketus.

Hening. Cukup lama sebelum Papa berhasil menjawab pertanyaan Haris. Membuat pemuda itu memalingkan wajahnya, sedikit kecewa. Sekon berikutnya, Papa menghela napas sebelum akhirnya kembali membuka suara.

“Hanum kemarin bilang kalo Kak Haris masih butuh waktu,” ucap Papa. “Maka Papa tunggu. Bahkan kalo itu artinya sampe tahun depan, Papa akan tunggu. Lagipula rasanya nggak pantes Papa protes karena dibuat nunggu terlalu lama. Papa hutang waktu sama kamu, maka ketika kamu minta waktu, pasti Papa kasih.”

Haris mendongak, menatap Papa tepat di matanya. Tak bisa dipungkiri bahwa jawaban sang ayah berhasil membuatnya tertegun untuk benerapa detik. Namun segera ia kendalikan. “Papa ketemu mau pamitan maksudnya?”

Pria di hadapan Haris itu menggeleng, “Papa memanfaatkan kesempatan terakhir untuk ketemu lagi sama anak-anak Papa.”

“Oh,” sahut Haris seraya tertawa sarkas. “Masih nganggep?”

Papa meneguk ludahnya. Bertemu dengan Hanum dan Haura terasa jauh lebih mudah dibanding hari ini. “Papa minta maaf baru nemuin kalian sekarang. Tapi satu hal yang harus kamu tau, selamanya Papa akan anggap kalian anak-anak Papa,” ucapnya. “Selama ini bukan Papa nggak peduli, Kak. Papa takut dan nggak tau harus mulai dari mana. Papa takut kalian nggak nerima Papa lagi. Apalagi Haura...”

Lagi-lagi Haris tertawa getir, “Papa tau nggak dulu Hanum selalu tidur di depan jendela?”

Ucapan Haris berhasil membuat Papa menatapnya terkejut. “Nggak ada yang benci Papa. Justru dari dulu Haris sama Hanum selalu nunggu Papa. Kita nggak pernah kecewa karena Papa pergi, Haris sama Hanum kecewa karena Papa nggak pernah pulang lagi.”

“Maaf, Papa emang pengecut,” ucapnya seraya tertunduk.

“Sama, Haris juga.”

Ucapannya berhasil membuat Papa kembali menatap ke arahnya. “Haris juga nggak tau gimana mulainya lagi,” lanjut Haris. “Dulu Haris marah karena Papa pergi. Rasanya kosong, kayak ada yang janggal. Sekarang Papa balik lagi, Haris marah lagi. Karena rasanya juga janggal. Haris udah terbiasa tanpa Papa, nggak tau gimana mulainya lagi kalo sekarang ada Papa lagi.”

Papa mengangguk pelan, “Kalo gitu kita cari caranya sama-sama ya, Kak? Kayak dulu waktu kita sama-sama cari cara jagain Hanum.”

Ah, Haris rasanya ingin menangis sekarang. Benar apa yang diucapkan teman-temannya, gumpalan itu memang hanya bisa disembuhkan jika ia menemukan sumbernya. Haris pun tak berbohong kala ia mengatakan bahwa semuanya terasa seperti rumah lama yang ia tinggali sesaat setelah ia memutuskan untuk bertemu Papa. Serasa puing-puing rumahnya yang dulu hancur itu kini tersusun kembali dari awal. Sebagaimana ia dan Papa sekarang membangun pondasi dari awal.

“Terus setelah caranya ketemu, Papa pergi lagi?”

“Kali ini enggak. Papa janji. Gimanapun caranya, meskipun jauh, Papa nggak akan ninggalin kalian lagi,” jawab Papa.

“Terus gimana?” tanya Haris.

“Kita kenalan lagi ya, Kak? Kemarin Papa udah kenalan sama Hanum dan Haura, sama kamu belum,” balasnya. Haris menahan senyumnya, tak bisa dipungkiri bahwa hatinya menghangat kala itu. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk, toh ia pun sudah bertekad akan berdamai dengan masa lalu. Hidup harus terus berjalan, dan inilah caranya.

“Oke,” Haris membalas seadanya. Membuat sebuah sumringah terbit di wajah Papa. Kini giliran Haris untuk tertegun, sudah berapa lama ini? Hingga wajah Papa yang dulu selalu ia puja sebagai wajah paling tampan di dunia kini memiliki sedikit kerutan di ujung mata. Seberapa sulitkah pekerjaannya? Hingga begitu banyak kerutan yang tercetak jelas di dahi Papa. Mungkin memang benar, Haris harus berkenalan lagi dengan sosok Papa yang sekarang. Seseorang yang sama, namun terasa baru baginya.

“Apa kabar jagoan Papa?” Papa bertanya dengan suara lembut. Seperti waktu dulu, ketika menemui Haris di depan pintu saat malam sepulangnya kerja. Sesaat sebelum Haris kecil dengan antusias merebut sepatu kerja Papa dan memaksakan kedua kaki kecilnya untuk muat ke dalam sana. Membuatnya tak jarang tersandung hingga membentur lantai, tak heran jika luka paling banyak ia dapatkan ketika kecil adalah pada dahinya.

“Baik, pusing sekolah aja sedikit. Tapi masih bisa ketawa kok. Haris punya temen ada tiga, semuanya ngawur!” ucapnya ceria. Tak ada lagi seluruh pertahanan yang ia pasang pada awal pertemuan. Suasana kini mulai mencair di antara kedua lelaki itu. Haris bercerita dengan antusias namun tetap dalam balutan ketenangan sikapnya, sebagaimana yang ia lakukan dulu ketika masih kecil. Ketika Mama dan Papa menanyakan bagaimana harinya berjalan di sekolah.

“Rekor, Pa, Haris pernah diskors!” ucapnya bangga.

“Serius, Kak? Kok bisa?”

“Ada lah, urusan lelaki,” ucapnya. Enggan membahas lebih lanjut perihal kejadian itu. Kali ini bukan karena Gio, sebab dirinya baru saja berdamai dengan pemuda itu. Kali ini, lebih tepatnya, Haris tak ingin membahas perihal Gia.

“Terus Mama marah nggak?”

“Nggak, Mama ngerti masalahnya kok. Gitu deh, Pa, pokoknya. Ribet, biasa lah, masalah siapa yang punya power. Makanya Haris diskors,” balas Haris. “Tapi udah damai kok, tenang aja.”

“Syukur kalo begitu... Mulai sekarang kalo butuh apa-apa yang bersangkutan sama kayak gitu-gituan, jangan sungkan-sungkan hubungi Papa. Ya?”

“Pasti,” jawabnya. Tentu, jangan lupakan bahwa seorang Haris bukan berasal dari keluarga sembarangan. Biar bagaimanapun juga ia adalah anak dari seorang perancang busana ternama dan seorang direktur SDM salah satu perusahaan perminyakan milik negara. Power bukanlah sesuatu yang tidak ia miliki. Ia bisa saja dengan mudah berlaku lebih sombong dari seorang Giovanno Sadewa, namun Haris tetaplah Haris. Bodo amat adalah nama tengahnya.

“Kapten gimana kabarnya?” Kini Haris balik bertanya. Sebagaimana Papa menggunakan panggilan kesayangannya, Haris menggunakan panggilan yang biasa ia gunakan untuk memanggil sang ayah dulu.

Papa sedikit tercengang, namun pada akhirnya tawanya lepas juga. “Selalu baik. Sangat baik hari ini karena udah ketemu Kak Haris.”

Haris mengulas sebuah senyuman manis yang selama ini tak pernah ia tampilkan. Setelahnya ia berucap dengan tulus, “Makasih udah mau nunggu Haris, Pa. Maaf Haris jadi bikin plan Papa berantakan, Haris terlalu kurang ajar jadi anak.”

Dibalasnya ucapannya itu dengan sebuah gelengan cepat, “Nggak, Kak. Papa ngerti kalo kamu butuh waktu, that's all. Kamu nggak kurang ajar, kok. Papa yang mau nunggu kamu, Papa yang terima kasih karena kamu mau ketemu Papa.”

Tak ada jawaban, Haris hanya tersenyum canggung. Selama ini Haris selalu bertanya pada dirinya sendiri, perihal alasan yang membuatnya enggan bertemu dengan Papa. Apakah karena ia terlalu benci sebab Papa meninggalkannya? Atau apakah kebenciannya justru hadir karena Papa kembali datang setelah ia berhasil membentuk dirinya menjadi seorang yang tangguh?

Jawabannya—bukan keduanya. Sebab Haris sama sekali tidak pernah membenci Papa. Malahan, pemuda itu merindukan sang ayah. Yang membuatnya enggan bertemu kembali adalah ketakutannya yang begitu dalam. Haris takut, ketika bertemu dengan Papa, beliau akan menjadi seorang yang lain. Haris takut akan menemukan kebahagiaan lebih besar yang sengaja Papa pamerkan kepadanya setelah beliau memiliki keluarga barunya. Haris tak pernah membenci, ia hanya cemburu. Pada kehidupan baru yang ayahnya miliki.

Namun semua sirna, setelah ia menemui Papa dan mendapati bahwa beliau masih sosok Papa yang sama. Yang selalu menganggapnya jagoan—paling hebat dan paling berani seantero ruang tamu. Yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan 'Kak Haris'.

Ah, andai Papa tak pergi hari itu, maka ia akan melihat betapa sang anak sulung tumbuh sesuai dengan julukan yang beliau berikan. Jagoan kecilnya tak hanya menjadi paling hebat seantero ruang tamu sekarang, melainkan seantero penjuru sekolah. Pesona dan kharismanya menyebar ke segala arah, di manapun kakinya berpijak. Membuatnya disegani dan begitu dihormati.

'Kak Haris' kecil milik Papa pun kini benar-benar tumbuh menjadi seorang kakak yang begitu mengayomi dan bijaksana. Seakan kedua tangannya dapat berikan naungan paling nyaman untuk adik-adiknya.

Andai saja kala itu Papa tak meninggalkan rumah. Maka ia akan tahu bahwa Haris-nya, tumbuh sebagaimana doa-doa yang ia langitkan.

“Kak,” seru Papa pelan. “Sebelum Papa pindah, ada sesuatu yang kamu pengen? Untuk Papa beliin mungkin?”

Mendengar pertanyaan Papa, Haris mendadak berpikir keras. “Kemarin Haura minta teddy bear raksasa, udah Papa beliin,” ucap Papa. “Hanum cerita laptop-nya rusak dan jadi sering pinjem punya kamu, udah Papa beliin yang baru.”

“Kamu, Kak?” tanyanya. “Mau apa? Bilang aja.”

Haris terdiam sesaat. Setelahnya, sebuah ide muncul di benaknya. “Tolong ambilin rapot bayangan Haris dan Hanum di sekolah, boleh?”

Alih-alih langsung menjawab, Papa justru menatap Haris bingung. “Nanti Mama gimana?”

“Mama lagi sibuk banget sampe beberapa bulan ke depan. Soalnya mau launching koleksi baru, Haris prediksi Mama nggak akan bisa dateng. Makanya Haris minta Papa yang ambilin. Itu juga kalo Papa bisa,” ucapnya.

“Bisa, Papa pasti bisa. Kasih tau aja kapan, Papa pasti dateng,” sahut Papa. Maka Haris tersenyum puas di tempatnya.

Setelahnya Papa menyerahkan sebuah tas belanja dengan logo centang yang Haris kenali sebagai merk produk olahraga yang sangat ia gemari. Meski bingung, Haris tetap menerima dan mengintip isinya. Terdapat sekotak sepatu yang entah bagaimana model dan ukurannya. “Karena Papa takut kamu nggak mau nemuin Papa, jadi Papa antisipasi beliin kamu hadiah.”

Dengan senyuman tipis, Haris menatap Papa seraya menahan tawanya. “Sepatu Haris udah banyak, Pa.”

Papa turut terkekeh, “Iya ya? I don't know, satu hal yang ada di otak Papa saat mikirin kamu tuh cuma sepatu. Inget dulu kamu selalu coba-coba make sepatu Papa setiap pulang kerja. Biarpun kegedean tapi tetep aja dipake jalan ke manapun. Mau jatoh, mau kesandung, mau siapapun nyuruh kamu copot, kamu nggak pernah dengerin.”

Keduanya sama-sama menertawakan memori yang sama. Hingga raut wajah Papa berubah sendu. “You've been trying so hard to put yourself in my shoes, Kak. Dari kecil sampai sekarang, selalu begitu. Walaupun terlalu besar, sering bikin kamu kesandung, sering bikin kamu jatuh, kamu tetep nggak nyerah. Papa cuma mau bilang satu, kamu mengisi peran Papa lebih baik dari Papa sendiri. And i'm super proud of you.

Haris tertegun untuk kesekian kali. Netranya berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ia kendalikan agar tidak menangis. “Papa minta maaf, for the person you have to become when i left. Sudah, cukup sudah kamu mengisi peran Papa. Now it's time to put yourself in your own shoes. I'll put myself in mine. Untuk kalian semua, termasuk kamu,” ucap Papa. “Jadi anak sulung Papa, jangan berdiri sendirian. Jadikan Papa sandaran kamu. Boleh, Kak. Udah cukup kamu menanggung semuanya sendirian, semua yang terlalu berat di hidup ini, biar jadi tugas Papa. Kamu, nikmati masa remaja kamu.”

Gagal, gagal sudah upayanya untuk menahan air matanya. Tepat setelah Papa memintanya menjadikan dirinya sandaran bagi Haris, anak sulungnya itu langsung mengamini tanpa adanya sedikit penolakan. Hari itu, Haris membiarkan air matanya jatuh setelah tersimpan untuk sekian lama. Jagoan yang sama, yang menangis di hadapan Papa ketika kakinya terantuk ujung sepatu hingga membuat dahinya terluka. Jagoan yang sama, yang pada akhirnya berhenti menangis dan menjadi lebih kuat setelah menerima uluran tangan Papa.

Haris mengangguk pelan setelah mengusap air matanya. Pemuda itu menghela napasnya lega, “Makasih, Pa.”

Promise me to have fun, will ya?” ucap Papa.

And so do you?

Papa mengangguk yakin, maka Haris pun menyetujui janji dengan Papa. Untuk selalu bersenang-senang dengan hidupnya. Menjadi remaja yang rasanya sama sekali tak memiliki beban hidup. Hari itu, seakan seluruh beban di pundaknya diangkat seluruhnya. Haris tak pernah merasa lebih bahagia dan lega dari hari ini.

“Boleh Haris minta satu lagi?”

“Apa, Kak?”

“Jam tangan Papa.”

Otomatis Papa melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. “Ini? Ini udah lama, nggak mau Papa beliin yang baru aja? Atau yang lain deh, yang lebih bagus, nanti Papa bawain dari rumah.”

Haris menggeleng dengan sudut bibir terangkat, “Ini aja.”

Tak punya pilihan lain, Papa pun melepas arloji miliknya. Setelahnya memberikannya pada Haris dengan sukarela. Sejujurnya Permintaan Haris sangatlah sederhana, namun rasanya begitu penuh teka-teki. Berbeda dengan kedua adiknya yang langsung tahu apa yang mereka butuhkan, Haris terlihat seperti menembak asal semua permintaannya. Namun, lagi-lagi Papa tidak protes. Sebab keduanya sama. Sebagaimana Papa yang memiliki filosofinya sendiri di balik sepatu pemberiannya kepada Haris, pemuda itu memiliki filosofinya sendiri akan jam tangan yang ia minta dari Papa.

“Papa bilang, Papa hutang waktu sama Haris. Selama jam tangan ini masih berdetik, semuanya Haris anggap lunas,” ucapnya. “Let's just live in the moment and move forward, Capt.

Papa tersenyum tipis, menampilkan seringai yang sama dengan yang Haris tampilkan pada wajahnya. Dalam hati keduanya merasakan kehangatan yang sama. Haura tidak salah ketika mengatakan bahwa keduanya benar-benar mirip. Fisiknya, tingkah lakunya, isi kepalanya.

Mana mungkin Haris bisa membenci Papa? Mana mungkin Haris bisa membenci belahan jiwanya? Semua itu hanya muncul karena manipulasi keadaan. Semua itu hanya muncul karena kekesalannya sebab dipaksa dewasa sebelum waktunya. Semua itu—rasanya hanya seperti amarah dan kesedihan sesaat ketika dirinya tersandung saat memakai sepatu Papa yang kebesaran.

Haris tak pernah membenci Papa. Tak akan pernah bisa. Sebab Haris dan Papa adalah dua yang tak bisa dipisahkan. Keduanya, adalah wujud nyata dari perumpamaan buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Atau lebih tepatnya—

Like father, like son.

Haris melajukan motornya dengan kecepatan normal menuju tempat yang ia pilih sendiri untuk bertemu dengan sang ayah. Pria itu tak berani melajukan motornya lebih cepat sebab jalanan masih macet lantaran banyak orang baru selesai salat jumat. Belum lagi pengendara yang seenaknya memotong jalan dan lawan arah, Haris yang baru selesai ibadah itu rasanya ingin mengumpat sekencang-kencangnya. Beruntung ia masih sayang pahala, maka setengah mati ia telan pahit-pahit segala hawa nafsunya untuk mengumpat dan mencaci maki.

Walaupun sejujurnya ia sangat-sangat mumet. Cuaca panas, kepala yang asapnya masih mengepul sebab baru saja selesai ujian, dan suara klakson yang bersahutan, adalah alasan yang sangat cukup untuk membuat Haris membatalkan janjinya untuk bertemu sang ayah. Namun melihat betapa Papa sangat ingin bertemunya sejak kemarin-kemarin, bahkan sampai rela membatalkan penerbangannya dan terus membuntutinya setiap pulang sekolah, lagi-lagi Haris berusaha bertahan dengan segala ujian yang ia hadapi sekarang.

Lampu lalu lintas berubah hijau, Haris kembali menancap gas dan mulai bernapas lega sebab akhirnya bisa sedikit terbebas dari kemacetan jalan raya. Pria dengan setelan celana abu-abu dan kaus hitam berbalut jaket levis beserta helm hitam itu kini bermanuver ke kiri, memasuki sebuah jalanan yang lumayan sepi.

Melihat kondisi jalanan yang aman dan cukup lowong, Haris mengambil kesempatan untuk mengusap wajahnya dengan tangan kirinya. Semuanya berjalan aman hingga tiba-tiba ada sebuah motor memotong jalannya dari arah kanan. Menukik dan berhenti tepat di hadapan Haris, membuat pria itu terlonjak dan terpaksa mengeluarkan makiannya sebab ia bisa saja terjatuh atau bahkan menabrak seseorang di hadapannya jika tidak sigap memegang setang motor dan menarik remnya.

“ANJ—GOBLOK—Astaghfirullahaladzim..”

Haris memberhentikan motornya, mengusap dadanya yang kini bergemuruh bagai ditabuhi genderang perang. Setelah merasa sedikit lebih tenang, Haris mengarahkan pandangannya pada pengendara yang dengan sengaja berhenti di depannya. Tunggu sebentar, rasanya ia mengenali motor itu..

Dilihatnya seorang pemuda yang rasanya sebaya dengan dirinya—hanya saja lebih pendek, tentunya—sedang melepas helm full face miliknya dan menyantolkannya di spion motornya yang kini sudah distandar miring. Haris mengerutkan alisnya, bertanya-tanya apakah dirinya sedang dihadang di tengah jalan.

Ketika pemuda itu berbalik, kedua bola mata Haris auto melotot. Berdiri di sana, berjalan dengan gayanya yang masih begitu sombong dan angkuh, seseorang yang hampir mencelakakan dirinya, Giovanno Sadewa.

“Apa kabar, Bang?” tanya Gio tengil. Setelah datang tanpa sopan santun, Gio bahkan masih bisa menampilkan seringai di wajahnya.

Kesal, Haris turut melepas helm miliknya dan lantas memaki Gio dengan segala amarahnya. “GILA LO YA?! Apa-apaan maksud lo nikung gue kayak tadi? Lo mau gue mati, hah?!”

Yang dimarahi akhirnya menghilangkan kesan angkuhnya. Kedua bahunya merosot dan kepalanya ditundukkan, bahkan kacamata hitam yang sedari tadi ia kenakan tepat setelah melepas helmnya itu turut ia tanggalkan. Menampilkan kedua mata merah nan sembab yang sontak membuat Haris kebingungan.

“Bang..” panggil Gio.

“APA LU BANG BANG?! Diem dulu, gue masih merasa mau mati! Orang gila lo emang! Lo sedendam itu sama gue, Gi?” tanya Haris. “Yo, maksudnya!” ucapnya lagi, meralat panggilan Gio sebab yang sebelumnya mengingatkannya pada seseorang.

“Gue minta maaf, Bang,” ucap Gio.

Haria menatap Gio tidak percaya, “Ya emang udah seharusnya lo minta maaf! Gue hampir mat—”

“Maksudnya minta maaf beneran...” potong Gio. “Ada yang mau gue omongin sama lo, Bang. Sebenernya udah dari lama gue pengen nyamperin lo di sekolah, tapi nggak bisa-bisa,” lanjutnya.

“Hah?” seru Haris, batal marah-marah sebab kini rasanya otaknya ikutan banting setir, mendadak bingung sebab mendengar Gio ingin meminta maaf. “Lo kesurupan, ya?” tanyanya asal.

“Kok kesurupan sih, Bang? Gue beneran mau minta maaf, nih! Gue mau ngomong sama lo. Hargai dong usaha gue! Gue dari berapa minggu yang lalu udah ngikutin lo mulu di sekolah, tapi nggak berani-berani nyamperin lo,” balas Gio.

“Hah, jadi, elo yang ngikutin gue?!” tanya Haris. Ada sedikit rasa kecewa menyeruak dalam dirinya sebab tebakannya salah. Rupanya bukan Papa yang membuntutinya selama ini, melainkan bocah di hadapannya.

Gio mengangguk, ia pun sudah tahu bahwa Haris akan menyadari itu. “Ada yang mau gue omongin, Bang,” ucapnya lagi.

“Nggak bisa, gue udah ada janji sama orang,” balas Haris. “Yang ini jauh lebih penting dari lo, nggak mungkin gue batalin gitu aja. Apalagi cara lo ngedatengin gue nggak sopan kayak gini. Lo tuh bener-bener nggak tau etika ya?”

“Gue mohon, Bang. Sebentar aja, abis ini gue nggak akan ganggu lo lagi,” balas Gio.

Haris mengerutkan keningnya, karena panas sekaligus bingung mendengar ucapan Gio. Sepenting itukah yang ingin ia bicarakan?

Pada akhirnya Haris menghela napasnya. “Ya udah, tapi gue cuma punya waktu setengah jam.”

Sebuah sumringah terbit di wajah Gio, setelahnya pemuda itu menoleh pada sebuah warung yang tak jauh. “Di situ ada warung, Bang. Kita ngobrol di sana aja gimana? Sekalian gue beliin minum deh, muka lo masih pucet banget..”

“Eh, bocah! Gue kasih tau ya, Valentino Rossi juga bakalan pucet kalo disalip kayak lo nyalip gue tadi,” kesal Haris. Sementara Gio hanya tertawa sebelum keduanya sama-sama melajukan motornya pelan ke sebuah warung terdekat.


Sorry ya, Bang,” ucap Gio tulus seraya menatap sungkan ke arah Haris yang meneguk air putih dingin hingga tersisa setengah botol.

“Gigi lu sorry!” balas Haris setelah berhasil menelan air minumnya. Masih kesal, sangat kesal. “Mau ngomong apa lo? Buruan, gue ditungguin orang!”

“Gue mau minta maaf—”

“Minta maaf mulu, bukan lebaran!” balas Haris.

“Lo jangan kesel gitu makanya, gue belom selesai ngomong!”

“Nggak bisa, gue emang kesel banget sama lo sumpah, dah!” sahut Haris jujur. “Tapi berhubung waktu gue nggak banyak, ya udah lah, gue dengerin.”

Gio akhirnya bisa merasakan udara segar masuk ke dalam paru-parunya sebab akhirnya Haris mau mendengarkan. Pun, ia tak perlu lagi merasa begitu takut lantaran Haris tak lagi menatapnya garang. Maka Gio memutuskan untuk memulai ucapannya.

“Sebenernya dari kemarin gue ngikutin lo terus karena gue masih mau bales dendam sama lo, Bang. Karena gue pikir lo bikin gue kehilangan semuanya,” ucap Gio. Di hadapannya, Haris mulai mendengarkan. “Tapi lo malah bikin gue sadar kalo—dari awal sebenernya gue nggak pernah punya apa-apa.”

Kening Harus semakin berkerut, “Emang gue ngapain?”

Alih-alih menjawab, Gio mengembuskan napasnya kasar. “Saat lo nonjok gue waktu itu, gue sama sekali nggak khawatir. Karena gue tau gue akan selalu menang. Dan bener aja, gue berhasil bikin lo diskors,” ujar Gio. “Gue pikir gue menang lagi kayak biasanya, tapi itu justru awal kehancuran gue. Mendadak semua temen gue laporan dan berujung gue dikeluarin. Gue nggak pusing, gue pikir Mami sama Papi masih bisa sekolahin gue di tempat yang lebih bagus, lebih mahal dari sekolah kita. Tapi ternyata gue salah. Bersamaan dengan dikeluarinnya gue dari sekolah, Papi dipecat.”

“Serius lo?”

Gio mengangguk lesu, “Gue sekarang belom sekolah lagi, Bang.”

“Bokap lo kenapa dipecat?” tanya Haris.

“Ketauan suap,” balas Gio. “Malu sebenernya bilangnya. Tapi ya... Emang gitu.”

Haris memundurkan tubuhnya terperangah. Ini benar-benar di luar dugaannya. Haris mengerti sekarang mengapa sejak dulu, meski keluarganya termasuk berada, kedua orang tuanya tak pernah membiasakan anak-anaknya—dirinya, untuk memegang banyak uang di saku. Sejak dulu uang jajannya selalu sama dengan teman-temannya, mainannya sejak kecil pun kebanyakan bukanlah barang mahal, melainkan buatan tangan Mama atau Papa yang dapat sekaligus melatih kecerdasan dan ketanggapannya.

Haris paham sekarang, dan ia merasa beruntung sebab sejak dulu kedua orang tuanya mengajarkan agar dirinya tak terlalu mendewakan harta. Sebab beginilah akhirnya, hasilnya ada di depan matanya sekarang. Seseorang yang selalu mendewakan harta hingga hartanya berhasil menjadikan dirinya seorang hamba.

“Kemarin waktu gue pulang, nggak sengaja denger tetangga pada ngomongin keluarga gue yang baru aja hancur itu. Ternyata mereka juga pada nggak suka sama keluarga gue, mereka seneng banget gue terpuruk. Katanya itu balasan yang setimpal untuk keluarga gue yang udah sering banget ngancurin hidup orang lain,” ucap Gio lesu, yang tak lain membuat Haris prihatin.

Diam-diam Haris membenarkan ucapan Gio dalam hati. Dalam benaknya mendadak terputar perkataan Adel yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki gilirannya untuk jatuh. Gilirannya sudah, mungkin sekarang adalah saatnya bagi Gio. Dan saat ini pemuda itu tak lagi bisa mengelak, kegagalan dan kejatuhannya dalam kehidupan kali ini tak lagi bisa ia tunda dengan seluruh hartanya.

“Jangan gitu lah, Yo! Namanya juga hidup, pasti ada naik turunnya. Nikmatin aja, jangan mikir macem-macem!” balas Haris. Bagaimanapun juga, sebagai yang lebih tua, Haris harus bersikap lebih dewasa. Maka ia mengesampingkan dendam dan amarahnya, memilih untuk memberi respon paling baik yang bisa ia berikan.

“Terus sekarang gimana keluarga lo survive?” tanya Haris lagi. Kali ini dengan gestur yang lebih santai dan tidak defensif. Berusaha membuat Gio lebih nyaman untuk bercerita.

“Nyokap masih ada pegangan uang, gue juga alhamdulilah masih megang uang hasil endorse beberapa bulan belakangan ini. Tapi nggak tai ke depannya gimana. Berita tentang bokap gue udah kesebar di media, banyak brand yang batalin kerja sama bareng gue, nggak tau lah...”

“Sabar,” ucap Haris. “Susah sih emang, tapi yakin aja pasti ada jalannya. Asal lo mau benahin diri lo, jangan ngulangin lagi kesalahan yang sama!”

Gio terkekeh pelan, “Lo kok masih mau nasehatin gue sih? Gue jahat loh sama lo? Sama Gia juga? Emang lo nggak dendam sama gue?”

Haris ikut tertawa pelan, “Tadinya. Tapi adek gue bilang hidup gue nggak akan tenang kalo terus-terusan hidup sama hati yang kayak gitu. Jadi, yang udah lewat ya udah biarin aja. Nggak usah terus-terusan ngerasa bersalah sama gue, santai aja.”

“Lo keren deh, Bang,” celetuk Gio tiba-tiba. Membuat Haris tersenyum bangga, “Iya emang.”

Gio mencibir, setelahnya melanjutkan kalimatnya. “Lo sama temen-temen lo maksudnya.”

Kali ini jawabannya sukses membuat Haris menautkan alisnya, “Kenapa?”

“Mereka—yang bikin gue sadar kalo sebenernya gue nggak punya apa-apa. Temen-temen gue selama ini ngedeketin gue karena harta doang, pas gue jatuh mereka malah nggak ada,” ucap Gio. “Tapi lo, lo selalu punya mereka apapun keadaan lo. Banyak yang belain lo juga lagi pas lo diskors. Gue nggak punya itu. Gue nggak punya orang yang beneran tulus sama gue.”

Haris tersenyum getir. “Banyak, Yo. Lo-nya aja nggak sadar. Lo punya lebih banyak dari gue, Yo. Di luar sana pasti banyak yang belain lo dan setia sama lo apapun keadaan lo. Lo cuma perlu lakuin apa yang gue bilang tadi, benahin diri lo dan jangan ulangin lagi kesalahan yang sama,” ucap Haris.

“Genggam harta lo dikit aja, biar tangan sama hati lo nggak kepenuhan untuk nampung hal-hal baik lain yang ada di dunia ini. Jangan lupa dibagi ke yang lain juga,” ucap Haris lagi.

Di hadapannya, Gio berhasil termenung sebelum akhirnya mengangguk pelan. Hening mengisi sementara sebelum akhirnya Gio kembali bersuara, “Menurut lo kesalahan gue di masa lalu bisa diperbaiki nggak, Bang?”

“Bisa,” balas Haris. Bisa.

“Asal lo mau,” balasnya lagi. Asal ada keinginan.

“Mau, tapi caranya gimana?” tanya Gio. Haris menghela napasnya seraya membenarkan posisi duduknya, “Buat kebaikan lebih banyak dari sekarang. Tobat yang bener, jangan nonton video yang nggak-nggak lagi lo!”

“IYA KAGAK!”

“Serius, serius,” balas Haris seraya tertawa. Sekon berikutnya, raut wajahnya kembali serius. “Buat kebaikan yang lebih banyak dari sekarang. Minta ampunan sambil berdoa sama Tuhan buat dipertemukan lagi sama orang-orang yang dulu lo hancurin hidupnya itu. Berdoa supaya hidup mereka sekarang udah lebih baik, berdoa supaya lo dikasih kesempatan untuk minta maaf dan nerima maaf mereka.”

“Tuhan nggak pendendam, Yo. Datengin aja, pasti lo disambut dengan baik,” ucap Haris lagi. Dan tanpa diduga, Gio mulai menangis. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengucek matanya, lama kelamaan tangisannya pecah dan menjadi semakin tersedu-sedu. Membuat Haris bingung sekaligus geli, “JAKH, lo kenapa nangis, anjrit?!”

“Jangan nangis, Yo, ya elah! Nanti gue dikira ngapa-ngapain lo!” ujar Haris.

Hiks! Nggak ada yang pernah bilangin gue sampe kayak lo gituu! Bokap gue aja nggak pernah!” ucap Gio disela tangisannya. Haris terkekeh geli dan hanya menggelengkan kepalanya takjub. “Hadeeh, suse ye anak mami,” canda Haris.

“Udah jangan nangis, omongan gue bukan buat ditangisin tapi dijadiin pelajaran,” ujar Haris lagi. “Minum nih, tenangin diri lo dulu.” Disodorkannya botol minum berisi air putih yang kini sudah berembun itu ke hadapan Gio, membiarkan lelaki yang lebih muda darinya itu meneguk habis sisa airnya agar lebih tenang dan berhenti menangis.

“Makasih ya, Bang. Makasih banyak sumpah!” ucap Gio. “Sorry kalo berlebihan, tapi gue beneran nggak pernah dinasehatin sampe se-menyentuh tadi. Makasih udah mau nemuin gue, Bang, maaf gue nyita waktu lo hari ini. Gue beneran berasa curhat sama abang sendiri.”

Haris mendelik tajam, “Siapa yang mau jadi abang lo?!”

Terkejut, Gio menatap Haris tanpa kedip. Ketakutannya kembali, ditambah lagi Haris yang kini sudah berdiri dari kursinya. Tepat di hadapannya. Namun, alih-alih sebuah pukulan atau tamparan, yang Gio dapatkan justru adalah sebuah usapan di kepala. Haris mengacak-acak rambut Gio yang sudah pemuda itu tata serapi mungkin, tak lupa menoyornya pelan. Benar-benar berlagak seperti seorang kakak laki-laki yang sedang bercanda dengan adiknya sendiri.

Kemudian seraya tertawa, Haris kembali bersuara. “Becanda,” ucapnya. Setelahnya Haris menyodorkan ponselnya di hadapan Gio, “Nih nomor gue. Catet, kalo perlu apa-apa bilang aja. Selama gue bisa bantu, pasti gue bantu.”

Secepat mungkin Gio berusaha memproses aksi Haris. Pemuda itu mengeluarkan ponselnya dan buru-buru menyimpan nomor Haris di kontaknya. Setelah selesai, Haris buru-buru pamit sebab ia memiliki janji lain. “Gue duluan ya, sorry nggak bisa lama-lama. Kapan-kapan ngobrol lagi aja,” ucapnya.

“Makasih banyak, Bang!”

“Santai!”

Gio tersenyum tipis setelah Haris melenggang melaluinya. Hari itu, setidaknya Gio menemukan satu hal setelah Tuhan merenggut semua yang dulu berada di genggaman tangannya. Ia menemukan satu, yang berhasil menunjukkannya sebuah ketulusan, dan apa yang lebih berharga dari seluruh hartanya.

Di sisi lain, Haris tersenyum tipis seraya memakai helm-nya. Pertemuan tak terduganya dengan Gio rupanya membuahkan hasil. Sebagaimana yang ia katakan pada Gio, kesalahannya di masa lalu dapat diperbaiki asalkan ia memiliki keinginan untuk memperbaikinya.

Itu artinya, hal yang sama berlaku untuk Papa. Maka Haris dengan senang hati melajukan motornya untuk menemui sang ayah. Membantunya untuk memperbaiki segala kesalahannya di masa lalu.

Satu hal yang pasti dalam hatinya, Haris tahu dirinya tak akan menyesal. Sebab pada akhirnya, ia memilih untuk berdamai dengan masa lalunya.

“Mau belajar apa?”

Damar menanyai ketiga temannya tepat saat mereka baru saja sampai. Membuat helaan napas panjang terdengar dari segala penjuru. “Belom juga naro pantat. Napas dulu kenapa, Dam!” keluh Haris.

Damar hanya terkekeh, tak marah sebab sudah hapal di luar kepala kelakuan ketiga temannya. Pria itu kini memilih untuk melipir ke dapur, untuk memberi mereka asupan air dingin untuk kembali menyegarkan diri setelah menempuh perjalanan dari sekolah ke rumah Damar yang panas.

Seluruh personel petantang-petenteng kini kompak menanggalkan seragam putih masing-masing, menyisakan kaus sederhana dengan warna berbeda yang digunakan sebagai kaus dalam. Cuaca hari ini cukup panas, membuat para remaja SMA yang baru saja pulang sekolah itu mendapati wajah-wajah lepek dan kusam—yang tetap tak dapat lunturkan pesona masing-masing.

Ojan bergerak lebih dulu, bangkit menuju pintu dan berniat untuk menutupnya lantaran takut adanya debu yang masuk ke dalam ruang tamu Damar. Namun niatnya segera ditahan oleh Haris, “Buka aja, Jan.”

“Iya, buka aja. Kalo ditutup bau apek, anjrit!” timpal Dhimas.

Ojan menoleh menatap kedua temannya, sebelah tangannya masih memegangi sebilah pintu kayu rumah Damar sementara tangan kanannya bertengger di pinggang. “Ya, nggak pa-pa. Nikmati lah hasil keringat lu sendiri.”

“Bukan begini maksudnya, berengsek! Bisa mati kebius kita semua di sini,” balas Dhimas. “Udah buka aja!”

Ojan pada akhirnya tertawa dan membiarkan pintu tetap terbuka lebar. Setelahnya ia mengambil tempat di sebelah Dhimas dan mengipas-ngipasi dirinya sendiri. “Udah gue bilang, Damar harusnya pasang AC aja di sini. Taro di atas kepala sini kalo bisa,” ucapnya ngawur.

“Lo mau bayarin listrik rumah gue emang?” tanya Damar yang kini datang dengan empat botol air putih dingin di tangannya. Membuat enam pasang mata yang melihatnya itu langsung berbinar. Bagaikan predator yang menangkap dan mengunci mangsa dengan matanya, Haris, Dhimas, dan Ojan dengan sigap menyerbu botol berisi air dingin itu.

Ojan meneguk air dingin miliknya sebelum membalas ucapan Damar. “Kan gue bilang, kita patungan. Gue dua ribu, lo semua sisanya,” katanya seraya tertawa.

Damar hanya menggelengkan kepala mendengar celetukan Ojan yang memang tidak pernah serius. Pria itu mendudukkan dirinya di sebelah Haris, bersandar pada sofa rumahnya. “Mau belajar apa dulu, Jan?” tanyanya.

“Belajar mengikhlaskan aja deh gue, Dam..” balasnya.


“Ini kenapa minus sih? Kenapa suka banget minus-minusin gini, dah? Lama-lama otak gue makin minus!”

Kalimat itu menjadi keluhan yang sudah tak terhitung jumlahnya yang keluar dari mulut Ojan lantaran perpindahan ruas pada persamaan matematika yang ia kerjakan. Di hadapan Damar dan Dhimas yang sudah mengerahkan segala strategi untuk mengajarkannya, Ojan kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ini tadi dari mana coba sekali lagi ayo kita bahas menggunakan kepala dingin dan musyawarah mufakat,” ucap Ojan yang langsung membuat Dhimas membanting pensilnya, menyerah. Kini tersisa Damar yang memiliki kadar kesabaran paling tinggi yang masih berjuang untuk membuat Ojan paham.

“Gini, bagian kanan ini tuh harus sama dengan nol. Makanya yang ada di kanan ini harus pindah ke kiri,” jelas Damar. Di hadapannya, Ojan hanya mengangguk sambil terus menyimak, berusaha mencerna penjelasan Damar ke dalam otaknya. “Nah, kalo yang tandanya plus jadi minus, yang tandanya minus jadi plus,” lanjut Damar lagi.

Bagaikan menemukan sebuah jarum yang ia cari di tumpukkan cerami, wajah Ojan bersinar cerah dengan kedua bola mata yang pancarkan binarnya. “HOOOOOOOOOO GITU??? Harus gitu selalu, Dam?”

“Iya,” balas Damar dengan raut wajah yang sudah bete abis. Namun untung-lah ia tetap mendapatkan hasil baik yang menjadi buah kesabarannya.

“Ya udah, udahan dulu aja lah, Dam,” ucap Ojan. “Gue liat-liat muka lo semua udah nggak bersemangat, padahal gue sangat-sangat antusias loh sekarang!”

Selesai dengan ucapannya, Ojan auto mendapat geplakan sayang dari Dhimas. Mendarat tepat di kepalanya. “Gaya, lu! Antusias, antusias,” cibir Dhimas. “Semua saksi mata juga tau lo dari tadi full ngang ngong ngang ngong!”

“Suudzon lu! Emang lu tau isi hati dan pikiran gue, Dhim? Tidak boleh berprasangka buruk begitu, kawan!”

“Sst! Dah, ah, berisik! Liat tuh temen lo bengong aja dari tadi,” ucap Dhimas seraya menunjuk Haris dengan dagunya. Membuat Damar dan Ojan otomatis menoleh ke arah Haris.

Yang menjadi pusat perhatian pun sontak tersadar. Haris menatap ketiga temannya dan langsung mengalihkan pembicaraan. “Udahan lo belajarnya?”

“Kita selesai udah dari dua hari yang lalu sih, Ris,” balas Ojan asal. “Ini balik lagi aja buat jemput lo yang masih bengong sendirian.”

“Ngarang lo!”

“Kenapa, Ris?” tanya Dhimas si paling peka. Pemuda itu langsung tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Haris saat matanya menangkap Haris yang melamun.

Haris terkejut sesaat sebelum akhirnya gelagapan sebab tak tahu harus menjawab apa. Ingin mengelak, namun ia tahu teman-temannya pasti menangkap kebohongannya. “Hah? Nggak,” jawabnya.

“Cerita aja lagi,” sahut Damar.

“Tau, lo! Sok banget ngumpet-ngumpetin gitu, nanti stress emang siapa yang repot?” balas Ojan.

“Siapa, Jan?” tanya Dhimas.

“Yang jelas sih bukan gue,” balas Ojan disusul kekehannya. Membuat Dhimas memutar matanya malas lantaran berekspektasi terlalu tinggi.

“Bapak gue ngajak ketemu,” celetuk Haris.

Sontak ketiga temannya itu menoleh melotot ke arahnya yang kini menunduk.

“SERIUS, RIS?!” Seperti biasa, Ojan memberi reaksi paling heboh. Sementara Haris di hadapannya kembali mendongak dan hanya menjawab lewat sebuah anggukan.

“Terus? Lo nggak mau ketemu gitu ceritanya? Hanum sama Haura gimana?” tanya Dhimas, si paling suka memberi tanggapan logis dan penuh pertimbangan.

“Hanum sama Haura justru udah ketemu. Tinggal gue,” jawab Haris.

“Lah mereka udah ketemu?” Ojan mengulangi pernyataan Haris. Memastikan bahwa dirinya tak salah dengar. Setelah Haris mengangguk, ia kembali bertanya. “Terus kenapa lo nggak ikut?”

Haris menghela napasnya, menyandarkan punggungnya di sofa dan meluruskan kedua kakinya pasrah. “Nggak tau...”

Hening mengisi ruang untuk sementara. Haris hanya diam sementara yang lain menunggu kelanjutan ceritanya. “Gue sebenernya juga kangen banget sama Papa. Pengen ketemu lagi, pengen ngobrol lagi—tapi itu dulu,” ucap Haris. “Sebelum gue terbiasa sama ketidakhadiran Papa. Sekarang gue udah gede, udah nggak butuh dia lagi.”

Damar tertawa tipis, “Yakin udah nggak butuh?”

“Yakin. Selama ini buktinya gue fine fine aja tanpa dia,” balas Haris.

“Menurut gue lo tuh cuma mati rasa aja, Ris. Bukan bener-bener ngelupain bokap lo,” sahut Damar lagi. “Iya, lo terbiasa tanpa dia, tapi lo belom bener-bener mengikhlaskan semuanya gitu. Lo cuma ngubur aja itu di dalem hati lo, jadi kayak menggumpal terus beku aja di dalem. Pasti lo ngerasa ganjel kan pas papa lo ngajak ketemu lagi? Tapi lo nggak tau apa yang ganjel?”

Tepat. Tepat sekali, tebakan Damar sangat akurat dengan apa yang Haris ingin utarakan. Hanya saja pemuda itu tak menemukan kata-kata yang tepat.

“Iya, bener banget. Nggak tau kenapa gue rasanya mau marah, tapi udah basi. Jadi males aja, tapi gue nggak ngerti kenapa adek-adek gue pada seneng banget ketemu dia,” sahut Haris.

“Ya, karena mereka—Hanum sih, kalo Haura kan belom tau ya. Karena Hanum udah mengikhlaskan semuanya. Dia tau kalo bawa-bawa dendam dari masa lalu itu juga nggak akan ngubah apapun di masa depan, dia tau kalo bawa-bawa dendam dari masa lalu justru cuma bikin masa depan lo stuck dan nggak maju-maju. Semuanya sia-sia, Ris. Lo bakal capek doang nantinya,” jawab Damar.

Haris resmi terdiam. Memang benar kata Ojan, Damar ini benar-benar memancarkan aura kebapakan. Entah bagaimana caranya temannya yang satu ini begitu dewasa hingga semua tutur kata yang meluncur dari bibirnya bisa begitu menenangkan dan menghangatkan. Bahkan rasanya Haris tak perlu jauh-jauh untuk mencari figur ayah yang dapat dicontoh.

“Saran gue sih, temuin aja, Ris,” balas Dhimas. “Gumpalan yang tadi Damar bilang itu nggak akan ilang kalo lo nggak temuin sumbernya. Kalo lo udah temuin sumbernya, nanti lo tau apa yang sebenernya lo rasain. Marah atau enggak, benci atau enggak, gitu-gitu deh.”

Lagi-lagi Haris menghela napasnya. “Harus banget, ya?”

“Mumpung masih ada, sih,” balas Dhimas lagi.

“Apanya?” tanya Ojan, benar-benar tidak mengerti sebab yang diucapkan Dhimas memang ambigu.

“Kesempatannya,” balas Dhimas juga. “Bokapnya juga. Coba kalo kayak gue sama Damar, lo cuma bisa nyesel doang tau, Ris.”

“Agak dark gitu ya pembicaraan ini..” timpal Ojan.

“Tapi betul, umur mana ada yang tau? Gue aja lagi haha-hihi tiba-tiba balik-balik Bapak nggak ada,” tambah Damar.

“Papa lo kenapa tiba-tiba mau ngajak ketemu, Ris?” tanya Ojan. “Tapi kalo nggak mau jawab, nggak pa-pa, sih.”

Haris memincingkan bibir, “Papa mau pindah sama keluarganya ke Makassar. Pindah tugas, disuruh ngurus kantor yang di sana. Nge-handle SDM yang di sana. Keluarganya udah pada di sana, dia doang masih di sini. Belagu banget orang kaya dua kali cancel flight.”

“Lu kan juga orang kaya! Waktu itu lo cerita Mama lo gabut terus tiba-tiba ke Paris sendirian,” balas Ojan tidak terima.

“Itu kan emak gue bukan gue. Gue mah nggak mampu begitu,” balas Haris.

“Tapi motor lu dua!”

“Kan emak gue yang beliin, bukan gue yang beli sendiri! Lo kenapa ngotot banget gue orang kaya sih, Jan?!”

“Ya, karena emang lo kaya!”

“Orang tua gue yang punya banyak duit, gue enggak—belom,” balas Haris, meralat sedikit ucapannya di bagian akhir.

“Sst! Kenapa jadi ributin kekayaan dunia gini? Semua juga tau di sini yang paling kaya tuh gue, soalnya gue selalu salat dua rakaat sebelum subuh. Dunia dan seisinya milik gue,” balas Dhimas bangga.

Kesal, Haris, Damar, dan Ojan otomatis melemparkan botol plastik masing-masing ke arah Dhimas. Membuat pria itu merintih kesakitan sebab dianiaya oleh ketiga temannya.

“Masuk neraka lu, bego! Kecatet dosa riya!” ucap Haris.

Selalu begitu dengan Petantang-Petenteng. Atmosfer hangat dan menyentuh hanya akan bertahan beberapa sekon sebelum salah satu dari mereka mulai berulah. Namun setidaknya, hari ini bukan hanya Ojan yang belajar sesuatu. Melainkan juga Haris.

Benar kata Hanum yang didukung Damar dan Dhimas, ia harus belajar melepaskan.

How can you not see that i'd be the Persephone to your Hades? I'd leave the world that is full of springs, gardens of amusing flowers— happiness—they said. I guess my happiness is a bit odd. I'd choose those raging flame rather than comforting springs. I'd choose gardens of thorns rather than the ones with amusing flowers. In other words—i'd choose to be with you.

I'd be the Persephone and you'll be my Hades. The God of The Dead, are you? Then explain, how do you make me feel alive? I'm out of my mind already, Because I see more butterfly here in the underworld than the place where i supposed to be.

This world is truly unjust, i would say. Even if i gave them fruits, flowers, trees, springs—happiness. They still see me as the weak one, mommy's girl. But you see me when i was broken. Took me to your place and make me the queen of the underworld. You showed me the better version of me. The strong one, the brave one. It is with you, that i can be my true self.

But this world is indeed unjust. They wouldn't let us be together forever. They said i could only be with you for a season. Nevermind, I'll make it winter so they can see how i see it.

So that they understand, Spring to me is just dull, Summer to me is just cold, Fall to me is when i couldn't hold in my longing, They might hate winter, but it's my favorite one eversince i met you.

Winter to me—feels iridescent and warm.

Because we're together on each sides.

Haris sedang melamun seraya meneguk sekaleng soda yang sedari tadi bersarang di tangannya ketika Adel secara tiba-tiba melemparkan satu bungkus makanan ringan dari atas. Rumah keduanya yang memang berhimpitan di komplek itu membuat Adel dan Haris sangat mudah untuk berinteraksi. Bahkan balkon kamar keduanya pun bersebelahan, membuat mereka seringkali mengobrol bersama ketika sama-sama susah tidur.

Haris mendongak hendak mengutarakan protes, namun Adel hanya tertawa. “Ngelamun aja, Bang? Ngobrol ngapa ngobrol!” ucapnya dengan suara cempreng khas Adelia.

“Ngapain sih lo?” tanya Haris jengkel.

“Gue join dong, boleh nggak? Gabut nih!” jawab Adel. Setelahnya Haris mendengus, namun akhirnya tetap memperbolehkan Adel untuk bergabung bersamanya. Biarkanlah, lagipula gadis itu pun sudah berbaik hati melemparinya camilan.

Tak perlu menunggu lama, Adel pun sampai pada gerbang rumah Haris yang langsung dibukanya tanpa perlu menunggu sang tuan rumah. Sebab toh, rumah Haris sudah seperti rumah sendiri baginya. Begitu pun sebaliknya.

Adel segera mengambil tempat di sisi Haris. Kemudian dengan cepat ia menyambar snack ciki berbentuk segitiga dengan rasa jagung bakar yang ia lemparkan tadi dan membuka bungkusannya lebar-lebar agar bisa dinikmati oleh keduanya. “Lo ngapain, Ris? Dari tadi gue pantau kagak masuk-masuk. Galau? Ada masalah? Lo nggak diskors lagi, kan?” tanya Adel bertubi-tubi. Kebiasaan, pikir Haris.

“Ngadem aja, emang nggak boleh?” tanya Haris.

“Boong banget, lo bisa ngadem di kamar lo pake AC. Ngapain repot-repot keluar segala?” sahut Adel seraya mengunyah.

Haris mendelik protes, “Lah, suka-suka gua, lah! Rumah rumah gue kenapa jadi lo yang ngatur?”

Adel terkekeh, “Oh iya. Bener juga.”

“Tapi iya sih, gue sebenernya lagi galau,” balas Haris.

“Yeh, si tol—”

“Mau dengerin gue nggak?” tanya Haris. Membuat Adel spontan mengangguk mengiyakan, namun yang pasti, bukan tanpa syarat.

“Tapi besok jemput gue sekolah, yak? Motor gue masuk bengkel lagi,” ucap Adel menodong.

“Iya.”

“Beli cimol tujuh rebu?”

“Iya.”

“Oke, proceed!”

Haris hanya bisa geleng-geleng kepala setiap kali Adel berlaku seperti ini. Namun dirinya tak pernah keberatan. Adel dan Haris memang partner jajan sejak kecil. Tak hanya Adel yang suka memalak, melainkan Haris pun sama. Seperti kemarin ketika studi banding ke sekolah yang kebetulan merupakan sekolah Adel, Haris dengan segera menghubungi Adel—awalnya untuk meminta Adel menyelamatkannya dari para perempuan yang secara terang-terangan mendekati Haris, namun berujung Haris meminta traktiran makan di kantin sekolah Adel.

“Jadi, gini—”

Belum sempat Haris mengeluarkan sepatah kata berikutnya, Adel terperangah akibat teringat sesuatu. “Tunggu!” ucapnya, membuat Haris menghentikan ucapannya bingung seraya mengangkat sebelah alisnya.

“Yang waktu itu lo tanyain ke gue tuh—bukan temen lo ya?! Itu elo, kan? Yang nyatain perasaan terus ditinggal kabur?!” tanya Adel menggebu-gebu.

Di hadapannya, Haris tersenyum miring. Ini lah yang membuatnya betah berteman lama dengan Adel. Gadis itu selalu bisa memahaminya meski hanya lewat kontak mata atau gestur kecil Haris. Plus, Adel selalu mengingat apapun yang Haris ceritakan.

“Iya, bener,” jawab Haris.

“Aah, jangan didengerin omongan gue waktu itu, Ris! Gue waktu itu bales cepet aja soalnya lagi hectic nugas. Lagian, lo juga nggak nyeritain konteksnya gimana. Jadi gue asal jawab aja, sorry banget,” jelas Adel.

Alih-alih kembali bangkit, semangat Haris justru kian merosot hingga titik paling bawah. Haris benar-benar sudah enggan berjuang. “Tapi gue nyerah aja deh, Del,” ucapnya. “Gue capek. Lagian kayaknya, keluarga gue emang nggak akan pernah beruntung kalo soal ginian.”

Haris menunduk tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya. Pemuda itu meneguk kembali sodanya hingga habis tak bersisa kemudian meletakannya asal di dekat kakinya. Membuat Adel meringis, rupanya itu bukan kaleng soda satu-satunya. Terbukti dari adanya dua kaleng soda lain yang turut berjajar di dekat kaki Haris. Ah, kalau sudah begini, tandanya Haris benar-benar patah hati.

Adel otomatis merebut kaleng soda yang baru saja Haris buka—yang hampir menjadi kaleng soda keempat yang akan pemuda itu habiskan. Setelahnya meletakannya jauh-jauh dari Haris. Ekspresi Adel berubah sekarang, gadis itu secara tiba-tiba menggertak Haris seraya memukul lantai teras rumah pemuda ifu sekeras-kerasnya.

“WOI!”

Haris bergidik, “Kaget gua, anj-”

“DENGERIN GUA YA! Lo jangan nyerah secepat itu dongg!!! Ris, look at me, look at me!” ucap Adel. Memutar paksa tubuh Haris ke arahnya seraya menjentikkan jari seakan berusaha mengembalikan kesadaran Haris.

You're THE Haris. Yang dari dulu, nggak pernah absen nerima pernyataan suka orang-orang bahkan sejak usia lo TUJUH tahun. Oke?” Adel berucap selayaknya ia adalah seorang pelatih yang sedang menatar anak didiknya. “Remember Vanessa? Waktu SMP? Primadona, dia udah kayak dewi banget tapi lo tolak gitu aja sampe lo dikatain GILA sama satu angkatan. Ris, come on!

“Gue nggak ngerti maksud lo,” jawab Haris jujur.

Adel berdecak sebal sebelum melanjutkan bicaranya. Setelahnya gadis itu menghela napasnya. “Dari dulu lo selalu nggak peduli sama siapapun yang suka sama lo. Lo selalu menghindar dari mereka dengan alasan yang sama. Lo nggak mau terjun ke dalam urusan percintaan karena takut berujung sama kayak orang tua lo,” ujar Adel. “Sekarang, gue nggak tau apa yang berhasil bikin lo akhirnya berubah pikiran dan berani terjun meladeni urusan percintaan pada usia lo sekarang. Tapi yang jelas, Ris, itu tandanya Gia hadir di saat yang tepat. Makanya lo nggak boleh nyerah gitu aja.”

Haris hanya diam. Sebab perkataan Adel selalu berhasil mengenai pikirannya tepat pada sasaran. Gadis itu berkata benar, sejak dulu Haris selalu menghindar dengan alasan ia harus selalu menjaga keluarganya. Setidaknya sampai kondisi mereka benar-benar baik dan stabil untuk berdiri sendiri tanpa bayang-bayang Papa.

Haris bahkan harus mendapat cibiran dari tiga angkatan di sekolahnya sebab menolak Vanessa mentah-mentah tak peduli seberapa keras gadis itu mencoba mendapatkan hatinya. Haris selalu mengatakan bahwa ia belum siap untuk membuka hatinya, mengingat kondisi keluarganya saat itu.

Namun sekarang, kondisi keluarganya sudah stabil. Sudah bisa berdiri sendiri tanpa bayang-bayang Papa. Bahkan Mama nampak jauh lebih bahagia dari yang pernah Haris tahu selama ini. Adel benar, Gia datang di saat yang tepat.

Let's not give up on love,” ucap Adel. “Apalagi ini yang pertama buat lo, jangan nyerah secepat itu.”

Haris menoleh, mengangkat sebelah alisnya. Mempertanyakan maksud dari kalimat yang baru saja Adel utarakan.

Adel terkekeh, entah tertuju pada Haris atau justru dirinya sendiri. “Once you had your first love and it didn't work, they became the standard of your upcoming love.

Haris sontak menoleh. Lagi-lagi perkataan Adel tepat. Haris tahu setelah ini ia takkan mencari lagi seorang yang lain untuk mengisi hatinya. Kalaupun ia harus mencari, pasti Haris akan mencari yang sama seperti Gia. Tapi akankah ada yang sama?

You'll never forget your first love tau, Ris. Don't give up on love, at least not this one,” ucap Adel lagi.

At least not this one.

“Fase mencintai tuh banyak kok, Ris. Dan itu nggak cuma berjuang aja. Kadang kita juga harus nunggu, harus ngasih waktu, sampe nanti tahap akhirnya, ngelepasin. Lo kan berjuang, udah. Walaupun lo nggak cerita sama gue detailnya gimana, tapi gue tau lo nggak bakal diem aja sementara perasaan lo makin besar setiap hari,” ujar Adel. “Nah, sekarang giliran lo nunggu. Mungkin ini juga pertama kalinya buat Gia, jadi dia nggak terbiasa. Mungkin Gia lagi berusaha buat adaptasi, menyesuaikan diri sama situasi kayak gini. Atau mungkin dia lagi mastiin perasaannya ke lo gimana, kayak waktu lo pas awal-awal suka sama Gia. Hang in there just a little bit more, okay?

Haris memandangi Adel penuh arti. Benar. Sejak awal ia hanya mempersiapkan pertempuran hingga sekarang tak ada lawan yang tersisa—kecuali dirinya sendiri.

You've waited for a lifetime to found someone like her. Masa mau dilepas gitu aja cuma karena ditinggal kabur pas nyatain perasaan lo? Segitu doang, Ris, tenaga lo?”

Haris terkekeh. Setuju, lagi-lagi ia setuju dengan apa yang Adelia katakan.

Maka Haris mengangkat dagunya sedikit, kemudian memamerkan senyum miring yang selama ini selalu Adel temukan setiap kali kepercayaan diri pemuda itu meningkat. Membuat Adel ikut tersenyum puas di hadapannya. Adel tahu, doktrinnya berhasil. Adel tahu, detik itu juga, Haris menarik kembali ucapannya.

Haris tidak akan menyerah,

tidak untuk yang satu ini.

Haris sedang melamun seraya meneguk sekaleng soda yang sedari tadi bersarang di tangannya ketika Adel secara tiba-tiba melemparkan satu bungkus makanan ringan dari atas. Rumah keduanya yang memang berhimpitan di komplek itu membuat Adel dan Haris sangat mudah untuk berinteraksi. Bahkan balkon kamar keduanya pun bersebelahan, membuat mereka seringkali mengobrol bersama ketika sama-sama susah tidur.

Haris mendongak hendak mengutarakan protes, namun Adel hanya tertawa. “Ngelamun aja, Bang? Ngobrol ngapa ngobrol!” ucapnya dengan suara cempreng khas Adelia.

“Ngapain sih lo?” tanya Haris jengkel.

“Gue join dong, boleh nggak? Gabut nih!” jawab Adel. Setelahnya Haris mendengus, namun akhirnya tetap memperbolehkan Adel untuk bergabung bersamanya. Biarkanlah, lagipula gadis itu pun sudah berbaik hati melemparinya camilan.

Tak perlu menunggu lama, Adel pun sampai pada gerbang rumah Haris yang langsung dibukanya tanpa perlu menunggu sang tuan rumah. Sebab toh, rumah Haris sudah seperti rumah sendiri baginya. Begitu pun sebaliknya.

Adel segera mengambil tempat di sisi Haris. Kemudian dengan cepat ia menyambar snack ciki berbentuk segitiga dengan rasa jagung bakar yang ia lemparkan tadi dan membuka bungkusannya lebar-lebar agar bisa dinikmati oleh keduanya. “Lo ngapain, Ris? Dari tadi gue pantau kagak masuk-masuk. Galau? Ada masalah? Lo nggak diskors lagi, kan?” tanya Adel bertubi-tubi. Kebiasaan, pikir Haris.

“Ngadem aja, emang nggak boleh?” tanya Haris.

“Boong banget, lo bisa ngadem di kamar lo pake AC. Ngapain repot-repot keluar segala?” sahut Adel seraya mengunyah.

Haris mendelik protes, “Lah, suka-suka gua, lah! Rumah rumah gue kenapa jadi lo yang ngatur?”

Adel terkekeh, “Oh iya. Bener juga.”

“Tapi iya sih, gue sebenernya lagi galau,” balas Haris.

“Yeh, si tol—”

“Mau dengerin gue nggak?” tanya Haris. Membuat Adel spontan mengangguk mengiyakan, namun yang pasti, bukan tanpa syarat.

“Tapi besok jemput gue sekolah, yak? Motor gue masuk bengkel lagi,” ucap Adel menodong.

“Iya.”

“Beli cimol tujuh rebu?”

“Iya.”

“Oke, proceed!”

Haris hanya bisa geleng-geleng kepala setiap kali Adel berlaku seperti ini. Namun dirinya tak pernah keberatan. Adel dan Haris memang partner jajan sejak kecil. Tak hanya Adel yang suka memalak, melainkan Haris pun sama. Seperti kemarin ketika studi banding ke sekolah yang kebetulan merupakan sekolah Adel, Haris dengan segera menghubungi Adel—awalnya untuk meminta Adel menyelamatkannya dari para perempuan yang secara terang-terangan mendekati Haris, namun berujung Haris meminta traktiran makan di kantin sekolah Adel.

“Jadi, gini—”

Belum sempat Haris mengeluarkan sepatah kata berikutnya, Adel terperangah akibat teringat sesuatu. “Tunggu!” ucapnya, membuat Haris menghentikan ucapannya bingung seraya mengangkat sebelah alisnya.

“Yang waktu itu lo tanyain ke gue tuh—bukan temen lo ya?! Itu elo, kan? Yang nyatain perasaan terus ditinggal kabur?!” tanya Adel menggebu-gebu.

Di hadapannya, Haris tersenyum miring. Ini lah yang membuatnya betah berteman lama dengan Adel. Gadis itu selalu bisa memahaminya meski hanya lewat kontak mata atau gestur kecil Haris. Plus, Adel selalu mengingat apapun yang Haris ceritakan.

“Iya, bener,” jawab Haris.

“Aah, jangan didengerin omongan gue waktu itu, Ris! Gue waktu itu bales cepet aja soalnya lagi hectic nugas. Lagian, lo juga nggak nyeritain konteksnya gimana. Jadi gue asal jawab aja, sorry banget,” jelas Adel.

Alih-alih kembali bangkit, semangat Haris justru kian merosot hingga titik paling bawah. Haris benar-benar sudah enggan berjuang. “Tapi gue nyerah aja deh, Del,” ucapnya. “Gue capek. Lagian kayaknya, keluarga gue emang nggak akan pernah beruntung kalo soal ginian.”

Haris menunduk tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya. Pemuda itu meneguk kembali sodanya hingga habis tak bersisa kemudian meletakannya asal di dekat kakinya. Membuat Adel meringis, rupanya itu bukan kaleng soda satu-satunya. Terbukti dari adanya dua kaleng soda lain yang turut berjajar di dekat kaki Haris. Ah, kalau sudah begini, tandanya Haris benar-benar patah hati.

Adel otomatis merebut kaleng soda yang baru saja Haris buka—yang hampir menjadi kaleng soda keempat yang akan pemuda itu habiskan. Setelahnya meletakannya jauh-jauh dari Haris. Ekspresi Adel berubah sekarang, gadis itu secara tiba-tiba menggertak Haris seraya memukul lantai teras rumah pemuda ifu sekeras-kerasnya.

“WOI!”

Haris bergidik, “Kaget gua, anj-”

“DENGERIN GUA YA! Lo jangan nyerah secepat itu dongg!!! Ris, look at me, look at me!” ucap Adel. Memutar paksa tubuh Haris ke arahnya seraya menjentikkan jari seakan berusaha mengembalikan kesadaran Haris.

You're THE Haris. Yang dari dulu, nggak pernah absen nerima pernyataan suka orang-orang bahkan sejak usia lo TUJUH tahun. Oke?” Adel berucap selayaknya ia adalah seorang pelatih yang sedang menatar anak didiknya. “Remember Vanessa? Waktu SMP? Primadona, dia udah kayak dewi banget tapi lo tolak gitu aja sampe lo dikatain GILA sama satu angkatan. Ris, come on!

“Gue nggak ngerti maksud lo,” jawab Haris jujur.

Adel berdecak sebal sebelum melanjutkan bicaranya. Setelahnya gadis itu menghela napasnya. “Dari dulu lo selalu nggak peduli sama siapapun yang suka sama lo. Lo selalu menghindar dari mereka dengan alasan yang sama. Lo nggak mau terjun ke dalam urusan percintaan karena takut berujung sama kayak orang tua lo,” ujar Adel. “Sekarang, gue nggak tau apa yang berhasil bikin lo akhirnya berubah pikiran dan berani terjun meladeni urusan percintaan pada usia lo sekarang. Tapi yang jelas, Ris, itu tandanya Gia hadir di saat yang tepat. Makanya lo nggak boleh nyerah gitu aja.”

Haris hanya diam. Sebab perkataan Adel selalu berhasil mengenai pikirannya tepat pada sasaran. Gadis itu berkata benar, sejak dulu Haris selalu menghindar dengan alasan ia harus selalu menjaga keluarganya. Setidaknya sampai kondisi mereka benar-benar baik dan stabil untuk berdiri sendiri tanpa bayang-bayang Papa.

Haris bahkan harus mendapat cibiran dari tiga angkatan di sekolahnya sebab menolak Vanessa mentah-mentah tak peduli seberapa keras gadis itu mencoba mendapatkan hatinya. Haris selalu mengatakan bahwa ia belum siap untuk membuka hatinya, mengingat kondisi keluarganya saat itu.

Namun sekarang, kondisi keluarganya sudah stabil. Sudah bisa berdiri sendiri tanpa bayang-bayang Papa. Bahkan Mama nampak jauh lebih bahagia dari yang pernah Haris tahu selama ini. Adel benar, Gia datang di saat yang tepat.

Let's not give up on love,” ucap Adel. “Apalagi ini yang pertama buat lo, jangan nyerah secepat itu.”

Haris menoleh, mengangkat sebelah alisnya. Mempertanyakan maksud dari kalimat yang baru saja Adel utarakan.

Adel terkekeh, entah tertuju pada Haris atau justru dirinya sendiri. “Once you had your first love and it didn't work, they became the standard of your upcoming love.

Haris sontak menoleh. Lagi-lagi perkataan Adel tepat. Haris tahu setelah ini ia takkan mencari lagi seorang yang lain untuk mengisi hatinya. Kalaupun ia harus mencari, pasti Haris akan mencari yang sama seperti Gia. Tapi akankah ada yang sama?

You'll never forget your first love tau, Ris. Don't give up on love, at least not this one,” ucap Adel lagi.

At least not this one.

“Fase mencintai tuh banyak kok, Ris. Dan itu nggak cuma berjuang aja. Kadang kita juga harus nunggu, harus ngasih waktu, sampe nanti tahap akhirnya, ngelepasin. Lo kan berjuang, udah. Walaupun lo nggak cerita sama gue detailnya gimana, tapi gue tau lo nggak bakal diem aja sementara perasaan lo makin besar setiap hari,” ujar Adel. “Nah, sekarang giliran lo nunggu. Mungkin ini juga pertama kalinya buat Gia, jadi dia nggak terbiasa. Mungkin Gia lagi berusaha buat adaptasi, menyesuaikan diri sama situasi kayak gini. Atau mungkin dia lagi mastiin perasaannya ke lo gimana, kayak waktu lo pas awal-awal suka sama Gia. Hang in there just a little bit more, okay?

Haris memandangi Adel penuh arti. Benar. Sejak awal ia hanya mempersiapkan pertempuran hingga sekarang tak ada lawan yang tersisa—kecuali dirinya sendiri.

You've waited for a lifetime to found someone like her. Masa mau dilepas gitu aja cuma karena ditinggal kabur pas nyatain perasaan lo? Segitu doang, Ris, tenaga lo?”

Haris terkekeh. Setuju, lagi-lagi ia setuju dengan apa yang Adelia katakan.

Maka Haris mengangkat dagunya sedikit, kemudian memamerkan senyum miring yang selama ini selalu Adel temukan setiap kali kepercayaan diri pemuda itu meningkat. Membuat Adel ikut tersenyum puas di hadapannya. Adel tahu, doktrinnya berhasil. Adel tahu, detik itu juga, Haris menarik kembali ucapannya.

Haris tidak akan menyerah, tidak untuk yang satu ini.

Agung menelisik wajah keponakannya yang sedari tadi menatap kosong ke sembarang arah. Entah sudah berapa hari ia menemukan Anggia melamun di depan teras rumahnya sendiri. Gadis itu bahkan mengabaikan kedatangan Agung yang selalu memandanginya dari jarak dekat dengan kedua alis yang bertautan.

“Ngeliatin paan, s—”

“HOAH ASTAGHFIRULLAH!!”

Gia terlonjak ketika menemukan Agung kini memandanginya dari jarak dekat. Kedua matanya yang memang belo itu membuat Gia semakin bergidik ngeri mengingat betapa intensnya tatapan Agung.

“Ngapain sih, Om? Ngagetin aja!”

Agung mendelik tak suka, “Elu yang ngapain! Ngelamun aja kerjaannya. Masuk, cepet! Emang nggak ngeri kesambet lo ngelamun di sini?”

Raut wajah Gia berubah lemas, gadis itu memalingkan wajahnya. “Om Agung aja yang masuk, Gia masih mau di sini dulu.”

Bingung, Agung semakin menautkan kedua alisnya. Namun sedetik kemudian ekspresinya berubah jahil, diarahkannya telunjuk panjangnya pada sang kepobakan. Menjawil pipi kiri Gia, “Hayooo, mau mejeng ya? Kamu beneran naksir anaknya Pak RT, kan?? Naksir Mas Yudi, kaan?!”

“Apa sih? Enggakk!” balas Gia defensif.

Agung tak membalas, pria itu kini ikut duduk di sebelah Gia. Menemani gadis itu guna menepis khawatirnya akan terjadi sesuatu pada Gia jika ia membiarkan gadis itu sendirian di luar malam-malam. Agung bahkan membawa kopi hitamnya keluar bersamanya. Padahal biasanya, setelah pulang kerja begini pria itu lebih memilih untuk menikmati kopinya seraya menonton siaran langsung pertandingan bola sambil mengeluarkan suaranya yang menggelegar hingga membuat Gia tak bisa tidur.

“Lo tuh nggak sekali dua kali loh, ngelamun gini, Gi,” ucap Agung sehabis menyesap kopinya. Diletakkan kembali mug keramik itu di meja di hadapannya sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Lagi ada masalah?” tanyanya lagi. “Udah dari kapan ya, Om ngeliat Gia ngelamun mulu gini?”

Gia menoleh lesu, menatap Agung yang juga menatap ke arahnya penuh tanya. Setelahnya ia kembali memalingkan wajahnya. Gia menunduk, namun sedetik kemudian ia kembali mendongak. Setelahnya ia kembali menatap Agung dan mengulangi kegiatan yang sama.

Agung berdecak sebal, “Ngapa si?! Lagi pemanasan lo begitu?”

Gia tak menjawab, gadis itu mengembuskan napasnya gusar. Disugarnya surai legam yang ia biarkan terurai, membuatnya berantakan persis penampilan orang yang sedang frustrasi. Namun bibirnya masih sanggup berbohong, maka ia membalas Agung. “Nggak, nggak pa-pa, kok. Nggak ada masalah.”

Agung tertawa meremehkan. “Ya elah, Gi. Gue kenal lo tuh udah dari orok, dari masih bayi merah juga gue tau lo kayak gimana,” ucapnya. “Ngomong aja, lagi ada masalah kan? Kenapa? Berantem sama temen?”

Gia menggeleng pelan. Setelahnya ia membuang napas untuk kesekian kalinya. Gadis itu bersumpah bahwa dirinya pasti sudah menangis jika Agung tak ada di hadapannya sekarang. Akhirnya Gia menyerah, toh, sampai kapan disembunyikan pun pasti om-nya itu akan tetap nenagihnya sampai Gia membeberkan ceritanya.

“Ya udah, Gia cerita. Tapi jangan diketawain! Deal?” ucapnya. Menyodorkan jari kelingkingnya sebagai tanda janji kesepakatan antara keduanya yang kemudian disambut oleh Agung.

Setelahnya Gia berdeham, membersihkan tenggorokannya sebelum bicara. “Jadi gini..” Gia memulai cerita. Di hadapannya, Agung siap mendengarkan—penasaran lebih tepatnya. Pria itu memang juara satu jika mendengar setiap gosip yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Bahkan Gia pun heran, om-nya itu bisa-bisanya mengetahui gosip tentang artis mana yang baru bercerai, artis mana yang baru terciduk memakai narkoba, bahkan tetangga mana yang digosipkan menggeluti pesugihan.

“Ada kakak kelas yang suka sama Gia—”

“Hah ada, Gi? Yang suka sama lo?” potong Agung cepat. Bukan iseng, melainkan pria itu benar-benar terkejut. Sebab Agung tahu bahwa seumur hidup Gia, temannya saja dapat dihitung jari. Gia juga tidak pernah bergaul dengan laki-laki hingga sedekat itu sampai-sampai membuatnya memikat hati.

Di hadapannya, alih-alih marah karena respon yang Agung berikan, Gia justru membulatkan bola matanya seraya menjentikkan jari. “IYA, KAN?! Kaget, kan?!”

“Iya, anjir! Ngarang nggak sih lo?” tanya Agung lagi. Mendengar respons Agung, Gia justru bertambah semangat sebab pada akhirnya ada yang mengerti kebingungannya.

“Sumpah enggak. Tapi, IYA, KAN? BINGUNG, KAN?”

Agung hanya terkekeh. “Terus, terus gimana? Apa yang jadi masalah selain si kakak kelas ini naksir lu? Ada yang nggak suka? Ada yang nyuruh Gia jauhin dia?” Agung menebak segala kemungkinan yang biasanya terjadi dalam kasus percintaan anak remaja. Sayangnya, tak satupun di antaranya yang benar.

Gia menggeleng cepat. “Bukan, Gia ceritain ya! Jadi, kakak kelas yang suka sama Gia itu—” ucapannya tergantung sesaat. Mendadak Gia merasakan kembali kupu-kupu di perutnya. Dadanya serasa berdesir tiba-tiba mengingat Haris juga menyukainya. Membuat senyuman tercetak jelas di wajahnya tanpa bisa tertahan.

“Nggak jelas, malah ketawa-ketawa! Cerita dulu!” ejek Agung.

“Kakak kelas yang suka sama Gia itu, namanya Kak Haris,” ucap Gia. Pada akhirnya mulai menceritakan tentang seorang pemuda yang entah sejak kapan berhasil menjajah hati kecilnya. Gia memulai ceritanya mengenai siapa itu Haris, bagaimana keduanya bisa saling mengenal hingga terjalin sebuah hubungan yang semakin erat. Seberapa sering Haris menolongnya, seberapa sering Haris ada di dekatnya, seberapa sering—semesta seakan secara sengaja membuat takdir keduanya bersinggungan dalam ruang dan waktu yang sama.

Agung manggut-manggut memahami alur cerita Gia. Berusaha menangkap setiap detail cerita yang Gia sampaikan padanya. Harus diakui, Agung memang pendengar yang baik meskipun ia bukanlah penjaga rahasia yang baik.

”..sampe akhirnya Kak Haris nyatain perasaannya tiba-tiba, terus.. Gia kabur..”

“Terus yang bikin lo bingung apa?” tanya Agung, kala Gia sudah selesai bercerita mengenai garis besar permasalahannya. “Lagian kamu kenapa kabur gitu, sih? Aneh-aneh aja! Gue kalo jadi dia juga males, lah!”

“Iyaaa, aku tau aku salah. Tapi Gia kaget banget, Om. Nggak tau harus ngomong apa juga. Kayak—tegang, deg-degan, takut,” ucapnya.

Lagi-lagi Agung mengangguk, “Iyaa, wajar sih. Gue ngerti juga kenapa lo kabur. Namanya juga pertama kali banget Gia denger ada orang yang suka sama Gia, apalagi sampe nyatain secara langsung gitu. Wajar, sih. Tapi, Om Agung mau nanya. Gia suka juga sama dia?”

Untuk kesekian kalinya, Gia membuang napasnya. “Malah kayaknya Gia duluan yang suka sama dia, Om. Sebenernya tuh, dari pertama kali Kak Haris masuk kelas Gia waktu MOS, Gia emang udah deg-degan banget ngeliat dia. Ya, gimana ya? Emang seganteng itu orangnya..”

“Ya udah, terima aja, Gi! Sama-sama suka juga, kan? Lagian Gia juga udah boleh pacaran, kan sama Mama Papa? Waktu itu kan perjanjiannya kalo udah SMA.”

Sepertinya hari ini tujuan hidup Gia terfokus pada buang-buang karbondioksida. Gadis itu kembali menghela napas, membuat Agung paham betapa frustrasinya seorang Anggia saat ini. Pria itu terkekeh, “Kenapa?”

“Nggak semudah itu deh, Om, kayaknya,” ucap Gia, putus asa. “Kak Haris tuh.. terlalu keren buat Gia yang biasa aja, Om.”

Hening, tepat setelah Gia meloloskan sebuah kalimat yang ia ucapkan dengan suara pelan. Kepala gadis itu kini tersandar pada sandaran kursi teras yang menampung dirinya dan Agung. “Gia sama Kak Haris tuh jaauh banget. Kayak, Duh, nggak pantes banget aku buat dia. Pasti dia bisa dapetin yang lebih dari aku, kenapa aku? Gitu-gitu. Aku juga ragu jadinya, dia tuh beneran apa enggak gitu.”

Agung mengangguk paham. Sekon berikutnya, justru giliran pria itu yang menghela napasnya. Untuk kasus ini, Agung benar-benar paham.

“Gia inget mantan Om Agung?” tanyanya. Gia sontak menoleh, setelahnya ia mengangguk sebelum akhirnya keningnya berkerut mendapati raut wajah yang lain dari Agung. Pria itu menatap nanar ke sembarang arah sebelum akhirnya tertawa miris.

“Om Agung sama dia, putusnya karena isi kepala dia waktu itu persis kayak isi kepala Gia sekarang,” ucap Agung. “Dia selalu ngerasa nggak pantes jadi pacar Om Agung, berkali-kali bilang kalo harusnya gue bisa dapetin yang jauh lebih baik dari dia. Masalahnya, Gi, yang lebih baik itu belom tentu kerasa pas di hati. Padahal gue ngerasa beruntung banget bisa jadi pacarnya, sedih karena ternyata dia malah ngerasa nggak pantes.”

“Om Agung kasih tau ya, Gi. Pemikiran kayak gitu, kalo diturutin nggak akan ada abisnya. Dan malah akan ngelukain orang yang bener-bener sayang sama Gia, karena Gia jadi nggak percaya sama perasaannya,” ucap Agung. “Lagian hubungan itu berhasil bukan karena pantes atau enggak kok, Gi. Tapi karena sama-sama mau berjuang buat bikin hubungan itu berhasil.”

Harus Gia akui, kali ini ucapan Agung berhasil membuatnya terpana. Namun, masih ada satu yang membuatnya merasa tidak yakin. “Tapi, emang menurut Om Agung, Kak Haris beneran suka sama Gia? Bukan cuma bercanda?” tanyanya.

Agung tertawa kecil, “Kalo bercanda doang ngapain dia repot-repot berantemin orang yang ngatain Gia sampe diskors segala? Gia nyari apa lagi, sih? Nunggu apa lagi? Nunggu Haris capek terus nyerah sama perasaannya terus nanti Gia nyesel selamanya?”

Pecah sudah. Gia tak lagi dapat menahan air matanya yang tertahan semenjak pertama kali ia mulai bercerita pada Agung malam itu. Benar, ia hanya akan jauh lebih menyesal dari ini jika dirinya terus menghindari Haris. Ini semua seakan Tuhan pada akhirnya memberi Gia sebuah pena dan menyuruhnya menulis sendiri kisah cintanya akan berakhir seperti apa. Gia tak pernah yakin sebelumnya. Namun, gadis itu pada akhirnya meyakini satu hal. Bahwa perkataan Agung sangat akurat.

Untuk seorang Haris yang selalu sempurna di matanya, Gia yakin tak ada yang mampu menggeser posisi Haris.

Agung tersenyum tipis seraya mengelus surai Gia. Setelahnya pria itu membawa Gia ke dalam dekapannya. Berusaha membuat tangisannya mereda.

“Go for him, Anggia. You're worth it. Always worth it.”

Saya suka sama kamu, Anggia.

Tepat setelah kalimat itu meluncur dari bibir Haris, yang bisa Gia lakukan hanyalah menoleh sebelum akhirnya terpaku menatap wajah Haris yang masih menghadapnya. Napasnya tertahan, pikirannya melayang meninggalkan tubuhnya. Sementara dadanya bergemuruh bagaikan ditabuhi genderang perang.

Matanya berkali-kali mengerjap, namun sama sekali tak luput dari dua bola mata Haris yang masih setia memandanginya. Berusaha mencari tahu kebohongan macam apa yang coba Haris tutupi, namun sayang, pikirannya tak bisa benar-benar fokus untuk mengidentifikasi apakah ucapan Haris barusan adalah sebuah kejujuran atau hanya kebohongan belaka.

Gia benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Serasa tubuhnya benar-benar di luar kendalinya sendiri. Kedua bahunya menegang tanpa bahkan bisa ia gerakkan. Lidahnya pun kelu, tak peduli seberapa besar hasrat gadis itu untuk membalas perkataan Haris. Gadis itu hanya bersyukur dalam hati sebab sekarang ia tak sedang berdiri, sebab Gia bisa langsung jatuh terduduk saat itu juga karena kedua kakinya yang melemas.

Gia tahu harusnya ia menjawab, bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama. Namun sebagaimana Tuhan menggagalkan rencana Haris, Tuhan menggagalkan pula rencana Gia. Dengan membuat satu-satunya hal yang muncul di kepalanya hanyalah ucapan Zahra yang menyuruhnya untuk.. lari.


“Saya suka sama kamu, Anggia.”

Entah sudah berapa kali kalimat itu menghantui pikirannya. Setiap hari, setiap malam, setiap jam, menit, detik. Gia tak akan pernah bisa lupa. Terlebih perihal tindakannya sendiri.

Pun, tak terhitung sudah berapa kali Gia mengutuk dan menyalahkan dirinya sendiri. Sebab tak hanya Zahra, Gia pun membenci apa yang ia lakukan. Gia pun membenci dirinya sendiri yang tak pernah miliki keberanian untuk mengatakan apa yang benar-benar ia inginkan.

Gia menyalahkan dirinya sendiri. Karena telah meninggalkan Haris tanpa kejelasan, karena telah membiarkan Haris memikirkan sendiri teka-teki yang tak seharusnya ada. Setiap kali ia berhasil menghindari Haris, yang pertama kali ia lakukan adalah merutuki dirinya yang selalu terpaku, keringat dingin, dan berujung gemetar setiap kali ia mendengar suara Haris dari kejauhan atau ketika ia melihat Haris berjalan ke arahnya. Gadis itu tak lagi bisa berpikir jernih sejak sore itu.

Gia merebahkan tubuhnya di kasur, entah sudah kali ke berapa ia membaca pesan yang terakhir kali Haris tinggalkan untuknya. Entah sudah kali ke berapa pula Gua membiarkan air matanya lolos dari pertahanannya. Seharusnya ini membahagiakan.

Seharusnya, jika tak ada semua pertanyaan yang turut menghantuinya sesaat setelah Haris menyatakan perasaannya.

Do i deserve him?

Sejak dulu, Gia sangat tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang mencolok di tengah keramaian. Rasanya kata 'paling' tak pernah menjadi sematan yang bersahabat dengan namanya.

Anggia bukan yang paling cantik, bukan juga yang paling jelek sebab ia masih memiliki beberapa fitur dalam dirinya yang bisa disyukuri dengan sangat. Anggia bukan yang paling pandai, bukan juga yang paling bodoh sebab toh, ia pun masih bisa menangkap semua pelajaran di sekolahnya dengan baik. Anggia bukan yang paling dikagumi sebagaimana seorang primadona, bukan juga yang paling dibuang.

Anggia adalah seorang yang biasa saja. Dan fakta ini justru melukainya jauh lebih parah. Sebab menjadi biasa-biasa saja membuatnya tak kasat mata.

Jauh berbeda dengan Haris yang bisa dibilang, terpandang.

Wajah yang rupawan? Check!

Kepandaian luar biasa? Check!

Dikenal hampir seluruh warga sekolah? Check!

Aktif dalam organisasi? Check!

Lihatlah, Haris bukan orang sembarangan. Pemuda itu rasanya mengantungi dunia dalam saku celana abu-abunya. Itulah yang membuat Anggia sadar diri sejak awal, bahwa ia hanya ingin menyukai Haris tanpa pernah mengharapkan balasan apapun. Tak peduli seberapa nyata bukti yang menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki perasaan yang sama.

Sejak awal, bagi Gia, Haris adalah sesosok cinta pertama dengan kegagalan di depan mata. Maka selama ini Gia hanya membiarkan perasaannya mengalir, menikmati setiap interaksi yang semesta usahakan selama garis kehidupan keduanya bersinggungan seraya menanti waktunya untuk layu, dan merasakan patah hati pertamanya.

Namun kali ini lain lagi ceritanya. Membuat berbagai pertanyaan baru kerap bermunculan di kepalanya.

Why does he even fall for me?

Was it supposed to be this way?

Gia mengembuskan napasnya kasar. Gadis itu bahkan harus bernapas melalui mulutnya sebab hidungnya kini tersumbat lantaran terlalu lama menangis.

Crazy how the tables have turned, benaknya berbicara.

Benar, keadaannya berbalik sekarang. Perkiraan Gia meleset. Rupanya Haris bukanlah sesosok cinta pertama dengan kegagalan di depan mata. Haris adalah sesosok cinta pertama yang seharusnya bisa menjadi miliknya kalau saja Gia lebih percaya diri dan berani.

Namun setelah hari ini, apakah pernyataan Haris sore itu masih berlaku? Sudah menyerah kah Kak Haris yang ia ketahui? Atau—masih adakah Kak Haris yang dulu pernah nyaris menjadi miliknya dalam sekejap mata?

Karena yang ada saat ini rasanya hanyalah Haris yang menepati janjinya. Entah sudah berapa lama, yang jelas Gua benar-benar tak menemukan Haris di sudut sekolah manapun. Gia bahkan tak menemukan Haris di gerbang sekolah setiap pagi meski ia kadang sengaja memperlambat kedatangannya.

Masih adakah kesempatan untuknya mengatakan bahwa perasaannya pun sama?

But then again, do i deserve him? Batin Gia terus berbicara. Seakan tak habis-habis amunisinya untuk memerangi pikirannya sendiri.

“I like you too, Kak Haris,” ucap Gia seraya membuang napasnya gusar. Matanya lagi-lagi menatap nanar ke arah layar yang menampilkan pesan terakhir dari seseorang yang kontaknya ia simpan dengan nama 'Kak Haris'.

“But will i ever gonna be good enough for you?”