Haris, dari Sudut Pandang Lain

Sudah sore dan sekolah sudah sepi ketika Gia menunggu Agung untuk menjemputnya. Mulai dari ditemani Zahra, hingga Alwan selesai rapat OSIS, hingga kini ia tinggal sendirian, om satu-satunya itu belum juga datang. Macet, alasannya. Tapi memang benar, Gia tahu Agung tak berbohong mengingat betapa jauh dan padat jalanan dari kantornya ke sekolah Gia. Syukur Agung masih mau menjemputnya.

Gadis itu terus menggerakkan kakinya menendang pasir jalanan guna mengusir pegal. Sudah lebih dari setengah jam ia berdiri di sana. Segala kegiatan untuk mengusir bosan pun rasanya sudah Gia lakukan. Namun Agung tak kunjung datang.

“Cewek,” panggil seseorang.

Gia sontak menoleh ke sumber suara. Dan entah karena melamun atau memang dirinya yang tidak menyadari, Gia kini sudah hampir dikepung oleh anak-anak tongkrongan. Gia tebak mereka masih satu angkatan. Namun menyadari wajah-wajah yang tidak familiar, Gia tahu mereka adalah anak-anak jurusan IPS. Kemungkinan—satu komplotan dengan Gio.

Gadis itu otomatis menjauhkan dirinya dari gerombolan lelaki yang mengganggunya. Berusaha tidak peduli walaupun hatinya mulai takut. “Kenalan dongg,” ucap lelaki yang tidak Gia kenali itu.

“Tau, judes banget sih? Masa mau kenalan aja nggak boleh?”

“Apa sih?!” balas Gia galak. Lebih tepatnya berusaha untuk terlihat galak.

“Wahaha, ternyata bener kata Gio. Jual mahal,” ucap salah seorang lain yang memiliki rambut kemerahan. Rupanya benar dugaan Gia, mereka satu komplotan dengan Gio.

Gia kemudian hanya menunduk dan berusaha memalingkan wajahnya seraya terus merapalkan doa dalam hatinya agar Agung cepat datang. Sementara para lelaki itu masih saja menertawakan dan mengganggunya. Bahkan ada yang dengan berani mencolek lengannya, tentu saja Gia langsung menepisnya.

Gia masih membuang wajahnya ke sembarang arah, hingga detik berikutnya tawa mereka otomatis terhenti. Bahkan dengan kompak para lelaki itu menundukkan kepalanya hormat seakan melihat seseorang yang sangat disegani. “Bang,” sapa lelaki berambut kemerahan tadi.

Bang? batin Gia bingung. Maka gadis itu menoleh, mencari tahu siapa yang berdiri di sebelahnya. Rupanya, seseorang yang selama ini ia nantikan.

Haris, berdiri di sebelahnya dengan ransel yang disampirkan asal di sebelah bahunya. Kakak kelasnya hanya diam, sama sekali tak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Haris hanya datang dan menatap nyalang ke arah para lelaki yang berani-beraninya mengganggu Gia. “Emang masih jaman ya ngajak kenalan pake cara nggak sopan kayak gitu?” Suara bariton Haris mulai terdengar. Pelan, tapi tetap menyiratkan ketegasan di dalamnya.

“Nggak, Bang. Tadi cuma bercanda aja, kok..”

“Bercanda tuh nggak bikin orang lain terganggu,” balas Haris. Di dekatnya, Gia hanya menunduk canggung.

“Ngapain sih lo gangguin dia? Mau gue patahin juga tulang idungnya biar seragaman kayak Gio?” tanya Haris dengan nada mengancam. Para lelaki itu serempak menggeleng. “Nggak, Bang. Maap ya, Bang. Kita nggak tau kalo dia cewek lo, nggak bakal kita gangguin lagi kok!”

Haris dan Gia otomatis bertukar pandang, keduanya sama-sama terkejut mendengar balasan salah satu teman Gio itu. Haris berdeham guna mengusir canggung, “Kalo sampe gue tau lo semua masih berulah, urusannya sama gue!”

“Iya, Bang, enggak kok.. Pamit ya, Bang! Permisi!”

Setelahnya para lelaki itu berlari menjauh. Meninggalkan Haris dan Gia berduaan di tempat yang sama. Membuat keduanya sama-sama terdiam kaku.

Haris menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sejujurnya ia ingin langsung pergi, takut-takut Gia merasa terganggu dengan keberadaannya seperti waktu lalu. Namun sebagai seorang lelaki tentunya Haris pun tak tega meninggalkannya sendirian. “Kamu—kalo belom dijemput nunggunya di dalem aja. Di pos satpam situ sama Babeh, biar nggak digangguin anak tongkrongan lagi,” ucap Haris lembut.

Itu saja. Haris benar-benar tak mengharapkan sesuatu yang lain dari pertemuannya dengan Gia sore ini. Pria itu bahkan berniat untuk langsung berjalan menuju parkiran setelah menyelesaikan kalimatnya. Namun suara Gia membuat Haris mengurungkan langkahnya.

“Kak Haris,” panggilnya. Haris tak menjawab, pemuda itu hanya membalikkan badannya seraya mengangkat sebelah alisnya.

“Boleh.. ngomong sebentar nggak?” tanya Gia.

Meski tak bersuara, Gia tahu Haris terkejut di hadapannya. Tebakannya didukung oleh fakta bahwa pemuda itu terdiam cukup lama hingga akhirnya kembali bersuara. “Bukan nggak mau, sih. Tapi saya buru-buru, mau jemput Hanum,” ucapnya.

“Oh..” Gia mendesah kecewa. “Ya udah, nggak pa-pa kok, Kak. Lain kali aja.”

Haris kemudian hanya mengangguk pelan seraya membenarkan posisi strap ranselnya yang merosot dari bahu kanannya. Sesaat kemudian kembali canggung seiring keduanya lagi-lagi diam. Sampai lagi-lagi Haris yang memecah keheningan.

“Ayo, saya anterin ke Babeh. Di sini udah makin sepi, bahaya. Kalo kenapa-napa nggak ada yang tau,” ucap Haris. Maka Gia hanya bisa mengiyakan dan membuntuti langkah Haris menuju pos satpam.


“Beh, titip temen saya ya? Dari tadi sendirian belom dijemput,” ucap Haris, terlihat sangat akrab dengan seorang satpam yang paling lama bekerja di sekolah.

“Iyeehhh, santai aje! Lu mau ke mane emang?” tanya Babeh. “Mau jemput adek saya lagi kerja kelompok, takut kesorean,” jawab Haris.

“Ohh, ya udeh. Aman, aman. Duduk aje, Neng,” ucap Babeh lagi. Setelah memastikan Gia dalam penjagaan aman, setidaknya seseorang yang bisa Haris percaya, barulah pria itu berpamitan. “Balik ya, Beh!” pamitnya seraya menyalami tangan Babeh dengan sopan. “Duluan, Gi,” ucapnya sebelum benar-benar berlari secepat kilat ke parkiran untuk mengambil motornya.

Tak bisa ditepis bahwa Haris lagi-lagi berhasil membuat seorang Anggia Kalila tertegun dengan sikapnya. Seseorang yang terlihat begitu angkuh rupanya tanpa sungkan mencium tangan satpam sekolah yang bahkan sering tak dianggap.

Tiati, Ris!” ucap Babeh ketika Haris membunyikan klakson motornya kala melewati pos satpam sebelum akhirnya menghilang setelah melintasi gerbang. Membuat Gia tersadar dari lamunannya.

“Neng pacarnya Haris?” tanya Babeh. Gia sontak menoleh, “Hah? B-bukan, Beh. Kenal aja.”

Babeh mengangguk-angguk meski raut wajahnya masih menampilkan curiga. “Perhatian banget tu orang, tapi emang dia baek banget sih orangnya. Nggak mandang gitu biar sama orang kayak kita. Sopan bener anaknya,” ucap Babeh, berhasil memancing rasa penasaran dalam diri Gia.

“Kak Haris sering ngobrol sama Babeh ya?”

“Wuih, sering. Kalo lagi pada kegiatan gitu, OSIS apa ekskul atau kalo lagi pada kerja kelompok di sekolah, suka pada nongkrong di sini. Sama temen-temennya juga tuh, si Damar, Dhimas, sama Ojan. Main kartu remi, main catur. Nanti yang kalah beliin makanan gitu,” ujar Babeh. “Itu anak-anak berempat kalo udah pada lulus, sedih deh Babeh, beneran.”

Gia tersenyum tipis, “Kenapa, Beh?”

“Hampir sepuluh tahun Babeh kerja di sini, Neng, baru mereka berempat doang yang bener-bener nganggep sama orang kayak kita—maksudnya kayak Babeh gini. Satpam, OB, gitu. Padahal pan pada anak orang kaya ya, tapi pada sopan bener. Nggak sombong, orang baik beneran. Si Haris mah keliatannya doang aja sangar, songong, aslinya mah kagak begitu,” ucap Babeh. “Kalo temen-temennya yang lain emang pada ramah mukanya. Haris doang, tapi aslinya mah sama aja dia juga.”

Gia terkekeh mendengar cerita Babeh. Sebagian hatinya turut menghangat. Andai Babeh tahu, tak hanya beliau yang akan sedih jika suatu hari nanti Haris sudah lulus dari sekolah ini. Sebab yang beliau ajak bicara pun akan merasakan hal yang sama.

“Kalo lagi pada nongkrong di sini, suka pada beli makan. Nasi padang, warteg, itu kita-kita juga dibeliin, Neng. Terus makan bareng, ngeriung tuh di lapangan situ,” ujar Babeh seraya menunjuk lapangan voli yang paling dekat dengan pos satpam. “Salut Babeh mah sama orang tuanya itu anak berempat. Pada sukses ngedidik anak. Pinter-pinter, tau etika, tau sopan santun.”

“Coba anak-anak sini yang lain, kebanyakan pada songong-songong. Ya—emang sih pada orang berada semua. Tapi pada belagu banget, Neng, bener dah! Kadang mobilnya udah diparkirin aja masih suka pada marah-marah, mana nggak ada bilang makasihnya,” keluh Babeh. “Percuma Neng, sekolah tinggi-tinggi tapi nggak punya adab. Nggak bakal lancar juga hidupnya nanti. Karena banyak orang jadi pada sebel, bukan pada ngedoain.”

“Coba tuh si Ojan, biar kata bangor juga tapi hidupnya lempeng-lempeng ajah! Orang yang banyak bikin seneng orang lain, pasti banyak didoain. Si Haris juga kan kemaren diskors, ujungnya banyak yang belain. Duh, pokoknya mah kalo jadi orang baik nggak usah khawatir. Tuhan yang kasih jalan,” ucap Babeh.

Gia hanya bisa menganggukkan kepalanya seraya mendengar nasehat sekaligus cerita Babeh mengenai Haris dan teman-temannya. Seakan Tuhan berencana membuka mata Gia lebih lebar perihal Haris, dari sudut pandang yang lain. Rupanya penilaiannya tidak salah, Haris memang benar-benar seseorang yang baik.

Sejujurnya sejak awal, Gia tahu itu. Meski raut wajah yang pertama kali Haris tampilkan ketika memasuki kelasnya saat masa orientasi adalah raut wajah yang paling garang, namun entah mengapa hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik permukaan yang begitu tebal dan kokoh. Dan benar saja, Gia menemukan sesuatu itu seiring berjalannya waktu. Itulah sebabnya, mengapa dengan mudah gadis itu menyukai Haris. Itulah sebabnya, mengapa Gia selalu bertahan dan enggan berpaling meskipun Haris sempat melontarkan kalimat pedas terhadapnya. Gia selalu yakin, ada sudut pandang lain yang harus ia telusuri perihal Haris. Dan hari ini, ia menemukan jawabannya.

“Neng kenal Haris dari mana? Dulu satu SMP?”

“Enggak, Beh. Waktu MOS kemarin Kak Haris yang megang kelas saya, terus ternyata kebetulan adeknya Kak Haris itu satu SMP sama saya. Lumayan deket juga, jadi kenal, hehehe,” jawab Gia.

“Ohh, pantesan. Baru liat aja Babeh Haris deket sama anak cewek,” balas Babeh lagi. Setelahnya Gia hanya tersenyum canggung. Entah apa yang terjadi pada dunia hari ini hingga semuanya seakan mendukung hubungannya dengan Haris.

“Tapi bener deh, kalo Haris sama temen-temennya udah lulus Babeh sedih banget beneran,” ucap Babeh lagi. Membuat Gia tertawa pada akhirnya. “Masih satu tahun lagi, Beh, masih lama kok!”

“Nggak bakal berasa, Neng. Tapi tiap Babeh bilang begitu sama mereka, malah gua disuruh ikutan lulus juga sama Haris. Emang dasar bocah!”

Gia lagi-lagi tertawa. Sebelum akhirnya ia kembali terdiam dan menyadari sesuatu. Benar juga, ia terlupa bahwa Haris akan lulus lebih dulu. Meskipun masih satu tahun lagi, benar kata Babeh, satu tahun tidak akan terasa.

Rasanya Gia harus benar-benar berterima kasih pada Babeh hari ini. Karena telah menyadarkannya agar tidak lagi menyia-nyiakan waktu.