Someone To Meet
Haris melajukan motornya dengan kecepatan normal menuju tempat yang ia pilih sendiri untuk bertemu dengan sang ayah. Pria itu tak berani melajukan motornya lebih cepat sebab jalanan masih macet lantaran banyak orang baru selesai salat jumat. Belum lagi pengendara yang seenaknya memotong jalan dan lawan arah, Haris yang baru selesai ibadah itu rasanya ingin mengumpat sekencang-kencangnya. Beruntung ia masih sayang pahala, maka setengah mati ia telan pahit-pahit segala hawa nafsunya untuk mengumpat dan mencaci maki.
Walaupun sejujurnya ia sangat-sangat mumet. Cuaca panas, kepala yang asapnya masih mengepul sebab baru saja selesai ujian, dan suara klakson yang bersahutan, adalah alasan yang sangat cukup untuk membuat Haris membatalkan janjinya untuk bertemu sang ayah. Namun melihat betapa Papa sangat ingin bertemunya sejak kemarin-kemarin, bahkan sampai rela membatalkan penerbangannya dan terus membuntutinya setiap pulang sekolah, lagi-lagi Haris berusaha bertahan dengan segala ujian yang ia hadapi sekarang.
Lampu lalu lintas berubah hijau, Haris kembali menancap gas dan mulai bernapas lega sebab akhirnya bisa sedikit terbebas dari kemacetan jalan raya. Pria dengan setelan celana abu-abu dan kaus hitam berbalut jaket levis beserta helm hitam itu kini bermanuver ke kiri, memasuki sebuah jalanan yang lumayan sepi.
Melihat kondisi jalanan yang aman dan cukup lowong, Haris mengambil kesempatan untuk mengusap wajahnya dengan tangan kirinya. Semuanya berjalan aman hingga tiba-tiba ada sebuah motor memotong jalannya dari arah kanan. Menukik dan berhenti tepat di hadapan Haris, membuat pria itu terlonjak dan terpaksa mengeluarkan makiannya sebab ia bisa saja terjatuh atau bahkan menabrak seseorang di hadapannya jika tidak sigap memegang setang motor dan menarik remnya.
“ANJ—GOBLOK—Astaghfirullahaladzim..”
Haris memberhentikan motornya, mengusap dadanya yang kini bergemuruh bagai ditabuhi genderang perang. Setelah merasa sedikit lebih tenang, Haris mengarahkan pandangannya pada pengendara yang dengan sengaja berhenti di depannya. Tunggu sebentar, rasanya ia mengenali motor itu..
Dilihatnya seorang pemuda yang rasanya sebaya dengan dirinya—hanya saja lebih pendek, tentunya—sedang melepas helm full face miliknya dan menyantolkannya di spion motornya yang kini sudah distandar miring. Haris mengerutkan alisnya, bertanya-tanya apakah dirinya sedang dihadang di tengah jalan.
Ketika pemuda itu berbalik, kedua bola mata Haris auto melotot. Berdiri di sana, berjalan dengan gayanya yang masih begitu sombong dan angkuh, seseorang yang hampir mencelakakan dirinya, Giovanno Sadewa.
“Apa kabar, Bang?” tanya Gio tengil. Setelah datang tanpa sopan santun, Gio bahkan masih bisa menampilkan seringai di wajahnya.
Kesal, Haris turut melepas helm miliknya dan lantas memaki Gio dengan segala amarahnya. “GILA LO YA?! Apa-apaan maksud lo nikung gue kayak tadi? Lo mau gue mati, hah?!”
Yang dimarahi akhirnya menghilangkan kesan angkuhnya. Kedua bahunya merosot dan kepalanya ditundukkan, bahkan kacamata hitam yang sedari tadi ia kenakan tepat setelah melepas helmnya itu turut ia tanggalkan. Menampilkan kedua mata merah nan sembab yang sontak membuat Haris kebingungan.
“Bang..” panggil Gio.
“APA LU BANG BANG?! Diem dulu, gue masih merasa mau mati! Orang gila lo emang! Lo sedendam itu sama gue, Gi?” tanya Haris. “Yo, maksudnya!” ucapnya lagi, meralat panggilan Gio sebab yang sebelumnya mengingatkannya pada seseorang.
“Gue minta maaf, Bang,” ucap Gio.
Haria menatap Gio tidak percaya, “Ya emang udah seharusnya lo minta maaf! Gue hampir mat—”
“Maksudnya minta maaf beneran...” potong Gio. “Ada yang mau gue omongin sama lo, Bang. Sebenernya udah dari lama gue pengen nyamperin lo di sekolah, tapi nggak bisa-bisa,” lanjutnya.
“Hah?” seru Haris, batal marah-marah sebab kini rasanya otaknya ikutan banting setir, mendadak bingung sebab mendengar Gio ingin meminta maaf. “Lo kesurupan, ya?” tanyanya asal.
“Kok kesurupan sih, Bang? Gue beneran mau minta maaf, nih! Gue mau ngomong sama lo. Hargai dong usaha gue! Gue dari berapa minggu yang lalu udah ngikutin lo mulu di sekolah, tapi nggak berani-berani nyamperin lo,” balas Gio.
“Hah, jadi, elo yang ngikutin gue?!” tanya Haris. Ada sedikit rasa kecewa menyeruak dalam dirinya sebab tebakannya salah. Rupanya bukan Papa yang membuntutinya selama ini, melainkan bocah di hadapannya.
Gio mengangguk, ia pun sudah tahu bahwa Haris akan menyadari itu. “Ada yang mau gue omongin, Bang,” ucapnya lagi.
“Nggak bisa, gue udah ada janji sama orang,” balas Haris. “Yang ini jauh lebih penting dari lo, nggak mungkin gue batalin gitu aja. Apalagi cara lo ngedatengin gue nggak sopan kayak gini. Lo tuh bener-bener nggak tau etika ya?”
“Gue mohon, Bang. Sebentar aja, abis ini gue nggak akan ganggu lo lagi,” balas Gio.
Haris mengerutkan keningnya, karena panas sekaligus bingung mendengar ucapan Gio. Sepenting itukah yang ingin ia bicarakan?
Pada akhirnya Haris menghela napasnya. “Ya udah, tapi gue cuma punya waktu setengah jam.”
Sebuah sumringah terbit di wajah Gio, setelahnya pemuda itu menoleh pada sebuah warung yang tak jauh. “Di situ ada warung, Bang. Kita ngobrol di sana aja gimana? Sekalian gue beliin minum deh, muka lo masih pucet banget..”
“Eh, bocah! Gue kasih tau ya, Valentino Rossi juga bakalan pucet kalo disalip kayak lo nyalip gue tadi,” kesal Haris. Sementara Gio hanya tertawa sebelum keduanya sama-sama melajukan motornya pelan ke sebuah warung terdekat.
“Sorry ya, Bang,” ucap Gio tulus seraya menatap sungkan ke arah Haris yang meneguk air putih dingin hingga tersisa setengah botol.
“Gigi lu sorry!” balas Haris setelah berhasil menelan air minumnya. Masih kesal, sangat kesal. “Mau ngomong apa lo? Buruan, gue ditungguin orang!”
“Gue mau minta maaf—”
“Minta maaf mulu, bukan lebaran!” balas Haris.
“Lo jangan kesel gitu makanya, gue belom selesai ngomong!”
“Nggak bisa, gue emang kesel banget sama lo sumpah, dah!” sahut Haris jujur. “Tapi berhubung waktu gue nggak banyak, ya udah lah, gue dengerin.”
Gio akhirnya bisa merasakan udara segar masuk ke dalam paru-parunya sebab akhirnya Haris mau mendengarkan. Pun, ia tak perlu lagi merasa begitu takut lantaran Haris tak lagi menatapnya garang. Maka Gio memutuskan untuk memulai ucapannya.
“Sebenernya dari kemarin gue ngikutin lo terus karena gue masih mau bales dendam sama lo, Bang. Karena gue pikir lo bikin gue kehilangan semuanya,” ucap Gio. Di hadapannya, Haris mulai mendengarkan. “Tapi lo malah bikin gue sadar kalo—dari awal sebenernya gue nggak pernah punya apa-apa.”
Kening Harus semakin berkerut, “Emang gue ngapain?”
Alih-alih menjawab, Gio mengembuskan napasnya kasar. “Saat lo nonjok gue waktu itu, gue sama sekali nggak khawatir. Karena gue tau gue akan selalu menang. Dan bener aja, gue berhasil bikin lo diskors,” ujar Gio. “Gue pikir gue menang lagi kayak biasanya, tapi itu justru awal kehancuran gue. Mendadak semua temen gue laporan dan berujung gue dikeluarin. Gue nggak pusing, gue pikir Mami sama Papi masih bisa sekolahin gue di tempat yang lebih bagus, lebih mahal dari sekolah kita. Tapi ternyata gue salah. Bersamaan dengan dikeluarinnya gue dari sekolah, Papi dipecat.”
“Serius lo?”
Gio mengangguk lesu, “Gue sekarang belom sekolah lagi, Bang.”
“Bokap lo kenapa dipecat?” tanya Haris.
“Ketauan suap,” balas Gio. “Malu sebenernya bilangnya. Tapi ya... Emang gitu.”
Haris memundurkan tubuhnya terperangah. Ini benar-benar di luar dugaannya. Haris mengerti sekarang mengapa sejak dulu, meski keluarganya termasuk berada, kedua orang tuanya tak pernah membiasakan anak-anaknya—dirinya, untuk memegang banyak uang di saku. Sejak dulu uang jajannya selalu sama dengan teman-temannya, mainannya sejak kecil pun kebanyakan bukanlah barang mahal, melainkan buatan tangan Mama atau Papa yang dapat sekaligus melatih kecerdasan dan ketanggapannya.
Haris paham sekarang, dan ia merasa beruntung sebab sejak dulu kedua orang tuanya mengajarkan agar dirinya tak terlalu mendewakan harta. Sebab beginilah akhirnya, hasilnya ada di depan matanya sekarang. Seseorang yang selalu mendewakan harta hingga hartanya berhasil menjadikan dirinya seorang hamba.
“Kemarin waktu gue pulang, nggak sengaja denger tetangga pada ngomongin keluarga gue yang baru aja hancur itu. Ternyata mereka juga pada nggak suka sama keluarga gue, mereka seneng banget gue terpuruk. Katanya itu balasan yang setimpal untuk keluarga gue yang udah sering banget ngancurin hidup orang lain,” ucap Gio lesu, yang tak lain membuat Haris prihatin.
Diam-diam Haris membenarkan ucapan Gio dalam hati. Dalam benaknya mendadak terputar perkataan Adel yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki gilirannya untuk jatuh. Gilirannya sudah, mungkin sekarang adalah saatnya bagi Gio. Dan saat ini pemuda itu tak lagi bisa mengelak, kegagalan dan kejatuhannya dalam kehidupan kali ini tak lagi bisa ia tunda dengan seluruh hartanya.
“Jangan gitu lah, Yo! Namanya juga hidup, pasti ada naik turunnya. Nikmatin aja, jangan mikir macem-macem!” balas Haris. Bagaimanapun juga, sebagai yang lebih tua, Haris harus bersikap lebih dewasa. Maka ia mengesampingkan dendam dan amarahnya, memilih untuk memberi respon paling baik yang bisa ia berikan.
“Terus sekarang gimana keluarga lo survive?” tanya Haris lagi. Kali ini dengan gestur yang lebih santai dan tidak defensif. Berusaha membuat Gio lebih nyaman untuk bercerita.
“Nyokap masih ada pegangan uang, gue juga alhamdulilah masih megang uang hasil endorse beberapa bulan belakangan ini. Tapi nggak tai ke depannya gimana. Berita tentang bokap gue udah kesebar di media, banyak brand yang batalin kerja sama bareng gue, nggak tau lah...”
“Sabar,” ucap Haris. “Susah sih emang, tapi yakin aja pasti ada jalannya. Asal lo mau benahin diri lo, jangan ngulangin lagi kesalahan yang sama!”
Gio terkekeh pelan, “Lo kok masih mau nasehatin gue sih? Gue jahat loh sama lo? Sama Gia juga? Emang lo nggak dendam sama gue?”
Haris ikut tertawa pelan, “Tadinya. Tapi adek gue bilang hidup gue nggak akan tenang kalo terus-terusan hidup sama hati yang kayak gitu. Jadi, yang udah lewat ya udah biarin aja. Nggak usah terus-terusan ngerasa bersalah sama gue, santai aja.”
“Lo keren deh, Bang,” celetuk Gio tiba-tiba. Membuat Haris tersenyum bangga, “Iya emang.”
Gio mencibir, setelahnya melanjutkan kalimatnya. “Lo sama temen-temen lo maksudnya.”
Kali ini jawabannya sukses membuat Haris menautkan alisnya, “Kenapa?”
“Mereka—yang bikin gue sadar kalo sebenernya gue nggak punya apa-apa. Temen-temen gue selama ini ngedeketin gue karena harta doang, pas gue jatuh mereka malah nggak ada,” ucap Gio. “Tapi lo, lo selalu punya mereka apapun keadaan lo. Banyak yang belain lo juga lagi pas lo diskors. Gue nggak punya itu. Gue nggak punya orang yang beneran tulus sama gue.”
Haris tersenyum getir. “Banyak, Yo. Lo-nya aja nggak sadar. Lo punya lebih banyak dari gue, Yo. Di luar sana pasti banyak yang belain lo dan setia sama lo apapun keadaan lo. Lo cuma perlu lakuin apa yang gue bilang tadi, benahin diri lo dan jangan ulangin lagi kesalahan yang sama,” ucap Haris.
“Genggam harta lo dikit aja, biar tangan sama hati lo nggak kepenuhan untuk nampung hal-hal baik lain yang ada di dunia ini. Jangan lupa dibagi ke yang lain juga,” ucap Haris lagi.
Di hadapannya, Gio berhasil termenung sebelum akhirnya mengangguk pelan. Hening mengisi sementara sebelum akhirnya Gio kembali bersuara, “Menurut lo kesalahan gue di masa lalu bisa diperbaiki nggak, Bang?”
“Bisa,” balas Haris. Bisa.
“Asal lo mau,” balasnya lagi. Asal ada keinginan.
“Mau, tapi caranya gimana?” tanya Gio. Haris menghela napasnya seraya membenarkan posisi duduknya, “Buat kebaikan lebih banyak dari sekarang. Tobat yang bener, jangan nonton video yang nggak-nggak lagi lo!”
“IYA KAGAK!”
“Serius, serius,” balas Haris seraya tertawa. Sekon berikutnya, raut wajahnya kembali serius. “Buat kebaikan yang lebih banyak dari sekarang. Minta ampunan sambil berdoa sama Tuhan buat dipertemukan lagi sama orang-orang yang dulu lo hancurin hidupnya itu. Berdoa supaya hidup mereka sekarang udah lebih baik, berdoa supaya lo dikasih kesempatan untuk minta maaf dan nerima maaf mereka.”
“Tuhan nggak pendendam, Yo. Datengin aja, pasti lo disambut dengan baik,” ucap Haris lagi. Dan tanpa diduga, Gio mulai menangis. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengucek matanya, lama kelamaan tangisannya pecah dan menjadi semakin tersedu-sedu. Membuat Haris bingung sekaligus geli, “JAKH, lo kenapa nangis, anjrit?!”
“Jangan nangis, Yo, ya elah! Nanti gue dikira ngapa-ngapain lo!” ujar Haris.
“Hiks! Nggak ada yang pernah bilangin gue sampe kayak lo gituu! Bokap gue aja nggak pernah!” ucap Gio disela tangisannya. Haris terkekeh geli dan hanya menggelengkan kepalanya takjub. “Hadeeh, suse ye anak mami,” canda Haris.
“Udah jangan nangis, omongan gue bukan buat ditangisin tapi dijadiin pelajaran,” ujar Haris lagi. “Minum nih, tenangin diri lo dulu.” Disodorkannya botol minum berisi air putih yang kini sudah berembun itu ke hadapan Gio, membiarkan lelaki yang lebih muda darinya itu meneguk habis sisa airnya agar lebih tenang dan berhenti menangis.
“Makasih ya, Bang. Makasih banyak sumpah!” ucap Gio. “Sorry kalo berlebihan, tapi gue beneran nggak pernah dinasehatin sampe se-menyentuh tadi. Makasih udah mau nemuin gue, Bang, maaf gue nyita waktu lo hari ini. Gue beneran berasa curhat sama abang sendiri.”
Haris mendelik tajam, “Siapa yang mau jadi abang lo?!”
Terkejut, Gio menatap Haris tanpa kedip. Ketakutannya kembali, ditambah lagi Haris yang kini sudah berdiri dari kursinya. Tepat di hadapannya. Namun, alih-alih sebuah pukulan atau tamparan, yang Gio dapatkan justru adalah sebuah usapan di kepala. Haris mengacak-acak rambut Gio yang sudah pemuda itu tata serapi mungkin, tak lupa menoyornya pelan. Benar-benar berlagak seperti seorang kakak laki-laki yang sedang bercanda dengan adiknya sendiri.
Kemudian seraya tertawa, Haris kembali bersuara. “Becanda,” ucapnya. Setelahnya Haris menyodorkan ponselnya di hadapan Gio, “Nih nomor gue. Catet, kalo perlu apa-apa bilang aja. Selama gue bisa bantu, pasti gue bantu.”
Secepat mungkin Gio berusaha memproses aksi Haris. Pemuda itu mengeluarkan ponselnya dan buru-buru menyimpan nomor Haris di kontaknya. Setelah selesai, Haris buru-buru pamit sebab ia memiliki janji lain. “Gue duluan ya, sorry nggak bisa lama-lama. Kapan-kapan ngobrol lagi aja,” ucapnya.
“Makasih banyak, Bang!”
“Santai!”
Gio tersenyum tipis setelah Haris melenggang melaluinya. Hari itu, setidaknya Gio menemukan satu hal setelah Tuhan merenggut semua yang dulu berada di genggaman tangannya. Ia menemukan satu, yang berhasil menunjukkannya sebuah ketulusan, dan apa yang lebih berharga dari seluruh hartanya.
Di sisi lain, Haris tersenyum tipis seraya memakai helm-nya. Pertemuan tak terduganya dengan Gio rupanya membuahkan hasil. Sebagaimana yang ia katakan pada Gio, kesalahannya di masa lalu dapat diperbaiki asalkan ia memiliki keinginan untuk memperbaikinya.
Itu artinya, hal yang sama berlaku untuk Papa. Maka Haris dengan senang hati melajukan motornya untuk menemui sang ayah. Membantunya untuk memperbaiki segala kesalahannya di masa lalu.
Satu hal yang pasti dalam hatinya, Haris tahu dirinya tak akan menyesal. Sebab pada akhirnya, ia memilih untuk berdamai dengan masa lalunya.