Like Father Like Son
“Papa!” panggil Haris pada seorang pria dengan kulit putih dan tatanan rambut yang sama dengan miliknya. Yang membedakan hanyalah belahan rambut keduanya. Satu belah kanan, satu lagi belah kiri.
Haris menarik kursi di hadapan sang ayah. Menyeka sedikit keringat jagung yang membasahi pelipisnya. “Maaf terlambat, tadi ada urusan mendadak,” ucapnya.
Setelahnya, hening mengisi. Haris sibuk membenahi posisi duduknya hingga mendapatkan posisi nyaman, sementara di hadapannya, Papa sama sekali tak melepaskan pandangannya dari wajah sang anak sulung. Tanpa Haris tahu, dalam benak sang ayah muncul banyak pertanyaan. Sudah berapa lama ia meninggalkan jagoan kecilnya? Hingga tubuh mungilnya kini berubah menjadi postur tinggi menjulang. Sudah tahun berapa ini? Hingga anak sulungnya kini sudah memiliki suara bariton yang membuatnya semakin gagah.
“Kak?” panggil Papa. Haris mendongak, kala itu ia menyadari bahwa Papa begitu terpana melihatnya. Netra yang yang terlihat sama dengan miliknya itu berkilat, Haris tahu bahwa Papa sedang menahan air matanya.
“Ya?”
“Haura... Memang bilang kalau Papa mirip sama kamu, tapi Papa nggak nyangka kalau semirip ini,” balasnya. Haris tersenyum tipis—nyaris tidak terlihat. Diam-diam ia membenarkan ucapan Papa dalam hati. Sejujurnya saat ini pun ia merasa seperti sedang berkaca. Cukup aneh rasanya melihat duplikat dirinya di depan mata.
“Apa kabar, Kak?”
“Baik.”
Papa mengangguk pelan. Canggung. “Kamu mau pesen makan dulu, Kak?”
Haris menggeleng, “Ngobrol dulu aja, Pa. Haris udah makan.”
Papa lagi-lagi hanya bisa mengangguk mendengar balasan Haris yang selalu tegas dan seakan menutup diri. Namun ia tak bisa menyalahkan Haris, sebab dirinya tahu betul bahwa anak sulungnya sama sepertinya. Tidak suka basa-basi.
“Papa kenapa terus-terusan nunggu Haris? Katanya udah mau pindah? Ngapain dibatalin gitu?” tanyanya bertubi-tubi.
Haris mendapati Papa menggendikkan bahu. Sekon berikutnya sang ayah menjawab, “Karena kamu pantas ditunggu.”
“Kalo Haris tetep nggak mau nemuin Papa, Papa nggak jadi pindah? Pasti tetep pindah juga, kan?” tanya Haris ketus.
Hening. Cukup lama sebelum Papa berhasil menjawab pertanyaan Haris. Membuat pemuda itu memalingkan wajahnya, sedikit kecewa. Sekon berikutnya, Papa menghela napas sebelum akhirnya kembali membuka suara.
“Hanum kemarin bilang kalo Kak Haris masih butuh waktu,” ucap Papa. “Maka Papa tunggu. Bahkan kalo itu artinya sampe tahun depan, Papa akan tunggu. Lagipula rasanya nggak pantes Papa protes karena dibuat nunggu terlalu lama. Papa hutang waktu sama kamu, maka ketika kamu minta waktu, pasti Papa kasih.”
Haris mendongak, menatap Papa tepat di matanya. Tak bisa dipungkiri bahwa jawaban sang ayah berhasil membuatnya tertegun untuk benerapa detik. Namun segera ia kendalikan. “Papa ketemu mau pamitan maksudnya?”
Pria di hadapan Haris itu menggeleng, “Papa memanfaatkan kesempatan terakhir untuk ketemu lagi sama anak-anak Papa.”
“Oh,” sahut Haris seraya tertawa sarkas. “Masih nganggep?”
Papa meneguk ludahnya. Bertemu dengan Hanum dan Haura terasa jauh lebih mudah dibanding hari ini. “Papa minta maaf baru nemuin kalian sekarang. Tapi satu hal yang harus kamu tau, selamanya Papa akan anggap kalian anak-anak Papa,” ucapnya. “Selama ini bukan Papa nggak peduli, Kak. Papa takut dan nggak tau harus mulai dari mana. Papa takut kalian nggak nerima Papa lagi. Apalagi Haura...”
Lagi-lagi Haris tertawa getir, “Papa tau nggak dulu Hanum selalu tidur di depan jendela?”
Ucapan Haris berhasil membuat Papa menatapnya terkejut. “Nggak ada yang benci Papa. Justru dari dulu Haris sama Hanum selalu nunggu Papa. Kita nggak pernah kecewa karena Papa pergi, Haris sama Hanum kecewa karena Papa nggak pernah pulang lagi.”
“Maaf, Papa emang pengecut,” ucapnya seraya tertunduk.
“Sama, Haris juga.”
Ucapannya berhasil membuat Papa kembali menatap ke arahnya. “Haris juga nggak tau gimana mulainya lagi,” lanjut Haris. “Dulu Haris marah karena Papa pergi. Rasanya kosong, kayak ada yang janggal. Sekarang Papa balik lagi, Haris marah lagi. Karena rasanya juga janggal. Haris udah terbiasa tanpa Papa, nggak tau gimana mulainya lagi kalo sekarang ada Papa lagi.”
Papa mengangguk pelan, “Kalo gitu kita cari caranya sama-sama ya, Kak? Kayak dulu waktu kita sama-sama cari cara jagain Hanum.”
Ah, Haris rasanya ingin menangis sekarang. Benar apa yang diucapkan teman-temannya, gumpalan itu memang hanya bisa disembuhkan jika ia menemukan sumbernya. Haris pun tak berbohong kala ia mengatakan bahwa semuanya terasa seperti rumah lama yang ia tinggali sesaat setelah ia memutuskan untuk bertemu Papa. Serasa puing-puing rumahnya yang dulu hancur itu kini tersusun kembali dari awal. Sebagaimana ia dan Papa sekarang membangun pondasi dari awal.
“Terus setelah caranya ketemu, Papa pergi lagi?”
“Kali ini enggak. Papa janji. Gimanapun caranya, meskipun jauh, Papa nggak akan ninggalin kalian lagi,” jawab Papa.
“Terus gimana?” tanya Haris.
“Kita kenalan lagi ya, Kak? Kemarin Papa udah kenalan sama Hanum dan Haura, sama kamu belum,” balasnya. Haris menahan senyumnya, tak bisa dipungkiri bahwa hatinya menghangat kala itu. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk, toh ia pun sudah bertekad akan berdamai dengan masa lalu. Hidup harus terus berjalan, dan inilah caranya.
“Oke,” Haris membalas seadanya. Membuat sebuah sumringah terbit di wajah Papa. Kini giliran Haris untuk tertegun, sudah berapa lama ini? Hingga wajah Papa yang dulu selalu ia puja sebagai wajah paling tampan di dunia kini memiliki sedikit kerutan di ujung mata. Seberapa sulitkah pekerjaannya? Hingga begitu banyak kerutan yang tercetak jelas di dahi Papa. Mungkin memang benar, Haris harus berkenalan lagi dengan sosok Papa yang sekarang. Seseorang yang sama, namun terasa baru baginya.
“Apa kabar jagoan Papa?” Papa bertanya dengan suara lembut. Seperti waktu dulu, ketika menemui Haris di depan pintu saat malam sepulangnya kerja. Sesaat sebelum Haris kecil dengan antusias merebut sepatu kerja Papa dan memaksakan kedua kaki kecilnya untuk muat ke dalam sana. Membuatnya tak jarang tersandung hingga membentur lantai, tak heran jika luka paling banyak ia dapatkan ketika kecil adalah pada dahinya.
“Baik, pusing sekolah aja sedikit. Tapi masih bisa ketawa kok. Haris punya temen ada tiga, semuanya ngawur!” ucapnya ceria. Tak ada lagi seluruh pertahanan yang ia pasang pada awal pertemuan. Suasana kini mulai mencair di antara kedua lelaki itu. Haris bercerita dengan antusias namun tetap dalam balutan ketenangan sikapnya, sebagaimana yang ia lakukan dulu ketika masih kecil. Ketika Mama dan Papa menanyakan bagaimana harinya berjalan di sekolah.
“Rekor, Pa, Haris pernah diskors!” ucapnya bangga.
“Serius, Kak? Kok bisa?”
“Ada lah, urusan lelaki,” ucapnya. Enggan membahas lebih lanjut perihal kejadian itu. Kali ini bukan karena Gio, sebab dirinya baru saja berdamai dengan pemuda itu. Kali ini, lebih tepatnya, Haris tak ingin membahas perihal Gia.
“Terus Mama marah nggak?”
“Nggak, Mama ngerti masalahnya kok. Gitu deh, Pa, pokoknya. Ribet, biasa lah, masalah siapa yang punya power. Makanya Haris diskors,” balas Haris. “Tapi udah damai kok, tenang aja.”
“Syukur kalo begitu... Mulai sekarang kalo butuh apa-apa yang bersangkutan sama kayak gitu-gituan, jangan sungkan-sungkan hubungi Papa. Ya?”
“Pasti,” jawabnya. Tentu, jangan lupakan bahwa seorang Haris bukan berasal dari keluarga sembarangan. Biar bagaimanapun juga ia adalah anak dari seorang perancang busana ternama dan seorang direktur SDM salah satu perusahaan perminyakan milik negara. Power bukanlah sesuatu yang tidak ia miliki. Ia bisa saja dengan mudah berlaku lebih sombong dari seorang Giovanno Sadewa, namun Haris tetaplah Haris. Bodo amat adalah nama tengahnya.
“Kapten gimana kabarnya?” Kini Haris balik bertanya. Sebagaimana Papa menggunakan panggilan kesayangannya, Haris menggunakan panggilan yang biasa ia gunakan untuk memanggil sang ayah dulu.
Papa sedikit tercengang, namun pada akhirnya tawanya lepas juga. “Selalu baik. Sangat baik hari ini karena udah ketemu Kak Haris.”
Haris mengulas sebuah senyuman manis yang selama ini tak pernah ia tampilkan. Setelahnya ia berucap dengan tulus, “Makasih udah mau nunggu Haris, Pa. Maaf Haris jadi bikin plan Papa berantakan, Haris terlalu kurang ajar jadi anak.”
Dibalasnya ucapannya itu dengan sebuah gelengan cepat, “Nggak, Kak. Papa ngerti kalo kamu butuh waktu, that's all. Kamu nggak kurang ajar, kok. Papa yang mau nunggu kamu, Papa yang terima kasih karena kamu mau ketemu Papa.”
Tak ada jawaban, Haris hanya tersenyum canggung. Selama ini Haris selalu bertanya pada dirinya sendiri, perihal alasan yang membuatnya enggan bertemu dengan Papa. Apakah karena ia terlalu benci sebab Papa meninggalkannya? Atau apakah kebenciannya justru hadir karena Papa kembali datang setelah ia berhasil membentuk dirinya menjadi seorang yang tangguh?
Jawabannya—bukan keduanya. Sebab Haris sama sekali tidak pernah membenci Papa. Malahan, pemuda itu merindukan sang ayah. Yang membuatnya enggan bertemu kembali adalah ketakutannya yang begitu dalam. Haris takut, ketika bertemu dengan Papa, beliau akan menjadi seorang yang lain. Haris takut akan menemukan kebahagiaan lebih besar yang sengaja Papa pamerkan kepadanya setelah beliau memiliki keluarga barunya. Haris tak pernah membenci, ia hanya cemburu. Pada kehidupan baru yang ayahnya miliki.
Namun semua sirna, setelah ia menemui Papa dan mendapati bahwa beliau masih sosok Papa yang sama. Yang selalu menganggapnya jagoan—paling hebat dan paling berani seantero ruang tamu. Yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan 'Kak Haris'.
Ah, andai Papa tak pergi hari itu, maka ia akan melihat betapa sang anak sulung tumbuh sesuai dengan julukan yang beliau berikan. Jagoan kecilnya tak hanya menjadi paling hebat seantero ruang tamu sekarang, melainkan seantero penjuru sekolah. Pesona dan kharismanya menyebar ke segala arah, di manapun kakinya berpijak. Membuatnya disegani dan begitu dihormati.
'Kak Haris' kecil milik Papa pun kini benar-benar tumbuh menjadi seorang kakak yang begitu mengayomi dan bijaksana. Seakan kedua tangannya dapat berikan naungan paling nyaman untuk adik-adiknya.
Andai saja kala itu Papa tak meninggalkan rumah. Maka ia akan tahu bahwa Haris-nya, tumbuh sebagaimana doa-doa yang ia langitkan.
“Kak,” seru Papa pelan. “Sebelum Papa pindah, ada sesuatu yang kamu pengen? Untuk Papa beliin mungkin?”
Mendengar pertanyaan Papa, Haris mendadak berpikir keras. “Kemarin Haura minta teddy bear raksasa, udah Papa beliin,” ucap Papa. “Hanum cerita laptop-nya rusak dan jadi sering pinjem punya kamu, udah Papa beliin yang baru.”
“Kamu, Kak?” tanyanya. “Mau apa? Bilang aja.”
Haris terdiam sesaat. Setelahnya, sebuah ide muncul di benaknya. “Tolong ambilin rapot bayangan Haris dan Hanum di sekolah, boleh?”
Alih-alih langsung menjawab, Papa justru menatap Haris bingung. “Nanti Mama gimana?”
“Mama lagi sibuk banget sampe beberapa bulan ke depan. Soalnya mau launching koleksi baru, Haris prediksi Mama nggak akan bisa dateng. Makanya Haris minta Papa yang ambilin. Itu juga kalo Papa bisa,” ucapnya.
“Bisa, Papa pasti bisa. Kasih tau aja kapan, Papa pasti dateng,” sahut Papa. Maka Haris tersenyum puas di tempatnya.
Setelahnya Papa menyerahkan sebuah tas belanja dengan logo centang yang Haris kenali sebagai merk produk olahraga yang sangat ia gemari. Meski bingung, Haris tetap menerima dan mengintip isinya. Terdapat sekotak sepatu yang entah bagaimana model dan ukurannya. “Karena Papa takut kamu nggak mau nemuin Papa, jadi Papa antisipasi beliin kamu hadiah.”
Dengan senyuman tipis, Haris menatap Papa seraya menahan tawanya. “Sepatu Haris udah banyak, Pa.”
Papa turut terkekeh, “Iya ya? I don't know, satu hal yang ada di otak Papa saat mikirin kamu tuh cuma sepatu. Inget dulu kamu selalu coba-coba make sepatu Papa setiap pulang kerja. Biarpun kegedean tapi tetep aja dipake jalan ke manapun. Mau jatoh, mau kesandung, mau siapapun nyuruh kamu copot, kamu nggak pernah dengerin.”
Keduanya sama-sama menertawakan memori yang sama. Hingga raut wajah Papa berubah sendu. “You've been trying so hard to put yourself in my shoes, Kak. Dari kecil sampai sekarang, selalu begitu. Walaupun terlalu besar, sering bikin kamu kesandung, sering bikin kamu jatuh, kamu tetep nggak nyerah. Papa cuma mau bilang satu, kamu mengisi peran Papa lebih baik dari Papa sendiri. And i'm super proud of you.“
Haris tertegun untuk kesekian kali. Netranya berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ia kendalikan agar tidak menangis. “Papa minta maaf, for the person you have to become when i left. Sudah, cukup sudah kamu mengisi peran Papa. Now it's time to put yourself in your own shoes. I'll put myself in mine. Untuk kalian semua, termasuk kamu,” ucap Papa. “Jadi anak sulung Papa, jangan berdiri sendirian. Jadikan Papa sandaran kamu. Boleh, Kak. Udah cukup kamu menanggung semuanya sendirian, semua yang terlalu berat di hidup ini, biar jadi tugas Papa. Kamu, nikmati masa remaja kamu.”
Gagal, gagal sudah upayanya untuk menahan air matanya. Tepat setelah Papa memintanya menjadikan dirinya sandaran bagi Haris, anak sulungnya itu langsung mengamini tanpa adanya sedikit penolakan. Hari itu, Haris membiarkan air matanya jatuh setelah tersimpan untuk sekian lama. Jagoan yang sama, yang menangis di hadapan Papa ketika kakinya terantuk ujung sepatu hingga membuat dahinya terluka. Jagoan yang sama, yang pada akhirnya berhenti menangis dan menjadi lebih kuat setelah menerima uluran tangan Papa.
“I hope the shoe fits.“
Haris mengangguk pelan setelah mengusap air matanya. Pemuda itu menghela napasnya lega, “Makasih, Pa.”
“Promise me to have fun, will ya?” ucap Papa.
“And so do you?“
Papa mengangguk yakin, maka Haris pun menyetujui janji dengan Papa. Untuk selalu bersenang-senang dengan hidupnya. Menjadi remaja yang rasanya sama sekali tak memiliki beban hidup. Hari itu, seakan seluruh beban di pundaknya diangkat seluruhnya. Haris tak pernah merasa lebih bahagia dan lega dari hari ini.
“Boleh Haris minta satu lagi?”
“Apa, Kak?”
“Jam tangan Papa.”
Otomatis Papa melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. “Ini? Ini udah lama, nggak mau Papa beliin yang baru aja? Atau yang lain deh, yang lebih bagus, nanti Papa bawain dari rumah.”
Haris menggeleng dengan sudut bibir terangkat, “Ini aja.”
Tak punya pilihan lain, Papa pun melepas arloji miliknya. Setelahnya memberikannya pada Haris dengan sukarela. Sejujurnya Permintaan Haris sangatlah sederhana, namun rasanya begitu penuh teka-teki. Berbeda dengan kedua adiknya yang langsung tahu apa yang mereka butuhkan, Haris terlihat seperti menembak asal semua permintaannya. Namun, lagi-lagi Papa tidak protes. Sebab keduanya sama. Sebagaimana Papa yang memiliki filosofinya sendiri di balik sepatu pemberiannya kepada Haris, pemuda itu memiliki filosofinya sendiri akan jam tangan yang ia minta dari Papa.
“Papa bilang, Papa hutang waktu sama Haris. Selama jam tangan ini masih berdetik, semuanya Haris anggap lunas,” ucapnya. “Let's just live in the moment and move forward, Capt.“
Papa tersenyum tipis, menampilkan seringai yang sama dengan yang Haris tampilkan pada wajahnya. Dalam hati keduanya merasakan kehangatan yang sama. Haura tidak salah ketika mengatakan bahwa keduanya benar-benar mirip. Fisiknya, tingkah lakunya, isi kepalanya.
Mana mungkin Haris bisa membenci Papa? Mana mungkin Haris bisa membenci belahan jiwanya? Semua itu hanya muncul karena manipulasi keadaan. Semua itu hanya muncul karena kekesalannya sebab dipaksa dewasa sebelum waktunya. Semua itu—rasanya hanya seperti amarah dan kesedihan sesaat ketika dirinya tersandung saat memakai sepatu Papa yang kebesaran.
Haris tak pernah membenci Papa. Tak akan pernah bisa. Sebab Haris dan Papa adalah dua yang tak bisa dipisahkan. Keduanya, adalah wujud nyata dari perumpamaan buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Atau lebih tepatnya—
Like father, like son.