Don't Give Up On Love
Haris sedang melamun seraya meneguk sekaleng soda yang sedari tadi bersarang di tangannya ketika Adel secara tiba-tiba melemparkan satu bungkus makanan ringan dari atas. Rumah keduanya yang memang berhimpitan di komplek itu membuat Adel dan Haris sangat mudah untuk berinteraksi. Bahkan balkon kamar keduanya pun bersebelahan, membuat mereka seringkali mengobrol bersama ketika sama-sama susah tidur.
Haris mendongak hendak mengutarakan protes, namun Adel hanya tertawa. “Ngelamun aja, Bang? Ngobrol ngapa ngobrol!” ucapnya dengan suara cempreng khas Adelia.
“Ngapain sih lo?” tanya Haris jengkel.
“Gue join dong, boleh nggak? Gabut nih!” jawab Adel. Setelahnya Haris mendengus, namun akhirnya tetap memperbolehkan Adel untuk bergabung bersamanya. Biarkanlah, lagipula gadis itu pun sudah berbaik hati melemparinya camilan.
Tak perlu menunggu lama, Adel pun sampai pada gerbang rumah Haris yang langsung dibukanya tanpa perlu menunggu sang tuan rumah. Sebab toh, rumah Haris sudah seperti rumah sendiri baginya. Begitu pun sebaliknya.
Adel segera mengambil tempat di sisi Haris. Kemudian dengan cepat ia menyambar snack ciki berbentuk segitiga dengan rasa jagung bakar yang ia lemparkan tadi dan membuka bungkusannya lebar-lebar agar bisa dinikmati oleh keduanya. “Lo ngapain, Ris? Dari tadi gue pantau kagak masuk-masuk. Galau? Ada masalah? Lo nggak diskors lagi, kan?” tanya Adel bertubi-tubi. Kebiasaan, pikir Haris.
“Ngadem aja, emang nggak boleh?” tanya Haris.
“Boong banget, lo bisa ngadem di kamar lo pake AC. Ngapain repot-repot keluar segala?” sahut Adel seraya mengunyah.
Haris mendelik protes, “Lah, suka-suka gua, lah! Rumah rumah gue kenapa jadi lo yang ngatur?”
Adel terkekeh, “Oh iya. Bener juga.”
“Tapi iya sih, gue sebenernya lagi galau,” balas Haris.
“Yeh, si tol—”
“Mau dengerin gue nggak?” tanya Haris. Membuat Adel spontan mengangguk mengiyakan, namun yang pasti, bukan tanpa syarat.
“Tapi besok jemput gue sekolah, yak? Motor gue masuk bengkel lagi,” ucap Adel menodong.
“Iya.”
“Beli cimol tujuh rebu?”
“Iya.”
“Oke, proceed!”
Haris hanya bisa geleng-geleng kepala setiap kali Adel berlaku seperti ini. Namun dirinya tak pernah keberatan. Adel dan Haris memang partner jajan sejak kecil. Tak hanya Adel yang suka memalak, melainkan Haris pun sama. Seperti kemarin ketika studi banding ke sekolah yang kebetulan merupakan sekolah Adel, Haris dengan segera menghubungi Adel—awalnya untuk meminta Adel menyelamatkannya dari para perempuan yang secara terang-terangan mendekati Haris, namun berujung Haris meminta traktiran makan di kantin sekolah Adel.
“Jadi, gini—”
Belum sempat Haris mengeluarkan sepatah kata berikutnya, Adel terperangah akibat teringat sesuatu. “Tunggu!” ucapnya, membuat Haris menghentikan ucapannya bingung seraya mengangkat sebelah alisnya.
“Yang waktu itu lo tanyain ke gue tuh—bukan temen lo ya?! Itu elo, kan? Yang nyatain perasaan terus ditinggal kabur?!” tanya Adel menggebu-gebu.
Di hadapannya, Haris tersenyum miring. Ini lah yang membuatnya betah berteman lama dengan Adel. Gadis itu selalu bisa memahaminya meski hanya lewat kontak mata atau gestur kecil Haris. Plus, Adel selalu mengingat apapun yang Haris ceritakan.
“Iya, bener,” jawab Haris.
“Aah, jangan didengerin omongan gue waktu itu, Ris! Gue waktu itu bales cepet aja soalnya lagi hectic nugas. Lagian, lo juga nggak nyeritain konteksnya gimana. Jadi gue asal jawab aja, sorry banget,” jelas Adel.
Alih-alih kembali bangkit, semangat Haris justru kian merosot hingga titik paling bawah. Haris benar-benar sudah enggan berjuang. “Tapi gue nyerah aja deh, Del,” ucapnya. “Gue capek. Lagian kayaknya, keluarga gue emang nggak akan pernah beruntung kalo soal ginian.”
Haris menunduk tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya. Pemuda itu meneguk kembali sodanya hingga habis tak bersisa kemudian meletakannya asal di dekat kakinya. Membuat Adel meringis, rupanya itu bukan kaleng soda satu-satunya. Terbukti dari adanya dua kaleng soda lain yang turut berjajar di dekat kaki Haris. Ah, kalau sudah begini, tandanya Haris benar-benar patah hati.
Adel otomatis merebut kaleng soda yang baru saja Haris buka—yang hampir menjadi kaleng soda keempat yang akan pemuda itu habiskan. Setelahnya meletakannya jauh-jauh dari Haris. Ekspresi Adel berubah sekarang, gadis itu secara tiba-tiba menggertak Haris seraya memukul lantai teras rumah pemuda ifu sekeras-kerasnya.
“WOI!”
Haris bergidik, “Kaget gua, anj-”
“DENGERIN GUA YA! Lo jangan nyerah secepat itu dongg!!! Ris, look at me, look at me!” ucap Adel. Memutar paksa tubuh Haris ke arahnya seraya menjentikkan jari seakan berusaha mengembalikan kesadaran Haris.
“You're THE Haris. Yang dari dulu, nggak pernah absen nerima pernyataan suka orang-orang bahkan sejak usia lo TUJUH tahun. Oke?” Adel berucap selayaknya ia adalah seorang pelatih yang sedang menatar anak didiknya. “Remember Vanessa? Waktu SMP? Primadona, dia udah kayak dewi banget tapi lo tolak gitu aja sampe lo dikatain GILA sama satu angkatan. Ris, come on!“
“Gue nggak ngerti maksud lo,” jawab Haris jujur.
Adel berdecak sebal sebelum melanjutkan bicaranya. Setelahnya gadis itu menghela napasnya. “Dari dulu lo selalu nggak peduli sama siapapun yang suka sama lo. Lo selalu menghindar dari mereka dengan alasan yang sama. Lo nggak mau terjun ke dalam urusan percintaan karena takut berujung sama kayak orang tua lo,” ujar Adel. “Sekarang, gue nggak tau apa yang berhasil bikin lo akhirnya berubah pikiran dan berani terjun meladeni urusan percintaan pada usia lo sekarang. Tapi yang jelas, Ris, itu tandanya Gia hadir di saat yang tepat. Makanya lo nggak boleh nyerah gitu aja.”
Haris hanya diam. Sebab perkataan Adel selalu berhasil mengenai pikirannya tepat pada sasaran. Gadis itu berkata benar, sejak dulu Haris selalu menghindar dengan alasan ia harus selalu menjaga keluarganya. Setidaknya sampai kondisi mereka benar-benar baik dan stabil untuk berdiri sendiri tanpa bayang-bayang Papa.
Haris bahkan harus mendapat cibiran dari tiga angkatan di sekolahnya sebab menolak Vanessa mentah-mentah tak peduli seberapa keras gadis itu mencoba mendapatkan hatinya. Haris selalu mengatakan bahwa ia belum siap untuk membuka hatinya, mengingat kondisi keluarganya saat itu.
Namun sekarang, kondisi keluarganya sudah stabil. Sudah bisa berdiri sendiri tanpa bayang-bayang Papa. Bahkan Mama nampak jauh lebih bahagia dari yang pernah Haris tahu selama ini. Adel benar, Gia datang di saat yang tepat.
“Let's not give up on love,” ucap Adel. “Apalagi ini yang pertama buat lo, jangan nyerah secepat itu.”
Haris menoleh, mengangkat sebelah alisnya. Mempertanyakan maksud dari kalimat yang baru saja Adel utarakan.
Adel terkekeh, entah tertuju pada Haris atau justru dirinya sendiri. “Once you had your first love and it didn't work, they became the standard of your upcoming love.“
Haris sontak menoleh. Lagi-lagi perkataan Adel tepat. Haris tahu setelah ini ia takkan mencari lagi seorang yang lain untuk mengisi hatinya. Kalaupun ia harus mencari, pasti Haris akan mencari yang sama seperti Gia. Tapi akankah ada yang sama?
“You'll never forget your first love tau, Ris. Don't give up on love, at least not this one,” ucap Adel lagi.
At least not this one.
“Fase mencintai tuh banyak kok, Ris. Dan itu nggak cuma berjuang aja. Kadang kita juga harus nunggu, harus ngasih waktu, sampe nanti tahap akhirnya, ngelepasin. Lo kan berjuang, udah. Walaupun lo nggak cerita sama gue detailnya gimana, tapi gue tau lo nggak bakal diem aja sementara perasaan lo makin besar setiap hari,” ujar Adel. “Nah, sekarang giliran lo nunggu. Mungkin ini juga pertama kalinya buat Gia, jadi dia nggak terbiasa. Mungkin Gia lagi berusaha buat adaptasi, menyesuaikan diri sama situasi kayak gini. Atau mungkin dia lagi mastiin perasaannya ke lo gimana, kayak waktu lo pas awal-awal suka sama Gia. Hang in there just a little bit more, okay?“
Haris memandangi Adel penuh arti. Benar. Sejak awal ia hanya mempersiapkan pertempuran hingga sekarang tak ada lawan yang tersisa—kecuali dirinya sendiri.
“You've waited for a lifetime to found someone like her. Masa mau dilepas gitu aja cuma karena ditinggal kabur pas nyatain perasaan lo? Segitu doang, Ris, tenaga lo?”
Haris terkekeh. Setuju, lagi-lagi ia setuju dengan apa yang Adelia katakan.
Maka Haris mengangkat dagunya sedikit, kemudian memamerkan senyum miring yang selama ini selalu Adel temukan setiap kali kepercayaan diri pemuda itu meningkat. Membuat Adel ikut tersenyum puas di hadapannya. Adel tahu, doktrinnya berhasil. Adel tahu, detik itu juga, Haris menarik kembali ucapannya.
Haris tidak akan menyerah,
tidak untuk yang satu ini.