Belajar

“Mau belajar apa?”

Damar menanyai ketiga temannya tepat saat mereka baru saja sampai. Membuat helaan napas panjang terdengar dari segala penjuru. “Belom juga naro pantat. Napas dulu kenapa, Dam!” keluh Haris.

Damar hanya terkekeh, tak marah sebab sudah hapal di luar kepala kelakuan ketiga temannya. Pria itu kini memilih untuk melipir ke dapur, untuk memberi mereka asupan air dingin untuk kembali menyegarkan diri setelah menempuh perjalanan dari sekolah ke rumah Damar yang panas.

Seluruh personel petantang-petenteng kini kompak menanggalkan seragam putih masing-masing, menyisakan kaus sederhana dengan warna berbeda yang digunakan sebagai kaus dalam. Cuaca hari ini cukup panas, membuat para remaja SMA yang baru saja pulang sekolah itu mendapati wajah-wajah lepek dan kusam—yang tetap tak dapat lunturkan pesona masing-masing.

Ojan bergerak lebih dulu, bangkit menuju pintu dan berniat untuk menutupnya lantaran takut adanya debu yang masuk ke dalam ruang tamu Damar. Namun niatnya segera ditahan oleh Haris, “Buka aja, Jan.”

“Iya, buka aja. Kalo ditutup bau apek, anjrit!” timpal Dhimas.

Ojan menoleh menatap kedua temannya, sebelah tangannya masih memegangi sebilah pintu kayu rumah Damar sementara tangan kanannya bertengger di pinggang. “Ya, nggak pa-pa. Nikmati lah hasil keringat lu sendiri.”

“Bukan begini maksudnya, berengsek! Bisa mati kebius kita semua di sini,” balas Dhimas. “Udah buka aja!”

Ojan pada akhirnya tertawa dan membiarkan pintu tetap terbuka lebar. Setelahnya ia mengambil tempat di sebelah Dhimas dan mengipas-ngipasi dirinya sendiri. “Udah gue bilang, Damar harusnya pasang AC aja di sini. Taro di atas kepala sini kalo bisa,” ucapnya ngawur.

“Lo mau bayarin listrik rumah gue emang?” tanya Damar yang kini datang dengan empat botol air putih dingin di tangannya. Membuat enam pasang mata yang melihatnya itu langsung berbinar. Bagaikan predator yang menangkap dan mengunci mangsa dengan matanya, Haris, Dhimas, dan Ojan dengan sigap menyerbu botol berisi air dingin itu.

Ojan meneguk air dingin miliknya sebelum membalas ucapan Damar. “Kan gue bilang, kita patungan. Gue dua ribu, lo semua sisanya,” katanya seraya tertawa.

Damar hanya menggelengkan kepala mendengar celetukan Ojan yang memang tidak pernah serius. Pria itu mendudukkan dirinya di sebelah Haris, bersandar pada sofa rumahnya. “Mau belajar apa dulu, Jan?” tanyanya.

“Belajar mengikhlaskan aja deh gue, Dam..” balasnya.


“Ini kenapa minus sih? Kenapa suka banget minus-minusin gini, dah? Lama-lama otak gue makin minus!”

Kalimat itu menjadi keluhan yang sudah tak terhitung jumlahnya yang keluar dari mulut Ojan lantaran perpindahan ruas pada persamaan matematika yang ia kerjakan. Di hadapan Damar dan Dhimas yang sudah mengerahkan segala strategi untuk mengajarkannya, Ojan kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ini tadi dari mana coba sekali lagi ayo kita bahas menggunakan kepala dingin dan musyawarah mufakat,” ucap Ojan yang langsung membuat Dhimas membanting pensilnya, menyerah. Kini tersisa Damar yang memiliki kadar kesabaran paling tinggi yang masih berjuang untuk membuat Ojan paham.

“Gini, bagian kanan ini tuh harus sama dengan nol. Makanya yang ada di kanan ini harus pindah ke kiri,” jelas Damar. Di hadapannya, Ojan hanya mengangguk sambil terus menyimak, berusaha mencerna penjelasan Damar ke dalam otaknya. “Nah, kalo yang tandanya plus jadi minus, yang tandanya minus jadi plus,” lanjut Damar lagi.

Bagaikan menemukan sebuah jarum yang ia cari di tumpukkan cerami, wajah Ojan bersinar cerah dengan kedua bola mata yang pancarkan binarnya. “HOOOOOOOOOO GITU??? Harus gitu selalu, Dam?”

“Iya,” balas Damar dengan raut wajah yang sudah bete abis. Namun untung-lah ia tetap mendapatkan hasil baik yang menjadi buah kesabarannya.

“Ya udah, udahan dulu aja lah, Dam,” ucap Ojan. “Gue liat-liat muka lo semua udah nggak bersemangat, padahal gue sangat-sangat antusias loh sekarang!”

Selesai dengan ucapannya, Ojan auto mendapat geplakan sayang dari Dhimas. Mendarat tepat di kepalanya. “Gaya, lu! Antusias, antusias,” cibir Dhimas. “Semua saksi mata juga tau lo dari tadi full ngang ngong ngang ngong!”

“Suudzon lu! Emang lu tau isi hati dan pikiran gue, Dhim? Tidak boleh berprasangka buruk begitu, kawan!”

“Sst! Dah, ah, berisik! Liat tuh temen lo bengong aja dari tadi,” ucap Dhimas seraya menunjuk Haris dengan dagunya. Membuat Damar dan Ojan otomatis menoleh ke arah Haris.

Yang menjadi pusat perhatian pun sontak tersadar. Haris menatap ketiga temannya dan langsung mengalihkan pembicaraan. “Udahan lo belajarnya?”

“Kita selesai udah dari dua hari yang lalu sih, Ris,” balas Ojan asal. “Ini balik lagi aja buat jemput lo yang masih bengong sendirian.”

“Ngarang lo!”

“Kenapa, Ris?” tanya Dhimas si paling peka. Pemuda itu langsung tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Haris saat matanya menangkap Haris yang melamun.

Haris terkejut sesaat sebelum akhirnya gelagapan sebab tak tahu harus menjawab apa. Ingin mengelak, namun ia tahu teman-temannya pasti menangkap kebohongannya. “Hah? Nggak,” jawabnya.

“Cerita aja lagi,” sahut Damar.

“Tau, lo! Sok banget ngumpet-ngumpetin gitu, nanti stress emang siapa yang repot?” balas Ojan.

“Siapa, Jan?” tanya Dhimas.

“Yang jelas sih bukan gue,” balas Ojan disusul kekehannya. Membuat Dhimas memutar matanya malas lantaran berekspektasi terlalu tinggi.

“Bapak gue ngajak ketemu,” celetuk Haris.

Sontak ketiga temannya itu menoleh melotot ke arahnya yang kini menunduk.

“SERIUS, RIS?!” Seperti biasa, Ojan memberi reaksi paling heboh. Sementara Haris di hadapannya kembali mendongak dan hanya menjawab lewat sebuah anggukan.

“Terus? Lo nggak mau ketemu gitu ceritanya? Hanum sama Haura gimana?” tanya Dhimas, si paling suka memberi tanggapan logis dan penuh pertimbangan.

“Hanum sama Haura justru udah ketemu. Tinggal gue,” jawab Haris.

“Lah mereka udah ketemu?” Ojan mengulangi pernyataan Haris. Memastikan bahwa dirinya tak salah dengar. Setelah Haris mengangguk, ia kembali bertanya. “Terus kenapa lo nggak ikut?”

Haris menghela napasnya, menyandarkan punggungnya di sofa dan meluruskan kedua kakinya pasrah. “Nggak tau...”

Hening mengisi ruang untuk sementara. Haris hanya diam sementara yang lain menunggu kelanjutan ceritanya. “Gue sebenernya juga kangen banget sama Papa. Pengen ketemu lagi, pengen ngobrol lagi—tapi itu dulu,” ucap Haris. “Sebelum gue terbiasa sama ketidakhadiran Papa. Sekarang gue udah gede, udah nggak butuh dia lagi.”

Damar tertawa tipis, “Yakin udah nggak butuh?”

“Yakin. Selama ini buktinya gue fine fine aja tanpa dia,” balas Haris.

“Menurut gue lo tuh cuma mati rasa aja, Ris. Bukan bener-bener ngelupain bokap lo,” sahut Damar lagi. “Iya, lo terbiasa tanpa dia, tapi lo belom bener-bener mengikhlaskan semuanya gitu. Lo cuma ngubur aja itu di dalem hati lo, jadi kayak menggumpal terus beku aja di dalem. Pasti lo ngerasa ganjel kan pas papa lo ngajak ketemu lagi? Tapi lo nggak tau apa yang ganjel?”

Tepat. Tepat sekali, tebakan Damar sangat akurat dengan apa yang Haris ingin utarakan. Hanya saja pemuda itu tak menemukan kata-kata yang tepat.

“Iya, bener banget. Nggak tau kenapa gue rasanya mau marah, tapi udah basi. Jadi males aja, tapi gue nggak ngerti kenapa adek-adek gue pada seneng banget ketemu dia,” sahut Haris.

“Ya, karena mereka—Hanum sih, kalo Haura kan belom tau ya. Karena Hanum udah mengikhlaskan semuanya. Dia tau kalo bawa-bawa dendam dari masa lalu itu juga nggak akan ngubah apapun di masa depan, dia tau kalo bawa-bawa dendam dari masa lalu justru cuma bikin masa depan lo stuck dan nggak maju-maju. Semuanya sia-sia, Ris. Lo bakal capek doang nantinya,” jawab Damar.

Haris resmi terdiam. Memang benar kata Ojan, Damar ini benar-benar memancarkan aura kebapakan. Entah bagaimana caranya temannya yang satu ini begitu dewasa hingga semua tutur kata yang meluncur dari bibirnya bisa begitu menenangkan dan menghangatkan. Bahkan rasanya Haris tak perlu jauh-jauh untuk mencari figur ayah yang dapat dicontoh.

“Saran gue sih, temuin aja, Ris,” balas Dhimas. “Gumpalan yang tadi Damar bilang itu nggak akan ilang kalo lo nggak temuin sumbernya. Kalo lo udah temuin sumbernya, nanti lo tau apa yang sebenernya lo rasain. Marah atau enggak, benci atau enggak, gitu-gitu deh.”

Lagi-lagi Haris menghela napasnya. “Harus banget, ya?”

“Mumpung masih ada, sih,” balas Dhimas lagi.

“Apanya?” tanya Ojan, benar-benar tidak mengerti sebab yang diucapkan Dhimas memang ambigu.

“Kesempatannya,” balas Dhimas juga. “Bokapnya juga. Coba kalo kayak gue sama Damar, lo cuma bisa nyesel doang tau, Ris.”

“Agak dark gitu ya pembicaraan ini..” timpal Ojan.

“Tapi betul, umur mana ada yang tau? Gue aja lagi haha-hihi tiba-tiba balik-balik Bapak nggak ada,” tambah Damar.

“Papa lo kenapa tiba-tiba mau ngajak ketemu, Ris?” tanya Ojan. “Tapi kalo nggak mau jawab, nggak pa-pa, sih.”

Haris memincingkan bibir, “Papa mau pindah sama keluarganya ke Makassar. Pindah tugas, disuruh ngurus kantor yang di sana. Nge-handle SDM yang di sana. Keluarganya udah pada di sana, dia doang masih di sini. Belagu banget orang kaya dua kali cancel flight.”

“Lu kan juga orang kaya! Waktu itu lo cerita Mama lo gabut terus tiba-tiba ke Paris sendirian,” balas Ojan tidak terima.

“Itu kan emak gue bukan gue. Gue mah nggak mampu begitu,” balas Haris.

“Tapi motor lu dua!”

“Kan emak gue yang beliin, bukan gue yang beli sendiri! Lo kenapa ngotot banget gue orang kaya sih, Jan?!”

“Ya, karena emang lo kaya!”

“Orang tua gue yang punya banyak duit, gue enggak—belom,” balas Haris, meralat sedikit ucapannya di bagian akhir.

“Sst! Kenapa jadi ributin kekayaan dunia gini? Semua juga tau di sini yang paling kaya tuh gue, soalnya gue selalu salat dua rakaat sebelum subuh. Dunia dan seisinya milik gue,” balas Dhimas bangga.

Kesal, Haris, Damar, dan Ojan otomatis melemparkan botol plastik masing-masing ke arah Dhimas. Membuat pria itu merintih kesakitan sebab dianiaya oleh ketiga temannya.

“Masuk neraka lu, bego! Kecatet dosa riya!” ucap Haris.

Selalu begitu dengan Petantang-Petenteng. Atmosfer hangat dan menyentuh hanya akan bertahan beberapa sekon sebelum salah satu dari mereka mulai berulah. Namun setidaknya, hari ini bukan hanya Ojan yang belajar sesuatu. Melainkan juga Haris.

Benar kata Hanum yang didukung Damar dan Dhimas, ia harus belajar melepaskan.