Magrib

Damar dan Aghniya sudah selesai belajar. Setelah berkutat dengan soal-soal selama kurang lebih dua jam, keduanya berhasil mengerjakan lima belas soal Fisika.

“Dahhh. Selesai,” ucap Aghniya lega.

“Jangan lupaaaa,” ucap Damar.

“Jangan lupa apa?”

“Tulisdiketahui sama jadi, kalo nggak nanti dikurangin nilai lo,” balas Damar lagi.

“Oh iya bener. Diketahui jadi diketahui jadi diketahui jadi! Jangan lupa!” Aghniya bermonolog merapal kata-kata itu berulang kali, memasukkannya ke kepala.

Damar tersenyum tipis, bahkan gadis di hadapannya itu tak menyadari. “Gue balik ya?” ucap Damar.

“Bentar lagi Magrib, nggak nunggu azan dulu?” tanya Aghniya.

“Iya sih, ya udah deh.”

Benar ucapan Aghniya, selang beberapa menit, azan kembali berkumandang. Menandakan waktu ibadah keempat dalam sehari tiba. Keduanya diam dan menyimak, setelahnya bersama-sama membaca doa setelah azan.

“Mau salat di masjid apa gimana, Dam?” tanya Aghniya.

“Masjidnya jauh nggak?”

“Lumayan, sih..” jawab Aghniya.

“Di sini boleh?” tanya Damar.

“Aghnii, salat dulu, Nak,” ucap Ayna yang tiba-tiba muncul dari kamarnya.

“Iyaa, Bun. Ini Damar mau salat juga, Bun.”

“Ohh, ya udah. Jamaah aja gimana?” usul Ayna. “Berhubung ada Damar tuh, dari pada sendiri-sendiri mending jamaah. Damar jadi imam ya?”

“Hah?”

Usul ibunya sendiri membuat Aghniya menegang. Entah bagaimana ia harus menghadapi ini. Gadis itu masih terdiam di tempatnya tanpa ada yang menggubris keterkejutannya. Beruntung dirinya berdiri membelakangi Damar sehingga pemuda itu tidak melihat ekspresinya.

“Nggak pa-pa, Bun?” Damar memastikan.

“Nggak pa-pa, yuk ambil wudhu,” ajak Ayna. Kemudian Damar berlalu mengikuti langkah Ayna, mendahului Aghniya yang masih terdiam kaku.

Ya Allah, mau salat masa jatuh cinta dulu?