Om Danny

Aghniya melangkahkan kakinya menuju ruang tamu dengan sedikit tergesa. Sedikit, itupun karena sudah mendapat peringatan dari sang ibu. Kalau tidak, gadis itu bisa berlari sangking semangatnya.

Sesampainya di sana, ia menemukan kehadiran paman satu-satunya yang benar-benar jarang bisa gadis itu temui lantaran sibuknya pamannya itu. Mengurus bisnis kesana-kemari, ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Maka jika pria itu bisa hadir menemuinya, Aghniya tak akan menyia-nyiakan waktu.

“Om Danny!!” sapanya. Danny menyambut keponakannya itu dengan sukacita. Memeluk gadis itu kemudian membiarkannya duduk di sebelahnya dan bersandar pada bahunya.

“Wangi amat, Om?” ucap Aghniya.

“Iya lah, emang kamu? Bau asem!”

“Enak ajaa! Aghni nggak mandi juga wangi tau,” balas Aghniya.

Danny membalas perkataan keponakannya itu dengan gelak tawa yang menyebabkan mata sipitnya semakin menyipit.

“Tumben bisa ke sini, Om? Lagi nggak ada kerjaan?” tanya Aghniya.

“Iyaaa, baru aja selesai kerjaan Om. Makanya bisa santai sebentar, jadi ke sini deh. Kerjaan kantor dipegang papamu, hehe,” balas Danny.

“Hooooo begitu ternyata cara kerjanya Om Danny? Memanfaatkan Papaji?” canda Aghniya.

“Nggak gitu dooong, kan emang udah bagi tugaas. Om Danny ngurusin yang di luar kota dan luar negeri, Papaji ngurus yang di sini. Kalo Om Danny semua yang megang kapan ketemu kamunya?”

“Hidiiihh,” balas Aghniya.

“Mas, aku tinggal ya? Ini kopinya jangan lupa diabisin. Selamat ngobrol!” ucap Ayna yang sedaritadi sudah berbincang dengan Danny.

“Oh, iya, Ay. Makasih banyak yaa!” balas Danny yang hanya mendapat anggukan dari Ayna. Setelahnya wanita itu kembali menyelesaikan pekerjaannya di dapur yang sempat tertunda.

“Gimana sekolah?” tanya Danny sembari menyesap kopi yang disuguhkan Ayna.

“Yaaa begitu. Alhamdulillah lancar, Om. Aghni tadi baru kuis, tapi pas nyocokin sama temen beda dua nomor gitu jawabannya. Nggak tau deh, nilainya berapa,” jawab Aghniya.

“Nggak pa-pa, yang penting udah usaha. Toh kalo nilainya jelek Bunay sama Papaji nggak pernah marah, kan?” balas Danny.

Gadis itu mengangguk, “Iyaa sih, Om. Tapi rasanya kayak males aja gitu. Kecewong.”

Danny tergelak kala mendengar bahasa buatan keponakannya. Kemudian gadis itu ikut tertawa lantaran mendengar tawa Danny yang menurutnya selalu menular. “Kenapa kecewa? Bunay, Papaji, Om Danny aja nggak pernah kecewa sama kamu. Kenapa kamu kecewa sama diri sendiri?”

“Soalnya tuhhhhhh, seebbbellll gitu!”

“Hahaha, kan udah usahaa. Kalo udah usaha ya udah dong, Cantikk. Ikhlasnya gimana coba gimana?”

“Hadaaaaaaaaaaah,” ucap Aghniya. Gadis itu menghela napas berkali-kali seraya berusaha melepas segala beban yang bersemayam di hatinya. Berusaha melepas segala hal yang tak bisa ia kendalikan. Lagi-lagi Danny tertawa.

Tak perlu lagi digambarkan betapa pria itu menyayangi anak perempuan milik adiknya itu. Dirinya yang belum menikah dan memilih membiarkan sang adik menikah lebih dulu, tadinya sempat berpikir bahwa ia akan terlupakan. Danny sempat berpikir dirinya akan sendirian lantaran Aji pasti akan fokus pada keluarga kecilnya.

Rupanya dugaannya salah. Bahkan setelah menikah dengan Ayna, Aji tetap adik yang baik. Pria itu tak lupa mengunjungi Danny di apartemen miliknya setiap minggu. Membawakannya makanan masakan Ayna agar pria itu tak lupa hangatnya masakan rumahan yang dimasak penuh cinta oleh seorang ibu. Karena sepeninggal kedua orang tua Danny dan Aji, hanya satu sama lain-lah yang keduanya miliki.

Hingga suatu Minggu pagi, Aji dan Ayna datang dengan membawakannya makanan seperti biasa. Rupanya, sepasang suami-istri itu tak hanya datang dengan sebuah soto ayam hangat hari itu, melainkan dengan sebuah kabar paling menggembirakan bagi keluarga kecil mereka. Termasuk Danny.

“Assalamu'alaikum, Mas!!” Aji mengucap salam dengan semangat. Mendengar ketukan tak henti-henti dari balik pintunya, Danny bergegas membukakan pintu. Pria itu hapal di luar kepala siapa yang akan menjadi tamunya setiap Minggu pagi.

“Sabar, Ji, ah! Masuk, Ay,” ucap Danny.”

“Masak apa, Ay hari ini?” tanya Danny ketika sudah kembali ke dalam.

“Nggak masak, Mas. Ini tadi beli, tiba-tiba aku pengen soto ayam. Jadi beliin sekalian buat Mas Danny sekalian ke sini,” balas Ayna.

“Ohhh, ya udah nggak pa-pa, makasih banyak loh, Ay, Ji, masih inget aku,” ucap Danny. Setelahnya pria itu menyediakan piring beserta alat makan untuk dirinya dan kedua tamunya.

“Kok bisa tiba-tiba pengen soto ayam, Ay? Udah lama nggak makan ya?” tanya Danny sembari mengaduk-aduk soto ayam miliknya.

“Ponakan lo, Mas yang pengen. Tuh di perut Ayna,” balas Aji terang-terangan.

Ucapan Aji membuat Danny lantas tertegun di tempat. Gerakannya mengaduk soto ayam itu terhenti, tangannya menggantung di udara. Pria itu menoleh ke arah Ayna yang sudah senyum-senyum dengan suaminya. “Seriusan?” Danny memastikan.

“Serius, Mas. Aku baru cek beberapa hari yang lalu ke dokter, alhamdulilah hasilnya positif,” balas Ayna. Membuat kedua pria di hadapannya itu bersorak-sorai dan berpelukan dengan girang.

“Oh pantesan ni bocah satu pengen buru-buru pulang, padahal lagi ku ajak bahas urusan kantor, Ay!” balas Danny yang mendapat gelak tawa Aji dan Ayna.

“Selamat ya, Ay, Ji! Ya ampun, aku yang pengen nangis, loh,” ucap Danny.*

“HAHAHA, MAAAS! MAS AJI UDAH KEJER DULUAN KEMARENN, nangis aja nggak pa-pa, kok!” balas Ayna.

“AYY, KOK KAMU BOCORINNN???” sambar Aji tak terima.”

“Kalo butuh apa-apa bilang ya, Ay!” ucap Danny tulus.

“Iya, Mas. Terima kasih banyakk!” balas Ayna.

Tentu, masih terekam jelas dalam ingatan Danny akan Minggu pagi paling indah kedua dalam hidupnya. Sebab Minggu pagi ketika dirinya mendapat hadiah sepeda dari orang tuanya masih setia menjadi yang pertama.

Danny menyayangi Aghniya sebagaimana gadis itu adalah anaknya sendiri. Bagaimanapun juga, Aghniya yang membantunya mengisi kekosongan dalam hati. Terkadang Danny merasa sendiri, namun hatinya selalu kembali penuh ketika mengunjungi rumah keluarga Aji. Membaur di sana, bercengkerama dengan Aji, menyesap kopi buatan Ayna dan turut bergabung di meja makan keluarga kecil adiknya, serta bagian favoritnya, bermain bersama Aghniya.

Danny selalu menyetujui ucapan Aji mengenai kehadiran Aghniya. Aji benar, kehadiran anak perempuannya itu memberikan semangat baru bagi keluarganya setiap hari. Kegembiraan baru yang tak ternilai harganya. Sama seperti Aji, Danny tak akan bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia juga mensyukuri kehadiran Aghniya dalam dunia ini. Bahkan tangisan Danny lebih keras dari Aji ketika Aghniya pada akhirnya lahir ke dunia. 22 Juli 2002, kemudian menjadi hari paling bahagia bagi Danny. Hari di mana dirinya memiliki kesempatan menjadi seorang paman.

“Om, ngomong lagi dong kok diem aja sih?” ucap Aghniya mengagetkan Danny.

“Hahaha, maaf maaf. Suka nggak nyangka kamu tuh udah gede banget. Om jadi suka inget dulu pas Papaji sama Bunay masih berduaan, dua-duanya suka ke rumah Om Danny. Bawain makanan, terus ada kamu. Dari kecil sampe sekarang udah segede gini. Om kaget gitu kadang-kadang,” ucap Danny.

“Makanya sering-sering main dong sama Aghni. Sering-sering ke sini,” balas Aghniya.

“Nah, ini Om tuh ke sini mau ngajak main Aghni. Jalan-jalan mau nggak?” tanya Danny.

“Kapan Om? Sekarang? Ayokkkk!!” balas gadis itu antusias.

Danny tertawa sembari mengelus pucuk kepala Aghniya. “Ya nggak sekarang dong, emang besok Aghni nggak sekolah?”

“Sekolah, sih..”

“Nah, kan. Jumat ya? Jumat, Sabtu, Minggu nanti kita jalan-jalan,” balas Danny.

Sebuah sumringah dan binar di mata Aghniya kembali nampak mendengar balasan Danny. “BENERAN? TIGA HARI?!”

“Beneeeer! Kapan Om Danny pernah boong?”

“Nggak pernahh!”

“Iya makanya. Jumat yaa? Pulang sekolah nanti Om ke sini. Kita jalan-jalan nanti, oke?” ucap Danny.

“HOKEH!”