Sabtu
Sabtu pagi, Aghniya dan keluarganya sudah siap di mobil untuk menuju tempat bertemu Danny dan calon istrinya. Gadis yang menjadi anak tunggal di keluarganya itu gembira sejak pertama kali membuka matanya hari ini. Sepanjang jalan pun ia terus bersenandung riang mengikuti nada lagu yang diputar di radio mobil saat itu.
“Papa kok biasa aja sih, Pa? Emang nggak deg-degan mau ketemu kakak ipar?” tanya Aghniya seraya melongok ke kursi supir, menyandarkan dagunya di sana.
“Ya, terus Papa harus bersikap gimana emang?” tanya Aji.
“Yaaaaa, nggak tau sih. Tapi emang nggak kepo, Pa?” tanyanya lagi.
“Enggak. Papa udah pernah ketemu Juli,” jawab Aji.
“Juli?”
“Om Danny manggilnya Juli,” jawab Aji lagi.
“Kok Papa manggilnya Juli juga? Emang dia nggak lebih tua dari Papa?” tanya Aghniya.
“Enggak Sayang, Tante Jul seumuran Bunay,” kini Ayna menjawab. Membantu suaminya agar bisa tetap fokus menyetir.
“Oh iyaa?” ucapnya yang hanya dibalas anggukan oleh Ayna.
“Ih kok bisa?”
“Dulu kan Om Danny satu kampus sama Bunay sama Papaji. Nah, Tante Juli tuh satu angkatan sama Bunay. Papaji satu tingkat di atas Bunay, Om Danny dua tingkat di atas Bunay,” jelas Ayna.
“Lah berarti cuma aku dong yang nggak kenal?” tanya Aghniya menunjuk dirinya sendiri.
“Ya iya, makanya ini kenalan,” jawab Aji.
“Ah, curang!”
“Begimana bisa curang orang kamu aja belom lahir waktu itu. Papa aja belom nikah sama Bunay, ihhhh turunin nih!” omel Aji. Sementara Aghniya dan Ayna hanya tertawa melihat kekesalan Aji yang pada akhirnya terpancing.
“Mas di mana? Gue sampe,” Aji berbicara pada Danny melalui telepon.
“Oke oke, bentar gue ke sana,” jawab Aji.
“Yuk, Om Danny udah nunggu” ujar Aji kemudian menggandeng Ayna.
“Papa aku nggak digandeng juga?”
Aji menghela napas, “Rusuh!”
Namun pada akhirnya pria itu tetap menggandeng anak perempuannya dengan tangannya yang lain. Kemudian keluarga kecil itu bergegas menghampiri Danny.
Ketiganya sampai di sebuah restoran bernuansa Jepang. Aji mengedarkan pandangannya hingga menemukan seorang lelaki yang ia kenal mengenakan blazer hitam bercorak mengangkat tangannya ketika melihat Aji dan keluarganya. Dengan segera Aji mengajak Ayna dan Aghniya untuk menghampiri Danny.
“Dah lama, Mas?” tanya Aji. Pria itu kemudian menyalami Danny lebih dulu. Disusul Ayna dan Aghniya.
“Baru, kok. Tenang aja,” jawab Danny.
“Jul,” sapa Aji pada wanita di sebelah Danny yang ikut tersenyum sejak kedatangan Aji dan keluarganya.
“Apa kabar, Ji?” tanya Juli.
“Baik, alhamdulilah. Lo gimana?”
“Alhamdulillah, baik juga. Aynaaaaaaaa!! Ya Allah kangen banget sobat gokil gue,” ucap Juli. Kini wanita itu beralih pada Ayna yang siap menerjang Juli. Keduanya kini berpelukan erat lantaran lama tak berjumpa.
“Ay, lo nggak tiap hari ngasih makan laki lo ayam kann?” canda Juli.
“Kagak lah, gila lo!”
“Ini anak lo, Ay, Ji?” tanya Juli.
“Iyaa, Aghni salam dulu dong sama Tante-nya!” titah Ayna halus. Membuat Aghniya tersadar dari lamunannya.
“Eh, iya. Halo Tantee! Aghniya,” ucap Aghniya. Gadis itu kemudian menyalami tangan Juli.
“Haloo, cantikan aslinya ya ternyata?”
“IYA LAH, SIAPA DULU EMAKNYA!” serobot Ayna.
“Idih, najis! Pede loo! Eh Aghniya dipanggilnya apa?”
“Aghni aja Tante,” jawab Aghniya seraya tersenyum.
“Aghni, jangan kaget kalo Bunay hari ini agak heboh ya? Di rumah biasanya kalem kan? Kalo ada temennya gitu dia biasanya,” ujar Juli.
“Nggak bakal kaget lah, Jul. Nurun itu,” balas Aji dihadiahi tawa Danny dan Juli. Tak lupa pukulan manis dari Aghniya dan Ayna yang kompak mendarat di bahu kekarnya.