raranotruru

Setelah sekian lama, keempat pemuda fenomenal itu akhirnya kembali bersua. Entah mengapa semesta begitu gencar memisahkan keempatnya belakangan ini, mereka selalu saja punya kesibukan masing-masing yang tidak bisa diganggu gugat. Terima kasih kepada Jauzan Narendra yang selalu buat-buat masalah dan kegundahan untuk dirinya sendiri, mereka jadi punya alasan kuat—Atau yang dikuat-kuatkan, untuk berkumpul lagi. Tidak seperti biasanya, kali ini mereka mencari suasana baru. Perkumpulan itu kini berpusat di rumah Ojan.

“Lu aja pada yang ke rumah gue, gue terlalu patah hati buat mengendarai motor ke manapun,” begitu katanya di forum chat milik Petantang-Petenteng. Yang lain merespons dengan hujatan, namun detik berikutnya langsung bilang mereka akan segera jalan.

Apa yang membuat Jauzan Narendra yang termahsyur itu patah hatinya? Dhimas bahkan tak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan itu setelah tiga puluh menit menelaah pesan Ojan. Rupa-rupanya, ia patah hati akibat pelajaran Agama. Maureen yang sejak lama ia puja itu, dipasangkan dengan lelaki lain untuk praktik pernikahan. Di titik ini, Ojan tidak tahu apakah ini azab akibat dosanya yang menumpuk, atau ujian karena ia terlalu baik.

Dhimas adalah orang yang paling pertama sampai di rumah bertingkat tanpa pagar itu. Ya, tanpa pagar. Hal ini lahir sebagai bentuk frustrasi ayahnya sebab burung peliharaannya tetap saja dicolong orang meski pagar tinggi, tajam, dan rapat sudah melindungi rumahnya dari segala sisi. Akhirnya Ojan mengusulkan untuk merobohkan saja pagarnya. Anak tunggal yang baik itu pun menawarkan diri untuk menjadi CCTV alami untuk rumahnya. Tak lupa berpesan kepada ayahnya, “Makanya Ayah, tuh, baik-baik sama tetangga. Biar punya CCTV lain selain Ojan.” Dan dengan ajaibnya, perkataan Ojan pun terbukti benar.

Baru saja ingin mengucap salam, Dhimas sudah berpapasan dengan seseorang yang Ojan sebut-sebut sebagai Ibu Pertiwi. “Eh, si gantengg!”

“Tantee, Assalamu'alaikum,” sapa Dhimas. Kalau ada Ojan, pemuda itu pasti mencibir. Kata Ojan, senyum Dhimas itu ada racunnya. Ibu mana pun yang melihatnya, akan segera melupakan anaknya sendiri.

“Wa'alaikumsalam, masuk, masuk! Gimana kabarnya?”

“Baik, Tantee. Tante sehat? Om sehat juga?”

“Sehat! Ojan aja, tuh, makin aneh setiap hari. Kenapa, sih, dia?” tanya ibunya, “Kalau kalian ke sini pasti ada apa-apa, kan? Dari tadi Tante tanyain jawabannya dramatis banget. Masuk aja, deh, ya Dhim! Tante mau ke depan dulu sekalian beli makan. Anaknya di kamar, kalau nggak ada di kamar—tau, lah, ya? Pasti di genteng.”

Dhimas hanya terkikik membalasnya, kemudian mempersilakan sang Ibu Pertiwi melenggang pergi. Kata Ojan, Ibu Pertiwinya itu memang cerewet dan galak. Meski begitu, katanya Ibu Pertiwi paling sayang keluarganya. Entahlah, setiap ibu punya cara berbeda mentranslasi kasih sayangnya. Maka Dhimas memilih tidak ambil pusing, dan langsung mencari pasien yang harus ia dan teman-temannya tangani itu.


“Besok gue nggak mau sekolah, ah!” celetuk Ojan. Pemuda hitam manis itu merengut tak henti-henti, sementara tiga yang lain tak bisa berkutik. Dunia baik-baik saja jika Ojan sedang aneh-aneh. Sebaliknya, kalau Ojan sudah ngambek begini, maka tak ada satu pun bagian dunia yang akan baik-baik saja.

“Paan, sih? Jangan gitu, lah! Nanti gue sama siapa di kelas?”

See? Bahkan Haris yang paling gengsi, self-centered, dan apatis saja bersedia memohon. Apapun akan mereka lakukan agar Ojan baik-baik saja.

“Nggak, sebentar,” Dhimas menengahi. “Ini ceritanya gimana, sih? Gue beda kelas sendiri kalau lo semua lupa.”

Ojan menatap Dhimas dengan ekspresi tercerahkan, kemudian kembali merengut. Bahu tegapnya bahkan merosot dan menyusut dari lebar yang seharusnya. “Iya, lu tau, kan? Kita pelajaran Agama sekarang masuk bab pernikahan. Terus dari awal emang udah dibilangin kalau akan ada praktik akadnya...” Ojan menghela napas di sela ceritanya, memancarkan nyeri di hatinya. “Lu juga tau, kan? Biasanya kalau ada gini-ginian, pasti—UDAH PASTI, WAJIB, KUDU, gue sama Orin yang ditumbalin.”

“Hooh, terus, terus?” Dhimas menyimak dengan seksama.

“Gue pikir, kali ini dunia akan berpihak pada gue dan Orin kayak biasanya. Pas ibunya nanya, siapa yang mau jadi mempelai wanita, tuh, kagak ada yang nyaut! Akhirnya Orin, kan...”

“Hooh.”

“Pas ditanya siapa yang mau jadi mempelai pria, nggak ada yang jawab juga. Nah, gue mau jawab, dong!? Iya, dong!? Emang ada lagi orang yang cocok sama Orin selain gue!? Nggak ada, dong!?”

Damar, Haris, dan Dhimas kompak menahan tawanya meski ujungnya tetap mengangguk menyetujui. “Beneer!” sahut Damar tipis-tipis.

“Nah, pas gue mau ngangkat tangan—SI PALDO NGEDULUIN GUE. Sok inisiatif itu orang. Terus gue juga nggak mau kalah, gue bilang gue aja. Tapi—Ah, gitu, lah! Gue nggak sanggup nerusin ceritanya,” kata Ojan dramatis. Akhirnya Damar mengambil alih. “Kata ibunya, udah sering banget kalau ada praktik pasangan gini pasti Ojan sama Orin. Di setiap pelajaran begitu. Makanya ibunya mau liat yang lain, akhirnya Orin dipasangin sama Rivaldo. Jadilah begini,” jelas Damar. Pemuda itu menunjuk Ojan dengan kedua tangannya yang terbuka, selayaknya mempersembahkan sebuah mahakarya yang diiringi seruan “Ta-da!”

Dhimas mengangguk-angguk memahami cerita. Ini masalah sepele, tetapi bukan berarti bisa ia sepelekan. Mungkin Ojan benar-benar patah hati hari itu, mungkin banyak manusia lain yang sudah menyepelekannya. Jika ia sebagai temannya pun menganggap remeh, lalu apa fungsinya Ojan menyebutnya teman, bukan?

“Terus lu marah banget, Jan?” tanya Dhimas. “Orinnya sendiri gimana? Dia nggak ngomong apa-apa? Nggak chat-an emang?”

Ojan hanya menggeleng. “Nggak tau, gue buka HP buat buka grup kita doang.”

Haris mendecih. “Ngambek banget lu ceritanya?” tanya Haris, sementara Ojan hanya diam sambil manyun. Membuat Haris geleng-geleng kepala. Benar-benar terasa seperti mengurus anak bocah baru pubertas.

“Kita ngerti lu sedih, Jan,” ucap Damar. “Tapi, kan Rivaldo cuma boongan tau nikahnya. Nanti lu beneran aja sama Orin.”

Di tempatnya masing-masing, Haris dan Dhimas menahan tawanya. Lebih-lebih Haris. “Goblok!” katanya tanpa suara. Dan Damar tidak ambil pusing, ia tetap berusaha mengusir amarah Ojan. “Si Valdo, mah, cuma menang di depan kelas doang. Nanti lu bikin hajatan aja sama Orin, pake petasan biar rame gitu.”

“Lagian bukan cuma lu aja yang nggak bisa bersatu sama pujaan hati lu di praktikum ini. Gue juga nggak bisa—Aghni, kan, beda kelas. Haris lebih kasian lagi, beda angkatan sama Gia,” ucap Damar lagi. Pemuda berlesung pipi itu kemudian menunjuk ke arah Dhimas dengan tegas. “Tuh, liat temen lu satu lagi. Paling kasian karena beda sekolah, ketemu tiap hari aja belom tentu.”

Benar juga. Detik itu Dhimas tersadari dengan kenyataan bahwa dirinya yang paling jauh jaraknya dengan yang dicinta, paling sedikit frekuensi bertemunya, pula paling kecil kemungkinan keduanya untuk bertemu sejak awal cerita.

Yang Dhimas tahu setelah itu, Ojan sudah mulai membaik. Kini justru giliran dirinya yang termenung. Memikirkan betapa misteriusnya benda abstrak yang dipanggil cinta. Entah bagaimana caranya, cinta berlaku sesukanya. Mengubah Damar yang tertutup menjadi selayaknya tangan terbuka, mengubah Haris yang tajam menjadi sebuah bentuk yang aman untuk didekati—bahkan dipegang, dan ditelaah. Pula mengubah Jauzan yang liar menjadi sosok penuh rencana dan perhitungan.

Cinta—yang Dhimas tahu, berlaku sesukanya. Dengan cara yang selalu ia rahasiakan pada dua insan yang akan ia pertemukan. Sebagaimana ia merahasiakan esensi dibalik pertemuan Dhimas dengan Adelia yang ia rancang sesuka hati. Sebagaimana ia merahasiakan esensi dibalik benih kehancuran yang ia tebar sesuka hati di antara Dhimas dan Adelia.

Lucu, membingungkan, sekaligus menyeramkan ketika membayangkan bagaimana dua orang bisa bertemu dan menjadi tokoh utama cerita. Dhimas mengingat-ingat bagaimana Damar dulu menghindari Aghni, bagaimana Haris dulu memarahi Gia habis-habisan—kedua karakter kuat nan angkuh itu dibabat habis oleh cinta yang rupanya jauh lebih angkuh. Dipatahkan semuanya, ditukar dengan sesuatu yang jauh lebih besar dan tidak bisa dihindari. Pada akhirnya Damar dan Haris kalah telak. Sosok yang tadinya sama-sama enggan dan menolak mentah-mentah, kini justru menjadi yang paling keras memperjuangkan.

Dhimas kemudian menelaah Jauzan dan Maureen. Sejak awal keduanya tak pernah angkuh, mereka mengakui dengan pasti bahwa ada sesuatu terselip di relung masing-masing. Sejak awal keduanya tak pernah menolak dan selalu menerima dengan tulus. Tanpa banyak protes, tanpa banyak tanya. Namun, lagi-lagi cinta bertindak sesukanya. Dipatahkan semuanya, ditukar dengan sesuatu yang jauh lebih besar dan tidak bisa dihindari. Kenyataan membuat Jauzan juga kalah telak. Meskipun ini bukan realita yang sesungguhnya—melainkan hanya praktikum sekolah—tetap saja Jauzan menemukan titik kalahnya.

Terakhir, Dhimas menelaah dirinya sendiri. Dengan Adelia yang entah dari mana asalnya. Gadis itu sama sekali tak pernah muncul dalam benaknya. Sejak awal, keduanya tak pernah mengenal, apalagi bertemu. Dhimas maupun Adelia, tak tahu apakah harus protes atau menerimanya, tak tahu apakah harus banyak tanya atau bungkam dan rasakan saja. Tetapi selalu saja, cinta bertindak sesukanya. Dipatahkan semuanya, ditukar dengan sesuatu yang lebih besar dan tidak bisa dihindari. Dhimas dan Adelia juga kalah. Semua akal sehat yang terus bertanya, dibungkam dan dihilangkan jauh-jauh. Membuat keduanya menjalin sesuatu yang rasanya berada di garis peralihan. Antara ada dan tidak, antara memiliki atau tidak—antara menang atau kalah.

Dhimas menarik napasnya dalam-dalam. Teman-temannya belum menyadari ia melamun begitu lama. Pemuda itu mencoba menyadarkan diri lagi, mengakhiri lamunannya dengan pikiran yang menenangkan. Setidaknya, ia menaruh sebuah sugesti baik untuk diri sendiri meskipun ragunya masih jauh lebih besar.

Lucu, membingungkan, sekaligus menyeramkan ketika membayangkan bagaimana dua orang bisa bertemu dan menjadi tokoh utama cerita. Tetapi pada akhirnya, cinta dengan cara yang selalu ia rahasiakan berhasil mempertemukan ketiga temannya dengan kekasihnya masing-masing. Seperti dua pasang yang pasti, cinta mempertemukan ketiga pasang itu. Entah dikaitkan, diikat mati, atau dijejalkan paksa—yang jelas ketiga pasang itu bertemu dan berhasil menjalani semuanya dengan baik. Meskipun tentu, dengan segala lika-likunya.

Maka Dhimas mengakhiri lamunannya dengan yakin (sedikit)— . . . . . Dirinya dengan Adelia, akan bisa menjalani semuanya dengan baik juga, kan?

Tidak heran mengapa Haris geleng-geleng kepala mendapati tingkah orang-orang kasmaran ini. Adel si master bangun siang dan Dhimas si ahli stay-at-home ketika akhir pekan, berlari pagi di hari Minggu yang tenang. Guess love could really get you a super strength injected to every inch of your veins. Sebab Adelia yang tidak pernah berolahraga bahkan begitu bersemangat saat lari pagi tadi.

Mereka berlari pagi selama kurang lebih satu jam setengah, penuh keringat dengan wajah memerah. Keduanya pun memutuskan untuk menyudahi kegiatan lari pagi kala itu. Beruntung Dhimas memilih lokasi lari pagi yang dekat dengan danau, sebab kini mereka bisa menikmati pemandangan yang cantik seraya meluruskan kaki-kaki yang pegal. Adelia meluruskan kakinya, sebelah tangannya tergerak mengibaskan poninya yang lepek. Gadis itu duduk sendiri, menunggu Dhimas yang pergi membeli minum untuk sebentar.

“Kiw, cewek!”

Adelia menoleh penuh siaga, namun menghela napas lega setelahnya. Itu Dhimas, lagi-lagi dengan segala tingkahnya. Seketika Adel memukul bahu pemuda itu pelan. “Tadinya mau langsung gue maki-maki, sih, Dhim. Untung gue liat dulu...”

Pemuda itu meloloskan tawa renyah. “Lu sering banget maki-maki orang, kok nggak pernah maki-maki gue?”

Simply because i don't need to,” ucap Adel. Sekon berikutnya, tangan kanannya sudah menerima botol air mineral dari tangan Dhimas. Namun pemuda itu tak langsung melepaskan botolnya, membuat Adel sedikit bingung dibuatnya. Rupanya, Dhimas juga membukakan tutup botol itu untuk Adel. Untuk perempuan semandiri Adelia, tindakan sekecil itu adalah hal luar biasa. “Thank you, really,” ucap Adel lagi. Sementara pemuda itu mengangguk dengan senyumannya.

Dhimas meletakkan tutup botol milik Adel di dekat gadis itu, kemudian membuka botolnya sendiri untuk ia tenggak setengah isinya. Keringat-keringat jagung meluncur mengenai rahang tajamnya. Pemuda itu seperti olahraga dua kali.

Selesai minum, Adel menaruh botolnya di samping. Gadis itu kemudian menyeka bibirnya, menyingkirkan sisa-sisa bulir air di sana. “Lu beli minum di mana, dah? Dari tadi kita lari perasaan gue nggak liat ada warung atau tukang jualan air?”

Dhimas baru selesai minum, pria itu menjawab sambil menutup botolnya kembali. “Itu di sana, nyebrang dulu. Ada di GOR sana deket ibu-ibu senam.”

Seketika mata Adelia terbelalak. “JAUH, DONG!?”

“Mayan,” jawab Dhimas santai. “Lah, kenapa nggak ngajak guee? Pantesan lu lama banget, ternyata jauh banget lu belinya ya!?”

“Ya ngapain? Gue nyuruh lo tunggu sini karena emang belinya jauh, Del,” balas Dhimas. “Emang lo nggak capek abis lari? Capek, kan? Makanya duduk aja di sini.”

“YA, ITU! Emang lo nggak capek abis lari!? Malah beli jauh-jauh, tau gitu gue kokop aja ini air danau! Biar lo nggak usah beli minum jauh-jauh!”

Lagi-lagi Dhimas tertawa, lebih lepas dari yang sebelumnya. “Lu nggak bilang, sih! Aturan bilang dari awal, biar kita minum dari sini aja.”

“Ah, orgil juga lu!” sebal Adel. “Ya udah, makasih tapi ya! Tapi besok-besok jangan gitu lagi ya! Kalo jauh bilang! Gue nggak mau nungguin, gue mau ikut!” lanjut gadis itu.

“Iya, besok-besok ikut ya! Awas kalo enggak ya! Parah lu, Del! Betis gue kalo copot nanti lu yang pasangin lagi ya!”

“IYA!!! GUE TEMPEL PAKE LEM POWER GLUE!”

Keduanya kemudian tertawa bersamaan. Kalau ada Haris, pemuda itu akan dengan segera berteriak, YEEEEE, TOLOL! Untunglah si jangkung itu tak ada di tengah-tengah mereka hari ini. Dhimas lalu menghela napasnya pelan. “Lucu, dah...”

“Apa?” tanya Adel.

Dhimas kembali menoleh ke arah Adelia. “Hm? Enggak. Lucu aja.”

“Pelit lu! Betis lu copot nanti nggak gue pasangin ya!?” canda Adel, kemudian Dhimas memalingkan wajahnya seraya terkekeh pelan. “Lucu aja, ngeliat lo.”

“Kenapa, jir!?”

Pemuda itu menggeleng pelan. Seketika sorot matanya berubah sendu. “Lucu aja,” jawabnya tak berubah. “Dulu, kayaknya gue bener-bener ngelakuin apa aja buat orang yang gue suka. Nganterin dia pulang, lari-lari ke koperasi beliin dia jangka untuk ulangan gambar, nganterin dia nyari bahan tugas prakaryanya. Anything, but only to get thrown away. Bukan pamrih, sih, but seeing you, wanting to do the same thing i did to you, itu lucu aja buat gue. Somehow, gue jadi kasian sama diri gue yang dulu. If only he gets to know you earlier, Deli....”

Yeah... If only she gets to know you earlier too, Dhimas...

Sayang, gadis itu menyimpannya untuk diri sendiri. Dhimas tidak mendengarnya, sebab Adel mengutarakan hal yang berbeda dengan isi hatinya barusan. “Lo emang melankolis gini ya? Orang abis olahraga, tuh, harusnya seneng tau! Bukan sedih!”

Seulas senyum tipis menghinggapi wajah sang mochi man. “Sebenernya barusan gue ngetes empati lu aja, sih, Del. Ternyata lu manusia tanpa empati ya? Parah lu! Cukup tau, lah, gue! Nanti gue cari orang lain aja buat masangin betis gue yang copot-copot.”

Ucapan Dhimas jelas memantik tawa renyah Adelia. “APA, SIH!? DRAMA BANGET LU!!”

Lelaki itu ikut terkekeh. “Eh, tapi lu inget nggak, sih, sebenernya? Kalo kita pertama kali ketemu di sekolah lu?”

Adelia menerka sesaat. “Gue cuma inget Haris minta tolong gue aja, sih. Cuma, gue inget emang ada satu temennya Haris yang ngintilin. Tapi gue nggak inget kalo itu lo.”

“Ohh,” Dhimas mengangguk-angguk. “Waktu itu lo ngapain, sih, tapi?” tanya Adel.

“Studi banding. Itu proker OSIS, sih. Jadi kita kayak ngebanding-bandingin SDM kita sama sekolah tetangga—nggak, nggak, bercanda,” ucap Dhimas. Membuat Adel tertawa sejenak. “Jadi kita kayak saling tuker masukan gitu. Nyari tau juga OSIS sekolah lu, tuh, cara kerjanya gimana, cara rekrut pengurusnya gimana, terus setiap akhir jabatan evaluasinya gimana. Gitu-gitu, sih.”

Good God, Dhimas dalam mode ketua MPK ternyata... Benar-benar menawan. Top tier.

“Keren, keren!” puji Adel. “Terus dari hasil studi banding itu ada yang lu terapkan di masa jabatan lu sekarang, kah?”

“Ada,” sahut Dhimas. “Gue pake cara rekrutnya tahun ini. Cuma, kalo sekolah lu, kan, pake studi kasus buat tes diterima atau enggak. Nah, kemaren gue pake buat misahin pengurus MPK sama OSIS gitu.”

I see,” Adelia menanggapi. “Keren, dong, ya, sekolah gue? Menginspirasi lu gitu?”

“Bangga banget lu ya?”

“Jelas!”

“Ini kita juga lagi studi tau, Del,” ucap Dhimas. Seketika Adelia mengerutkan keningnya. “Apa?”

“Waktu itu kan studi banding,” ucap Dhimas. “Nah, ini sekarang kita studi...”

”... Studi bonding.

“Punya siapa, Ris?” tanya Adel, menunjuk sebuah laptop hitam berstiker Pokemon menutupi logo merknya. Tidak mungkin punya Haris, sebab pemuda itu sangat plain menurut Adel. Menghias-hias atau menempelkan stiker pada barang-barangnya itu sangat bukan Haris.

Haris mencibir lewat tatapannya. Membuat Adel semakin mengerutkan dahi. Pemuda yang sibuk mengunyah serealnya itu tersenyum mengejek. “Punya yayang lu,” balasnya ketika mulutnya sudah kosong.

“Siapa, jir!?”

“Halah, pura-pura nggak tau. Lu pikir gue bego?” balas Haris lagi. Dan Adelia hanya membalasnya dengan tatapan bingung, Apa!?

Haris tak langsung menjawab. Pemuda itu bangkit ke dapur membawa mangkuk keramiknya yang kosong. Meletakannya di cucian piring dan mengambil segelas air minum. Haris berdiri, bersandar pada kulkas yang tingginya setara tubuhnya. Sebelum ia minum, Haris memilih untuk memindai Adelia dari atas ke bawah. Lalu tersenyum miring setelahnya. “Coba liat dulu keteknya, bolong nggak?”

“ANJ— SEKARANG SABTU YA!? FAK! GUE BELOM GOSOK GIGI!”

Seketika Adel melesat kabur. Tujuannya hanya satu, BERDANDAN! Sementara Haris hanya menggelengkan kepalanya. Baru kali ini ia melihat Adel sepanik itu. Namun ia paham. Orang yang sedang dimabuk cinta, memang akan selalu ada-ada saja.


Adelia menatap dirinya di cermin. Rambutnya sudah rapi terikat, bajunya tidak bolong sama sekali, giginya sudah disikat hingga bersih dan wangi, wajahnya pun sudah berseri kembali. Tidak ada belek, maupun hal-hal lain yang dapat merusak penampilannya di depan Dhimas-nya.

Adelia memegang dadanya, merasakan jantungnya berdegup begitu kencang. Masih ada bagian dari hati kecilnya yang ragu, apakah penampilannya sudah betul atau belum. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya sendiri, bisa-bisa ia melupakan hari yang ia lingkar-merahkan di kalender meja kamarnya. Ini hari Sabtu. Sabtu yang Dhimas bilang. Sabtu di mana Dhimas akan berkunjung ke rumah Haris.

Pada akhirnya Adel memilih pasrah akan penampilannya. Toh, ia harus menjaga agar tetap natural, bukan? Biarlah nampak apa yang seharusnya tampak. Maka gadis itu berjalan kembali ke rumah Haris. Adelia mendapati sang pemilik rumah sedang rebahan di sofa, menonton film entah apa.

“Nonton apa lu?” tanya Adel, “geser!”

Haris bangkit dari tidurnya. “In Time. Ngelanjutin doang, waktu itu gue nonton nggak sampe abis.”

Adelia mengangguk membalasnya. Gadis itu ikut menonton, kemudian teringat sesuatu. “Ahh, ini gue udah nonton, nih! Nanti ceweknya mati.”

“Kebiasaan, anjir! Spoiler banget, najis! Lu nonton aja bisa nggak, sih, Del? Nggak usah bacot gitu mulut lu!” omel Haris. Sementara Adel hanya tertawa. “Bercanda, ege. Bukan ceweknya yang mati, tapi—”

“Diem!”

Otomatis Adel mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Maka gadis itu memilih topik lain. “Ini laptop Dhimas, Ris?”

“Iya.”

“Orangnya ke mana? Kok laptopnya ditinggal?”

“Pulang dulu, ada yang ketinggalan katanya,” balas Haris meski matanya terpaku pada televisi. “Oh gitu? Lucu banget laptopnya ditempel-tempel stiker.”

“Iya, sama kayak lu itu. Demen ngerusak.”

Adel berdecak. “Sejak kapan nempelin stiker merusak barang?”

“Lah, itu kalo lu cabut kan berbekas! Rusak, lah!”

“Ya ngapain dicabut? Tujuannya ditempel, kan, biar ada di situ! Biar menghias!”

“Jelek!” ejek Haris.

“Muka lu, jelek!” balas Adel tidak terima. Sebagai sesama penggemar stiker, Adel harus membela rekannya. Alasan, sih. She just wanna take sides with Dhimas apapun yang terjadi.

Perdebatan masih akan terus berlangsung kalau saja Dhimas tidak membombardir dengan klaksonnya. Mau tak mau Haris berdecak sebal. “Bukain pintu, noh, kekasih lu!”

“Apaan, sih!?”

“Yeh, sok-sok apaan, sih!” cibir Haris. “Bukain pintu sana! Gue lagi nonton.”

Sekon berikutnya Adel pun bangkit. Sebal sebab gengsinya terbaca jelas oleh Haris. Pemuda itu benar, ia memang paling pintar membaca gelagat Adelia. Detik berikutnya gadis itu sudah mencapai gerbang tinggi yang melindungi rumah Haris. Membuka bilah pagar dengan lebar yang cukup agar sang pujaan hati dapat masuk dengan mudah.

“Assalamualaikum—lhoo, satpamnya udah ganti shift?” canda Dhimas. Kekehannya lepas ketika Adel melayangkan tatapan garangnya. “Sembarangan banget satpam, satpam!” sahut Adel. “Masuk, masuk!”

Dhimas kemudian memasukkan motornya ke halaman rumah Haris, memarkirkannya dengan rapi. Sementara Adelia menutup kembali pagar seraya menahan degupan jantungnya sendiri. Hanya ia dan Tuhan yang tahu betapa keras gadis itu mencengkeram besi guna menahan letupan dalam dirinya.

“Harisnya ngapain, Del? Boker?” tanya Dhimas. For God's sake, pemuda ini seakan sengaja memamerkan pesonanya. Ia bertanya seraya menyugar rambut halusnya, tidak memedulikan Adel yang nyaris mati. “Lagi nonton, nggak mau diganggu.”

“Lo nggak nonton juga?” tanya Dhimas. “Gue udah nonton,” jawab Adel. Tanpa disuruh, keduanya pun berjalan beriringan. Lucu ketika semesta membuat keduanya benar-benar terlihat seperti pasangan. Warna pakaian yang mereka kenakan senada hari ini, gestur keduanya pun nyaris sehati. Adelia dan Dhimas sama-sama menarik lengan sweater biru mudanya masing-masing, kompak hingga sebatas siku.

“Yah, kalo gitu ngapain dia nonton ya? Harusnya lu ceritain aja, Del,” kata Dhimas. Dan Adel terkekeh. “Iya, tadi udah mau gue ceritain. Eh, dianya marah-marah. Gue diusir, terus disuruh buka pager.”

“Lu tadi udah nyampe ke sini, Dhim? Terus balik lagi pulang?” tanya Adel lagi, setelahnya ia berjengit sebab Dhimas sudah membukakan pintu dan mempersilakannya masuk lebih dulu. “Thank you, thank you,” ujar Adel.

Di hadapannya, Dhimas mengangguk. “Iya, ngambil ini.”

Langkah keduanya terhenti. Adelia terpaku sejenak menatap beberapa bungkus cokelat di tangan Dhimas. “Apa, tuh?” tanyanya memastikan.

“Cokelat.”

For?

You.

Me?

Dhimas terkekeh pelan, sangat pelan sebab takut terdengar Haris. “Gue belum bisa beli cokelat dari Jepang kalo sekarang. Gue bawain cokelat dari Arab aja, ya? Custom, nih,” ucap Dhimas. “Liat, tuh, merk-nya Adel.”

Adelia menelaah sebatang cokelat berukuran kecil di tangan Dhimas. Berkali-kali mengerjapkan matanya agar tidak salah lihat. Namun memang benar, cokelat itu benar-benar bertuliskan 'Adel'. Mata gadis itu mendadak berbinar, dan Dhimas begitu puas melihatnya. Idenya berhasil. “KOK!? BISA!?”

Dhimas menjawab dengan senyuman tertahan. “Bisa, lah! Ini bentuk perlawanan gue terhadap tentara sekutu, Del.”

“Ih? Apa, dah, lu?”

“Lah, bener! Gue tidak akan tinggal diam, Del,” ucap Dhimas. “Yang ini dimakan, ya! Udah terjamin halal. Gue udah cobain juga, nggak beracun dan rasanya manis. Kalo kurang manis, nanti lu ngaca aja.”

“YEEEEE, TOLOL!” Bukan, bukan Adelia yang membalas. Melainkan Haris yang mendadak menyembulkan kepalanya dari balik tembok ruang tamu. “Udah dateng bukannya masuk malah berduaan depan pintu, pamali! Jangan ngalangin rejeki gue masuk!”

“NGAGETIN AJA!” maki Adel. Gadis itu bahkan nyaris melempar cokelat pemberian Dhimas. Beruntung ia sadar dengan cepat dan buru-buru menjaga pemberian kasihnya baik-baik.

“Yeeee, lu aja bengong mulu! Terpana lu liat temen gue?” canda Haris. “BERISIK LUU!” balas Adel. Gadis itu kemudian buru-buru kabur menuju dapur. Dan saat melewati Haris, pemuda itu tak henti-hentinya mengejek Adel.

“Bau kembang lu, Del! Lagi kasmaran ya?”

“APAAN LAGI, SIH!? LU, TUHH, BAU TANAH! MANDI SANA!”

Setelahnya, Haris dan Dhimas hanya terkikik geli. “Gaya, lu! Cokelat dari Arab, cokelat dari Arab. Dari tetangga lu yang baru pulang umroh, kan, itu?”

“Tau aja lu!”

Lagi-lagi, Haris hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar orang kasmaran, memang ada-ada saja!

Bertahun-tahun lalu, katakanlah aku mengidap sakit yang tak sembuh. Beribu-ribu obat kusentuh, kuseduh, dan kutelan pahit-pahit. Kurang mempan, tambah dosis. Tidak mempan, tambah dosis. Sembuh yang kucari itu bukan hasilnya. Aku resistensi.

Zaman melaju begitu cepat, penemuan penemuan baru pesat datangnya. Namun, tetap obatku paling lama ditemukan. Engkau—cintaku, baru kutemukan ketika tahun akan membaru. Tanpa sengaja, tanpa diniatkan, tanpa buku panduan yang rinci. Lalu engkau kuhirup, kuserap dalam-dalam, kutelan mentah-mentah. Manis, tanpa perlu perlakuan atau preparasi resep yang sulit. Manis, diresepkan dokter untuk seorang yang kecil. Pahit yang kutahu, musnah. Pahit yang kutahu, menjadi legenda seketika.

Lalu dengan singkat engkau menjadi obatku. Setiap hari, tiga kali sehari. Pagi, siang—atau mungkin sore, dan malam sebelum tidur. Delapan jam sekali, satu pil setiap kali. Engkau kuhirup, kuserap dalam-dalam, dan kutelan mentah-mentah. Lukaku menutup, darahku mengering, dan yang lebam menghilang. Yang tersumbat mengalir, yang mati ter-regenerasi, dan yang hidup semakin bugar.

Absorpsi—kau kuserap dalam-dalam. Dengan singkat dan gegabah, engkau menjadi bagian dari diriku. Dirasakan manismu seutuhnya, dicerna baikmu seutuhnya, diserap penghargaanmu untukku seutuhnya.

Distribusi—menyebar seluruh cintamu. Dibawa dengan perlahan, dikenalkan kepada setiap rusak dan retak di dalam, dihantarkan kepada yang butuh, dan dibalurkan dengan halus pada yang hancur. Seluruh bagian tubuhku senang, sebab setiap inci dirinya dirawat dengan penuh.

Metabolisme—obatku diolah sedemikian rupa. Cinta, atau segala baik buruk yang kau bawa, kuolah menjadi bentuk bermacam-macam. Kupisahkan yang buruk, kuletakkan di tempatnya. Kupilah yang baik, kuletakkan dan kusimpan pada tempatnya. Mana yang habis hari ini, mana yang habis nanti, mana yang harus didaur ulang. Mana yang harus dipecah, mana yang harus disatukan erat-erat. Singkat cerita, aku menemukan bentuk cinta paling baik. Sebaik sebaiknya.

Eliminasi—obatku harus dikeluarkan. Diekskresi, dan kau—obatku, cintaku, harus pergi. Keluar dari tubuhku tanpa bersisa, tanpa jejak yang bisa kugali lagi. Sementara, katanya. Dilarang selamanya, sebab lama kelamaan akan beracun—katanya. Obatku harus dikeluarkan. Dilepas, meski nanti sakitku akan datang lagi. Obatku harus dikeluarkan. Harus tetap pergi, akan tetap pergi, meski sakitku akan datang lagi.

Obatku berhasil melalui semua fasenya dengan baik. Ia berjalan dengan baik, mengitar di seluruh tubuhku dengan hebat. Obatku yang manis ini, memang yang terbaik yang pernah kutemukan. Paling manis, paling enak rasanya. Ingin kunikmati selama-lamanya, sampai dunia hancur. Sayang sekali betapa manusia dilarang kecanduan.

Obatku yang manis ini, adalah yang terbaik yang pernah kutemukan. Mahal sekali harganya. Tetapi semuanya sepadan.

Obatku yang manis ini, adalah yang terbaik di seluruh dunia. Sayangnya, ia tetap harus pergi.

Meskipun sakitnya akan datang lagi.

Bertahun-tahun lalu, katakanlah aku mengidap sakit yang tak sembuh. Beribu-ribu obat kusentuh, kuseduh, dan kutelan pahit-pahit. Kurang mempan, tambah dosis. Tidak mempan, tambah dosis. Sembuh yang kucari itu bukan hasilnya. Aku resistensi.

Zaman melaju begitu cepat, penemuan penemuan baru pesat datangnya. Namun, tetap obatku paling lama ditemukan. Engkau—cintaku, baru kutemukan ketika tahun akan membaru. Tanpa sengaja, tanpa diniatkan, tanpa buku panduan yang rinci. Lalu engkau kuhirup, kuserap dalam-dalam, kutelan mentah-mentah. Manis, tanpa perlu perlakuan atau preparasi resep yang sulit. Manis, diresepkan dokter untuk seorang yang kecil. Pahit yang kutahu, musnah. Pahit yang kutahu, menjadi legenda seketika.

Lalu dengan singkat engkau menjadi obatku. Setiap hari, tiga kali sehari. Pagi, siang—atau mungkin sore, dan malam sebelum tidur. Delapan jam sekali, satu pil setiap hari. Engkau kuhirup, kuserap dalam-dalam, dan kutelan mentah-mentah. Lukaku menutup, darahku mengering, dan yang lebam menghilang. Yang tersumbat mengalir, yang mati ter-regenerasi, dan yang hidup semakin bugar.

Absorpsi—kau kuserap dalam-dalam. Dengan singkat dan gegabah, engkau menjadi bagian dari diriku. Dirasakan manismu seutuhnya, dicerna baikmu seutuhnya, diserap penghargaanmu untukku seutuhnya.

Distribusi—menyebar seluruh cintamu. Dibawa dengan perlahan, dikenalkan kepada setiap rusak dan retak di dalam, dihantarkan kepada yang butuh, dan dibalurkan dengan halus pada yang hancur. Seluruh bagian tubuhku senang, sebab setiap inci dirinya dirawat dengan penuh.

Metabolisme—obatku diolah sedemikian rupa. Cinta, atau segala baik buruk yang kau bawa, kuolah menjadi bentuk bermacam-macam. Kupisahkan yang buruk, kuletakkan di tempatnya. Kupilah yang baik, kuletakkan dan kusimpan pada tempatnya. Mana yang habis hari ini, mana yang habis nanti, mana yang harus didaur ulang. Mana yang harus dipecah, mana yang harus disatukan erat-erat. Singkat cerita, aku menemukan bentuk cinta paling baik. Sebaik sebaiknya.

Eliminasi—obatku harus dikeluarkan. Diekskresi, dan kau—obatku, cintaku, harus pergi. Keluar dari tubuhku tanpa bersisa, tanpa jejak yang bisa kugali lagi. Sementara, katanya. Dilarang selamanya, sebab lama kelamaan akan beracun—katanya. Obatku harus dikeluarkan. Dilepas, meski nanti sakitku akan datang lagi. Obatku harus dikeluarkan. Harus tetap pergi, akan tetap pergi, meski sakitku akan datang lagi.

Obatku berhasil melalui semua fasenya dengan baik. Ia berjalan dengan baik, mengitar di seluruh tubuhku dengan hebat. Obatku yang manis ini, memang yang terbaik yang pernah kutemukan. Paling manis, paling enak rasanya. Ingin kunikmati selama-lamanya, sampai dunia hancur. Sayang sekali betapa manusia dilarang kecanduan.

Obatku yang manis ini, adalah yang terbaik yang pernah kutemukan. Mahal sekali harganya. Tetapi semuanya sepadan.

Obatku yang manis ini, adalah yang terbaik di seluruh dunia. Sayangnya, ia tetap harus pergi.

Meskipun sakitnya akan datang lagi.

Aku bersyukur diberi anugerah kekuatan menulis kata. Aku bersyukur selalu dapat menuang, menumpahkan, bahkan menjadikan rasaku aliran sungai. Tuhan menjadikanku lebih peka terhadap apa yang asing bagi manusia lain. Aku bersyukur selalu mudah mengungkapkan sedihnya aku, Aku bersyukur selalu mudah memancarkan senangnya aku, Pun, aku bersyukur selalu mudah mencari tau letak lukaku.

Hatiku tak perlu sembunyi. Si mungil yang pecah berantakan itu, ia selalu berani. Bilang iya, Atau saklek bilang “Tidak!” Menurutmu apa yang tersisa? Dari rumah kosong yang mulai berdebu ini? Mungkin sedikit lagi berhantu, Mungkin sedikit lagi masyarakat mengarang cerita penampakan, Sebab terbengkalai lama kelamaan.

Menurutmu, berapa lama lapisan luar benihku melindungi isinya? Cadangan makanan bagi si mungil yang kususun dengan rapi, Kutata di rak dapur, pada dinding bercat putih, katamu.

Menurutmu, bisakah aku pulang? Haruskah aku pulang? Atau biar saja ia rata dengan tanah? Cinta, Asal kau tahu bahwa mencintaimu lebih mudah dari mencintai diriku sendiri. Badaiku adalah hujan rintik ketika kau di sini.

Tetapi menurutmu, Apa yang tersisa? Dari ini semua, Dari rumah ini, Dari kita?

Menurutmu, mana yang lebih kosong? Hatiku, atau kedua tanganku yang lepuh terbakar?

Ah... Apapun itu, Aku bersyukur selalu dapat menuang, menumpahkan, bahkan menjadikan rasaku aliran sungai.

Pun, Aku bersyukur selalu mudah menggaungkan—

“Aku mencintaimu.”

Aku tak akan pernah utuh sendiri, Ada sebagian ibuku, Ada sebagian ayahku, Ada sebagian adikku, Ada sebagian temanku,

Aku tak akan pernah utuh sendiri, Akan kutaruh separuh di sana-sini, Di sudut jalan yang pernah dilalui, Di semangkuk mie yang dimakan berdua, Di kebiasaan yang lama kelamaan memudar, Di lagu-lagu yang syairnya melukai,

Aku tak akan pernah utuh sendiri, Sebab bagianku tercecer, aku tercecer, Tumpah ruah di jalanan, Tak ada yang memungut lagi, Hilang sebagian, bahkan hampir seluruhnya,

Aku tak akan pernah utuh sendiri, Tubuhku selalu tumbuh bersama dunia, Mungkin batangku satu, Sayang, akarku merambat berantakan, Menjangkau ke segala arah, Mengais tanah, berharap ada yang kudapat

Aku tak akan pernah utuh sendiri, Pun, aku hidup di tanah-tanah kuburan, Sudah lama, dan banyak yang mati, Aku hidup berkali-kali Aku mati berkali-kali,

Aku tak pernah utuh sendiri, Dan aku tak akan pernah utuh sendiri.

The Streets Feel Safer When You're Around

Anggia's POV

Sudah semakin malam dan aku belum pulang. Agaknya hari ini aku bikin semua orang khawatir, bahkan Zahra yang sejak tadi bareng aku. Belum lagi Mama dan Kak Haris yang udah hapal sama keteledoranku. Sumpah Demi Tuhan, sebelum berangkat tadi aku udah cek semuanya. Seperti yang Kak Haris bilang. Baterai, cari tempat ramai, berhati-hati jaga tasku, liveloc, all set! Kecuali satu, jumlah kuota. Poor Anggia dan keteledorannya yang nggak habis-habis.

Aku udah coba cari counter untuk beli pulsa, tapi nggak nemu. Temen-temenku pun nggak ada yang tau. Udah coba nanya pedagang di sekitar sana, tapi katanya memang susah. Mau cari lebih jauh pun takut nyasar, karena nggak ada satupun dari kita yang familier sama lingkungan pasar ini. Aku coba minta hotspot Zahra, tapi dia keburu harus pulang. Akhirnya aku kembali mati gaya tanpa kuota.

Baru mau minta hotspot Wili, tiba-tiba ada notifikasi kuota yang masuk. Jumlah berlebih dari yang biasanya aku beli, walaupun jangka waktunya sama-sama sebulan. Ini pasti Kak Haris, pikirku. Dan benar, beliau pun mengonfirmasi itu. Kayaknya Zahra yang ngabarin Kak Haris, i should really repay her kindness. It means the world, i might cry.

Sekarang aku masih nunggu di parkiran. Berkali-kali harus menyingkir karena banyak motor ingin keluar-masuk. Tersisa aku, Aldo, dan Tyas. Wili juga belum pulang, sih, tapi dia laper katanya. Jadi, dia keliling sendiri cari makan dulu. Aku juga nggak tau dia akan balik lagi atau enggak. Malam ini aku sadar bahwa—Kak Haris dan ucapannya selalu benar. Tadi dia bilang kalau aku pergi malem-malem dan nggak ada yang jagain. Aku masih gigih bilang ada Aldo dan Wili, sekarang nggak lagi.

Rupanya hari ini Aldo nggak bawa motor, jadi dia juga pulang naik ojol. Aku juga nggak bisa minta Aldo untuk nemenin aku sesukaku, kan? Wili juga, benar kata Kak Haris, nggak bisa dipercaya... Liat aja kelakuannya, temen-temennya belum selesai bahas tugasnya pun dia udah kabur mentingin perut.

Nggak lama kemudian Tyas harus pulang. Jemputannya udah dateng.

“Gia, duluan, ya! Do, duluan!” ucap Tyas. Aku mengangguk singkat. “Iya, hati-hati, Tyas!”

Di sisi lain Aldo cuma mengangguk tanpa suara. Nggak lama, Tyas pun pulang. Kini giliran Aldo yang jadi khawatir sama aku.

“Gi, lo dijemputnya masih lama?” tanya Aldo. “Ojol gue tiga menit lagi sampe. Lo sendirian nggak pa-pa? Gue balik duluan nggak pa-pa nih?”

“Nggak pa-pa, Do. Pulang duluan aja. Kalo nungguin aku nanti kamu kemaleman pulangnya. Kasian juga abang ojolnya kalo harus nungguin.”

Aldo menyetujui ucapanku barusan. “Ya udah, tapi nunggunya di sana aja, Gi. Yang terang, terus rame. Kalo di sini gue ngeri lo digodain abang-abang. Emang rame, tapi rame motor doang.”

Benar juga. “Iya, nanti aku pindah ke sana,” kataku menunjuk kedai es krim paling ramai. Tetapi kayaknya, aku baru akan pindah kalau sepuluh menit Om Agung nggak dateng. Mengingat Kak Haris juga bilang jangan kemana-mana. Kali ini aku akan nurut aja...

Selang beberapa lama, Aldo pun pulang. Dan benar-benar tersisa diriku sendiri. Takut, sebenernya, tapi selalu coba kutepis jauh-jauh. Aku berusaha menyibukkan diri main HP. Ngobrol sama Zahra yang udah sampe rumah, dan Alwan di grup kami. Mereka pun bilang hal yang sama, berulang-ulang, jangan sendirian!

Belum lama Zahra dan Alwan bilang begitu, ada seseorang menghampiri aku. Laki-laki berkausputih panjang, celana pendek, dan berkacamata. Kayaknya dia lebih tua dari Kak Haris beberapa tahun.

“Permisi, Kak? Maaf banget ganggu. Boleh tanya nggak?” katanya.

“Iya?”

“Minimarket deket-deket sini, sebelah mana ya? Aku mau top up kartu buat naik busway. Dari tadi aku muter-muter nggak nemu juga. Kakaknya tau nggak ya?”

Oh, aman. Cuma tanya jalan, bukan maksud lain yang jelek-jelek. Well, setidaknya begitu sejauh ini.

“Ohh, kalo deket-deket sini emang nggak ada, Kak. Harus agak jauh jalannya,” balasku. “Kakak ke sana aja, nanti lurus terus sampe nemu perempatan. Abis itu belok kiri, dia ada di sebelah kiri jalan. Di seberangnya juga ada lagi.

“Oh, gituu. Belok kiri yang depan itu, kah?” tanyanya. “Bukan, Kak. Depannya lagi, itu yang ada lampu jalan,” sahutku lagi, mengarahkan ke arah yang lebih jelas supaya ucapanku nggak makin menyesatkan kakaknya.

“Makasih banyak ya, Kak! Sorry banget ganggu.”

“Iya, sama-sama, Kak! Nggak ganggu, kok. Hati-hati pulangnyaa!”

Setelahnya kakak itu pergi. Aman sejauh ini, nggak ada kendala apapun. Aku pun berencana nunggu Om Agung sekitar lima menit lagi, baru akan pindah ke tempat yang lebih ramai.

Baru aja kakak itu pergi, ada satu lagi yang menghampiriku. Kali ini lelaki juga. Berpenampilan sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Pria di depan aku ini, berpakaian kaus hitam bermotif rock dan celana ripped jeans ketat. Aku sedikit menjauh ketika dia mendekat. Sempet ada pikiran kalau dia nggak mau nyamperin aku, tapi dia ngajak ngomong aku juga.

“Tadi siapa, Dek? Kamu kenal?” tanyanya. “Hah? Oh, itu tadi nanya jalan aja kok, Mas.”

Setelahnya dia mengangguk-angguk. Nggak lama kemudian dia mengeluarkan sebatang rokok dari kantungnya, dan merokok di hadapan aku. Kurang ajar, i would say. Bahkan Om Agung yang keluargaku aja nggak pernah ngerokok di depanku. Temen-temennya Om Agung pun begitu. Tapi si abang-abang ini, berani-beraninya ngerokok depan mukaku. Kenal juga enggak!?

Diembuskannya lagi asap rokok dari mulutnya yang menghitam. “Oh, kirain adeknya kenal. Nggak, saya takut kamu dipalak aja. Soalnya di sini sering ada yang begitu, apalagi sama cewek yang lagi sendirian.”

Ya... It could be you, kan?

Aku cuma senyum tipis aja, berusaha tetep sopan. Menjaga agar dia nggak bales kurang ajar sama aku. “Nggak pa-pa, kok, Mas. Cuma nanya jalan aja. Makasih, ya!”

Kalau kalian pikir dia langsung pergi, big no. Dia masih di sebelahku dan malah lanjut nanya-nanya. “Masih sekolah kamu?”

“Masih,” jawabku. Dia mengangguk, tentulah pertanyaannya nggak selesai sampai situ. “Kok malem-malem sendirian gini, abis ngapain emangnya?”

“Abis kerja kelompok, Mas. Disuruh liput pedagang kaki lima. Tugas sekolah, makanya ke sini,” jawabku.

“Kelas berapa emang sekolahnya? Sekolah di mana?”

“Kelas sepuluh, satu SMA.”

Ada percikan antusias dari wajahnya ketika aku bilang aku anak SMA. “Oh, iya? lima belas tahun berarti?”

“Iya, lima belas.”

“Enak, ya, anak jaman sekarang bisa sekolah tinggi-tinggi. Saya, mah, apa? Sekolah juga cuma sampe SMP. SMA sekolah, tapi nggak sampe lulus. Ke sini juga merantau, ikut temen.”

Lagi-lagi, aku berusaha sopan. Aku menanggapinya dengan senyum dan anggukan singkat. Sesekali aku liat HP, takut-takut ada pesan masuk dari Om Agung atau Kak Haris—dua laki-laki yang sangat-sangat aku andalkan di samping Papa. Entah kenapa tiba-tiba terbesit pesan Kak Haris.

Jaga tasnya!

Maka aku pegang erat-erat tasku. Orang di sebelahku ini masih ngomong lagi. “Kamu tapi putih banget, keturunan Cina, ya?”

“Hah? Enggak, Mas,” sahutku. Stereotip macam apa itu?

“Oh, berarti perawatan? Banyak duit juga ya berarti?”

“Enggak juga, kok, Mas. Keturunan aja, mama saya juga putih.” Aku berusaha terus ramah, sekaligus makin hati-hati. Walaupun nggak bohong, kakiku mulai gemetar.

“Ohh, iya ya. Bisa keturunan juga ya,” katanya. Ada jeda sejenak, karena dia menghisap rokoknya cukup banyak. Pun, asapnya yang dihasilkan. Sedikit lagi kayaknya aku sesak napas di sini. Jujur, aku jadi nyesel nggak pindah aja dari tadi. “Rumahnya di mana? Jauh dari sini?”

“Lumayan,” balasku kemudian.

“Tapi kamu cantik banget, loh. Kok sendirian aja, sih? Emang nggak punya pacar? Kok pacarnya nggak nemenin?”

“Ada, kok. Emang lagi nggak bareng aja, nanti yang jemput omku.”

“Pasti, sih. Udah keliatan, orang secantik ini masa nggak punya pacar,” balasnya. Jujur, makin menakutkan dan mencurigakan. “Udah berapa lama pacarannya?”

“Lumayan.”

“Satu sekolah juga pacarnya? Sekelas?”

“Satu sekolah aja, nggak sekelas.”

Jujur, lama kelamaan aku semakin risih sama pertanyaan yang dilontarkannya. Tapi aku juga bingung gimana mau perginya. Nggak mungkin aku langsung kabur juga, kan? Tapi aku juga tau, kalau aku terus di sini, dia bisa terus nanya-nanya. Mungkin bisa leads to something bad.

Baru aja orang itu mau nanya lagi, tiba-tiba pundakku ditepuk keras-keras. “Heh!”

Aku takut setengah mati, dan kaget banget. Jantungku rasanya mau copot. Aku pun langsung nengok, dan menemukan wajah familier. ITU KAK HARIS!!! Mengesampingkan bingung perihal kenapa jadi dia yang jemput, aku mengembuskan napas lega. Aku lemes, tapi nggak pernah selega ini juga sebelumnya.

“Kakak...”

“Ayo pulang!” ajaknya. Kak Haris otomatis ngajak aku menjauh dari tempatku berdiri. Tangannya mencengkram lenganku yang dingin agak keras. Sekilas kulirik rahangnya, tajam sekali. Aku tau ada amarah besar yang dia tahan. Aku tau Kak Haris paham akan situasi yang baru saja terjadi. Aku tau Kak Haris akan selalu paham, tanpa harus kuceritakan lebih dulu. Selang beberapa langkah, aku berniat mengecek orang tadi, apakah masih di sana atau udah pergi. Tapi suara bariton Kak Haris lagi-lagi bikin aku kaget.

“Nggak usah diliat-liat lagi. Udah pergi orangnya dari tadi pas aku dateng,” ujarnya dingin. Otomatis aku nggak berani berkutik lagi.

Nggak lama kemudian, Kak Haris menghentikan langkahnya di sebuah tempat lapang, tapi nggak sepi-sepi banget. Tubuhnya itu sekarang menghadap ke arahku. Matanya tajam, napasnya sedikit memburu. “Kamu ngapain?”

Demi Tuhan, aku nggak berani jawab.

“Kamu sadar nggak kamu ngomong sama siapa tadi? Kamu kenal emangnya? Aku bilang apa soal ngobrol sama orang yang nggak dikenal, Anggia Kalila?”

Aku masih nunduk, nggak berani liat wajahnya Kak Haris. Aku tahu pasti, air mataku sebentar lagi turun. Tiba-tiba di depan mataku disodorkan sebotol air putih. “Minum dulu.”

Nggak tau kapan Kak Haris belinya, tiba-tiba ada. Mungkin saking panik dan kalutnya, aku pun nggak sadar kalo sejak tadi Kak Haris nenteng botol itu di sebelah tangannya. Aku pun minum, sebanyak-banyaknya sampai aku sedikit tenang. Napasku mulai teratur saat itu, rasanya common sense-ku juga mulai kembali. Kak Haris otomatis meraih kembali botol minum itu setelah aku selesai minum. Nggak pernah mau membebani aku dengan sedikit pun barang bawaan kalau lagi bareng sama dia.

“Tadi ngomong apa aja sama orang itu?”

Aku menarik napas, sebelum mengingat kembali kejadian tadi. “Dia nanya-nanya gitu, Kak. Awalnya, tuh, ada cowok juga nyamperin aku. Dia nanya jalan, ya, aku kasih tau. Terus abis kakak yang itu pergi, yang tadi itu nyamperin aku. Awalnya nanya-nanya, apakah aku dipalak atau gimana, tapi lama-lama menjurus ke yang lain.”

Kuceritakan semuanya. Kuadukan semuanya. Serinci yang kubisa. Dan Kak Haris menyimak semuanya dengan seksama. Setelah aku selesai cerita, Kak Haris cuma memalingkan wajah dan mengembuskan napasnya kasar. Aku tahu dia gusar.

“Aku takut banget, Kak... Kakiku lemes, gemeteran...”

Kak Haris akhirnya menoleh ke arahku lagi. Kali ini tatapannya sedikit lebih lembut. “Kamu kenapa bisa nggak sadar gitu? Kenapa dijawab-jawabin semua pertanyaannya? Kalau nanti dia cari kamu gimana, Anggia?”

“Aku nggak sadar, Kak... Aku ngantuk banget, terus dia juga nanya-nanya terus. Aku berusaha jawab seadanya, tapi dia tetep nanya-nanya!”

Lagi-lagi terdengar helaan napas dari Kak Haris. “Gini, ya, Anggia. Aku tau ngantuk itu manusiawi, tapi nggak serta-merta bisa bikin kamu nurunin kewaspadaan kamu gitu, Gi! Sama siapapun kamu pergi, kamu nggak boleh nurunin kewaspadaan kamu kayak tadi—walaupun kalau kamu perginya sama aku. Siapa emang yang akan jaga diri kamu kalau bukan kamu sendiri? Memang ada Papa kamu, ada Om agung, ada aku, tapi kamu tetep harus jadi orang pertama yang jaga diri kamu sendiri, Anggia!”

I know, i'm sorry. Aku takut, Kak....”

“Aku udah bilang jangan tunggu di tempat sepi, kenapa nunggunya malah di situ?” tanya Kak Haris. “Tadi niatnya nunggu di situ dulu sepuluh menit, kalau Om Agung nggak dateng juga baru pindah. Tapi keburu begitu,” jelasku.

Kak Haris terdiam. Dia cuma ngeliatin aku dengan tatapan pasrah, tapi khawatir, tapi juga lega. “Jangan gitu lagi, Anggia...”

“Aku juga lemes sekarang. Aku nggak tau apa yang akan terjadi sama kamu kalau tadi aku telat dateng. Aku bisa gila, Gi, kalau kamu kenapa-napa,” lanjut Kak Haris.

“I promise it won't happen again,” ucapku dengan suara bergetar. “Maaf, Kak Haris.”

“Untuk?”

“Keteledoranku jaga diri sendiri dan bikin kamu khawatir.”

Hanya dalam hitungan detik, air mataku turun lagi. Aku takut banget malam ini, tapi rasanya Kak Haris punya takut yang jauh lebih besar. Aku bisa liat dari sorot matanya yang masih kalut. Lebih kacau dari kalutku. Tapi Kak Haris tersenyum, masih bisa tersenyum. “It's okay. Not your fault.”

“Oh iya, aku ke sini karena tadi aku yang telepon Om Agung. Mastiin beliau bisa jemput apa enggak, tapi katanya masih macet banget. Jadi, aku bilang aku aja yang jemput kamu,” jelasnya. Again, Kak Haris selalu tau tanpa kuceritakan. Dia juga selalu membuat semuanya jelas tanpa perlu aku tanya.

“Ayo pulang, nanti dicariin Mama!” ajak Kak Haris kemudian.

“Kak Haris,” panggilku. Membuat dia menghentikan pergerakannya sekali lagi. Kedua alisnya terangkat bertanya 'ada apa?'

“Aku nggak mau pergi malem-malem sendirian lagi. Besok-besok kalo aku kerja kelompok, atau pergi ke manapun, bisa nggak kamu beneran intilin aku aja diem-diem?” tanyaku. Nggak serius, tapi serius.

Di hadapanku, Kak Haris terkekeh gemas. Mungkin wajahku juga udah terlalu kacau karena mencetak ekspresi takut dan tangis secara bersamaan. “Kenapa emangnya?” Kak Haris balas bertanya.

“I don't know? The streets feel safer when you're around, Kak Haris.”

Kalimat itu meluncur begitu mudahnya dari mulutku. Aku pun nggak nyangka, tapi memang benar adanya. Kulihat Kak Haris tertegun di hadapanku.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Ia balas ucapanku dengan senyum tipis, khas miliknya. “I'm here.”

“I'm always around, Anggia. Always have been and always will be.”

Lagi-lagi air mataku meluncur. Aku selalu dapat aman di rumah. Ada Papa dan Om Agung. Tetapi di daerah yang nggak pernah kujangkau, Kak Haris selalu mengusahakan aman untuk aku dapatkan juga.

And there he is—my shelter, my shield, my lifesaver. Someone whom i run to in every situation.

Always have been, and i hope—will always be.

DHIMAS'S POV

Lama-lama rasanya gue familier sama sekolah ini. Selain karena pernah studi banding ke sini, sekolah ini gue kenali karena rutinitas gue—menjemput Adelia. Biasanya gue jemput Adel persis di depan gerbang, supaya dia nggak perlu repot cari gue jauh-jauh. Sebisa mungkin, gue aja yang nyamperin Adel. Sayangnya, hari ini lain cerita. Entah motor siapa, segede Gaban gitu tiba-tiba parkir ngalangin jalan. Heran gue juga—motornya bagus, tapi yang punya nggak bisa parkir. Aneh.

Dari kejauhan, gue liat Adel keluar gerbang. Sendirian, mungkin karena Cipon ada urusan lain. Gue melambaikan tangan dari jauh, dibalas Adel dua kali lipat lebih semangat. Dia kemudian berlari kecil, sesekali ngerem mendadak karena jalanan depan sekolah masih sangat ramai orang. Ditambah ada orang butut yang parkir sembarangan dan ngalangin jalan ini.

Motor siapa, sih!? Ketika hampir sampai ke arah gue, Adel melontarkan pertanyaan yang sama. Tanpa suara.

Nggak tau, balas gue sambil menggeleng. Detik berikutnya, Adel otomatis mencibir. Sama kesalnya dengan gue dan pengguna jalan lain yang merasa haknya diambil alih.

Di depan gue, Adel masih berusaha untuk mencari celah untuk menghampiri gue dengan segera. Tapi, tiba-tiba ada seseorang yang manggil dari arah samping.

“Adelia?”

Gue dan Adel menoleh bersamaan. Pada seorang remaja dengan badan tinggi dan kekar. Kulitnya putih dengan wajah yang—gue duga—memiliki keturunan Chinese yang kental. Ganteng, sih, jujur. Tapi sebentar, apa, nih, maksudnya?

Di sisi lain, Adel pun sama bingungnya kayak gue. Dia bahkan diem aja dan jadi ikut ngalangin jalan. Sekon berikutnya, Adel langsung sadar dan minggir. “Iya? Siapa ya?” tanyanya.

“Gue—”

“Oh, gue tauuu!” seru Adel, “nyari Cipon, ya? Cipon udah balik sama Koh Gil. Kalo mau nanyain IG atau kontaknya yang lain, sorry banget gue nggak bisa kasih. Nanti gue diusir dari rumahnya Cipon.”

Gue bingung, tapi si cowok tadi lebih bingung. Gue sedikit paham, mungkin Adel udah terlalu biasa ditanyain soal Cipon sama cowok-cowok yang naksir Cipon. Apalagi, mengingat bahwa cowok tadi juga kayaknya setipe sama Cipon—masuk akal kalau Adel otomatis bilang gitu.

“Oh, hahaha. Enggak, kok. Gue nyari lo,” balas cowok itu. Bentar, ini dunia lagi kenapa, sih?

“Gue temennya Badrul, Del. Gue Rafif, atau ya, Badrul manggilnya Apip.”

Oh, ini dia orangnya? ucap gue dalam hati. Sebisa mungkin, gue berusaha menahan emosi. Jangan sampe gue kayak Haris, jangan sampe juga gue melewatkan momen untuk membaca strateginya. Gue liat-liat, Adel melirik ke arah gue. Agaknya Adel juga ketar-ketir. Kemudian gue mengalihkan pandangan ke arah Rafif. Entah dari mana, tiba-tiba dia ngasih Adel tas putih bertuliskan restoran fast food Jepang yang terkenal.

“Kata Badrul, hari ini lo les lagi ya? Makanya gue sengaja nyamperin lo, buat ngasih ini. Dimakan ya, Del. Biar makin fokus lesnya karena perutnya udah keisi.”

Raut wajah kebingungan jelas tercetak di wajah Adel saat itu. “Serius ini buat gue? Lo tau sekolah gue dari mana?” tanya Adel.

“Serius,” jawab Rafif. “Gue tau sekolah lo—ya, dari Badrul, lah!”

Adel terdiam sesaat. Tangannya masih belum bergerak untuk ngambil pemberian Rafif di hadapannya. “Lo serem, by the way... Lagian gue udah bilang lewat Aduy, gue udah punya cowok. Aduy nggak sampein, atau lo yang nggak mau denger?”

Rafif tertawa meremehkan. Tai emang. Gue tau, nih, orang kayak dia emang berasa punya segalanya. “Cowok lo punya apa emang?”

For a split second, gue liat Adel pun tersinggung denger pertanyaannya. Apalagi gue, nyet? Gue yang diomongin? Gue denger semuanya? Ini cowok masih bisa berdiri di kakinya aja udah bagus. Nggak bisa dipungkiri bahwa emosi gue lama-lama memuncak dengan sendirinya. Sebelum terjadi keributan, gue memilih untuk nyalain motor dan siap-siap pergi. Otak gue mulai mikir cepat, haruskah gue tabrak Rafif dan motornya atau tetap jadi orang baik. Namun, niat buruk gue tertunda sesaat. Adel kembali bersuara.

“Cowok gue? Punya apa lo bilang?” tanya Adel.

“Iya. Cowok lo punya apa kalo dibanding gue?”

Adel terkekeh sinis. Membuat lawan bicaranya penasaran dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya—termasuk gue. Gue juga penasaran.

“Cowok gue punya otak dan skill parkir yang mumpuni. Jadi kerjanya nggak cuma pamer, parkir sembaragan, dan bikin jalanan macet kayak lo,” balas Adel. “Pinggirin, tuh, motor lo! Cowok gue mau lewat—atau gue tabrak aja? Pretty sure you can go ask Mommy or Daddy to buy you new one, kan?”

Entah ide dari mana, gue pun menyambut umpan Adel. Mungkin karena telanjur kesal. Dengan sengaja gue klakson Rafif berkali-kali, menunjukkan bahwa gue sangat, sangat terganggu.

Tin! Tin! Tin! Tin! Tin!

Detik itu Rafif pun menoleh ke arah gue. Bagus, liat sini. Gue cowoknya.

“Buruan, Del. Keburu tukang cimolnya nikah nanti dia nggak jualan,” ucap gue. Dan Adelia otomatis menghampiri gue, nggak lupa mengusir Rafif sekali lagi. Galak.

Ah, kadang gue lupa kalo Adelia dan Haris adalah dua orang yang serupa. Diam-diam gue tersenyum kemenangan. Somehow gue ngerti rasanya jadi Gia, pacarnya Haris. Perihal pembelaan yang dia dapatkan... Juga soal insecurities yang Haris ceritakan.

Dan hari ini, i know something's literally getting in my way.

DHIMAS'S POV

Lama-lama rasanya gue familier sama sekolah ini. Selain karena pernah studi banding ke sini, sekolah ini gue kenali karena rutinitas gue—menjemput Adelia. Biasanya gue jemput Adel persis di depan gerbang, supaya dia nggak perlu repot cari gue jauh-jauh. Sebisa mungkin, gue aja yang nyamperin Adel. Sayangnya, hari ini lain cerita. Entah motor siapa, segede Gaban gitu tiba-tiba parkir ngalangin jalan. Heran gue juga—motornya bagus, tapi yang punya nggak bisa parkir. Aneh.

Dari kejauhan, gue liat Adel keluar gerbang. Sendirian, mungkin karena Cipon ada urusan lain. Gue melambaikan tangan dari jauh, dibalas Adel dua kali lipat lebih semangat. Dia kemudian berlari kecil, sesekali ngerem mendadak karena jalanan depan sekolah masih sangat ramai orang. Ditambah ada orang butut yang parkir sembarangan dan ngalangin jalan ini.

Motor siapa, sih!? Ketika hampir sampai ke arah gue, Adel melontarkan pertanyaan yang sama. Tanpa suara.

Nggak tau, balas gue sambil menggeleng. Detik berikutnya, Adel otomatis mencibir. Sama kesalnya dengan gue dan pengguna jalan lain yang merasa haknya diambil alih.

Di depan gue, Adel masih berusaha untuk mencari celah untuk menghampiri gue dengan segera. Tapi, tiba-tiba ada seseorang yang manggil dari arah samping.

“Adelia?”

Gue dan Adel menoleh bersamaan. Pada seorang remaja dengan badan tinggi dan kekar. Kulitnya putih dengan wajah yang—gue duga—memiliki keturunan Chinese yang kental. Ganteng, sih, jujur. Tapi sebentar, apa, nih, maksudnya?

Di sisi lain, Adel pun sama bingungnya kayak gue. Dia bahkan diem aja dan jadi ikut ngalangin jalan. Sekon berikutnya, Adel langsung sadar dan minggir. “Iya? Siapa ya?” tanyanya.

“Gue—”

“Oh, gue tauuu!” seru Adel, “nyari Cipon, ya? Cipon udah balik sama Koh Gil. Kalo mau nanyain IG atau kontaknya yang lain, sorry banget gue nggak bisa kasih. Nanti gue diusir dari rumahnya Cipon.”

Gue bingung, tapi si cowok tadi lebih bingung. Gue sedikit paham, mungkin Adel udah terlalu biasa ditanyain soal Cipon sama cowok-cowok yang naksir Cipon. Apalagi, mengingat bahwa cowok tadi juga kayaknya setipe sama Cipon—masuk akal kalau Adel otomatis bilang gitu.

“Oh, hahaha. Enggak, kok. Gue nyari lo,” balas cowok itu. Bentar, ini dunia lagi kenapa, sih?

“Gue temennya Badrul, Del. Gue Rafif, atau ya, Badrul manggilnya Apip.”

Oh, ini dia orangnya? ucap gue dalam hati. Sebisa mungkin, gue berusaha menahan emosi. Jangan sampe gue kayak Haris, jangan sampe juga gue melewatkan momen untuk membaca strateginya. Gue liat-liat, Adel melirik ke arah gue. Agaknya Adel juga ketar-ketir. Kemudian gue mengalihkan pandangan ke arah Rafif. Entah dari mana, tiba-tiba dia ngasih Adel tas putih bertuliskan restoran fast food Jepang yang terkenal.

“Kata Badrul, hari ini lo les lagi ya? Makanya gue sengaja nyamperin lo, buat ngasih ini. Dimakan ya, Del. Biar makin fokus lesnya karena perutnya udah keisi.”

Raut wajah kebingungan jelas tercetak di wajah Adel saat itu. “Serius ini buat gue? Lo tau sekolah gue dari mana?” tanya Adel.

“Serius,” jawab Rafif. “Gue tau sekolah lo—ya, dari Badrul, lah!”

Adel terdiam sesaat. Tangannya masih belum bergerak untuk ngambil pemberian Rafif di hadapannya. “Lo serem, by the way... Lagian gue udah bilang lewat Aduy, gue udah punya cowok. Aduy nggak sampein, atau lo yang nggak mau denger?”

Rafif tertawa meremehkan. Tai emang. Gue tau, nih, orang kayak dia emang berasa punya segalanya. “Cowok lo punya apa emang?”

For a split second, gue liat Adel pun tersinggung denger pertanyaannya. Apalagi gue, nyet? Gue yang diomongin? Gue denger semuanya? Ini cowok masih bisa berdiri di kakinya aja udah bagus. Nggak bisa dipungkiri bahwa emosi gue lama-lama memuncak dengan sendirinya. Sebelum terjadi keributan, gue memilih untuk nyalain motor dan siap-siap pergi. Otak gue mulai mikir cepat, haruskah gue tabrak Rafif dan motornya atau tetap jadi orang baik. Namun, niat buruk gue tertunda sesaat. Adel kembali bersuara.

“Cowok gue? Punya apa lo bilang?” tanya Adel.

“Iya. Cowok lo punya apa kalo dibanding gue?”

Adel terkekeh sinis. Membuat lawan bicaranya penasaran dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya—termasuk gue. Gue juga penasaran.

“Cowok gue punya otak dan skill parkir yang mumpuni. Jadi kerjanya nggak cuma pamer, parkir sembaragan, dan bikin jalanan macet kayak lo,” balas Adel. “Pinggirin, tuh, motor lo! Cowok gue mau lewat—atau gue tabrak aja? Pretty sure you can go ask Mommy or Daddy to buy you new one, kan?”

Ah, kadang gue lupa kalo Adelia dan Haris adalah dua orang yang serupa. Diam-diam gue tersenyum kemenangan. Somehow gue ngerti rasanya jadi Gia, pacarnya Haris. Perihal pembelaan yang dia dapatkan... Juga soal insecurities yang Haris ceritakan.

Dan hari ini, i know something's literally getting in my way.