Blooming Days
“Punya siapa, Ris?” tanya Adel, menunjuk sebuah laptop hitam berstiker Pokemon menutupi logo merknya. Tidak mungkin punya Haris, sebab pemuda itu sangat plain menurut Adel. Menghias-hias atau menempelkan stiker pada barang-barangnya itu sangat bukan Haris.
Haris mencibir lewat tatapannya. Membuat Adel semakin mengerutkan dahi. Pemuda yang sibuk mengunyah serealnya itu tersenyum mengejek. “Punya yayang lu,” balasnya ketika mulutnya sudah kosong.
“Siapa, jir!?”
“Halah, pura-pura nggak tau. Lu pikir gue bego?” balas Haris lagi. Dan Adelia hanya membalasnya dengan tatapan bingung, Apa!?
Haris tak langsung menjawab. Pemuda itu bangkit ke dapur membawa mangkuk keramiknya yang kosong. Meletakannya di cucian piring dan mengambil segelas air minum. Haris berdiri, bersandar pada kulkas yang tingginya setara tubuhnya. Sebelum ia minum, Haris memilih untuk memindai Adelia dari atas ke bawah. Lalu tersenyum miring setelahnya. “Coba liat dulu keteknya, bolong nggak?”
“ANJ— SEKARANG SABTU YA!? FAK! GUE BELOM GOSOK GIGI!”
Seketika Adel melesat kabur. Tujuannya hanya satu, BERDANDAN! Sementara Haris hanya menggelengkan kepalanya. Baru kali ini ia melihat Adel sepanik itu. Namun ia paham. Orang yang sedang dimabuk cinta, memang akan selalu ada-ada saja.
Adelia menatap dirinya di cermin. Rambutnya sudah rapi terikat, bajunya tidak bolong sama sekali, giginya sudah disikat hingga bersih dan wangi, wajahnya pun sudah berseri kembali. Tidak ada belek, maupun hal-hal lain yang dapat merusak penampilannya di depan Dhimas-nya.
Adelia memegang dadanya, merasakan jantungnya berdegup begitu kencang. Masih ada bagian dari hati kecilnya yang ragu, apakah penampilannya sudah betul atau belum. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya sendiri, bisa-bisa ia melupakan hari yang ia lingkar-merahkan di kalender meja kamarnya. Ini hari Sabtu. Sabtu yang Dhimas bilang. Sabtu di mana Dhimas akan berkunjung ke rumah Haris.
Pada akhirnya Adel memilih pasrah akan penampilannya. Toh, ia harus menjaga agar tetap natural, bukan? Biarlah nampak apa yang seharusnya tampak. Maka gadis itu berjalan kembali ke rumah Haris. Adelia mendapati sang pemilik rumah sedang rebahan di sofa, menonton film entah apa.
“Nonton apa lu?” tanya Adel, “geser!”
Haris bangkit dari tidurnya. “In Time. Ngelanjutin doang, waktu itu gue nonton nggak sampe abis.”
Adelia mengangguk membalasnya. Gadis itu ikut menonton, kemudian teringat sesuatu. “Ahh, ini gue udah nonton, nih! Nanti ceweknya mati.”
“Kebiasaan, anjir! Spoiler banget, najis! Lu nonton aja bisa nggak, sih, Del? Nggak usah bacot gitu mulut lu!” omel Haris. Sementara Adel hanya tertawa. “Bercanda, ege. Bukan ceweknya yang mati, tapi—”
“Diem!”
Otomatis Adel mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Maka gadis itu memilih topik lain. “Ini laptop Dhimas, Ris?”
“Iya.”
“Orangnya ke mana? Kok laptopnya ditinggal?”
“Pulang dulu, ada yang ketinggalan katanya,” balas Haris meski matanya terpaku pada televisi. “Oh gitu? Lucu banget laptopnya ditempel-tempel stiker.”
“Iya, sama kayak lu itu. Demen ngerusak.”
Adel berdecak. “Sejak kapan nempelin stiker merusak barang?”
“Lah, itu kalo lu cabut kan berbekas! Rusak, lah!”
“Ya ngapain dicabut? Tujuannya ditempel, kan, biar ada di situ! Biar menghias!”
“Jelek!” ejek Haris.
“Muka lu, jelek!” balas Adel tidak terima. Sebagai sesama penggemar stiker, Adel harus membela rekannya. Alasan, sih. She just wanna take sides with Dhimas apapun yang terjadi.
Perdebatan masih akan terus berlangsung kalau saja Dhimas tidak membombardir dengan klaksonnya. Mau tak mau Haris berdecak sebal. “Bukain pintu, noh, kekasih lu!”
“Apaan, sih!?”
“Yeh, sok-sok apaan, sih!” cibir Haris. “Bukain pintu sana! Gue lagi nonton.”
Sekon berikutnya Adel pun bangkit. Sebal sebab gengsinya terbaca jelas oleh Haris. Pemuda itu benar, ia memang paling pintar membaca gelagat Adelia. Detik berikutnya gadis itu sudah mencapai gerbang tinggi yang melindungi rumah Haris. Membuka bilah pagar dengan lebar yang cukup agar sang pujaan hati dapat masuk dengan mudah.
“Assalamualaikum—lhoo, satpamnya udah ganti shift?” canda Dhimas. Kekehannya lepas ketika Adel melayangkan tatapan garangnya. “Sembarangan banget satpam, satpam!” sahut Adel. “Masuk, masuk!”
Dhimas kemudian memasukkan motornya ke halaman rumah Haris, memarkirkannya dengan rapi. Sementara Adelia menutup kembali pagar seraya menahan degupan jantungnya sendiri. Hanya ia dan Tuhan yang tahu betapa keras gadis itu mencengkeram besi guna menahan letupan dalam dirinya.
“Harisnya ngapain, Del? Boker?” tanya Dhimas. For God's sake, pemuda ini seakan sengaja memamerkan pesonanya. Ia bertanya seraya menyugar rambut halusnya, tidak memedulikan Adel yang nyaris mati. “Lagi nonton, nggak mau diganggu.”
“Lo nggak nonton juga?” tanya Dhimas. “Gue udah nonton,” jawab Adel. Tanpa disuruh, keduanya pun berjalan beriringan. Lucu ketika semesta membuat keduanya benar-benar terlihat seperti pasangan. Warna pakaian yang mereka kenakan senada hari ini, gestur keduanya pun nyaris sehati. Adelia dan Dhimas sama-sama menarik lengan sweater biru mudanya masing-masing, kompak hingga sebatas siku.
“Yah, kalo gitu ngapain dia nonton ya? Harusnya lu ceritain aja, Del,” kata Dhimas. Dan Adel terkekeh. “Iya, tadi udah mau gue ceritain. Eh, dianya marah-marah. Gue diusir, terus disuruh buka pager.”
“Lu tadi udah nyampe ke sini, Dhim? Terus balik lagi pulang?” tanya Adel lagi, setelahnya ia berjengit sebab Dhimas sudah membukakan pintu dan mempersilakannya masuk lebih dulu. “Thank you, thank you,” ujar Adel.
Di hadapannya, Dhimas mengangguk. “Iya, ngambil ini.”
Langkah keduanya terhenti. Adelia terpaku sejenak menatap beberapa bungkus cokelat di tangan Dhimas. “Apa, tuh?” tanyanya memastikan.
“Cokelat.”
“For?“
“You.“
“Me?“
Dhimas terkekeh pelan, sangat pelan sebab takut terdengar Haris. “Gue belum bisa beli cokelat dari Jepang kalo sekarang. Gue bawain cokelat dari Arab aja, ya? Custom, nih,” ucap Dhimas. “Liat, tuh, merk-nya Adel.”
Adelia menelaah sebatang cokelat berukuran kecil di tangan Dhimas. Berkali-kali mengerjapkan matanya agar tidak salah lihat. Namun memang benar, cokelat itu benar-benar bertuliskan 'Adel'. Mata gadis itu mendadak berbinar, dan Dhimas begitu puas melihatnya. Idenya berhasil. “KOK!? BISA!?”
Dhimas menjawab dengan senyuman tertahan. “Bisa, lah! Ini bentuk perlawanan gue terhadap tentara sekutu, Del.”
“Ih? Apa, dah, lu?”
“Lah, bener! Gue tidak akan tinggal diam, Del,” ucap Dhimas. “Yang ini dimakan, ya! Udah terjamin halal. Gue udah cobain juga, nggak beracun dan rasanya manis. Kalo kurang manis, nanti lu ngaca aja.”
“YEEEEE, TOLOL!” Bukan, bukan Adelia yang membalas. Melainkan Haris yang mendadak menyembulkan kepalanya dari balik tembok ruang tamu. “Udah dateng bukannya masuk malah berduaan depan pintu, pamali! Jangan ngalangin rejeki gue masuk!”
“NGAGETIN AJA!” maki Adel. Gadis itu bahkan nyaris melempar cokelat pemberian Dhimas. Beruntung ia sadar dengan cepat dan buru-buru menjaga pemberian kasihnya baik-baik.
“Yeeee, lu aja bengong mulu! Terpana lu liat temen gue?” canda Haris. “BERISIK LUU!” balas Adel. Gadis itu kemudian buru-buru kabur menuju dapur. Dan saat melewati Haris, pemuda itu tak henti-hentinya mengejek Adel.
“Bau kembang lu, Del! Lagi kasmaran ya?”
“APAAN LAGI, SIH!? LU, TUHH, BAU TANAH! MANDI SANA!”
Setelahnya, Haris dan Dhimas hanya terkikik geli. “Gaya, lu! Cokelat dari Arab, cokelat dari Arab. Dari tetangga lu yang baru pulang umroh, kan, itu?”
“Tau aja lu!”
Lagi-lagi, Haris hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar orang kasmaran, memang ada-ada saja!