Love And Its Mysterious Ways

Setelah sekian lama, keempat pemuda fenomenal itu akhirnya kembali bersua. Entah mengapa semesta begitu gencar memisahkan keempatnya belakangan ini, mereka selalu saja punya kesibukan masing-masing yang tidak bisa diganggu gugat. Terima kasih kepada Jauzan Narendra yang selalu buat-buat masalah dan kegundahan untuk dirinya sendiri, mereka jadi punya alasan kuat—Atau yang dikuat-kuatkan, untuk berkumpul lagi. Tidak seperti biasanya, kali ini mereka mencari suasana baru. Perkumpulan itu kini berpusat di rumah Ojan.

“Lu aja pada yang ke rumah gue, gue terlalu patah hati buat mengendarai motor ke manapun,” begitu katanya di forum chat milik Petantang-Petenteng. Yang lain merespons dengan hujatan, namun detik berikutnya langsung bilang mereka akan segera jalan.

Apa yang membuat Jauzan Narendra yang termahsyur itu patah hatinya? Dhimas bahkan tak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan itu setelah tiga puluh menit menelaah pesan Ojan. Rupa-rupanya, ia patah hati akibat pelajaran Agama. Maureen yang sejak lama ia puja itu, dipasangkan dengan lelaki lain untuk praktik pernikahan. Di titik ini, Ojan tidak tahu apakah ini azab akibat dosanya yang menumpuk, atau ujian karena ia terlalu baik.

Dhimas adalah orang yang paling pertama sampai di rumah bertingkat tanpa pagar itu. Ya, tanpa pagar. Hal ini lahir sebagai bentuk frustrasi ayahnya sebab burung peliharaannya tetap saja dicolong orang meski pagar tinggi, tajam, dan rapat sudah melindungi rumahnya dari segala sisi. Akhirnya Ojan mengusulkan untuk merobohkan saja pagarnya. Anak tunggal yang baik itu pun menawarkan diri untuk menjadi CCTV alami untuk rumahnya. Tak lupa berpesan kepada ayahnya, “Makanya Ayah, tuh, baik-baik sama tetangga. Biar punya CCTV lain selain Ojan.” Dan dengan ajaibnya, perkataan Ojan pun terbukti benar.

Baru saja ingin mengucap salam, Dhimas sudah berpapasan dengan seseorang yang Ojan sebut-sebut sebagai Ibu Pertiwi. “Eh, si gantengg!”

“Tantee, Assalamu'alaikum,” sapa Dhimas. Kalau ada Ojan, pemuda itu pasti mencibir. Kata Ojan, senyum Dhimas itu ada racunnya. Ibu mana pun yang melihatnya, akan segera melupakan anaknya sendiri.

“Wa'alaikumsalam, masuk, masuk! Gimana kabarnya?”

“Baik, Tantee. Tante sehat? Om sehat juga?”

“Sehat! Ojan aja, tuh, makin aneh setiap hari. Kenapa, sih, dia?” tanya ibunya, “Kalau kalian ke sini pasti ada apa-apa, kan? Dari tadi Tante tanyain jawabannya dramatis banget. Masuk aja, deh, ya Dhim! Tante mau ke depan dulu sekalian beli makan. Anaknya di kamar, kalau nggak ada di kamar—tau, lah, ya? Pasti di genteng.”

Dhimas hanya terkikik membalasnya, kemudian mempersilakan sang Ibu Pertiwi melenggang pergi. Kata Ojan, Ibu Pertiwinya itu memang cerewet dan galak. Meski begitu, katanya Ibu Pertiwi paling sayang keluarganya. Entahlah, setiap ibu punya cara berbeda mentranslasi kasih sayangnya. Maka Dhimas memilih tidak ambil pusing, dan langsung mencari pasien yang harus ia dan teman-temannya tangani itu.


“Besok gue nggak mau sekolah, ah!” celetuk Ojan. Pemuda hitam manis itu merengut tak henti-henti, sementara tiga yang lain tak bisa berkutik. Dunia baik-baik saja jika Ojan sedang aneh-aneh. Sebaliknya, kalau Ojan sudah ngambek begini, maka tak ada satu pun bagian dunia yang akan baik-baik saja.

“Paan, sih? Jangan gitu, lah! Nanti gue sama siapa di kelas?”

See? Bahkan Haris yang paling gengsi, self-centered, dan apatis saja bersedia memohon. Apapun akan mereka lakukan agar Ojan baik-baik saja.

“Nggak, sebentar,” Dhimas menengahi. “Ini ceritanya gimana, sih? Gue beda kelas sendiri kalau lo semua lupa.”

Ojan menatap Dhimas dengan ekspresi tercerahkan, kemudian kembali merengut. Bahu tegapnya bahkan merosot dan menyusut dari lebar yang seharusnya. “Iya, lu tau, kan? Kita pelajaran Agama sekarang masuk bab pernikahan. Terus dari awal emang udah dibilangin kalau akan ada praktik akadnya...” Ojan menghela napas di sela ceritanya, memancarkan nyeri di hatinya. “Lu juga tau, kan? Biasanya kalau ada gini-ginian, pasti—UDAH PASTI, WAJIB, KUDU, gue sama Orin yang ditumbalin.”

“Hooh, terus, terus?” Dhimas menyimak dengan seksama.

“Gue pikir, kali ini dunia akan berpihak pada gue dan Orin kayak biasanya. Pas ibunya nanya, siapa yang mau jadi mempelai wanita, tuh, kagak ada yang nyaut! Akhirnya Orin, kan...”

“Hooh.”

“Pas ditanya siapa yang mau jadi mempelai pria, nggak ada yang jawab juga. Nah, gue mau jawab, dong!? Iya, dong!? Emang ada lagi orang yang cocok sama Orin selain gue!? Nggak ada, dong!?”

Damar, Haris, dan Dhimas kompak menahan tawanya meski ujungnya tetap mengangguk menyetujui. “Beneer!” sahut Damar tipis-tipis.

“Nah, pas gue mau ngangkat tangan—SI PALDO NGEDULUIN GUE. Sok inisiatif itu orang. Terus gue juga nggak mau kalah, gue bilang gue aja. Tapi—Ah, gitu, lah! Gue nggak sanggup nerusin ceritanya,” kata Ojan dramatis. Akhirnya Damar mengambil alih. “Kata ibunya, udah sering banget kalau ada praktik pasangan gini pasti Ojan sama Orin. Di setiap pelajaran begitu. Makanya ibunya mau liat yang lain, akhirnya Orin dipasangin sama Rivaldo. Jadilah begini,” jelas Damar. Pemuda itu menunjuk Ojan dengan kedua tangannya yang terbuka, selayaknya mempersembahkan sebuah mahakarya yang diiringi seruan “Ta-da!”

Dhimas mengangguk-angguk memahami cerita. Ini masalah sepele, tetapi bukan berarti bisa ia sepelekan. Mungkin Ojan benar-benar patah hati hari itu, mungkin banyak manusia lain yang sudah menyepelekannya. Jika ia sebagai temannya pun menganggap remeh, lalu apa fungsinya Ojan menyebutnya teman, bukan?

“Terus lu marah banget, Jan?” tanya Dhimas. “Orinnya sendiri gimana? Dia nggak ngomong apa-apa? Nggak chat-an emang?”

Ojan hanya menggeleng. “Nggak tau, gue buka HP buat buka grup kita doang.”

Haris mendecih. “Ngambek banget lu ceritanya?” tanya Haris, sementara Ojan hanya diam sambil manyun. Membuat Haris geleng-geleng kepala. Benar-benar terasa seperti mengurus anak bocah baru pubertas.

“Kita ngerti lu sedih, Jan,” ucap Damar. “Tapi, kan Rivaldo cuma boongan tau nikahnya. Nanti lu beneran aja sama Orin.”

Di tempatnya masing-masing, Haris dan Dhimas menahan tawanya. Lebih-lebih Haris. “Goblok!” katanya tanpa suara. Dan Damar tidak ambil pusing, ia tetap berusaha mengusir amarah Ojan. “Si Valdo, mah, cuma menang di depan kelas doang. Nanti lu bikin hajatan aja sama Orin, pake petasan biar rame gitu.”

“Lagian bukan cuma lu aja yang nggak bisa bersatu sama pujaan hati lu di praktikum ini. Gue juga nggak bisa—Aghni, kan, beda kelas. Haris lebih kasian lagi, beda angkatan sama Gia,” ucap Damar lagi. Pemuda berlesung pipi itu kemudian menunjuk ke arah Dhimas dengan tegas. “Tuh, liat temen lu satu lagi. Paling kasian karena beda sekolah, ketemu tiap hari aja belom tentu.”

Benar juga. Detik itu Dhimas tersadari dengan kenyataan bahwa dirinya yang paling jauh jaraknya dengan yang dicinta, paling sedikit frekuensi bertemunya, pula paling kecil kemungkinan keduanya untuk bertemu sejak awal cerita.

Yang Dhimas tahu setelah itu, Ojan sudah mulai membaik. Kini justru giliran dirinya yang termenung. Memikirkan betapa misteriusnya benda abstrak yang dipanggil cinta. Entah bagaimana caranya, cinta berlaku sesukanya. Mengubah Damar yang tertutup menjadi selayaknya tangan terbuka, mengubah Haris yang tajam menjadi sebuah bentuk yang aman untuk didekati—bahkan dipegang, dan ditelaah. Pula mengubah Jauzan yang liar menjadi sosok penuh rencana dan perhitungan.

Cinta—yang Dhimas tahu, berlaku sesukanya. Dengan cara yang selalu ia rahasiakan pada dua insan yang akan ia pertemukan. Sebagaimana ia merahasiakan esensi dibalik pertemuan Dhimas dengan Adelia yang ia rancang sesuka hati. Sebagaimana ia merahasiakan esensi dibalik benih kehancuran yang ia tebar sesuka hati di antara Dhimas dan Adelia.

Lucu, membingungkan, sekaligus menyeramkan ketika membayangkan bagaimana dua orang bisa bertemu dan menjadi tokoh utama cerita. Dhimas mengingat-ingat bagaimana Damar dulu menghindari Aghni, bagaimana Haris dulu memarahi Gia habis-habisan—kedua karakter kuat nan angkuh itu dibabat habis oleh cinta yang rupanya jauh lebih angkuh. Dipatahkan semuanya, ditukar dengan sesuatu yang jauh lebih besar dan tidak bisa dihindari. Pada akhirnya Damar dan Haris kalah telak. Sosok yang tadinya sama-sama enggan dan menolak mentah-mentah, kini justru menjadi yang paling keras memperjuangkan.

Dhimas kemudian menelaah Jauzan dan Maureen. Sejak awal keduanya tak pernah angkuh, mereka mengakui dengan pasti bahwa ada sesuatu terselip di relung masing-masing. Sejak awal keduanya tak pernah menolak dan selalu menerima dengan tulus. Tanpa banyak protes, tanpa banyak tanya. Namun, lagi-lagi cinta bertindak sesukanya. Dipatahkan semuanya, ditukar dengan sesuatu yang jauh lebih besar dan tidak bisa dihindari. Kenyataan membuat Jauzan juga kalah telak. Meskipun ini bukan realita yang sesungguhnya—melainkan hanya praktikum sekolah—tetap saja Jauzan menemukan titik kalahnya.

Terakhir, Dhimas menelaah dirinya sendiri. Dengan Adelia yang entah dari mana asalnya. Gadis itu sama sekali tak pernah muncul dalam benaknya. Sejak awal, keduanya tak pernah mengenal, apalagi bertemu. Dhimas maupun Adelia, tak tahu apakah harus protes atau menerimanya, tak tahu apakah harus banyak tanya atau bungkam dan rasakan saja. Tetapi selalu saja, cinta bertindak sesukanya. Dipatahkan semuanya, ditukar dengan sesuatu yang lebih besar dan tidak bisa dihindari. Dhimas dan Adelia juga kalah. Semua akal sehat yang terus bertanya, dibungkam dan dihilangkan jauh-jauh. Membuat keduanya menjalin sesuatu yang rasanya berada di garis peralihan. Antara ada dan tidak, antara memiliki atau tidak—antara menang atau kalah.

Dhimas menarik napasnya dalam-dalam. Teman-temannya belum menyadari ia melamun begitu lama. Pemuda itu mencoba menyadarkan diri lagi, mengakhiri lamunannya dengan pikiran yang menenangkan. Setidaknya, ia menaruh sebuah sugesti baik untuk diri sendiri meskipun ragunya masih jauh lebih besar.

Lucu, membingungkan, sekaligus menyeramkan ketika membayangkan bagaimana dua orang bisa bertemu dan menjadi tokoh utama cerita. Tetapi pada akhirnya, cinta dengan cara yang selalu ia rahasiakan berhasil mempertemukan ketiga temannya dengan kekasihnya masing-masing. Seperti dua pasang yang pasti, cinta mempertemukan ketiga pasang itu. Entah dikaitkan, diikat mati, atau dijejalkan paksa—yang jelas ketiga pasang itu bertemu dan berhasil menjalani semuanya dengan baik. Meskipun tentu, dengan segala lika-likunya.

Maka Dhimas mengakhiri lamunannya dengan yakin (sedikit)— . . . . . Dirinya dengan Adelia, akan bisa menjalani semuanya dengan baik juga, kan?