Rayuan Tangan-Tangan Pasrah

Aku bersyukur diberi anugerah kekuatan menulis kata. Aku bersyukur selalu dapat menuang, menumpahkan, bahkan menjadikan rasaku aliran sungai. Tuhan menjadikanku lebih peka terhadap apa yang asing bagi manusia lain. Aku bersyukur selalu mudah mengungkapkan sedihnya aku, Aku bersyukur selalu mudah memancarkan senangnya aku, Pun, aku bersyukur selalu mudah mencari tau letak lukaku.

Hatiku tak perlu sembunyi. Si mungil yang pecah berantakan itu, ia selalu berani. Bilang iya, Atau saklek bilang “Tidak!” Menurutmu apa yang tersisa? Dari rumah kosong yang mulai berdebu ini? Mungkin sedikit lagi berhantu, Mungkin sedikit lagi masyarakat mengarang cerita penampakan, Sebab terbengkalai lama kelamaan.

Menurutmu, berapa lama lapisan luar benihku melindungi isinya? Cadangan makanan bagi si mungil yang kususun dengan rapi, Kutata di rak dapur, pada dinding bercat putih, katamu.

Menurutmu, bisakah aku pulang? Haruskah aku pulang? Atau biar saja ia rata dengan tanah? Cinta, Asal kau tahu bahwa mencintaimu lebih mudah dari mencintai diriku sendiri. Badaiku adalah hujan rintik ketika kau di sini.

Tetapi menurutmu, Apa yang tersisa? Dari ini semua, Dari rumah ini, Dari kita?

Menurutmu, mana yang lebih kosong? Hatiku, atau kedua tanganku yang lepuh terbakar?

Ah... Apapun itu, Aku bersyukur selalu dapat menuang, menumpahkan, bahkan menjadikan rasaku aliran sungai.

Pun, Aku bersyukur selalu mudah menggaungkan—

“Aku mencintaimu.”