Studi Bonding

Tidak heran mengapa Haris geleng-geleng kepala mendapati tingkah orang-orang kasmaran ini. Adel si master bangun siang dan Dhimas si ahli stay-at-home ketika akhir pekan, berlari pagi di hari Minggu yang tenang. Guess love could really get you a super strength injected to every inch of your veins. Sebab Adelia yang tidak pernah berolahraga bahkan begitu bersemangat saat lari pagi tadi.

Mereka berlari pagi selama kurang lebih satu jam setengah, penuh keringat dengan wajah memerah. Keduanya pun memutuskan untuk menyudahi kegiatan lari pagi kala itu. Beruntung Dhimas memilih lokasi lari pagi yang dekat dengan danau, sebab kini mereka bisa menikmati pemandangan yang cantik seraya meluruskan kaki-kaki yang pegal. Adelia meluruskan kakinya, sebelah tangannya tergerak mengibaskan poninya yang lepek. Gadis itu duduk sendiri, menunggu Dhimas yang pergi membeli minum untuk sebentar.

“Kiw, cewek!”

Adelia menoleh penuh siaga, namun menghela napas lega setelahnya. Itu Dhimas, lagi-lagi dengan segala tingkahnya. Seketika Adel memukul bahu pemuda itu pelan. “Tadinya mau langsung gue maki-maki, sih, Dhim. Untung gue liat dulu...”

Pemuda itu meloloskan tawa renyah. “Lu sering banget maki-maki orang, kok nggak pernah maki-maki gue?”

Simply because i don't need to,” ucap Adel. Sekon berikutnya, tangan kanannya sudah menerima botol air mineral dari tangan Dhimas. Namun pemuda itu tak langsung melepaskan botolnya, membuat Adel sedikit bingung dibuatnya. Rupanya, Dhimas juga membukakan tutup botol itu untuk Adel. Untuk perempuan semandiri Adelia, tindakan sekecil itu adalah hal luar biasa. “Thank you, really,” ucap Adel lagi. Sementara pemuda itu mengangguk dengan senyumannya.

Dhimas meletakkan tutup botol milik Adel di dekat gadis itu, kemudian membuka botolnya sendiri untuk ia tenggak setengah isinya. Keringat-keringat jagung meluncur mengenai rahang tajamnya. Pemuda itu seperti olahraga dua kali.

Selesai minum, Adel menaruh botolnya di samping. Gadis itu kemudian menyeka bibirnya, menyingkirkan sisa-sisa bulir air di sana. “Lu beli minum di mana, dah? Dari tadi kita lari perasaan gue nggak liat ada warung atau tukang jualan air?”

Dhimas baru selesai minum, pria itu menjawab sambil menutup botolnya kembali. “Itu di sana, nyebrang dulu. Ada di GOR sana deket ibu-ibu senam.”

Seketika mata Adelia terbelalak. “JAUH, DONG!?”

“Mayan,” jawab Dhimas santai. “Lah, kenapa nggak ngajak guee? Pantesan lu lama banget, ternyata jauh banget lu belinya ya!?”

“Ya ngapain? Gue nyuruh lo tunggu sini karena emang belinya jauh, Del,” balas Dhimas. “Emang lo nggak capek abis lari? Capek, kan? Makanya duduk aja di sini.”

“YA, ITU! Emang lo nggak capek abis lari!? Malah beli jauh-jauh, tau gitu gue kokop aja ini air danau! Biar lo nggak usah beli minum jauh-jauh!”

Lagi-lagi Dhimas tertawa, lebih lepas dari yang sebelumnya. “Lu nggak bilang, sih! Aturan bilang dari awal, biar kita minum dari sini aja.”

“Ah, orgil juga lu!” sebal Adel. “Ya udah, makasih tapi ya! Tapi besok-besok jangan gitu lagi ya! Kalo jauh bilang! Gue nggak mau nungguin, gue mau ikut!” lanjut gadis itu.

“Iya, besok-besok ikut ya! Awas kalo enggak ya! Parah lu, Del! Betis gue kalo copot nanti lu yang pasangin lagi ya!”

“IYA!!! GUE TEMPEL PAKE LEM POWER GLUE!”

Keduanya kemudian tertawa bersamaan. Kalau ada Haris, pemuda itu akan dengan segera berteriak, YEEEEE, TOLOL! Untunglah si jangkung itu tak ada di tengah-tengah mereka hari ini. Dhimas lalu menghela napasnya pelan. “Lucu, dah...”

“Apa?” tanya Adel.

Dhimas kembali menoleh ke arah Adelia. “Hm? Enggak. Lucu aja.”

“Pelit lu! Betis lu copot nanti nggak gue pasangin ya!?” canda Adel, kemudian Dhimas memalingkan wajahnya seraya terkekeh pelan. “Lucu aja, ngeliat lo.”

“Kenapa, jir!?”

Pemuda itu menggeleng pelan. Seketika sorot matanya berubah sendu. “Lucu aja,” jawabnya tak berubah. “Dulu, kayaknya gue bener-bener ngelakuin apa aja buat orang yang gue suka. Nganterin dia pulang, lari-lari ke koperasi beliin dia jangka untuk ulangan gambar, nganterin dia nyari bahan tugas prakaryanya. Anything, but only to get thrown away. Bukan pamrih, sih, but seeing you, wanting to do the same thing i did to you, itu lucu aja buat gue. Somehow, gue jadi kasian sama diri gue yang dulu. If only he gets to know you earlier, Deli....”

Yeah... If only she gets to know you earlier too, Dhimas...

Sayang, gadis itu menyimpannya untuk diri sendiri. Dhimas tidak mendengarnya, sebab Adel mengutarakan hal yang berbeda dengan isi hatinya barusan. “Lo emang melankolis gini ya? Orang abis olahraga, tuh, harusnya seneng tau! Bukan sedih!”

Seulas senyum tipis menghinggapi wajah sang mochi man. “Sebenernya barusan gue ngetes empati lu aja, sih, Del. Ternyata lu manusia tanpa empati ya? Parah lu! Cukup tau, lah, gue! Nanti gue cari orang lain aja buat masangin betis gue yang copot-copot.”

Ucapan Dhimas jelas memantik tawa renyah Adelia. “APA, SIH!? DRAMA BANGET LU!!”

Lelaki itu ikut terkekeh. “Eh, tapi lu inget nggak, sih, sebenernya? Kalo kita pertama kali ketemu di sekolah lu?”

Adelia menerka sesaat. “Gue cuma inget Haris minta tolong gue aja, sih. Cuma, gue inget emang ada satu temennya Haris yang ngintilin. Tapi gue nggak inget kalo itu lo.”

“Ohh,” Dhimas mengangguk-angguk. “Waktu itu lo ngapain, sih, tapi?” tanya Adel.

“Studi banding. Itu proker OSIS, sih. Jadi kita kayak ngebanding-bandingin SDM kita sama sekolah tetangga—nggak, nggak, bercanda,” ucap Dhimas. Membuat Adel tertawa sejenak. “Jadi kita kayak saling tuker masukan gitu. Nyari tau juga OSIS sekolah lu, tuh, cara kerjanya gimana, cara rekrut pengurusnya gimana, terus setiap akhir jabatan evaluasinya gimana. Gitu-gitu, sih.”

Good God, Dhimas dalam mode ketua MPK ternyata... Benar-benar menawan. Top tier.

“Keren, keren!” puji Adel. “Terus dari hasil studi banding itu ada yang lu terapkan di masa jabatan lu sekarang, kah?”

“Ada,” sahut Dhimas. “Gue pake cara rekrutnya tahun ini. Cuma, kalo sekolah lu, kan, pake studi kasus buat tes diterima atau enggak. Nah, kemaren gue pake buat misahin pengurus MPK sama OSIS gitu.”

I see,” Adelia menanggapi. “Keren, dong, ya, sekolah gue? Menginspirasi lu gitu?”

“Bangga banget lu ya?”

“Jelas!”

“Ini kita juga lagi studi tau, Del,” ucap Dhimas. Seketika Adelia mengerutkan keningnya. “Apa?”

“Waktu itu kan studi banding,” ucap Dhimas. “Nah, ini sekarang kita studi...”

”... Studi bonding.