The Streets Feel Safer When You're Around
Anggia's POV
Sudah semakin malam dan aku belum pulang. Agaknya hari ini aku bikin semua orang khawatir, bahkan Zahra yang sejak tadi bareng aku. Belum lagi Mama dan Kak Haris yang udah hapal sama keteledoranku. Sumpah Demi Tuhan, sebelum berangkat tadi aku udah cek semuanya. Seperti yang Kak Haris bilang. Baterai, cari tempat ramai, berhati-hati jaga tasku, liveloc, all set! Kecuali satu, jumlah kuota. Poor Anggia dan keteledorannya yang nggak habis-habis.
Aku udah coba cari counter untuk beli pulsa, tapi nggak nemu. Temen-temenku pun nggak ada yang tau. Udah coba nanya pedagang di sekitar sana, tapi katanya memang susah. Mau cari lebih jauh pun takut nyasar, karena nggak ada satupun dari kita yang familier sama lingkungan pasar ini. Aku coba minta hotspot Zahra, tapi dia keburu harus pulang. Akhirnya aku kembali mati gaya tanpa kuota.
Baru mau minta hotspot Wili, tiba-tiba ada notifikasi kuota yang masuk. Jumlah berlebih dari yang biasanya aku beli, walaupun jangka waktunya sama-sama sebulan. Ini pasti Kak Haris, pikirku. Dan benar, beliau pun mengonfirmasi itu. Kayaknya Zahra yang ngabarin Kak Haris, i should really repay her kindness. It means the world, i might cry.
Sekarang aku masih nunggu di parkiran. Berkali-kali harus menyingkir karena banyak motor ingin keluar-masuk. Tersisa aku, Aldo, dan Tyas. Wili juga belum pulang, sih, tapi dia laper katanya. Jadi, dia keliling sendiri cari makan dulu. Aku juga nggak tau dia akan balik lagi atau enggak. Malam ini aku sadar bahwa—Kak Haris dan ucapannya selalu benar. Tadi dia bilang kalau aku pergi malem-malem dan nggak ada yang jagain. Aku masih gigih bilang ada Aldo dan Wili, sekarang nggak lagi.
Rupanya hari ini Aldo nggak bawa motor, jadi dia juga pulang naik ojol. Aku juga nggak bisa minta Aldo untuk nemenin aku sesukaku, kan? Wili juga, benar kata Kak Haris, nggak bisa dipercaya... Liat aja kelakuannya, temen-temennya belum selesai bahas tugasnya pun dia udah kabur mentingin perut.
Nggak lama kemudian Tyas harus pulang. Jemputannya udah dateng.
“Gia, duluan, ya! Do, duluan!” ucap Tyas. Aku mengangguk singkat. “Iya, hati-hati, Tyas!”
Di sisi lain Aldo cuma mengangguk tanpa suara. Nggak lama, Tyas pun pulang. Kini giliran Aldo yang jadi khawatir sama aku.
“Gi, lo dijemputnya masih lama?” tanya Aldo. “Ojol gue tiga menit lagi sampe. Lo sendirian nggak pa-pa? Gue balik duluan nggak pa-pa nih?”
“Nggak pa-pa, Do. Pulang duluan aja. Kalo nungguin aku nanti kamu kemaleman pulangnya. Kasian juga abang ojolnya kalo harus nungguin.”
Aldo menyetujui ucapanku barusan. “Ya udah, tapi nunggunya di sana aja, Gi. Yang terang, terus rame. Kalo di sini gue ngeri lo digodain abang-abang. Emang rame, tapi rame motor doang.”
Benar juga. “Iya, nanti aku pindah ke sana,” kataku menunjuk kedai es krim paling ramai. Tetapi kayaknya, aku baru akan pindah kalau sepuluh menit Om Agung nggak dateng. Mengingat Kak Haris juga bilang jangan kemana-mana. Kali ini aku akan nurut aja...
Selang beberapa lama, Aldo pun pulang. Dan benar-benar tersisa diriku sendiri. Takut, sebenernya, tapi selalu coba kutepis jauh-jauh. Aku berusaha menyibukkan diri main HP. Ngobrol sama Zahra yang udah sampe rumah, dan Alwan di grup kami. Mereka pun bilang hal yang sama, berulang-ulang, jangan sendirian!
Belum lama Zahra dan Alwan bilang begitu, ada seseorang menghampiri aku. Laki-laki berkausputih panjang, celana pendek, dan berkacamata. Kayaknya dia lebih tua dari Kak Haris beberapa tahun.
“Permisi, Kak? Maaf banget ganggu. Boleh tanya nggak?” katanya.
“Iya?”
“Minimarket deket-deket sini, sebelah mana ya? Aku mau top up kartu buat naik busway. Dari tadi aku muter-muter nggak nemu juga. Kakaknya tau nggak ya?”
Oh, aman. Cuma tanya jalan, bukan maksud lain yang jelek-jelek. Well, setidaknya begitu sejauh ini.
“Ohh, kalo deket-deket sini emang nggak ada, Kak. Harus agak jauh jalannya,” balasku. “Kakak ke sana aja, nanti lurus terus sampe nemu perempatan. Abis itu belok kiri, dia ada di sebelah kiri jalan. Di seberangnya juga ada lagi.
“Oh, gituu. Belok kiri yang depan itu, kah?” tanyanya. “Bukan, Kak. Depannya lagi, itu yang ada lampu jalan,” sahutku lagi, mengarahkan ke arah yang lebih jelas supaya ucapanku nggak makin menyesatkan kakaknya.
“Makasih banyak ya, Kak! Sorry banget ganggu.”
“Iya, sama-sama, Kak! Nggak ganggu, kok. Hati-hati pulangnyaa!”
Setelahnya kakak itu pergi. Aman sejauh ini, nggak ada kendala apapun. Aku pun berencana nunggu Om Agung sekitar lima menit lagi, baru akan pindah ke tempat yang lebih ramai.
Baru aja kakak itu pergi, ada satu lagi yang menghampiriku. Kali ini lelaki juga. Berpenampilan sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Pria di depan aku ini, berpakaian kaus hitam bermotif rock dan celana ripped jeans ketat. Aku sedikit menjauh ketika dia mendekat. Sempet ada pikiran kalau dia nggak mau nyamperin aku, tapi dia ngajak ngomong aku juga.
“Tadi siapa, Dek? Kamu kenal?” tanyanya. “Hah? Oh, itu tadi nanya jalan aja kok, Mas.”
Setelahnya dia mengangguk-angguk. Nggak lama kemudian dia mengeluarkan sebatang rokok dari kantungnya, dan merokok di hadapan aku. Kurang ajar, i would say. Bahkan Om Agung yang keluargaku aja nggak pernah ngerokok di depanku. Temen-temennya Om Agung pun begitu. Tapi si abang-abang ini, berani-beraninya ngerokok depan mukaku. Kenal juga enggak!?
Diembuskannya lagi asap rokok dari mulutnya yang menghitam. “Oh, kirain adeknya kenal. Nggak, saya takut kamu dipalak aja. Soalnya di sini sering ada yang begitu, apalagi sama cewek yang lagi sendirian.”
Ya... It could be you, kan?
Aku cuma senyum tipis aja, berusaha tetep sopan. Menjaga agar dia nggak bales kurang ajar sama aku. “Nggak pa-pa, kok, Mas. Cuma nanya jalan aja. Makasih, ya!”
Kalau kalian pikir dia langsung pergi, big no. Dia masih di sebelahku dan malah lanjut nanya-nanya. “Masih sekolah kamu?”
“Masih,” jawabku. Dia mengangguk, tentulah pertanyaannya nggak selesai sampai situ. “Kok malem-malem sendirian gini, abis ngapain emangnya?”
“Abis kerja kelompok, Mas. Disuruh liput pedagang kaki lima. Tugas sekolah, makanya ke sini,” jawabku.
“Kelas berapa emang sekolahnya? Sekolah di mana?”
“Kelas sepuluh, satu SMA.”
Ada percikan antusias dari wajahnya ketika aku bilang aku anak SMA. “Oh, iya? lima belas tahun berarti?”
“Iya, lima belas.”
“Enak, ya, anak jaman sekarang bisa sekolah tinggi-tinggi. Saya, mah, apa? Sekolah juga cuma sampe SMP. SMA sekolah, tapi nggak sampe lulus. Ke sini juga merantau, ikut temen.”
Lagi-lagi, aku berusaha sopan. Aku menanggapinya dengan senyum dan anggukan singkat. Sesekali aku liat HP, takut-takut ada pesan masuk dari Om Agung atau Kak Haris—dua laki-laki yang sangat-sangat aku andalkan di samping Papa. Entah kenapa tiba-tiba terbesit pesan Kak Haris.
Jaga tasnya!
Maka aku pegang erat-erat tasku. Orang di sebelahku ini masih ngomong lagi. “Kamu tapi putih banget, keturunan Cina, ya?”
“Hah? Enggak, Mas,” sahutku. Stereotip macam apa itu?
“Oh, berarti perawatan? Banyak duit juga ya berarti?”
“Enggak juga, kok, Mas. Keturunan aja, mama saya juga putih.” Aku berusaha terus ramah, sekaligus makin hati-hati. Walaupun nggak bohong, kakiku mulai gemetar.
“Ohh, iya ya. Bisa keturunan juga ya,” katanya. Ada jeda sejenak, karena dia menghisap rokoknya cukup banyak. Pun, asapnya yang dihasilkan. Sedikit lagi kayaknya aku sesak napas di sini. Jujur, aku jadi nyesel nggak pindah aja dari tadi. “Rumahnya di mana? Jauh dari sini?”
“Lumayan,” balasku kemudian.
“Tapi kamu cantik banget, loh. Kok sendirian aja, sih? Emang nggak punya pacar? Kok pacarnya nggak nemenin?”
“Ada, kok. Emang lagi nggak bareng aja, nanti yang jemput omku.”
“Pasti, sih. Udah keliatan, orang secantik ini masa nggak punya pacar,” balasnya. Jujur, makin menakutkan dan mencurigakan. “Udah berapa lama pacarannya?”
“Lumayan.”
“Satu sekolah juga pacarnya? Sekelas?”
“Satu sekolah aja, nggak sekelas.”
Jujur, lama kelamaan aku semakin risih sama pertanyaan yang dilontarkannya. Tapi aku juga bingung gimana mau perginya. Nggak mungkin aku langsung kabur juga, kan? Tapi aku juga tau, kalau aku terus di sini, dia bisa terus nanya-nanya. Mungkin bisa leads to something bad.
Baru aja orang itu mau nanya lagi, tiba-tiba pundakku ditepuk keras-keras. “Heh!”
Aku takut setengah mati, dan kaget banget. Jantungku rasanya mau copot. Aku pun langsung nengok, dan menemukan wajah familier. ITU KAK HARIS!!! Mengesampingkan bingung perihal kenapa jadi dia yang jemput, aku mengembuskan napas lega. Aku lemes, tapi nggak pernah selega ini juga sebelumnya.
“Kakak...”
“Ayo pulang!” ajaknya. Kak Haris otomatis ngajak aku menjauh dari tempatku berdiri. Tangannya mencengkram lenganku yang dingin agak keras. Sekilas kulirik rahangnya, tajam sekali. Aku tau ada amarah besar yang dia tahan. Aku tau Kak Haris paham akan situasi yang baru saja terjadi. Aku tau Kak Haris akan selalu paham, tanpa harus kuceritakan lebih dulu. Selang beberapa langkah, aku berniat mengecek orang tadi, apakah masih di sana atau udah pergi. Tapi suara bariton Kak Haris lagi-lagi bikin aku kaget.
“Nggak usah diliat-liat lagi. Udah pergi orangnya dari tadi pas aku dateng,” ujarnya dingin. Otomatis aku nggak berani berkutik lagi.
Nggak lama kemudian, Kak Haris menghentikan langkahnya di sebuah tempat lapang, tapi nggak sepi-sepi banget. Tubuhnya itu sekarang menghadap ke arahku. Matanya tajam, napasnya sedikit memburu. “Kamu ngapain?”
Demi Tuhan, aku nggak berani jawab.
“Kamu sadar nggak kamu ngomong sama siapa tadi? Kamu kenal emangnya? Aku bilang apa soal ngobrol sama orang yang nggak dikenal, Anggia Kalila?”
Aku masih nunduk, nggak berani liat wajahnya Kak Haris. Aku tahu pasti, air mataku sebentar lagi turun. Tiba-tiba di depan mataku disodorkan sebotol air putih. “Minum dulu.”
Nggak tau kapan Kak Haris belinya, tiba-tiba ada. Mungkin saking panik dan kalutnya, aku pun nggak sadar kalo sejak tadi Kak Haris nenteng botol itu di sebelah tangannya. Aku pun minum, sebanyak-banyaknya sampai aku sedikit tenang. Napasku mulai teratur saat itu, rasanya common sense-ku juga mulai kembali. Kak Haris otomatis meraih kembali botol minum itu setelah aku selesai minum. Nggak pernah mau membebani aku dengan sedikit pun barang bawaan kalau lagi bareng sama dia.
“Tadi ngomong apa aja sama orang itu?”
Aku menarik napas, sebelum mengingat kembali kejadian tadi. “Dia nanya-nanya gitu, Kak. Awalnya, tuh, ada cowok juga nyamperin aku. Dia nanya jalan, ya, aku kasih tau. Terus abis kakak yang itu pergi, yang tadi itu nyamperin aku. Awalnya nanya-nanya, apakah aku dipalak atau gimana, tapi lama-lama menjurus ke yang lain.”
Kuceritakan semuanya. Kuadukan semuanya. Serinci yang kubisa. Dan Kak Haris menyimak semuanya dengan seksama. Setelah aku selesai cerita, Kak Haris cuma memalingkan wajah dan mengembuskan napasnya kasar. Aku tahu dia gusar.
“Aku takut banget, Kak... Kakiku lemes, gemeteran...”
Kak Haris akhirnya menoleh ke arahku lagi. Kali ini tatapannya sedikit lebih lembut. “Kamu kenapa bisa nggak sadar gitu? Kenapa dijawab-jawabin semua pertanyaannya? Kalau nanti dia cari kamu gimana, Anggia?”
“Aku nggak sadar, Kak... Aku ngantuk banget, terus dia juga nanya-nanya terus. Aku berusaha jawab seadanya, tapi dia tetep nanya-nanya!”
Lagi-lagi terdengar helaan napas dari Kak Haris. “Gini, ya, Anggia. Aku tau ngantuk itu manusiawi, tapi nggak serta-merta bisa bikin kamu nurunin kewaspadaan kamu gitu, Gi! Sama siapapun kamu pergi, kamu nggak boleh nurunin kewaspadaan kamu kayak tadi—walaupun kalau kamu perginya sama aku. Siapa emang yang akan jaga diri kamu kalau bukan kamu sendiri? Memang ada Papa kamu, ada Om agung, ada aku, tapi kamu tetep harus jadi orang pertama yang jaga diri kamu sendiri, Anggia!”
“I know, i'm sorry. Aku takut, Kak....”
“Aku udah bilang jangan tunggu di tempat sepi, kenapa nunggunya malah di situ?” tanya Kak Haris. “Tadi niatnya nunggu di situ dulu sepuluh menit, kalau Om Agung nggak dateng juga baru pindah. Tapi keburu begitu,” jelasku.
Kak Haris terdiam. Dia cuma ngeliatin aku dengan tatapan pasrah, tapi khawatir, tapi juga lega. “Jangan gitu lagi, Anggia...”
“Aku juga lemes sekarang. Aku nggak tau apa yang akan terjadi sama kamu kalau tadi aku telat dateng. Aku bisa gila, Gi, kalau kamu kenapa-napa,” lanjut Kak Haris.
“I promise it won't happen again,” ucapku dengan suara bergetar. “Maaf, Kak Haris.”
“Untuk?”
“Keteledoranku jaga diri sendiri dan bikin kamu khawatir.”
Hanya dalam hitungan detik, air mataku turun lagi. Aku takut banget malam ini, tapi rasanya Kak Haris punya takut yang jauh lebih besar. Aku bisa liat dari sorot matanya yang masih kalut. Lebih kacau dari kalutku. Tapi Kak Haris tersenyum, masih bisa tersenyum. “It's okay. Not your fault.”
“Oh iya, aku ke sini karena tadi aku yang telepon Om Agung. Mastiin beliau bisa jemput apa enggak, tapi katanya masih macet banget. Jadi, aku bilang aku aja yang jemput kamu,” jelasnya. Again, Kak Haris selalu tau tanpa kuceritakan. Dia juga selalu membuat semuanya jelas tanpa perlu aku tanya.
“Ayo pulang, nanti dicariin Mama!” ajak Kak Haris kemudian.
“Kak Haris,” panggilku. Membuat dia menghentikan pergerakannya sekali lagi. Kedua alisnya terangkat bertanya 'ada apa?'
“Aku nggak mau pergi malem-malem sendirian lagi. Besok-besok kalo aku kerja kelompok, atau pergi ke manapun, bisa nggak kamu beneran intilin aku aja diem-diem?” tanyaku. Nggak serius, tapi serius.
Di hadapanku, Kak Haris terkekeh gemas. Mungkin wajahku juga udah terlalu kacau karena mencetak ekspresi takut dan tangis secara bersamaan. “Kenapa emangnya?” Kak Haris balas bertanya.
“I don't know? The streets feel safer when you're around, Kak Haris.”
Kalimat itu meluncur begitu mudahnya dari mulutku. Aku pun nggak nyangka, tapi memang benar adanya. Kulihat Kak Haris tertegun di hadapanku.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Ia balas ucapanku dengan senyum tipis, khas miliknya. “I'm here.”
“I'm always around, Anggia. Always have been and always will be.”
Lagi-lagi air mataku meluncur. Aku selalu dapat aman di rumah. Ada Papa dan Om Agung. Tetapi di daerah yang nggak pernah kujangkau, Kak Haris selalu mengusahakan aman untuk aku dapatkan juga.
And there he is—my shelter, my shield, my lifesaver. Someone whom i run to in every situation.
Always have been, and i hope—will always be.