Kunjungan Keluarga
Sesuai perjanjian, Azriel akhirnya mengajak Yasmine untuk mengunjungi saudara kembarnya. Seorang adiknya yang lain, yang selama ini keberadaannya harus disembunyikan dan namanya tak pernah dibiarkan untuk menyentuh mulut siapapun di rumah.
Keduanya kini berdiri di hadapan sebuah batu nisan yang bertuliskan sebuah nama yang susunannya mirip dengan milik Yasmine.
Yazid Arthawirya Saputra
Bola mata Yasmine memindai setiap barisan huruf yang terukir di sana. Mematri nama itu dalam hati supaya setiap hari dapat ia titipkan doa yang senantiasa mengudara untuk saudaranya itu.
Azriel dengan sigap mengambil langkah lebih dulu. Pria itu menyiramkan air mawar ke atas batu nisan di hadapannya, mengusapnya sedikit kasar agar semua kotoran yang menempel di sana hilang. Tak lupa mencabuti rumput liar yang memenuhi makam adik laki-lakinya. Setelahnya pria itu menyerahkan sekeranjang bunga tabur kepada Yasmine. Membiarkan gadis itu setidaknya menumpahkan afeksi pada saudara kembarnya yang belum pernah gadis itu temui sama sekali.
Selesai dengan semua kegiatan, Azriel dan Yasmine kini duduk berdampingan. “Yazid dulu mukanya kayak gimana, Mas?”
“Ya kamu ngaca aja coba, mirip—ADUH!”
Azriel mengaduh dan memegangi lengannya yang dicubit Yasmine sebab mengeluarkan jawaban menyebalkan yang sebenarnya masuk akal. Namun setelahnya ia hanya terkekeh dan mulai memberi gambaran tentang Yazid—yang sebenarnya tak terlalu pemuda itu ketahui pula. Sebab Yazid pergi terlalu cepat, bahkan sebelum Azriel sempat menyentuhnya.
“Mamas juga nggak tau sih, soalnya Yazid itu pas lahir langsung dibawa sama dokternya, abis itu ya.. gitu deh. Mamas juga belom sempet liat,” jawab Azriel getir. “Tapi kata Bunda sih, Yazid waktu itu persis Mamas waktu baru lahir. Beratnya juga sama.”
Yasmine hanya mengangguk mendengarkannya. “Kenapa ya, Mas, Yazid perginya cepet banget?”
“Tau, tuh. Padahal Mamas udah capek-capek ngedekor kamar kalian. Mamas yang ngecat, Mamas yang pasang stiker-stiker gitu. Eh, dianya nggak mau nempatin,” canda Azriel. Membangun pertahanannya sendiri agar air matanya tak meluruh di depan Yasmine.
Sementara adiknya itu hanya mengukir senyum, pikirannya kini berandai-andai. “Kalo misalnya Yazid waktu itu tetep sama kita, Mamas mau ngapain?”
Azriel tertawa miris, kemudian menggeleng. “Nggak boleh berandai kayak gitu. Apapun yang terjadi sekarang di dunia ini, pasti udah jalan yang paling baik. Buat Yazid, buat keluarga kita.”
“Bukannya nggak sayang Yazid, tapi Mas bersyukur seenggaknya masih ada kamu, Yas.”
Azriel berucap pelan. Namun wajahnya memandang kosong ke arah rerumputan yang menumbuhi tanah yang bertahun-tahun mengubur Yazid. Sedang Yasmine memandangi wajah sang kakak dengan seksama. Yasmine tahu, sejak lama Azriel adalah orang yang paling menyayanginya dalam keluarga. Setelah Eyang Kakung, tentunya. Sebab menyayangi Yasmine dan melindunginya adalah wujud rasa syukurnya, atas masih tersisanya satu adik kembarnya yang sehat dan sempurna untuk terlahir ke dunia.
“Yazid tapi untung kamu nggak ketemu Mas Jiel,” celetuk Yasmine. Menyadarkan Azriel dari lamunannya. “Dia suka nakal. Suka ngunciin aku di kamar mandi, suka marahin aku, suka nyuruh aku ngambil ini-itu! Dia jahat, Yazid!”
“Boong! Mas Jiel baik tau, Yazid. Suka beliin Yayas nasi goreng, suka nemenin Yayas, nganterin Yayas ke mana-mana. Yayas mau pacaran sama Satria juga Mamas bole—DUH SAKIT! Tuh, kan, Zid, Yayas yang jahat. Mas Jiel dicubitin terus!” balas Azriel sengit.
“Jangan gitu dong! Masa nanti Yazid taunya aku jelek gitu sifatnya?”
“Kan emang iya!”
“NGGAK!”
Azriel menghela napasnya, “Ya udah cerita yang lain.”
“Yazid, Mas Jiel suka sama cewek tapi nggak pernah berani ngomong tau,” celetuk Yasmine. Yang kemudian mendapat dorongan pelan di bahunya oleh Azriel.
Gadis itu terkekeh, sementara Azriel membalas candaan Yasmine. “Yayas lagi dideketin cowok tuh, Zid. Coba seleksi dulu cowoknya boleh nggak jadi pacarnya Yayas!”
“Ngarangg!”
“Nggak ngarang, emang iya, kan?” tanya Azriel. Yasmine kemudian hanya diam tanpa menjawabnya. Gadis itu memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Ayah suka ke sini juga ya, Zid? Ngobrolin apa sama Ayah? Seru ya, pasti?” Yasmine mulai bermonolog. Sementara Azriel memilih untuk diam dan membiarkan Yasmine berbicara sendiri. “Aku baru beberapa bulan ini aja ngobrol sama Ayah, Zid. Ternyata Ayah lucu juga ya? Aku baru tau.”
Yasmine menghela napasnya. Sementara Azriel memperhatikan dengan tatapannya yang mewakili haru yang turut menghangatkan hatinya. Melihat Yasmine berbicara pada Yazid, meskipun keduanya tak benar-benar berhadapan, entah mengapa terasa seperti melihat kedua adiknya sedang benar-benar bermain bersama sebagaimana mestinya.
“Aku nggak tau alasan apa yang bikin kamu ngebiarin aku keluar duluan dari perut Bunda, Zid. Entah karena kamu merasa aku yang lebih kuat untuk lahir atau karena kamu sebenernya udah tau kalau tinggal di surga itu jauh lebih enak,” ujar Yasmine. “yang jelas, aku selamanya berterima kasih sama kamu karena udah ngasih aku kesempatan untuk liat dunia ini. Walaupun kamu nggak ada sama aku di sini sekarang, aku yakin kamu nggak pernah ninggalin aku. Aku tau kamu selalu nemenin aku, makanya aku bisa bertahan sampe sekarang.”
Air mata Azriel menetes juga pada akhirnya. Namun pemuda itu cepat-cepat menghapusnya. Terbesit dalam benaknya bayangan angan yang sejak dulu ia rancang. Seandainya Yazid terselamatkan, mungkin Azriel dan Yazid akan menjadi dua orang paling protektif terhadap Yasmine. Mungkin keduanya akan berebut untuk menjadi seseorang yang mengantarkan Yasmine ke manapun. Mungkin keduanya akan menjadi orang paling gencar untuk mengejek Yasmine ketika ada seorang pria yang mendekat. Mungkin.. Yasmine tak perlu melalui kehidupan yang begitu berat.
Terbayang dalam benaknya betapa hangat suasana rumah ketika Azriel dapat benar-benar bertukar canda dengan kedua adik kembarnya. Berlari kesana dan kemari, menguar tawa di setiap sudut rumah hingga entah berapa kali tubuhnya menabrak sudut meja. Hingga salah satu dari adik kembarnya menangis dan Azriel akan memeluknya suka rela. Kemudian kembali berlarian hingga suara lembut Bunda menegurnya.
Namun Azriel tahu ia harus merelakan itu semua menjadi sebuah angan yang tak pernah sampai, perihal masa kecil yang benar-benar ingin ia habiskan. Lagipula, bagaimanapun juga, itu hanya rencananya. Bukan bagian dari rencana yang telah Tuhan susun dengan baik.
Yang jelas, bersamanya atau tidak, Yazid tetap adiknya. Dan Azriel menyayangi Yazid sama besarnya dengan ia menyayangi Yasmine.
Paparan sinar matahari yang tak lagi jingga menandakan bahwa hari semakin sore. Maka Azriel terpaksa harus menghentikan kegiatan Yasmine yang nampaknya masih ingin berbicara banyak dengan Yazid. “Yayas, udah sore. Pulang, yuk? Nanti Ayah nyariin.”
Gadis itu menoleh. Sesaat memandangi wajah Azriel sebelum akhirnya melihat sekeliling. Sekon berikutnya Yasmine mengangguk, “Oh, iya. Yuk!”
Azriel bangkit lebih dulu, mengamit ransel hitamnya sebelum akhirnya ia sandarkan pada sebelah bahunya. Diikuti Yasmine yang turut berdiri di sebelahnya. “Yazid, Mas Jiel sama Yayas pulang dulu ya? Nanti kita ke sini lagi,” ucap Azriel.
“Yazid Arthawirya Saputra, nanti kalau kita ketemu lagi, pokoknya kamu harus kenal sama aku. Saudara kembar kamu, Yasmine Arthawidya Cantika,” ujar Yasmine tegas. Membuat Azriel terkekeh sebelum akhirnya pemuda itu berjalan mendahului Yasmine, memimpin jalan untuk keduanya kembali.
Sementara Yasmine hanya diam. Sebelum akhirnya ia melangkah mengikuti Azriel. Yasmine mengusap nisan makam Yazid untuk terakhir kalinya hari itu. Setelahnya ia membisikkan sesuatu untuk saudara kembarnya.
“Enjoy your life up there, Yazid. I'll cherish mine down here. See you when i see you!”