What Lies Within Her Head
“Saya suka sama kamu, Anggia.“
Tepat setelah kalimat itu meluncur dari bibir Haris, yang bisa Gia lakukan hanyalah menoleh sebelum akhirnya terpaku menatap wajah Haris yang masih menghadapnya. Napasnya tertahan, pikirannya melayang meninggalkan tubuhnya. Sementara dadanya bergemuruh bagaikan ditabuhi genderang perang.
Matanya berkali-kali mengerjap, namun sama sekali tak luput dari dua bola mata Haris yang masih setia memandanginya. Berusaha mencari tahu kebohongan macam apa yang coba Haris tutupi, namun sayang, pikirannya tak bisa benar-benar fokus untuk mengidentifikasi apakah ucapan Haris barusan adalah sebuah kejujuran atau hanya kebohongan belaka.
Gia benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Serasa tubuhnya benar-benar di luar kendalinya sendiri. Kedua bahunya menegang tanpa bahkan bisa ia gerakkan. Lidahnya pun kelu, tak peduli seberapa besar hasrat gadis itu untuk membalas perkataan Haris. Gadis itu hanya bersyukur dalam hati sebab sekarang ia tak sedang berdiri, sebab Gia bisa langsung jatuh terduduk saat itu juga karena kedua kakinya yang melemas.
Gia tahu harusnya ia menjawab, bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama. Namun sebagaimana Tuhan menggagalkan rencana Haris, Tuhan menggagalkan pula rencana Gia. Dengan membuat satu-satunya hal yang muncul di kepalanya hanyalah ucapan Zahra yang menyuruhnya untuk.. lari.
“Saya suka sama kamu, Anggia.”
Entah sudah berapa kali kalimat itu menghantui pikirannya. Setiap hari, setiap malam, setiap jam, menit, detik. Gia tak akan pernah bisa lupa. Terlebih perihal tindakannya sendiri.
Pun, tak terhitung sudah berapa kali Gia mengutuk dan menyalahkan dirinya sendiri. Sebab tak hanya Zahra, Gia pun membenci apa yang ia lakukan. Gia pun membenci dirinya sendiri yang tak pernah miliki keberanian untuk mengatakan apa yang benar-benar ia inginkan.
Gia menyalahkan dirinya sendiri. Karena telah meninggalkan Haris tanpa kejelasan, karena telah membiarkan Haris memikirkan sendiri teka-teki yang tak seharusnya ada. Setiap kali ia berhasil menghindari Haris, yang pertama kali ia lakukan adalah merutuki dirinya yang selalu terpaku, keringat dingin, dan berujung gemetar setiap kali ia mendengar suara Haris dari kejauhan atau ketika ia melihat Haris berjalan ke arahnya. Gadis itu tak lagi bisa berpikir jernih sejak sore itu.
Gia merebahkan tubuhnya di kasur, entah sudah kali ke berapa ia membaca pesan yang terakhir kali Haris tinggalkan untuknya. Entah sudah kali ke berapa pula Gua membiarkan air matanya lolos dari pertahanannya. Seharusnya ini membahagiakan.
Seharusnya, jika tak ada semua pertanyaan yang turut menghantuinya sesaat setelah Haris menyatakan perasaannya.
Do i deserve him?
Sejak dulu, Gia sangat tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang mencolok di tengah keramaian. Rasanya kata 'paling' tak pernah menjadi sematan yang bersahabat dengan namanya.
Anggia bukan yang paling cantik, bukan juga yang paling jelek sebab ia masih memiliki beberapa fitur dalam dirinya yang bisa disyukuri dengan sangat. Anggia bukan yang paling pandai, bukan juga yang paling bodoh sebab toh, ia pun masih bisa menangkap semua pelajaran di sekolahnya dengan baik. Anggia bukan yang paling dikagumi sebagaimana seorang primadona, bukan juga yang paling dibuang.
Anggia adalah seorang yang biasa saja. Dan fakta ini justru melukainya jauh lebih parah. Sebab menjadi biasa-biasa saja membuatnya tak kasat mata.
Jauh berbeda dengan Haris yang bisa dibilang, terpandang.
Wajah yang rupawan? Check!
Kepandaian luar biasa? Check!
Dikenal hampir seluruh warga sekolah? Check!
Aktif dalam organisasi? Check!
Lihatlah, Haris bukan orang sembarangan. Pemuda itu rasanya mengantungi dunia dalam saku celana abu-abunya. Itulah yang membuat Anggia sadar diri sejak awal, bahwa ia hanya ingin menyukai Haris tanpa pernah mengharapkan balasan apapun. Tak peduli seberapa nyata bukti yang menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki perasaan yang sama.
Sejak awal, bagi Gia, Haris adalah sesosok cinta pertama dengan kegagalan di depan mata. Maka selama ini Gia hanya membiarkan perasaannya mengalir, menikmati setiap interaksi yang semesta usahakan selama garis kehidupan keduanya bersinggungan seraya menanti waktunya untuk layu, dan merasakan patah hati pertamanya.
Namun kali ini lain lagi ceritanya. Membuat berbagai pertanyaan baru kerap bermunculan di kepalanya.
Why does he even fall for me?
Was it supposed to be this way?
Gia mengembuskan napasnya kasar. Gadis itu bahkan harus bernapas melalui mulutnya sebab hidungnya kini tersumbat lantaran terlalu lama menangis.
Crazy how the tables have turned, benaknya berbicara.
Benar, keadaannya berbalik sekarang. Perkiraan Gia meleset. Rupanya Haris bukanlah sesosok cinta pertama dengan kegagalan di depan mata. Haris adalah sesosok cinta pertama yang seharusnya bisa menjadi miliknya kalau saja Gia lebih percaya diri dan berani.
Namun setelah hari ini, apakah pernyataan Haris sore itu masih berlaku? Sudah menyerah kah Kak Haris yang ia ketahui? Atau—masih adakah Kak Haris yang dulu pernah nyaris menjadi miliknya dalam sekejap mata?
Karena yang ada saat ini rasanya hanyalah Haris yang menepati janjinya. Entah sudah berapa lama, yang jelas Gua benar-benar tak menemukan Haris di sudut sekolah manapun. Gia bahkan tak menemukan Haris di gerbang sekolah setiap pagi meski ia kadang sengaja memperlambat kedatangannya.
Masih adakah kesempatan untuknya mengatakan bahwa perasaannya pun sama?
But then again, do i deserve him? Batin Gia terus berbicara. Seakan tak habis-habis amunisinya untuk memerangi pikirannya sendiri.
“I like you too, Kak Haris,” ucap Gia seraya membuang napasnya gusar. Matanya lagi-lagi menatap nanar ke arah layar yang menampilkan pesan terakhir dari seseorang yang kontaknya ia simpan dengan nama 'Kak Haris'.
“But will i ever gonna be good enough for you?”