What Lies Within His Head
Haris menelungkupkan ponselnya di atas kasur setelah membalas pesan Hanum. Kedua matanya terjaga menatap langit-langit kamarnya yang seakan memiliki jawaban atas keresahannya.
Sudah sekitar satu minggu sejak terakhir kali ia membiarkan dirinya mati-matian untuk totalitas, berangkat sebelum bertemu matahari dan berjalan mengitari gedung sekolah yang akhirnya berujung sia-sia. Sudah sekitar satu minggu pula ia menepati janjinya. Tak mengganggu Gia dengan keberadaannya.
Haris tak lagi mengambil tugas piket pagi, tak pergi ke kantin setiap istirahat, tak lagi melakukan banyak kegiatan setelah pulang sekolah, juga tak lagi bersedia berurusan dengan segala hal yang melibatkan kelas 10.
Pria itu bahkan mengabaikan seluruh kegiatan ekskul dan OSIS yang entah sudah berapa kali membuatnya kena tegur. Kehidupannya sekarang seolah diatur oleh peraturan seketat mungkin yang hanya memperbolehkannya sekolah, lalu kembali pulang ke rumah. Haris bahkan tak pernah ikut kala teman-temannya berkumpul.
Males, gue lagi nggak pengen ngapa-ngapain.
Selalu alasan yang sama yang ia lontarkan pada semua orang yang mengajaknya bergabung untuk turun ke kantin atau untuk berkumpul seperti biasanya. Hampir seluruh ambisi dan semangatnya memadam begitu saja. Ada sebagian yang mati dalam dirinya. Haris bahkan rasanya tak berminat melakukan apapun. Kalau bisa, ia hanya ingin menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Berlindung dalam kesendirian tanpa diganggu siapapun.
Haris kembali menjadi dirinya yang sudah lama tak ia jumpai. Cold, untouchable. Haris tanpa sadar kembali membangun dinding tebal untuk menjauh dari siapapun yang mencoba menggapainya. Kembali menelan semuanya mentah-mentah sebab perasaan dan pemikiran yang sama, yang telah lama ia tenggelamkan itu kembali berenang di kepalanya.
Was i ever worth it to feel love?
Jauh sebelum hari ini, dimana keluarganya yang hangat itu pecah berantakan, tergores luka yang begitu dalam di relung Haris. Membuat Haris memutuskan untuk membentengi dirinya sendiri untuk sebuah hal bernama cinta. Bukan bermaksud sombong, melainkan ia terlalu takut. Haris takut kisahnya akan berakhir sama dengan yang kedua orang tuanya miliki.
Haris tak pernah setuju setiap kali ada yang mengatakan bahwa mencintai itu begitu membahagiakan. Hingga tiba-tiba Gia hadir dan mengubah segalanya. Membuat Haris mengerti alasan hampir seluruh dunia mengatakan hal yang sama.
Hingga tiba-tiba orang yang sama turut membuktikan pemikirannya. Bahwa mencintai nyatanya tidak membahagiakan sebagaimana yang mereka katakan.
Entah kesalahan siapa. Yang jelas Haris hanya bisa diam dan membiarkan dirinya merasakan luka yang sama. Mungkin ini adalah balasan untuk Papa yang sampai kepadanya. Mungkin ini adalah balasan untuk Papa atas segala goresan yang ia torehkan di hati Mama. Biarlah, malah bagus seperti ini. Limpahkan saja semua luka yang harus dirasakan keluarganya bertahun-tahun ke depan padanya. Agar Hanum dan Haura tak perlu lagi mendapat balasan atas kesalahan Papa dulu. Biarlah Haris yang merasakan semuanya.
Crazy how a person can change you a lot, benak Haris.
Pertama Papa, yang membuatnya menutup diri dan melupakan dirinya sendiri. Kemudian Ojan yang membuatnya kembali meruntuhkan seluruh dinding tebal yang ia bangun sejak lama, membuatnya merasakan kehangatan rangkulan kasih sayang dari seseorang yang terasa seperti saudara sendiri. Ditambah kedatangan Damar dan Dhimas yang membuat Haris mengubur dalam-dalam dirinya yang dingin dan tak tersentuh.
Sampai Gia. Yang berhasil membuatnya berani terjun mengambil risiko untuk mengambil bagiannya dalam mencintai. Hingga gadis yang sama mematahkan hatinya dan membuat Haris menyesali keputusannya.
Haris tahu sejak dulu harusnya ia tahu diri. Dalam hal romansa dan asmara, keluarganya memang tak pernah beruntung. Atau mungkin justru keluarganya memang tak pernah pantas merasakan kedua hal itu.
“Should i give up on love?” ucapnya. Bertanya pada langit-langit kamarnya yang nampak enggan menjadi teman bicaranya.
“I might get the chance to feel it,” ucapnya lagi.
Haris menggantung kalimatnya seiring ia mengembuskan napas kasar. Berharap semua nyeri di dalam dadanya turut hilang seiring terjadinya pertukaran udara di paru-paru miliknya.
“But probably i'll never get the chance to win it.“