Fairytale Bliss
Entah semanis apa mulut seorang Satria Daffa Perwira hingga Ayah berhasil terbujuk dengan mudah untuk mengizinkan Yasmine pergi bersama pemuda itu. Pagi tadi Bunda membangunkan Yasmine sebab katanya, Satria sudah menjemputnya. Dan pemuda itu kini tengah mengobrol dengan Ayah di teras rumah, seperti biasa. Membuat dengan cepat Yasmine melesat ke kamar mandi dan bersiap untuk pergi.
Maka di sinilah seorang Yasmine Arthawidya Cantika sekarang. Duduk manis di boncengan motor seorang Satria Daffa Perwira yang akan mengajaknya entah ke mana.
“Diem aja, Neng?”
Satria memulai obrolan dengan suara agak keras sembari melirik Yasmine dari kaca spion. Gadis itu memutar matanya, “Kamu juga diem aja!”
“Hah??”
“KAMU JUGA DIEM AJAAAAA!” balas Yasmine. Suaranya ia keraskan kali ini. Ah, Satria. Sudah benar saling diam. Sebab berbicara di motor pun tak ada gunanya, keduanya sama-sama akan kesulitan mendengar sebab suaranya harus bersaing dengan angin.
“NGGAK DENGERR!” balas Satria.
Yasmine mengembuskan napasnya kasar, setelahnya gadis itu memajukan tubuhnya mendekat ke arah telinga Satria yang tertutup helm.
“Kita mau ke mana?” tanyanya, mengubah pembicaraan.
Satria mengulum senyum, “Ada, deh!”
“Loh? Kamu tuh dari tadi sebenernya denger aku ngomong ya? Tapi pura-pura nggak denger?!” Yasmine menginterogasi pemuda di depannya. Sementara yang dituding hanya tertawa jahil. Membuat Yasmine mengerucutkan bibir dan segera menghadiahkan pukulan pelan pada bahu Satria.
“Kan udah dibilang, mau ngelukis,” ucap Satria santai. Maka Yasmine memilih untuk diam dan menikmati perjalanan daripada harus berdebat dengan Satria.
Selang beberapa menit perjalanan, tibalah mereka pada sebuah gedung Art and Studio di daerah Jakarta Selatan. Satria memarkirkan kendaraannya dengan rapi, setelahnya menuntun Yasmine memasuki ruangan. Sepertinya pemuda itu sudah mem-booking jadwal untuk mereka berdua sehingga keduanya tak perlu lagi mendaftar dan menunggu lama.
Satria dan Yasmine kemudian dituntun oleh salah satu staff di sana menuju sebuah ruangan berisikan kanvas dan segala perlengkapan melukis. Gadis itu kemudian memakai apron yang akan melindungi pakaiannya dari noda cat nantinya. Disusul oleh Satria yang melakukan hal yang sama di sebelahnya. Keduanya kini duduk berdampingan dan mendengarkan instruksi dari staff yang bertugas.
“Baik saya jelaskan dulu ya, Kak. Silakan untuk memilih gambar apa yang akan dilukis, contoh-contohnya ada di sebelah sana. Nanti Kakak akan mendapat color palette beserta set kuas yang akan digunakan. Untuk kelas melukis ini akan disediakan guide book-nya ya, Kak. Durasinya 3 jam dan setelah lukisannya jadi boleh dibawa pulang. Apakah sudah jelas?”
Satria dan Yasmine tak melakukan apapun selain mengangguk dengan kompak. Setelahnya keduanya bergegas memilih gambar yang akan mereka lukis. Yasmine memilih gambar yang cenderung simple dan tidak memerlukan banyak teknik sebab ia pun tak begitu pandai melukis.
Gadis itu memilih lukisan rangkaian bunga mawar merah yang diletakkan di dalam vas bunga cantik dengan dedaunannya yang turut menghiasi. Lukisan yang sederhana namun tetap Bisa terlihat indah bila ia dapat mengeksekusinya dengan baik.
Sementara Satria, pria penuh ambisi dan gemar mencari tantangan itu memilih lukisan dengan tema Up In The Air. Lukisan langit jingga beserta awan putih yang dilihat melalui jendela sebuah pesawat. Yasmine bahkan terkejut ketika Satria memutuskan untuk memilih untuk melukis gambar itu. Sebab lukisannya akan memerlukan banyak teknik. Gradasi dalam pewarnaannya, belum lagi detail-detail kecil seperti bentuk awan, bentuk sayap pesawat yang terlihat, bentuk jendela, dan lain-lain. Namun, Satria cuek. Pria itu setia dengan kepercayaan dirinya.
Maka keduanya mulai melukis. Yasmine memulai dari mencampur warna merah dengan sedikit putih agar menjadi merah muda. Gadis itu kemudian menggoreskan cat sedikit demi sedikit untuk membentuk kelopak-kelopak bunga mawar.
Di sebelahnya Satria justru belum memulai sama sekali. Pemuda itu memilih untuk memandangi wajah Yasmine dengan seksama. Sejak pertama keduanya jumpa, Satria tahu bahwa Yasmine memang pantas menyandang nama Cantika sebagai nama belakangnya. Sebab kecantikannya selalu terpancar setiap kali gadis itu melakukan apapun.
Seperti sekarang. Ketika surai hitam panjangnya diikat satu hingga rapi. Beberapa helainya jatuh, membingkai wajah tirusnya dengan sempurna. Tangannya bahkan bergerak dengan anggun melukis sebuah kelopak yang—menurut Satria—mewakili gadis itu.
Tanpa disangka, Yasmine menoleh tiba-tiba. Alhasil, Satria gelagapan dibuatnya. Namun pria itu berdeham guna menutupi salah tingkahnya akibat tertangkap basah. “Ngapain malah ngeliatin aku gitu?” tanya Yasmine. Setelahnya gadis itu menunjuk kanvas Satria dengan kuasnya, “Tuh, kanvasmu masih kosong.”
“Ini gue lagi ngumpulin inspirasi, Yas,” balas Satria santai. Rasanya pemuda itu memang benar-benar terlatih untuk selalu mengeluarkan kata-kata manis dari mulutnya.
Yasmine memutar matanya malas, menutupi kebun bunga yang bersemi dalam relungnya. “Cepet, mulai! Kalo nggak nanti aku pulang sendiri ya, aku nggak mau nungguin kamu kalo belom selesai!” ancam Yasmine.
Satria tertawa pelan, setelahnya pemuda itu memutar badannya menghadap kavas miliknya yang masih putih bersih belum tersentuh. Dan mulai menorehkan cat jingga di sana. “Kenapa milih lukis mawar, Yas?” tanya Satria.
“Nggak tau, tiba-tiba keinget mawarnya Beauty and The Beast,” balas Yasmine. Pandangannya masih fokus pada lukisannya. Gadis itu bertekad membuatnya seapik mungkin agar dapat dipajang di ruang tamu.
Di sebelahnya, Satria mendelik tak suka. “Maksudnya gue Beast-nya?”
Yasmine menahan senyumnya untuk berkembang lebih besar, “Iya, kali ya?”
“Jahat lo, Yas! Gue seganteng ini dibilang buruk rupa!”
“Kan ujungnya dia jadi pangeran juga, Daf,” sahut Yasmine tenang.
“Iya, ya? Lo princess-nya?”
“Enggak.”
“Yah, nggak mau ah kalo gitu!” balas Satria. Yasmine hanya membalasnya dengan sebuah kikikan geli. Yasmine memang sengaja membuat Satria kesal.
“Kamu kenapa milih itu?” kini Yasmine bertanya balik.
Satria menoleh ke arah Yasmine sebelum menjawab. “Ini?” tanyanya. Sekon berikutnya Satria menggeleng, “Nggak pa-pa. Biar kayak lagi di magic carpet ride aja.”
Yasmine menahan tawanya, “Magic carpet terus! Kamu mau jadi Aladdin?”
“Boleh, kalo Yasmine-nya lo,” sahut Satria. Lagi-lagi melancarkan serangannya. Namun, kali ini Yasmine sudah tak lagi dapat membendung tawanya. Membuat Satria pun turut tergelak.
“Mana ada lagian, magic carpet ride naik pesawat gitu?” ucap Yasmine.
“Loh,” balas Satria. “Asal sama lo, mah, jalan kaki juga rasanya kayak lagi magic carpet ride. Soalnya serasa berada di a whole new world gituuh!”
“Gombal!!” sebal Yasmine. “Kamu jadi Abu aja, dehh! Nggak cocok jadi Aladdin,” candanya kemudian. Satria jelas melayangkan tatapan protesnya, sebab disamakan dengan karakter monyet peliharaan Aladdin yang bernama Abu itu.
“Enak aja! Gue bilangin Ayah lo ya!?”
“Bilangin aja. Nanti aku aduin balik kamu tukang gombal!”
“Emang Ayah lo bakal belain lo gitu?” tantang Satria. “Gini-gini gue temen nongkrongnya, Yas, jangan macem-macem lo!”
Yasmine memandang Satria tidak terima. “Yang anaknya Ayah kan aku!”
Satria terkekeh, “Oohh, Princess-nya Ayah?”
“Kata Ayah sih, begitu,” balasnya bangga. Kemudian Satria tak lagi membalas. Pria itu membiarkan Yasmine kembali fokus pada lukisannya yang sudah hampir selesai membentuk tiga kelopak bunga mawar. Meninggalkan Satria jauh, sebab lukisannya baru menampakkan gradasi sejak tadi.
Kini Satria lagi-lagi termangu memandangi Yasmine. Tanpa gadis itu ketahui, di dalam relung pemuda yang sedang menatap ke arahnya itu penuh akan gemuruh. Detak jantungnya bahkan terdengar hingga sudut ruangan.
Satria sedang bertanya-tanya, haruskah ia menyatakannya sekarang? Pantaskah dirinya, untuk seorang perempuan di hadapannya?
Hening mengisi cukup lama. Dan Yasmine bukan tak menyadari bahwa sejak tadi sepasang mata menatap ke arahnya. Hanya saja ia berusaha fokus dan mengabaikan Satria, sebab tanpa pemuda itu ketahui, Yasmine pun merasakan gemuruh yang sama.
“Yas,” panggilnya. Akhirnya memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti keduanya.
Yasmine menoleh. Satria sudah tak menatap ke arahnya, melainkan mulai menorehkan cat berwarna putih untuk membentuk awan-awan yang menjadi teman sang senja yang ia lukiskan. Bagus lah, Yasmine jadi tak perlu repot-repot mengatur ekspresinya agar terlihat gugup, kan?
“Udah mau satu tahun kita sekolah, ya?” tanya Satria.
Yasmine mengingat-ingat sejenak, “Iya. Kenapa? Nggak berasa ya? Pasti karena kamu pergi lama banget. Sama tuh, Mas Jiel juga gitu.”
Sudut bibir Satria terangkat sedikit, namun kembali ditahan oleh sang empunya. Bukan itu maksudnya. Bukan ke sana arah pembicaraannya.
“Iya, kayaknya baru kemaren rasanya gue ikut MOS,” sahut Satria.
Oh, Masa Orientasi Sekolah. Yasmine meneguk ludah mengingatnya, pula ia merasakan kedua pipinya menghangat. Sebab pada masa itu, pertama kalinya ia bertemu dengan pemuda yang kini berada di dekatnya hanya dengan jarak beberapa jengkal.
Pertama kalinya, Yasmine merasa ada yang berhasil menyusupi relung hatinya.
“Nama lo udah kayak princess gitu, nggak mau sekalian jadi princess gue juga?”
Bahkan satu kalimat yang Satria lontarkan saat itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Ralat, Yasmine memang memilih untuk menyimpannya di dalam hati. Meskipun ia tahu, itu hanya hasil keisengan sang kakak yang kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS dan kebetulan memimpin kegiatan MOS saat itu. Meskipun ia tahu, Satria tak benar-benar serius menyatakannya.
“Pertanyaan gue waktu itu—kayaknya masih lo gantung deh, Yas,” ujar Satria.
Yasmine sontak mendongak, menatap wajah Satria yang masih tak menatap ke arahnya. Yasmine tahu, Satria juga menghindari tatapannya. Gugup, Yasmine memilih untuk pura-pura lupa. “Pertanyaan yang mana, Daf?”
Sejenak, Satria menghentikan gerak kuasnya. Namun wajahnya tetap tak teralihkan dari kanvas miliknya. Pemuda itu mengembuskan napas halus, dan setelahnya..
“Yasmine Arthawidya Cantika, nama lo udah kayak princess gitu, nggak mau sekalian jadi princess gue juga?”
Satria mengulangi pertanyaannya. Pemuda itu mengulanginya pada waktu yang berbeda, tempat yang berbeda. Namun yang harus Yasmine ketahui, Satria mengulanginya dengan isi yang sama. Perasaan yang selalu sama.
Gadis itu terpaku setelah mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibir lelaki di hadapannya. Yasmine menahan napasnya. Ia bahkan meneguk ludahnya sesaat setelah memutuskan untuk berusaha kembali fokus dengan lukisannya.
Namun, ucapan Satria selanjutnya berhasil menahan gerakan tangannya.
“Gue suka sama lo, Yas,” ucap Satria. “Gue nggak bercanda. Well—mungkin waktu itu, iya, gue cuma asal. Tapi semenjak hari itu, mendadak gue jadi pengen kenal sama lo lebih jauh. Lama-lama, pertanyaan gue yang cuma asal itu jadi sesuatu yang gue seriusin, Yas,” lanjutnya.
Tak ada yang Yasmine lakukan selain mematung. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Darahnya berdesir ke sekujur tubuh, membuat seluruh tubuhnya terasa panas. Yasmine yakin sekarang wajahnya pasti terlihat seperti Sebastian, si kepiting merah dari film The Little Mermaid. Lebih-lebih ketika Satria akhirnya kembali memutar tubuh ke arahnya.
“Jadi princess-nya Bang Jiel udah. Princess-nya Ayah udah,” ucap Satria. “Now, would you be my princess too, and make me the happiest prince in this land of far far away?“
Yasmine bersumpah dalam hatinya. Demi Tuhan, tak ada lagi manusia yang lebih cheesy dari seorang Satria Daffa Perwira. Mendadak Yasmine tak lagi salah tingkah sebab mendengar penuturan Satria yang justru terdengar kocak baginya. Gadis itu kini tertawa hingga harus memegangi perutnya yang kesakitan.
“Kamu cheesy banget! Emang harus kayak gitu apa ngomongnya?” tanya Yasmine di sela tawanya. Wajahnya benar-benar memerah sekarang. Bercampur antara geli karena tertawa dengan seluruh perasaan malunya.
Satria hanya menipiskan bibir, tersenyum melihat Yasmine tertawa selepas itu untuk pertama kalinya. Biarlah ia menanggung malunya, toh, semua temannya juga sering menertawakan dirinya karena ulahnya sendiri. Yang paling penting, Yasmine tertawa karenanya.
“Dijawab dong, masa diketawain doang?” pinta Satria.
Akhirnya, Yasmine meredakan tawanya. Gadis itu sampai harus berkali-kali menghela napasnya sebab sudah merasa terlalu sesak lantaran terlalu banyak tertawa. Sekon berikutnya, gadis itu meraih kuas milik Satria. “Pinjem sini kuasnya!”
Meski bingung, Satria tetap membiarkan Yasmine merebut kuasnya. Gadis itu kemudian mencelupkan ujung kuas pada cat putih yang berada di palette milik Satria. Mengarahkannya pada kanvas, Yasmine menuliskan sesuatu pada bagian kanvas yang nantinya akan tertutup menjadi lukisan awan putih.
Satria hanya menyaksikan Yasmine merusak lukisannya dengan tatapan bingung. Namun rupanya, Yasmine menuliskan jawabannya.
Y-E-S
Satria termangu. Memandangi tiga huruf yang berbaris membentuk sebuah kata yang menjadi jawaban Yasmine akan pernyataan perasaannya. Kedua bola matanya mengerjap berkali-kali, memastikan bahwa dirinya tidak salah melihat.
“Yas? Ini beneran?” tanya Satria.
Yasmine tak menjawab, gadis itu segera mengembalikan kuas yang ia pegang pada pemiliknya. Kemudian melesat berlari meninggalkan Satria, yang.. baru saja menjadi kekasihnya. Sementara Satria? Pemuda itu senang bukan main. Terlihat dari senyumnya yang mengembang penuh, pula sebuah reaksi tertahan yang mewakilkan bahagianya.
That's how the story goes. Yasmine merasakan kebahagiaan semakin membuncah dalam dadanya. Tuhan yang mahatahu memang benar adanya. Tuhan tahu, betapa Yasmine tak pernah mengeluh akan semua ujian yang menghujaninya.
Maka ganjaran yang pantas atas semua perjuangannya untuk bertahan adalah segala bentuk kebahagiaan yang ada di dunia.
Dulu, Yasmine mungkin harus beradaptasi dengan setiap orang yang memandangnya rendah. Terus menghinanya, mencaci makinya, hingga menginjak kepalanya agar ia tetap berada pada posisi paling bawah.
Sekarang, Yasmine nampaknya harus mulai beradaptasi kembali. Sebab dunianya berubah sekarang. Harapan yang dulu hanya bisa dipendamnya dalam hati kini terwujud satu persatu. Seakan Yasmine memiliki seorang peri pelindung yang selama ini diam-diam mendengar semua permohonannya kemudian mengubah hidupnya hanya dengan satu ayunan tongkat sihir.
Dan sebagaimana dongeng para putri kerajaan berakhir, kisah Yasmine berakhir sama bahagianya.
Ketika Sang Putri akhirnya kembali pulang ke istananya, merasakan dekapan hangat dari kedua orang tua dan keluarga yang menyayanginya, pula merasakan cinta dari seluruh dunia yang menerima keberadaannya.
Terakhir, ketika Sang Putri pada akhirnya menemukan seorang ksatria berkuda putih yang hadir untuknya. Seorang pangeran yang membuatnya merasa dicintai sebagaimana dirinya.
Dan sebagaimana dongeng para putri kerajaan berakhir,
.
.
.
.
She lived happily ever after.
– The End -