Potret Keluarga
Sabtu yang dinanti pun tiba, Yasmine bangun lebih pagi dari biasanya. Sejak semalam gadis itu bahkan tak bisa tidur sebab hatinya terlalu tak sabar untuk menyambut pagi.
Foto keluarga?
Ah, dulu bahkan Yasmine tak pernah berani untuk memintanya pada Tuhan. Rasanya itu adalah keinginannya yang paling sulit untuk menjadi nyata. Dan Yasmine tak ingin membiarkan mimpinya terkubur lagi, maka gadis itu memilih untuk melupakannya. Biarlah hanya Azriel yang memiliki kesempatan untuk merasakan memiliki sebuah potret keluarga, bukan dirinya.
Namun hari ini pada akhirnya tiba jua. Tentu saja gadis itu serasa melayang ke langit ke tujuh. Rupanya mimpinya tak terkubur, melainkan meninggi hingga menjadi bintang paling terang di atas sana. Dijaga dengan baik oleh Sang Pemilik Bumi untuk Yasmine jemput suatu hari nanti. Dan hari ini adalah saatnya.
Yasmine sudah mandi dan hanya tinggal mengganti pakaiannya ketika kedua orang tua dan kakaknya telah siap. Kini Yasmine memilih untuk turun, menuju ruang keluarganya yang selama ini memajang potret keluarga yang hanya ada Ayah, Bunda, dan Azriel di tengah-tengahnya. Bukan, bukan Yasmine belum lahir. Ayah yang melarangnya ikut kala itu.
Yasmine tersenyum geli ketika memandangi wajah Azriel. Kakaknya itu bilang, saat foto itu diambil dirinya sama sekali tak bahagia sebab Yasmine tak turut hadir. Dan ucapannya terbukti benar. Terlihat dari wajah Azriel yang sama sekali tak menunjukkan senyumnya pada foto itu. Entah mengapa Yasmine justru merasa foto keluarga yang kini dipandanginya itu hanyalah bentuk sebuah formalitas.
Yasmine masih fokus pada kegiatannya. Hingga suara seseorang yang tengah menuruni tangga rumahnya berhasil membuatnya menoleh.
“Eh—Adek udah bangun?”
Rupanya Ayah, yang nampak baru saja bangun tidur. Ayah bahkan turun dengan setelan kaus dan sarungnya. Yasmine mengangguk, setelahnya mengikuti langkah Ayah yang pasti menuju dapur. Gadis itu hapal kebiasaan sang Ayah. Setiap pagi pasti Ayah akan menuju dapur dan membuat sendiri kopi hitam untuknya.
Gadis itu kini duduk di sebuah mini bar dapur rumahnya, menyaksikan Ayah meracik kopi. “Ayah mau bikin kopi, Adek mau?” tawar Ayah.
“Enggak, Adek nggak bisa minum kopi pagi-pagi. Nanti sakit perut,” jawab Yasmine seraya terkekeh. Sementara Ayah hanya mengangguk-angguk seraya menahan senyumnya.
“Adek ngapain sendirian di bawah? Yang lain belum pada bangun juga,” ucap Ayah. Pria paruh baya itu kini mengambil sendok kecil untuk mengaduk kopinya.
“Hm? Enggak, aku liat itu,” jawab Yasmine, mengarahkan telunjuknya kepada figura besar memampang potret keluarga yang terpajang di ruang tengah. Membuat Ayah tersenyum getir.
“Nanti yang itu rencananya Ayah copot, terus masukin gudang. Ayah mau ganti sama foto kita yang baru, yang ada Adeknya juga,” balas Ayah.
“Iya, ganti aja, Yah. Mas Jiel-nya jelek di foto itu. Nggak enak diliatnya,” canda Yasmine. Ayah tergelak kemudian.
“Adek udah mandi, ya?” tanya Ayah. Yasmine hanya mengangguk menjawabnya.
“Ya udah, Mamasnya dibangunin, ya, Sayang. Nanti Ayah sama Bunda siap-siap juga,” titah Ayah halus.
“OKE!”
Jawaban Yasmine yang berapi-api lantas membuat Ayah kembali terkekeh. Setelahnya gadis itu melesat untuk menggedor kamar sang kakak. Mengganggunya hingga terbangun dari tidurnya.
“Coba adeknya agak ke tengah, kepalanya dimiringkan sedikit!”
“Masnya agak geser, Mas!”
“Okee, mulai ya. Tahan, 1..2..”
Ckrek!
Entah sudah kali ke berapa kamera memotret Yasmine dan keluarganya. Sudah seringkali terdengar embusan napas lelah dari Azriel yang harus berdiri tegak di belakang Yasmine. Namun gadis itu sama sekali tak merasa lelah. Yasmine justru merasa ketagihan, bahkan kalau bisa, gadis itu ingin terus berfoto bersama keluarganya.
Yasmine tak henti-hentinya tersenyum. Dadanya membuncah merasakan bahagia yang tak ada bandingnya. Sejak tadi benaknya tak berhenti bicara. Yasmine tak henti-hentinya berbahagia. Terlebih sejak tadi ketika Ayah bahkan turut membenahi anak rambutnya yang menghalangi wajahnya.
Selesai berfoto, Yasmine memilih untuk menghampiri Ayah yang nampak sudah lelah dan tengah mengipasi dirinya sendiri. Mungkin kostum berfoto kali ini membuat Ayah kegerahan, ditambah lagi paparan lampu yang juga panas selama berfoto. Gadis itu mengambil tempat di sebelah Ayah, kemudian mengajaknya bicara.
“Ayah,” panggilnya.
Ayah yang tadinya bersandar otomatis bangkit dan duduk dengan posisi tegak. “Ya?”
Yasmine menggeleng seraya tersenyum, setelahnya ia justru memeluk sang ayah. Bingung, Ayah tak langsung membalas peluknya hingga Yasmine menjelaskan maksudnya. “Makasih udah ngajak Yayas foto keluarga ya, Ayah! Yayas seneng banget pokoknya!”
Ayah tersenyum, setelahnya mengusap pucuk kepala Yasmine. “Justru Ayah harusnya minta maaf sama Adek. Maaf baru ngajak Adek foto keluarga sekarang.”
Yasmine menggeleng cepat, “Nggak pa-pa. Kapanpun itu, Yayas akan selalu seneng. Sekali lagi makasih ya, Ayah! Seneng banget akhirnya nanti Yayas bisa liat foto Yayas di ruang tamu, hehe.”
Ayah mengangguk bangga, “Oh, iya dong! Nanti foto Adek akan Ayah pajang paling besar. Pokoknya foto Princess Ayah harus paling kelihatan!”
Yasmine terkekeh, “Ayah kebanyakan main sama Daffa, tuh, jadi ikutan princess-princess!”
“Loh, Adek kan emang princess-nya Ayah!”
Yasmine mendongak menatap wajah Ayah. Setelahnya, sembari tersenyum gadis itu menjawab, “Then that makes you a king.“
Yasmine bernapas lega setelahnya. Ternyata begini rasanya, berfoto dengan dihimpit oleh kedua orang tua yang menyayanginya. Ternyata begini rasanya, berada di dalam sebuah keluarga lengkap dimana dirinya termasuk sebagai anggotanya. Ternyata begini rasanya, menjadi seseorang yang juga turut diprioritaskan oleh Ayah. Tak ada lagi yang bisa Yasmine lakukan selain menumpahkan rasa syukur sebanyak-banyaknya dalam hatinya.
Sebab hari itu, sebuah potret keluarga berhasil diabadikan. Sebagaimana Yasmine mengabadikan momen sederhana yang akan selamanya berharga. Sebagaimana Yasmine akhirnya memiliki sebuah potret keluarga baru dalam benaknya.
Potret keluarga yang kini akan selamanya menjadi rumah yang nyaman untuk tempatnya pulang.